IV. POLA KONSUMSI RUMAHTANGGA

dokumen-dokumen yang mirip
PENDAHULUAN Latar Belakang

IV. POLA KONSUMSI RUMAH TANGGA MISKIN DI PULAU JAWA

sebanyak 158,86 ribu orang atau sebesar 12,67 persen. Pada tahun 2016, jumlah penduduk miskin mengalami penurunan dibanding tahun sebelumnya, yaitu se

I. PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi merupakan proses kenaikan pendapatan perkapita

KEMISKINAN SUMATERA UTARA MARET 2017

sebanyak 160,5 ribu orang atau sebesar 12,98 persen. Pada tahun 2015, jumlah penduduk miskin mengalami sedikit kenaikan dibanding tahun sebelumnya, ya

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2009

KEMISKINAN SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI SULAWESI BARAT SEPTEMBER 2013

BPS PROVINSI JAWA BARAT

KEMISKINAN SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2015

BPS PROVINSI JAWA BARAT

PROFIL KEMISKINAN SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2014

BPS PROVINSI SUMATERA UTARA PROFIL KEMISKINAN SUMATERA UTARA SEPTEMBER 2011

Gambar Perkembangan Kemiskinan di Indonesia,

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2010

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG SEPTEMBER PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH.

BERITA RESMI STATISTIK

I. PENDAHULUAN. Kesejahteraan masyarakat adalah tujuan utama suatu negara, tingkat

BPS PROVINSI LAMPUNG

PROFIL KEMISKINAN DI NUSA TENGGARA BARAT SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET PERKEMBANGAN PENDUDUK MISKIN DI LAMPUNG. No. 08/07/18/TH.

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2008

BADAN PUSAT STATISTIK

I. PENDAHULUAN. dalam hal ekonomi rumah tangga mereka. Banyak petani padi sawah khususnya. di pedesaan yang masih berada dalam garis kemiskinan.

KONDISI KEMISKINAN PROVINSI GORONTALO SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2017 RINGKASAN

PROFIL KEMISKINAN SULAWESI SELATAN, MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2016 RINGKASAN

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DI JAWA TENGAH BULAN MEI 2009

KONDISI KEMISKINAN PROVINSI GORONTALO SEPTEMBER 2014

BPS PROVINSI LAMPUNG ANGKA KEMISKINAN LAMPUNG MARET No. 08/07/18/TH.IX, 17 Juli 2017

BPS PROVINSI KEPULAUAN RIAU

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2014

TINGKAT KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT MARET 2011

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pangsa Pengeluaran Pangan Rumah Tangga. Ketahanan pangan merupakan kondisi dimana terpenuhinya pangan bagi

Pola Pengeluaran dan Konsumsi Penduduk Indonesia 2013

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2014

KOMPONEN IPM 5.1 INDIKATOR KESEHATAN. Keadaan kesehatan penduduk merupakan salah satu modal

PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN/INFLASI DI KOTA KEBUMEN BULAN MARET 2015 INFLASI 0,03 PERSEN

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2015

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2012

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2016

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2013

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, SEPTEMBER 2016

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI PAPUA BARAT MARET 2013

BPS PROVINSI LAMPUNG

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2017

ANALISIS POLA KONSUMSI DAERAH PERKOTAAN DAN PEDESAAN SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DI PROPINSI BANTEN MUHARDI KAHAR

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU SEPTEMBER 2014

2.4 Kerangka Teori dan Pertanyaan Penelitian... 47

ANALISIS POLA KONSUMSI PANGAN DAERAH PERKOTAAN DAN PEDESAAN SERTA KETERKAITANNYA DENGAN KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI DI PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH MARET 2014

ANALISIS HASIL PENELITIAN

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DI JAWA TENGAH BULAN SEPTEMBER 2009

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA SEPTEMBER 2012

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2016 RINGKASAN

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI NTT SEPTEMBER 2011 RINGKASAN

TINGKAT KEMISKINAN DI PROVINSI BENGKULU MARET 2015 SEBESAR 17,88 PERSEN.

TINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA TAHUN 2007

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

GAMBARAN UMUM. pada posisi 8-12 Lintang Selatan dan Bujur Timur.

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2012

PROFIL KEMISKINAN SUMATERA UTARA MARET 2015

PROFIL KEMISKINAN DAN TINGKAT KETIMPANGAN PENGELUARAN PENDUDUK PROVINSI ACEH MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2010

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI DI JAWA TENGAH BULAN NOPEMBER 2008

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA TAHUN 2011

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BLITAR

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH SEPTEMBER 2011

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN SEPTEMBER 2013

TINGKAT KEMISKINAN DI DKI JAKARTA MARET 2014

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI BANTEN MARET 2015

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

Kemiskinan dan Ketimpangan

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian deskriptif kualitatif, karena dalam

PROFIL KEMISKINAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH MARET 2013

BAB VIII KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. 1. Tingkat partisipasi konsumsi rumah tangga di DIY menurut wilayah tempat

PROFIL KEMISKINAN DI MALUKU TAHUN 2014

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA MARET 2016

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris, hal ini dapat dilihat dari sebagian besar

PERKEMBANGAN NILAI TUKAR PETANI

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BPS PROVINSI JAWA TENGAH

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA SEPTEMBER 2016

INDEKS TENDENSI KONSUMEN JAWA TENGAH TRIWULAN IV-2012

PROFIL KEMISKINAN DI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2016

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

I. PENDAHULUAN. kecukupan pangan bagi suatu bangsa merupakan hal yang sangat strategis untuk

BPS PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BAB I PENDAHULUAN. konsumsi pangan hewani seperti daging, telur, susu dan ikan (Jafrinur, 2006).

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI KEPULAUAN RIAU, MARET 2016

Transkripsi:

31 IV. POLA KONSUMSI RUMAHTANGGA 4.1. Pengeluaran dan Konsumsi Rumahtangga Kemiskinan tidak terlepas dari masalah tingkat pendapatan yang masih rendah dan hal ini umumnya terjadi di wilayah pedesaan Distribusi pendapatan merupakan dimensi yang perlu mendapat perhatian terutama untuk melihat tingkat pendapatan masyarakat. Untuk memperoleh gambaran tingkat pendapatan selama ini sudah banyak penelitian menfokuskan diri didalam mengkaji aspek-aspek pendapatan rumahtangga. Secara teoritis aspek pendapatan sangat erat kaitannya dengan tingkat pengeluaran atau konsumsi rumahtangga. Pengeluaran atau konsumsi erat kaitannya dengan tingkat pendapatan, harga, serta status sosial suatu rumahtangga. Rumahtangga merupakan konsumen atau pemakai barang dan jasa sekaligus juga pemilik faktor-faktor produksi tenaga kerja, lahan, modal dan kewirausahaan. Rumahtangga mengelola faktor-faktor tersebut untuk memperoleh balas jasa. Salah satu bentuk balas jas adalah upah yang menjadikannya pendapatan rumahtangga. Dalam hal membelanjakan pendapatan belum tentu semuanya dikonsumsi atau menjadi komponen pengeluaran. Pengeluaran konsumsi secara riil berupa aktifitas yang ditujukan untuk mempertahankan taraf hidup, seperti pembelian barang atau jasa (BPS 2008). Dalam uraian selanjutnya disajikan gambaran umum nasional konsumsi komoditi terpilih dan disajikan juga pola konsumsi menurut kelompok pengeluaran makanan dan non makanan, tipologi wilayah perkotaan dan pedesaan, serta tingkat pendidikan kepala rumahtangga berdasarkan data Susenas 2007 & 2008 4.2. Gambaran Umum Konsumsi Komoditi Berdasarkan penelitian Setiawan (2006), konsumsi kelompok makanan yaitu padi-padian terutama beras terus mengalami penurunan dari tahun 1999 sd 2004 terhadap total konsumsi yaitu dari 51,4% tahun 1999 menjadi 44,0% tahun 2004. Hal ini mengindikasikan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia mulai mengalihkan konsumsi padi-padian terutama beras ke konsumsi komoditi lainnya. Konsumsi ikan, daging, telur, dan susu relatif lebih stabil terutama dalam kurun waktu dari tahun 2002 sd 2004. Sementara itu, konsumsi sayur-sayuran selama kurun waktu 1999-2004 hanya bergerak sedikit dan juga relatif stabil. Hal tersebut di atas dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah.

32 Tabel 1. Persentase Rata-rata Konsumsi Beberapa Komoditi Protein Penduduk Indonesia tahun 1999-2004 Komoditi 1999 2002 2003 2004 Beras Ikan Daging Telur Susu Sayuran 51,4 12,5 2,7 3,0 4,6 44,8 13,2 4,2 4,3 4,6 Sumber : BPS (2005), Susenas 1999-2004 43,9 14,9 4,7 4,0 5,0 44,0 14,0 4,6 4,4 4,7 Konsumsi komoditi kelompok protein hewani yang terdiri atas ikan, daging, telur, dan susu selama periode 1999-2004 mengalami peningkatan dari 18,2% menjadi 23%. Sebaliknya konsumsi komoditi kelompok protein nabati yang diantaranya terdiri atas beras dan sayuran mengalami sedikit penurunan dari 65,9% tahun 1999 menjadi 58,8% tahun 2004. Peningkatan konsumsi ikan, daging, dan telur susu menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat Indonesia akan pentingnya peningkatan gizi makanan terus tumbuh semakin baik. Konsumsi kelompok non makanan yaitu pendidikan berupa partisipasi masyarakat untuk bersekolah sejak tahun 2000 sd 2005 terus mengalami peningkatan sebagai akibat dari kebijakan pemerintah yang secara terus menerus meningkatkan anggaran pendidikan dan infrastruktur sekolah. Tabel 2 memperlihatkan angka partisipasi murni sekolah pada berbagai jenjang pendidikan dari tahun 2000-2005. Angka partisipasi murni SMP mengalami peningkatan cukup tinggi dari 61,7% th 2000 menjadi 65,2% tahun 2005, begitu juga untuk angka partisipasi murni SMA yang juga mengalami peningkatan dari 39,5% th 2000 menjadi 41,7% th 2005 (World Bank, 2007). Berdasarkan pada Tabel 2 dapat disimpulkan bahwa angka partisipasi juga menggambarkan kemampuan masyarakat, dimana peningkatan biaya pendidikan sejalan dengan peningkatan jenjang pendidikan. Hal ini ditunjukkan dengan angka partisipasi untuk jenjang pendidikan yang lebih tinggi yaitu Sekolah Menengah Atas jauh lebih rendah dari Sekolah Dasar. Kondisi memperlihatkan bahwa kemampuan masyarakat dalam mengakses sektor pendidikan khususnya jenjang pendidikan lebih

33 tinggi masih cukup terbatas. Seberapa besar kontribusi suatu rumahtangga dalam mengakses sektor pendidikan sangatlah tergantung pada tingkat pendapatan. Tabel 2. Angka Partisipasi Murni berdasarkan Jenjang Pendidikan, th 2000-2005 Jenjang Pendidikan 2000 2002 2004 2005 Sekolah Dasar Sekolah Menengah Pertama Sekolah Menengah Atas 92,4 61,7 39,5 92,7 60,9 36,8 93,0 65,2 42,9 93,2 65,2 41,7 Sumber : Tinjauan World Bank untuk Pendidikan hasil Susenas Sektor kesehatan Indonesia sudah mengalami peningkatan sepanjang beberapa tahun terakhir ini. Meskipun demikian kinerja sistem kesehatan belum cukup memadai untuk mencapai sasaran sektor kesehatan. Hal ini terlihat dari tingkat pemanfaatan layanan kesehatan di Indonesia yang masih rendah dan tingkat pelayanan publik yang masih inefisien. Infrastruktur, obat-obatan, dan fasilitas kesehatan yang buruk terutama di wilayah terpencil dan pedesaan memberikan dampak penurunan partisipasi masyarakat untuk berobat (World Bank, 2007). Partisipasi masyarakat yang masih rendah terlihat dari besaran kontribusi pengeluaran untuk biaya kesehatan yang rendah dibandingkan pengeluaran lainnya seperti untuk biaya pendidikan dan transportasi. Data BPS tahun 2007 menunjukkan persentase pengeluaran rata-rata untuk sektor kesehatan sekitar 2%, masih rendah dibandingkan sektor pendidikan sekitar 3-4% dan transportasi sekitar 4-7%. 4.3. Pola Konsumsi menurut Tipologi Wilayah Pola pengeluaran konsumsi masyarakat di daerah perkotaan dan pedesaan cenderung berbeda. Keterbatasan sarana dan prasarana membuat pola konsumsi di daerah pedesaan lebih rendah dibandingkan di perkotaan. Secara umum tingkat pendapatan yang lebih baik akan membuat masyarakat perkotaan dapat membelanjakan lebih banyak dibandingkan masyarakat pedesaan yang memiliki pendapatan jauh lebih rendah.

34 Dari data diperoleh bahwa rata-rata pengeluaran komoditi terpilih daerah perkotaan mengalami peningkatan dari tahun 2007 sd 2008, begitu juga rata-rata pengeluaran komoditi terpilih (padi-padian, ikan/daging/telur/susu, sayur buah, pendidikan, kesehatan, barang tahan lama) daerah pedesaan juga mengalami peningkatan. Peningkatan rata-rata pengeluaran rumahtangga sebulan yang terbesar terjadi di perkotaan seperti gambar di bawah ini: 1200000 1000000 1015238 800000 600000 400000 614458 384580 564820 200000 0 mean 2007 mean 2008 urban rural Gambar 2. Rata-rata Pengeluaran Rumahtangga menurut Tipologi Wilayah Perbedaan pola konsumsi yang terjadi secara total maupun berdasarkan tipologi wilayah menunjukkan bahwa intensitas permintaan terhadap kebutuhan barang dan jasa antara daerah perkotaan dan pedesaan cukup berbeda jauh. 4.4. Pola Konsumsi menurut Kelompok Pengeluaran Semakin tinggi pengeluaran biasanya semakin baik pula pola konsumsi masyarakat, termasuk asupan kecukupan gizinya. Secara teori semakin tinggi pendapatan maka semakin tinggi pula proporsi konsumsi non makanan. Hal tersebut disebabkan oleh kenaikan pendapatan dialihkan untuk konsumsi selain barang kebutuhan pokok. Dari data komoditi terpilih menunjukkan bahwa terdapat perbedaan pola pengeluaran makanan dan non makanan yang cukup signifikan. Terjadi perbedaan

35 pengeluaran makanan dan non makanan yang cukup tinggi di pedesaan jika dibandingkan dengan perbedaan yang cukup rendah di perkotaan, seperti gambar berikut: 90.00 80.00 80.07 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 20.00 62.73 37.27 19.93 10.00 0.00 Urban Rural Makanan Non Mak Gambar 3. Persentase Rata-rata Pengeluaran Rumahtangga menurut kelompok Makanan dan Non Makanan Di daerah perkotaan (urban) persentase rata-rata pengeluaran rumatangga untuk kelompok makanan (padi-padian, ikan/daging/telur/susu, sayuran buahan) sebesar 62,73% dan kelompok non makanan (pendidikan, kesehatan, barang tahan lama) sebesar 37,27%. Sebaliknya di daerah pedesaan (rural) persentase rata-rata pengeluaran rumahtangga kelompok makanan sebesar 80,07% dan kelompok non makanan sebesar 19,93%. Ini menunjukkan bahwa kontribusi pengeluaran non makanan masih tinggi di perkotaan, sedangkan kontribusi pengeluaran makanan paling tinggi terjadi di pedesaan. Sesuai teori ekonomi maka hal ini mengindikasikan bahwa masyarakat pedesaan masih mengutamakan konsumsi pokok yaitu konsumsi makanan dibandingkan non makanan. Sebaliknya masyarakat perkotaan mengalokasikan tambahan pendapatan selain bahan pokok untuk membeli atau mengkonsumsi komoditi lainnya seperti sektor pendidikan dan kesehatan. 4.5. Pola Konsumsi menurut Pendidikan Kepala Rumahtangga Tingkat pendidikan kepala rumahtangga dapat mempengaruhi pola konsumsi rumahtangga. Pendidikan kepala rumahtangga disini dibedakan berdasarkan kepala

36 rumahtangga berpendidikan menengah ke bawah (<SMA) dan kepala rumahtangga berpendidikan menengah ke atas ( SMA). Tabel 3. Rata-rata Pengeluaran Rumahtangga menurut Tingkat Pendidikan KRT (Rp) Tingkat Pendidikan Perkotaan Pedesaan Total Makanan menengah ke bawah 418.655 366.913 386.827 menengah ke atas 592.698 531.971 591.642 Non Makanan menengah ke bawah 181.529 83.914 121.610 menengah ke atas 401.681 290.491 395.736 Tabel 3 memperlihatkan rata-rata pengeluaran rumahtangga untuk komoditi terpilih. Peningkatan konsumsi yang cukup signifikan terjadi untuk pengeluaran barang non makanan di perkotaan dari kepala rumahtangga berpendidikan menengah bawah ke menengah atas. Sedangkan untuk pengeluaran makanan baik di perkotaan maupun di pedesaan relatif tidak jauh berbeda antara tingkat pendidikan. Ini menunjukkan bahwa kelompok makanan masih merupakan kebutuhan pokok utama baik kepala rumahtangga berpendidikan menengah ke bawah maupun berpendidikan menengah ke atas, sebaliknya untuk non makanan merupakan barang yang cukup mewah terutama untuk kepala rumahtangga pendidikan menengah ke bawah khususnya di pedesaan. Tabel 4 menunjukkan persentase rata-rata pengeluaran rumahtangga terhadap total komoditi terpilih dan masing-masing kelompok (makanan dan non makanan). Untuk kelompok makanan terjadi perbedaan yang cukup berarti khususnya antara komoditi padi-padian dan ikan/daging/telur/susu. Di daerah perkotaan untuk rumahtangga KRT berpendidikan menengah ke atas persentase kedua komoditi berbeda cukup jauh dimana komoditi ikan/daging/telur/susu jauh lebih tinggi. Di daerah pedesaan komoditi padi-padian masih merupakan komoditi utama khususnya untuk rumahtangga dengan pendidikan kepala rumahtangga menengah ke bawah.

37 Tabel 4. Persentase Rata-rata Pengeluaran Rumahtangga per Komoditi menurut Tingkat Pendidikan KRT Komoditi Makanan padi-padian ikn/dging/tlur/susu sayur & buah Pendidikan KRT Perkotaan Pedesaan Total < SMA SMA < SMA SMA < SMA SMA 11,69 16,16 8,72 5,13 15,27 5,80 26,02 15,02 11,19 12,08 17,81 8,80 18,77 15,59 9,94 5,69 15,47 6,04 Sub Total Makanan 36,57 26,20 52,22 38,69 44,30 27,21 Non Makanan pendidikan kesehatan barang tahan lama 15,16 17,12 31,15 21,91 24,25 27,64 8,81 15,80 23,17 11,28 18,27 31,76 12,03 16,47 27,21 21,05 23,77 27,97 Sub Total Non Mak 63,43 73,80 47,78 61,31 55,70 72,79 Total 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00 100,00