BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Implementasi asas Cabotage merupakan sebuah prinsip yang lahir dari rahim kedaulatan internal sebuah negara pantai / kepulauan atas territorial laut dan udaranya. Dalam konteks penerapannya, mungkin kita lebih sering mendengar asas Cabotage dalam pemberdayaan industri pelayaran nasional di seluruh dunia. Dimana Industri pelayaran nasional harus dapat mampu dan berguna untuk meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global, karena hampir seluruh komoditi untuk perdagangan internasional diangkut dengan menggunakan sarana dan prasarana jasa transportasi maritim. Selain itu, industri pelayaran juga sebagai penyeimbang pembangunan kawasan (antara kawasan Timur Indonesia dan Barat) demi pemerataan pembanguna dan kesatuan Negara Kepulauan Republik Indonesia. dimana suatu kebijakan pengangkutan barang dalam perairan Indonesia, antar pelabuhan di Indonesia yang harus diangkut oleh kapal berbendera Indonesia dan awak kapalnya juga warga Negara Indonesia. Asas ini telah diundangkan tahun 2008 yaitu UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, tindak lanjut dari Inpres No. 5 Tahun 2005, sehingga penerapan asas ini tentunya akan memacu industri pelayaran nasional dan mengharuskan penambahan /pembangunan armada yang berbendera Indonesia. Agar Indonesia mampu melaksanakan asas Cabotage karena keterpurukan industri perkapalan dan pelayaran nasional selama sekian tahun tentunya membutuhkan energi yang besar 92
untuk bisa bangkit dengan menjalankannya pemerintah harus konsekuen serius dengan dukungan kemudahan kemudahan secara nyata melaksanakan penerapan asas ini dengan memperhatikan ketersedian armada pelayaran nasional yang cukup sehingga tidak menimbulkan dampak yang dapat mengakibatkan terlantarnya barang/komoditi yang akan diangkut dan dapat mengakibatkan biaya tinggi/ mahal. Dan perlu dipahami walaupun tanggung jawab terbesar pemenuhan pembangunan dan modernisasi armada nasional berada di tangan pemerintah namun partisipasi pihak swasta atau sektor privat menjadi mitra kerja strategis tentu akan mempercepat terjembataninya kesenjangan yang dihadapi selama ini. Lambannya penerapan asas Cabotage untuk mencapai seratus persen (100%) dapat disebabkan dengan dikeluarkanya PP Nomor 22 Tahun 2011 Tentang Perubahan atas peraturan pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan di perairan dan dikuatkan dengan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 48 Tahun 2011 Tentang Tata cara dan persyaratan pemberian izin penggunaan kapal asing untuk kegiatan lain yang tidak termasuk kegiatan mengangkut penumpang dan/atau barang dalam angkutan laut dalam negeri, dimana disatu sisi peraturan tersebut telah bertentangan dengan Hirarki Perundangn-undangan dan disisi lain dapat mengganggu ketahanan berhubugan dengan objek vital. Pemerintah dapat mencontoh negara negara yang telah sukses dalam mengimplentasikan asas Cabotage, seperti di China karena siapa pun dan dari negara mana pun yang ingin berdagang dengan China wajib memakai kapal berbendera China Tidak hanya itu, kapal yang digunakan pun harus dibangun di 93
China, dan didanai oleh bank negara di sana, juga harus dominan diawaki oleh pelaut mereka, dan wajib direparasi di galangan kapal di China Akan tetapi selama tujuh tahun itu pula perusahaan-perusahaan nasional pembuat kapal malah makin mandul melahirkan produk-produk barunya. Keberhasilan efek multiplier dari penerapan asas Cabotage ini makin terlihat semu manakala dibenturkan dengan banyaknya perusahaan pelayaran nasional yang mengandalkan kegiatannya lebih sebagai fungsi keagenan kapal. Dalam nilai keekonomiannya, kebijakan ini mampu membuat usaha keagenan pelayaran nasional yang berstatus badan hukum Indonesia mengalami pertumbuhan dan sedikitnya mampu menciptakan keteraturan dalam transportasi perairan Indonesia. Namun, sangat disayangkan ketika menilik lebih ke dalam lagi, kapal-kapal yang berlayar nyatanya sebagian besar masih merupakan produk-produk kapal luar negeri. Oleh sebab itu, andil kebijakan lanjutan dari penerapan asas Cabotage sangat diperlukan dan sudah saatnya masuk dalam kebijakan yang mendorong penggunaan kapal produk dalam negeri. Salah satu strategi percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi nasional adalah dengan mengedepankan penguatan konektifitas antar pulau terutama pulau-pulau terluar. Konektifitas ini hanya bisa terwujud apabila transportasi laut di negara kepulauan terus diperankan secara signifikan. Angkutan laut yang mempunyai karakteristik pengangkutan secara nasional dan menjangkau seluruh wilayah melalui perairan perlu dikembangkan potensi dan ditingkatkan peranannya sebagai penghubung antar wilayah, baik nasional maupun internasional termasuk lintas batas, karena digunakan sebagai sarana 94
untuk menunjang, mendorong, dan menggerakkan pembangunan nasional dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menjadi perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mengingat penting dan strategisnya peranan angkutan laut yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka keberadaannya dikuasai oleh negara yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah. Beberapa hal penting terkait tantangan yang dihadapi dalam upaya menuntaskan pelaksanaan cabotage di Indonesia perlunya konsistensi penerapan amanat dari landasan hukum terkait penerapan asas Cabotage di Indonesia hanya tersisa pada satu sektor saja yaitu pendukung kegiatan offshore dan sejenisnya yang sejatinya bisa segera dituntaskan oleh ketersediaan kapal berbendera merah putih yang dimiliki oleh perusahaan pelayaran nasional indonesia serta didukung sepenuhnya oleh konsolidasi semua pihak guna mengakselerasi kinerja yang lambat serta merevisi kebijakan yang cenderung menghambat jalannya penerapan amanat INPRES 5 tahun 2005 serta UU 17 tahun 2008 sesuai semangat Indonesian National Summit (debottlenecking, acceleration, enhancement). Pertaruhan konsistensi tersebut berupa dukungan penuh yang berkelanjutan untuk pemberdayaan industri angkutan perairan nasional khususnya dalam hal pengadaan angkutan pendukung kegiatan offshore berupa memberikan fasilitas pembiayaan dan perpajakan memfasilitasi kemitraan kontrak jangka panjang antara pemilik barang dan pemilik kapal. Kemitraan antara pemilik barang dengan pengusaha pelayaran yang diwujudkan dalam bentuk penyediaan kontrak jangka panjang inilah yang kemudian menjadi dasar bagi pengembangan 95
armada nasional, karena dengan kontrak yang dimiliki tersebut akan bisa dijaminkan kepada lembaga keuangan nasional dan internasional untuk mendapatkan kredit pengadaan armada kapal. Dukungan lembaga keuangan nasional pada sektor pelayaran nasional yang dirasakan oleh pengusaha pelayaran nasional yang mensyaratkan adanya jaminan tambahan dalam hal pemerolehan kredit untuk pengadaan kapal atau yang sering disebut sebagai high equity, dan sisi lain pemerintah melalui kementerian teknis memberikan bimbingan teknis yang berkelanjutan kepada lembaga keuangan sehingga persepsi resiko yang tinggi dalam berinvestasi pada sektor pelayaran nasional bisa diturunkan. Pada sektor pelabuhan merupakan infrastruktur sangat mempengaruhi lancarnya proses pendistribusian muatan antar pulau di dalam negeri, kelemahan pelabuhan di Indonesia terutama pada kualitas infrastuktur dan suprastruktur, produktifitas bongkar muat yang rendah terutama di daerah terpencil, kondisi kongesti yang tinggi, serta birokrasi pengurusan dokumen kepabeanan yang panjang. Kondisi galangan kapal dalam negeri milik pemerintah hampir semuanya sedang mengalami keterpurukan maka perlu segera dilakukan pembenahan sektor industri galangan kapal nasional guna mendukung terselanggaranya angkutan laut dengan armada yang kuat dan tangguh. Industri galangan kapal nasional kini tengah naik turun. karena banyak kapal yang berlayar di perairan Indonesia, membeli langsung kapal buatan negara lain makin besar karena produksi luar memiliki selisih harga hingga 30% dari produksi kapal domestik, perusahaan 96
pengguna cenderung lebih percaya pada kemampuan luar negeri dalam menghasilkan kapal. Karena banyak faktor yang menjadi penghambat perkembangan galkapnas, antara lain faktor kebijakan moneter / fiscal, bunga bank yang masih sangat tinggi, fasilitas yang dimiliki sebagian besar sudah out of date. Kelonggaran penggunaan kapal selambat-lambatnya tanggal 7 mei 2011 sesuai amanat Undang-Undang no. 17 tahun 2008 tentang pelayaran, akan tetapi telah dibatalkan oleh Peraturan Pemerintah RI NO. 22 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 Tentang Angkutan di Perairan, dapat diartikan tidak mendukung Implementasi asas Cabotage dan yang timbulnya suatu kebijakan dalam pengoperasian kapalnya dari pemegang Otoritas. B. Saran 1. Bahwa penerapan asas Cabotage pada INPRES RI Nomor 5 Tahun 2005 Tentang Pemberdayaan industri pelayaran nasioinal dan amanat dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008 Tentang Pelayaran haruslah dijalankan lebih efektif dan diperlukan ketegasan dan menolak rencana merevisi Undang-Undang yang hanya untuk menfasilitasi dan memberikan kelonggaran kembali untuk pengoperasian kapal asing di Republik Indonesia, kecuali untuk memperkuat dan mempercepat terselenggara asas Cabotage. 97
2. Pemerintah harus mengupayakan fasilitas pembiayaan dan perpajakan dari sektor keuangan atau perbankan untuk industri pelayaran nasional, dengan berkoordinasi instansi-instansi terkait sehingga pembangunan kapal yang bersifat khusus dari sifat pekerjaannya dimana kalangan pengusaha butuh kepastian kontrak jangka panjang mengingat investasi kapal berteknologi tinggi itu membutuhkan dana besar sehingga dapat tersedia dan cukup jumlah kapal penunjang offshore. 98