BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kawasan perkotaan yang terjadi seiring dengan semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk pada

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III LANDASAN TEORI

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

BAB III LANDASAN TEORI

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DAERAH ALIRAN SUNGAI

BAB III LANDASAN TEORI A. Hidrologi Menurut Triatmodjo (2008), Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, baik mengenai terjadinya,

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Hidrologi

PENDAHULUAN. tempat air hujan menjadi aliran permukaan dan menjadi aliran sungai yang

dasar maupun limpasan, stabilitas aliran dasar sangat ditentukan oleh kualitas

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi

Surface Runoff Flow Kuliah -3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...)

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KAJIAN DEBIT BANJIR AKIBAT PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DI SUB DAS BELIK, DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Noviana Dian Utami

STUDI PERBANDINGAN ANTARA HIDROGRAF SCS (SOIL CONSERVATION SERVICE) DAN METODE RASIONAL PADA DAS TIKALA

2016 ANALISIS NERACA AIR (WATER BALANCE) PADA DAERAH ALIRAN SUNGAI (DAS) CIKAPUNDUNG

BAB I PENDAHULUAN. penduduk akan berdampak secara spasial (keruangan). Menurut Yunus (2005),

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

I. PENDAHULUAN. angin bertiup dari arah Utara Barat Laut dan membawa banyak uap air dan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Daur Hidrologi. B. Daerah Aliran Sungai

BAB III LANDASAN TEORI. A. Hidrologi

REKAYASA HIDROLOGI. Kuliah 2 PRESIPITASI (HUJAN) Universitas Indo Global Mandiri. Pengertian

PERSYARATAN JARINGAN DRAINASE

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Berikut ini beberapa pengertian yang berkaitan dengan judul yang diangkat oleh

PERILAKU MASYARAKAT TERHADAP PENGGUNAAN DAN PELESTARIAN AIR DI LINGKUNGANNYA (Studi kasus di Daerah Aliran Sungai Garang, Semarang) Purwadi Suhandini

tidak ditetapkan air bawah tanah, karena permukaan air tanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat pemakaian (Sri Harto, 1993).

SISTEM DRAINASE UNTUK MENANGGULANGI BANJIR DI KECAMATAN MEDAN SUNGGAL (STUDI KASUS : JL. PDAM SUNGGAL DEPAN PAM TIRTANADI)

Modul 3 ANALISA HIDROLOGI UNTUK PERENCANAAN SALURAN DRAINASE

BAB I PENDAHULUAN. secara topografik dibatasi oleh igir-igir pegunungan yang menampung dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Samudera, Danau atau Laut, atau ke Sungai yang lain. Pada beberapa

TINJAUAN PUSTAKA. yang merupakan kesatuan ekosistem dengan sungai dan anak-anak sungainya

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PEMBUATAN PETA TINGKAT KERAWANAN BANJIR SEBAGAI SALAH SATU UPAYA MENGURANGI TINGKAT KERUGIAN AKIBAT BENCANA BANJIR 1 Oleh : Rahardyan Nugroho Adi 2

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2. Lokasi Kabupaten Pidie. Gambar 1. Siklus Hidrologi (Sjarief R dan Robert J, 2005 )

ANALISIS DEBIT BANJIR RANCANGAN BANGUNAN PENAMPUNG AIR KAYANGAN UNTUK SUPLESI KEBUTUHAN AIR BANDARA KULON PROGO DIY

BAB II TEORI DASAR. 2.1 Hidrologi

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daerah Aliran Sungai

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

sumber daya lahan dengan usaha konservasi tanah dan air. Namun, masih perlu ditingkatkan intensitasnya, terutama pada daerah aliran sungai hulu

REKAYASA HIDROLOGI II

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Hujan memiliki peranan penting terhadap keaadaan tanah di berbagai

1267, No Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 49, Tambahan Lem

TINJAUAN PUSTAKA. Daerah Aliran Sungai (DAS) didefinisikan sebagai suatu wilayah yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Gambaran umum Daerah Irigasi Ular Di Kawasan Buluh. Samosir dan Kabupaten Serdang Bedagai pada 18 Desember 2003, semasa

BAB I PENDAHULUAN. penghujan mempunyai curah hujan yang relatif cukup tinggi, dan seringkali

BIOFISIK DAS. LIMPASAN PERMUKAAN dan SUNGAI

Sungai dan Daerah Aliran Sungai

TINJAUAN PUSTAKA. Aliran Permukaan dan Infiltrasi dalam suatu DAS. pengangkut bagian-bagian tanah. Di dalam bahasa Inggris dikenal kata run-off

KAJIAN PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN AIR HUJAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan yang berkelanjutan seperti yang dikehendaki oleh pemerintah

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah ,

BAB I PENDAHULUAN. dalam mengatur tata air, mengurangi erosi dan banjir. Hutan mempunyai

PENGARUH PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP DEBIT PUNCAK PADA SUBDAS BEDOG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. R. Muhammad Isa

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

ANALISA PENINGKATAN NILAI CURVE NUMBER TERHADAP DEBIT BANJIR DAERAH ALIRAN SUNGAI PROGO. Maya Amalia 1)

EVALUASI KAPASITAS SALURAN KALI BELIK YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian

TUJUAN PEKERJAAN DRAINASE

HIDROSFER I. Tujuan Pembelajaran

Perkiraan Koefisien Pengaliran Pada Bagian Hulu DAS Sekayam Berdasarkan Data Debit Aliran

Tommy Tiny Mananoma, Lambertus Tanudjaja Universitas Sam Ratulangi Fakultas Teknik Jurusan Sipil Manado

III. FENOMENA ALIRAN SUNGAI

BAB I PENDAHULUAN. 31 km di atas area seluas 1145 km² di Sumatera Utara, Sumatera, Indonesia. Di

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III METODOLOGI 3.1 METODE ANALISIS DAN PENGOLAHAN DATA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

SKRIPSI PEMODELAN SPASIAL UNTUK IDENTIFIKASI BANJIR GENANGAN DI WILAYAH KOTA SURAKARTA DENGAN PENDEKATAN METODE RASIONAL (RATIONAL RUNOFF METHOD)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya jumlah populasi penduduk pada suatu daerah akan. memenuhi ketersediaan kebutuhan penduduk. Keterbatasan lahan dalam

STUDI PENERAPAN SUMUR RESAPAN DANGKAL PADA SISTEM TATA AIR DI KOMPLEK PERUMAHAN

Kuliah : Rekayasa Hidrologi II TA : Genap 2015/2016 Dosen : 1. Novrianti.,MT. Novrianti.,MT_Rekayasa Hidrologi II 1

Faktor penyebab banjir oleh Sutopo (1999) dalam Ramdan (2004) dibedakan menjadi persoalan banjir yang ditimbulkan oleh kondisi dan peristiwa alam

PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI

TINJAUAN PUSTAKA. secara alamiah. Mulai dari bentuk kecil di bagian hulu sampai besar di bagian

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penggunaan lahan memiliki dimensi ruang yang berkaitan dengan pola penggunaan lahan dan dimensi waktu yang berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan. Bentuk penggunaan lahan suatu wilayah berkaitan dengan pertumbuhan penduduk dan aktivitasnya. Jumlah penduduk yang semakin meningkat diiringi dengan semakin intensifnya aktivitas penduduk di suatu wilayah akan berdampak pada terjadinya perubahan penggunaan lahan. Pertumbuhan dan aktivitas penduduk yang tinggi terutama terjadi di daerah perkotaan sehingga mengalami perubahan penggunaan lahan yang cepat. Kebutuhan lahan sebagai ruang dalam proses pembangunan terus bertambah dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun adanya perubahan penggunaan lahan tersebut dapat menjadi ancaman bagi daya dukung lingkungan di perkotaan. Daerah Istimewa Yogyakarta, khususnya Kota Yogyakarta telah mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Pembangunan infrastruktur perkotaan semakin merata untuk memenuhi kebutuhan fasilitas di Yogyakarta. Perkembangan infrastruktur berupa jalan-jalan yang menghubungkan pusat-pusat kegiatan di Yogyakarta menunjukkan wilayah ini berkembang sesuai dengan konsep tata ruang. Hal ini menunjukkan perkembangan fisik suatu wilayah yang dicirikan dengan semakin luasnya wilayah terbangun. Perkembangan infrastruktur berdampak pada meningkatnya aktivitas ekonomi yang dapat meningkatkan mobilitas penduduk di sekitar pusat kegiatan Kota Yogyakarta. Perkembangan tersebut juga menyebabkan perubahan struktur tata ruang. Desa-desa di pinggiran Kota Yogyakarta yang terletak di Kabupaten Sleman dan Bantul telah menjadi wilayah yang mempunyai ciri kekotaan. Peningkatan infrastruktur dalam kota dan pinggiran kota yang berupa bangunan dan jalan-jalan semakin memperluas lahan yang kedap air. Bangunan-bangunan di perkotaan membutuhkan pemancang yang dalam. Pembuatan pemancang tersebut memerlukan ruang di dalam tanah yang seharusnya untuk airtanah sehingga 1

keberadaan airtanah dangkal menjadi terganggu. Jika lahan yang diperkeras semakin meluas maka proses infiltrasi air hujan ke dalam tanah semakin berkurang. Akibatnya, sebagian air hujan yang jatuh di perkotaan menjadi aliran permukaan atau runoff karena semakin meningkatnya tanah yang kedap air. Implikasi pengelolaan wilayah yang kurang tepat adalah perubahan penggunaan lahan yang tidak terkendali yang umumnya terjadi dalam bentuk perubahan lahan menjadi non-hutan. Hal tersebut memang menguntungkan secara ekonomi, namun dapat berdampak buruk pada respon hidrologi suatu wilayah seperti peningkatan aliran permukaan, penurunan aliran dasar (baseflow), serta peningkatan erosi dan sedimentasi. Peningkatan aliran permukaan dapat menyebabkan terjadinya banjir di musim penghujan. Peningkatan aliran permukaan biasanya juga diikuti oleh peningkatan jumlah tanah yang tererosi sehingga akan meningkatkan jumlah beban sedimentasi pada badan perairan, misalnya saluran sungai. Sub DAS Belik merupakan daerah tangkapan air yang berada di daerah perkotaan. Sub DAS Belik sebagian besar mencakup wilayah Kecamatan Depok, Kecamatan Gondokusuman, dan Kecamatan Umbulharjo seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 1.1. Sub DAS Belik telah beberapa kali terjadi banjir setiap hujan deras akibat dari luapan Kali Belik, bahkan pad akhir tahun 2012 terjadi luapan yang menggenangi rumah warga di Jalan Batikan, Umbulharjo dan mengakibatkan tembok asrama sekolah jebol. Kapasitas sungai sudah tidak mampu menampung aliran air. Penyempitan penampang sungai mengakibatkan kecepatan aliran semakin tinggi pada kondisi debit yang sama besar. Jika kecepatan aliran semakin tinggi dan kapasitas sungai tidak mampu menampung aliran air maka kemungkinan akan terjadi pengikisan tebing-tebing sungai yang semakin intensif. Pengikisan yang terjadi terus menerus dapat mengakibatkan bangunan yang berada di bantaran sungai roboh atau jebol karena terkikis aliran air yang semakin cepat. Wilayah sekitarnya merupakan wilayah terbangun yang menyebabkan air tidak terinfiltrasi dengan baik sehingga terjadi limpasan permukaan dan masuk ke sistem sungai. Limpasan tersebut akhirnya dapat meningkatkan debit aliran. 2

Skala 1: 50.000 Gambar 1.1. Peta Sub DAS Belik Daerah Istimewa Yogyakarta Kejadian banjir seperti tersebut di atas lebih diartikan sebagai banjir limpasan atau di kalangan umum lebih dikenal dengan istilah banjir kiriman karena 3

tipe banjir ini berasal dari aliran limpasan permukaan yang merupakan bagian dari hujan yang mengalir di permukaan tanah sebelum masuk ke sistem sungai. Banjir limpasan memiliki ciri-ciri antara lain debit puncak (Qp) yang tinggi dan waktu datangnya yang sangat cepat. Tipe banjir ini merupakan banjir yang terjadi karena luapan air akibat dari debit banjir yang tidak mampu dialirkan oleh alur sungai karena kapasitas debit banjir melebihi kapasitas daya tampung sungai. Analisis diperlukan untuk mengetahui sumber asal banjir dan daerah-daerah yang sering terjadi banjir dan genangan sehingga dapat dilakukan langkah-langkah pengendalian banjir. Berdasarkan uraian di atas, penelitian mengenai penggunaan lahan yang ditekankan pada pengamatan perubahan penggunaan lahan secara spasial dan temporal pada lingkup sub daerah aliran sungai (DAS) sangat penting dilakukan sebagai salah satu langkah untuk mencegah permasalahan lingkungan yang diakibatkan aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan. Peranan data hidrologi misalnya data curah hujan secara temporal sangat penting sebagai indikator pendukung informasi suatu DAS. Pemanfaatan data penginderaan jauh dan analisis spasial dengan bantuan sistem informasi geografi (SIG) dapat digunakan untuk memperoleh informasi penggunaan lahan aktual dan temporal serta mengkaji pengaruhnya terhadap perubahan debit banjir limpasan. 1.2. Rumusan Masalah Kota Yogyakarta dan Sleman yang semakin mengalami perkembangan dan pertambahan jumlah penduduk dalam kurun waktu tahun 2003 sampai 2012, khususnya Sub DAS Belik menyebabkan kebutuhan akan lahan untuk permukiman, perkantoran, pertokoan, dan fasilitas pendukung lainnya juga semakin meningkat. Hal tersebut memicu terjadinya alih fungsi lahan atau perubahan penggunaan lahan. Pembangunan infrastruktur dalam kota dan pinggiran kota semakin memperluas lahan yang kedap air. Jika lahan yang kedap air semakin luas maka air hujan yang dapat terinfiltrasi ke dalam tanah semakin sedikit. Hal tersebut menyebabkan genangan di beberapa lokasi pada wilayah Sub DAS Belik. 4

Genangan di beberapa lokasi pada wilayah Sub DAS Belik ini terjadi karena peningkatan koefisien limpasan permukaan akibat bertambahnya lahan terbangun. Peningkatan koefisien limpasan permukaan dapat mengakibatkan banjir pada musim penghujan karena peningkatan debit. Kejadian banjir di Sub DAS Belik yaitu pada akhir tahun 2012 lalu menggenangi rumah-rumah warga di Jalan Batikan dan mampu merobohkan tembok bangunan. Sungai Belik telah beberapa kali meluap setiap terjadi hujan deras. Kapasitas sungai sudah tidak mampu menampung debit aliran air. Kecepatan aliran semakin tinggi sedangkan terjadi penyempitan penampang sungai, maka kemungkinan akan terjadi pengikisan tebing-tebing sungai yang intensif. Pengikisan tersebut dapat mengakibatkan bangunan yang berada di bantaran sungai roboh karena terkikis aliran air yang semakin cepat. Berdasarkan uraian yang telah dijelaskan dalam rumusan masalah maka dapat diperoleh pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana perubahan penggunaan lahan secara spasial dan temporal yang terjadi pada tahun 2003 dan 2012 di Sub DAS Belik? 2. Berapa besar debit banjir yang terjadi pada tahun 2003 dan 2012? 3. Bagaimana pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap debit banjir di Sub DAS Belik? 1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengkaji perubahan penggunaan lahan di Sub DAS Belik secara spasial dan temporal pada tahun 2003 dan 2012. 2. Menghitung besar debit banjir di Sub DAS Belik pada tahun 2003 dan 2012 dihubungkan dengan kapasitas sungainya. 3. Menganalisis pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap debit banjir di Sub DAS Belik. 1.3.2. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 5

1. Memberikan saran bagi pemerintah daerah dan masyarakat setempat mengenai dampak perubahan penggunaan lahan terhadap debit limpasan yang terjadi selama rentang waktu yang dikaji untuk penelitian sebagai masukan untuk evaluasi tata ruang wilayah untuk mengendalikan banjir kota. 2. Memberikan evaluasi untuk bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan dalam pengelolaan DAS berkelanjutan. 3. Sebagai referensi tambahan khususnya mengenai hubungan antara perubahan penggunaan lahan dengan debit limpasan dalam penelitian lanjutan. 1.4. Tinjauan Pustaka Hidrologi merupakan cabang ilmu kebumian. Hidrologi adalah ilmu yang berkaitan dengan air di bumi, terjadinya, peredaran dan sebarannya, sifat-sifat kimia dan fisikanya, dan reaksi dengan lingkungannya, termasuk hubungannya dengan makhluk-makhluk hidup (International Glossary of Hidrology, 1974 dalam Seyhan, 1990). Hidrologi memberikan alternatif bagi pengembangan sumberdaya air untuk keperluan air baku, pertanian, industri, dan kelistrikan (Hadisusanto, 2011). Hidrologi telah menjadi ilmu dasar dari pengelolaan sumberdaya air yang terdiri dari pengembangan, persebaran, dan penggunaan sumberdaya air secara terencana karena perkembangannya yang begitu cepat. Banyak proyek di dunia misalnya rekayasa air, pengendalian banjir, sistem drainase, tenaga air, dan lainlain dilakukan dengan terlebih dahulu melaksanakan survei kondisi-kondisi hidrologi. Survei hidrologi meliputi prosedur-prosedur pengumpulan data di lapangan hingga pemrosesan data untuk menghasilkan data yang sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan (Seyhan, 1990). Hidrologi merupakan ilmu yang penting dalam pendugaan, pengembangan, dan penggunaan dana manajemen sumberdaya air yang semakin meningkat realisasinya dalam berbagai level (Achmad, 2011). Ilmu hidrologi lebih banyak didasarkan pada pengetahuan empiris daripada teoretis. Hal tersebut karena banyaknya parameter yang berpengaruh pada kondisi hidrologi suatu daerah, 6

misalnya kondisi klimatologi (angin, suhu udara, kelembaban udara, radiasi matahari) dan kondisi lahan (jenis tanah, tata guna lahan, dan kemiringan lahan). Selain itu, kondisi hidrologi juga sangat dinamis karena dipengaruhi oleh aktivitas manusia seperti perubahan penggunaan lahan dan perubahan tutupan permukaan tanah (Triatmodjo, 2010). Fungsi praktis dari hidrologi adalah untuk membantu analisis terhadap permasalahan yang ada dan memberikan kontribusi terhadap perencanaan dan manajemen sumberdaya air (Chow, 1988). Pemahaman tentang hidrologi akan membantu dalam menyelesaikan masalah seperti kekeringan, banjir, desain saluran irigasi dan bendungan, pengelolaan DAS, degradasi lahan, dan sedimentasi (Achmad, 2011). 1.4.1. Siklus Hidrologi Siklus hidrologi adalah perjalanan air dari permukaan laut kemudian ke atmosfer, menuju ke permukaan, dan kembali lagi ke laut (Asdak, 2010). Air yang jatuh ke bumi dalam bentuk hujan, embun, dan salju akan mengalami berbagai peristiwa, kemudian akan menguap ke udara menjadi awan, selanjutnya dalam bentuk hujan, salju, dan embun jatuh kembali ke bumi. Air tersebut akan tertahan sementara di sungai, danau/waduk, dan dalam tanah. Siklus tersebut tidak pernah berhenti dan merupakan siklus tertutup (Arsyad, 2010). Siklus hidrologi yang merupakan pergerakan air di bumi ditunjukkan oleh Gambar 1.2. Gambar 1.2. Siklus Hidrologi (Sumber: http://www.ilmusipil.com/hidrologi-mempelajari-siklus-air) 7

Air laut menguap karena radiasi matahari menjadi awan kemudian awan bergerak di atas daratan karena tertiup angin. Presipitasi yang terjadi karena adanya tabrakan antara butir-butir uap air akibat desakan angin dapat berbentuk hujan atau salju. Setelah jatuh ke permukaan tanah, akan menimbulkan limpasan (runoff) yang mengalir kembali ke laut. Air tersebut ada yang mengalami perkolasi dan infiltrasi menuju zona jenuh. Air tersebut perlahanlahan melewati akuifer masuk ke sungai atau langsung menuju laut. Air yang tertahan di pemukaan tanah (surface detention) sebagian besar mengalir masuk ke sungai-sungai sebagai limpasan permukaan (surface runoff) ke dalam alur sungai. Permukaan sungai dan danau juga mengalami penguapan (evaporasi) sehingga masih ada lagi air yang menjadi uap. Akhirnya, air yang tidak menguap maupun mengalami infiltrasi kembali ke laut melalui alur-alur sungai (Soemarto, 1995). 1.4.2. Daerah Aliran Sungai (DAS) sebagai Sistem Hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan Daerah Tangkapan Air (DTA) atau catchment area yang merupakan ekosistem dengan unsur utama yaitu sumberdaya alam (tanah, air, vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam (Asdak, 2010). Menurut Harto (1993), DAS merupakan daerah yang semua airnya mengalir ke dalam suatu sungai yang umumnya dibatasi oleh batas topografi dan tidak ditetapkan berdasarkan air bawah tanah karena permukaan airtanah selalu berubah sesuai dengan musim dan tingkat pemakaian. Setiap DAS besar yang bermuara ke laut merupakan gabungan dari beberapa DAS sedang (sub DAS) dan sub DAS merupakan gabungan dari sub DAS kecil-kecil (Soewarno, 1991). Suatu DAS dapat dianggap sebagai sistem yang mengalir. Sistem adalah kumpulan obyek atau subsistem yang bergabung menjadi beberapa bentuk interaksi yang beraturan. Subsistem- subsistem tersebut terdiri dari komponen- 8

komponen dan/atau peubah-peubah yang bersama-sama membentuk subsistem khusus tersebut dan berhubungan dengan subsistem lainnya. Sistem hidrologi suatu DAS ditunjukkan oleh Gambar 1.3. Gambar 1.3. Sistem Daerah Aliran Sungai (DAS) (Sumber: Seyhan, 1990) DAS dapat dianggap sebagai sistem hidrologi yang berarti bahwa suatu DAS berfungsi mengalihragamkan masukan (input) berupa air hujan menjadi keluaran (output) seperti aliran dan sedimen. Komponen dalam sistem DAS terdiri dari berbagai unsur, antara lain adalah unsur fisik, tataguna lahan, dan morfometri DAS. Komponen-komponen tersebut saling berkaitan dan membentuk suatu kesatuan yang teratur. Analisis sistem hidrologi DAS bermanfaat untuk menerjemahkan perilaku komponen DAS yang digunakan untuk mengartikan, menetapkan, dan memperkirakan besaran-besaran komponen tersebut dalam berbagai keadaan dan rentang waktu tertentu (Harto, 1993). MASUKAN STRUKTUR SISTEM DAS biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah, dan hilir dalam mempelajari suatu sistem DAS. Daerah-daerah tersebut memiliki keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Daerah hulu merupakan bagian yang penting karena memiliki fungsi perlindungan terhadap seluruh DAS, khususnya untuk mengatur tata air. Jika terdapat kegiatan di DAS bagian hulu, maka aliran air pada bagian hilir dapat terpengaruh oleh kegiatan tersebut, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Oleh karena itu, bagian hulu seringkali menjadi fokus atau sasaran utama dalam pengelolaan DAS (Asdak, 2010). KELUARAN 1.4.3. Transformasi Hujan Menjadi Aliran Dalam proses transformasi hujan menjadi aliran terdapat beberapa sifat hujan yang penting untuk diperhatikan, antara lain adalah intensitas hujan (I), lama waktu hujan (t), kedalaman hujan (d), frekuensi (f), dan luas daerah 9

pengaruh hujan (Soemarto, 1995). Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air hujan per satuan waktu, artinya intensitas hujan menyatakan besarnya curah hujan dalam jangka pendek yang memberikan gambaran derasnya hujan per jam. Nilai intensitas hujan di suatu tempat diperoleh dari alat penakar hujan yang mampu mencatat besarnya volume hujan dan waktu berlangsungnya hujan sampai hujan tersebut berhenti. Alat penakar hujan yang dimaksud dalam hal ini adalah alat penakar hujan otomatis (Asdak, 1995 dalam Susilowati, 2010). Transformasi hujan menjadi aliran terdiri dari proses-proses yang jumlahnya hampir tak terhingga dalam alur-alur permukaan besar dan kecil. Aliran air dapat dihitung mulai dari curah hujan dan menelusurinya melalui subsistem, namun suatu saat sistemnya terlalu kompleks dan data mengenai karakteristik hidroliknya tidak diperoleh. Hal tersesebut berarti tidak ada rumus yang diturunkan untuk aliran air sebagai fungsi hujan, karakteristik daerah pengaliran, dan kondisi permukaan sehingga diperlukan adanya pendekatan sistem. Pendekatan ini tidak mengidentifikasi terlalu dalam apa yang terjadi dalam sistem tersebut, tetapi lebih mengarah terhadap besarnya konversi diagram input ke diagram output (Astari, 2004). Hujan dan limpasan tidak berhubungan secara langsung. Kedua hal tersebut memiliki perantara berbagai bentuk kehilangan seperti evaporasi, intersepsi, cadangan depresi, dan infiltrasi yang terjadi sesuai dengan karakteristik suatu daerah tangkapan misalnya luasan, kemiringan, bentuk, ketinggian, geologi, dan tata guna lahan. Plotting langsung dari curah hujan dan limpasan untuk hujan tunggal biasanya tidak menghasilkan korelasi yang memuaskan sehingga diperlukan sebuah model hidrologi. Model hidrologi merupakan representasi sederhana dari sebuah sistem hidrologi yang kompleks. Konsep dasar yang dipakai pada setiap model hidrologi adalah siklus hidrologi. Titik berat analisis dalam penyusunan model hidrologi adalah proses transformasi atau pengalihragaman hujan menjadi debit dalam suatu DAS. 10

1.4.4. Limpasan (Runoff) Limpasan adalah semua air yang bergerak keluar dari daerah pengaliran ke suatu aliran permukaan (surface stream), tidak memperhatikan rutenya apakah melewati atas permukaan (surface) atau bawah permukaan (subsurface) (Soemarto, 1995). Limpasan tergiri dari tiga komponen, yaitu limpasan permukaan (surface runoff), aliran antara (interflow), dan aliran bawah tanah (baseflow). Penelitian ini lebih menekankan pada bahasan limpasan permukaan. Limpasan permukaan (surface runoff) merupakan air hujan yang mengalir dalam bentuk lapisan tipis di atas permukaan lahan masuk ke saluran-saluran dan bergabung dengan aliran sungai (Triatmodjo, 2010). Limpasan permukaan terjadi akibat air hujan yang jatuh ke permukaan tidak menguap, berinfiltrasi, maupun masuk ke dalam cekungan-cekungan. Suripin (2004) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi limpasan dikelompokkan menjadi dua, yaitu faktor meteorologis dan faktor karakteristik DAS. Faktor-faktor meteorologis yang mempengaruhi limpasan terutama adalah karakteristik curah hujan suatu DAS. Faktor- faktor karakteristik DAS yang mempengaruhi limpasan diantaranya adalah luas dan bentuk DAS, topografi, dan tataguna lahan. 1. Faktor Meteorologis Intensitas hujan Pengaruh intensitas hujan tergantung pada laju infiltrasi. Apabila intensitas hujan melebihi laju infiltrasi meningkat, maka kemungkinan akan meningkatkan limpasan permukaan seiring dengan meningkatnya curah hujan. Intensitas hujan tidak selalu berbanding lurus dengan limpasan karena adanya genangan di permukaan, namun sudah pasti intensitas ini berpengaruh pada debit dan volume limpasan. Durasi hujan Durasi hujan dengan intensitas tertentu berpengaruh pada limpasan total. Setiap DAS memiliki satuan durasi hujan atau lama hujan kritis. Apabila hujan kritis yang terjadi lebih lama dibandingkan lama hujan, 11

maka lamanya limpasan akan sama dan tidak tergantung pada intensitas hujan. Distribusi curah hujan Pada dasarnya, laju dan volume limpasan maksimum akan dicapai ketika seluruh DAS telah memberi kontribusi pada aliran, namun kenyataannya intensitas hujan yang lebih tinggi pada sebagian DAS akan menghasilkan limpasan yang lebih besar dibandingkan intensitas hujan sedang yang merata di seluruh DAS. Karakteristik distribusi hujan dinyatakan dalam koefisien distribusi yang merupakan perbandingan antara hujan tertinggi di suatu titik dengan hujan rata-rata DAS. 2. Faktor Karakteristik DAS Luas dan bentuk DAS Semakin luas suatu DAS, laju dan volume limpasan akan meningkat tetapi limpasan atau aliran yang dinyatakan dalam laju dan volume per satuan luas, besarnya akan berkurang seiring bertambahnya luas suatu DAS. Hal ini berkaitan dengan waktu yang diperlukan air untuk mengalir dari titik terjauh sampai titik kontrol (waktu konsentrasi). Pengaruh bentuk DAS terhadap limpasan terletak pada pola aliran dalam sungai. Topografi DAS dengan kemiringan curam dengan saluran yang rapat akan menghasilkan laju dan volume limpasan yang lebih besar daripada DAS yang landai dengan saluran yang jarang dan terdapat banyak cekungan. Saluran yang rapat pada suatu DAS akan memperpendek waktu konsentrasi sehingga meningkatkan volume dan laju limpasan permukaan. Tataguna lahan Daerah hutan dengan vegetasi yang lebat akan menghasilkan limpasan yang kecil karena kapasitas infiltrasinya besar. Jika vegetasi di daerah tersebut dihilangkan dan dibiarkan menjadi lahan kosong, akan terjadi pemampatan tanah sehingga infiltrasi terhambat. Hal tersebut 12

dapat menghasilkan limpasan yang lebih besar. Air hujan akan mudah terakumulasi di sungai-sungai dengan kecepatan tinggi dan dapat menyebabkan banjir. Pola limpasan menurut daerah dapat menimbulkan variasi dalam bentuk hidrograf. Bila daerah yang limpasannya tinggi terletak dekat dengan basin outlet, maka biasanya akan dihasilkan kenaikan yang cepat dan puncak yang tajam. Sebaliknya limpasan yang lebih tinggi di bagian hulu daerah aliran tersebut menghasilkan kenaikan yang lambat dan puncak yang lebih rendah dan lebar (Linsley, 1996). 1.4.5. Perubahan Penggunaan Lahan Penggunaan lahan adalah usaha manusia dalam memanfaatkan lingkungan alamnya yang berupa bentuk kegiatan pemanfaatan lahan, misalnya pertanian, perkebunan, tegalan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu (Ritohardoyo, 2009). Penggunaan lahan dapat dikelompokkan menurut berbagai cara, tetapi secara umum dapat dikelompokkan ke dalam dua kelompok yaitu penggunaan lahan pedesaan dan penggunaan lahan perkotaan dan industri. Penggunaan lahan pedesaan meliputi pertanian, padang rumput, dan kehutanan sedangkan penggunaan lahan perkotaan dan industri meliputi kota, industri, tempat rekreasi, jalan raya dan aktivitas pertambangan (Vink, 1975). Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda. Proses perubahan penggunaan lahan pada dasarnya merupakan akibat dari adanya pertumbuhan dan transformasi struktur sosial-ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Perkembangan tersebut terlihat dengan adanya pertumbuhan aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam akibat meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan per kapita serta adanya pergeseran kontribusi sektor pembangunan 13

dari sektor pertanian dan pengolahan sumberdaya alam ke aktivitas sektor sekunder (manufaktur) dan tersier (jasa) (Hardjowigeno, 2007). Adanya penggundulan hutan merupakan dampak nyata perubahan penggunaan lahan terhadap lingkungan. Dalam skala global, penggundulan hutan mengakibatkan keseimbangan karbondioksida terganggu yang berpengaruh pada iklim. Fenomena tersebut juga menyebabkan banjir dan sedimentasi di daerah hilir meningkat (Mather, 1986). Arus urbanisasi yang semakin meningkat di daerah perkotaan juga memicu perubahan penggunaan lahan, terutama konversi lahan menjadi permukiman. Hal tersebut karena manusia membutuhkan ruang untuk tempat tinggal. Bertambahnya jumlah lahan terbangun di perkotaan mengakibatkan pemadatan tanah sehingga daerah resapan air semakin berkurang. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi di DAS pada dasarnya bersifat dinamis mengikuti perkembangan penduduk dan pola pembangunan wilayah, namun perubahan pola penggunaan lahan yang tidak terkendali dan terencana dapat berpengaruh buruk terhadap daya dukung DAS terutama jika terjadi pada daerah hulu. Dampak yang ditimbulkan tidak hanya pada bagian hulu tersebut, tetapi juga pada bagian hilir. Dampak yang paling mendasar adalah perubahan aliran permukaan atau limpasan permukaan yang meliputi perubahan karaktersitik debit puncak aliran dan perubahan volume limpasan (Hartanto, 2009). 1.4.6. Analisis Curah Hujan 1.4.6.1. Hujan Rancangan Karakteristik hujan yang perlu untuk diketahui adalah intensitas hujan yang biasa dinyatakan dalam mm/jam, jumlah hujan dalam satuan waktu (harian, mingguan, bulanan, tahunan), serta distribusi hujan dalam ruang dan waktu. Karakteristik distribusi hujan dalam ruang berhubungan dengan perhitungan volume hujan yang jatuh dalam suatu DAS (Sudjarwadi, 1987). Analisis hujan-aliran untuk memperkirakan debit banjir rancangan diperlukan masukan hujan rancangan ke dalam suatu sistem DAS. Hujan rancangan dapat 14

berupa kedalaman hujan di suatu titik atau hietograf hujan rancangan yang merupakan distrubusi hujan sebagai fungsi waktu selama hujan deras (Triatmodjo, 2010). Hujan rancangan didistribusikan ke dalam kedalaman hujan jam-jaman. Hujan rancangan yang akan diubah ke dalam besaran hujan jam-jaman memerlukan suatu pola distribusi hujan jam-jaman. Jika data yang tersedia adalah hujan haian, maka hujan jam-jaman dari hujan rancangan didapatkan dengan menggunakan model distribusi hujan. Pencatatan hujan biasanya dalam bentuk data hujan harian, jam-jaman atau menitan. Pencatatan dilakukan dengan interval waktu pendek supaya distribusi hujan selama terjadinya hujan dapat diketahui. Distribusi hujan yang terjadi digunakan sebagai masukan untuk mendapatkan hidrograf aliran. Parameter hujan seperti durasi dan pola distribusi biasanya tidak diketahui dalam analisis hidrograf banjir rancangan dengan masukan hujan rancangan dengan periode ulang tertentu yang diperoleh dari analisis frekuensi. Beberapa metode yang dapat digunakan untuk menentukan distribusi hujan rancangan adalah Tadashi Tanimoto, Mononobe, dan Alternating Block Method (ABM). 1.4.6.2. Intensitas-Durasi-Frekuensi (IDF) Intensitas hujan adalah tinggi atau kedalaman air per satuan waktu (Suripin, 2004). Intensitas hujan juga dapat diartikan sebagai ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu dimana air tersebut terkonsentrasi (Loebis, 1992 dalam Suroso, 2006). Durasi hujan adalah lamanya suatu kejadian hujan (Sudjarwadi, 1987). Hujan memiliki sifat umum yaitu semakin singkat hujan berlangsung, intensitasnya cenderung semakin tinggi dan semakin besar periode ulangnya, semakin tinggi pula intensitasnya. Hubungan antara intensitas, lama hujan, dan frekuensi hujan dinyatakan dalam lengkung Intensitas-Durasi-Frekuensi (Intensity-duration-Frequency (IDF) Curve). Lengkung IDF dapat dibentuk dengan data hujan jangka pendek, misalnya 5 menit, 10 menit, 30 menit, dan jam-jaman. Data hujan 15

jenis ini hanya dapat diperoleh melalui penakar hujan otomatis (Suripin, 2004). Menurut Harto (1993) analisis IDF memerlukan analisis frekuensi dengan menggunakan seri data hujan yang diperoleh dari rekaman data hujan. Jika tidak tersedia cukup waktu untuk mengamati besarnya intensitas hujan atau tidak tersedia alat, maka intensitas hujan dapat ditentukan menggunakan rumus-rumus empiris seperti rumus Talbot, Sherman, dan Ishiguro. Besar intensitas hujan tidak sama di semua tempat karena dipengaruhi oleh topografi, durasi dan frekuensi di tempat yang bersangkutan. Ketiga hal tersebut dijadikan pertimbangan dalam pembuatan lengkung IDF. Lengkung IDF digunakan dalam menghitung debit puncak dengan metode rasional untuk menentukan intensitas curah hujan dari waktu konsentrasi yang dipilih (Sosrodarsono dan Takeda, 1993). 1.4.6.3. Waktu Konsentrasi (Tc) Waktu konsentrasi Tc (time of concentration) adalah waktu tempuh yang diperlukan oleh air dari tempat yang paling jauh (hulu DAS) sampai ke titik pengamatan aliran air (outlet) (Asdak, 2010). Hal tersebut terjadi ketika tanah sepanjang kedua titik tersebut telah jenuh dan semua cekungan telah terisi seluruhnya oleh air hujan. Jika lama waktu hujan diasumsikan sama dengan Tc artinya seluruh bagian DAS tersebut telah ikut berperan dalam terjadinya aliran air yang sampai ke titik pengamatan. Waktu konsentrasi tergantung pada karakteristik daerah tangkapan, tataguna lahan, dan jarak lintasan air dari titik terjauh sampai titik yang diamati (Triatmodjo, 2010). Menurut Hadisusanto (2011) waktu konsentrasi juga disebut sebagai waktu tiba banjir. Waktu konsentrasi merupakan elemen yang penting dalam perhitungan debit banjir menggunakan rumus rasional. Rumus rasional menggunakan intensitas hujan rata-rata selama waktu tiba banjir dalam perhitungan debit banjir. Salah satu metode untuk memperkirakan waktu konsentrasi adalah rumus yang dikembangkan oleh Kirpich pada tahun 1940, yaitu sebagai berikut. 16

Tc = 0,0195 L 0,77 S 0,385 Tc adalah waktu konsentrasi (menit), L adalah panjang maksimum aliran (meter), dan S adalah kemiringan rata-rata saluran. 1.4.7. Koefisien Limpasan Koefisien limpasan (C) merupakan bilangan yang menunjukkan perbandingan antara besarnya limpasan permukaan dengan besarnya curah hujan. Nilai koefisien limpasan salah satunya tergantung pada penggunaan lahan suatu DAS. Nilai koefisien limpasan digunakan sebagai salah satu indikator kondisi fisik suatu DAS. Nilai tersebut berkisar antara 0-1. Semakin mendekati nilai 0 maka semakin baik kondisi suatu DAS, sedangkan semakin mendekati nilai 1 maka kondisi DAS semakin kritis (Suripin, 2004). Semakin besar nilai C artinya air yang menjadi limpasan semakin besar sehingga air yang menjadi cadangan airtanah berkurang dan memperbesar kemungkinan terjadinya banjir (Asdak, 2010). Koefisien limpasan adalah cara mudah yang digunakan untuk menggambarkan rasio dari rata-rata aliran dengan rata-rata hujan yang terjadi (Hudson, 2005). Jika hujan yang terjadi kecil atau sedang, limpasan permukaan hanya terjadi pada daerah yang impermeabel dan jenuh di dalam DAS. Jika hujan yang jatuh jumlahnya lebih besar dari jumlah air yang dibutuhkan untuk evaporasi, intersepsi, infiltrasi, simpanan depresi, dan cadangan depresi, maka akan terjadi limpasan permukaan (Kodoatie dan Sugiyanto, 2002). 1.4.8. Prakiraan Debit Banjir dengan Metode Rasional Metode rasional merupakan salah satu metode yang paling lama digunakan, hanya untuk memperkirakan aliran permukaan (Wanielista, 1990). Metode rasional disusun dengan asumsi bahwa banjir berasal dari hujan yang mempunyai intensitas curah hujan seragam dan berlangsung dalam waktu panjang pada daerah aliran sungai. Metode tersebut menggambarkan hubungan antara hujan dan aliran dengan asumsi bahwa hujan mempunyai intensitas (I) 17

yang seragam dan merata di seluruh DAS selama minimal sama dengan waktu konsentrasi (Tc). Metode rasional pada umumnya digunakan untuk memperkirakan debit puncak yang ditimbulkan oleh hujan deras yang jatuh pada daerah tangkapan atau DAS yang kecil, tidak melebihi 50 km 2. Suatu DAS disebut kecil apabila distribusi hujan dapat dianggap seragam dalam ruang dan waktu, serta biasanya durasi hujan melebihi waktu konsentrasi. Penggunaan metode rasional sangat sederhana dan sering digunakan dalam perencanaan sistem drainase perkotaan. Persamaan metode rasional adalah sebagai berikut. Q = 0,278 C I A Keterangan: Q: debit puncak yang ditimbulkan oleh hujan dengan intensitas, durasi, dan frekuensi tertentu (m 3 /detik) C: koefisien aliran tergantung pada jenis penggunaan lahan I: intensitas hujan (mm/jam) A: luas daerah tangkapan/das (km 2 ) Rumus rasional tersebut dapat diartikan yaitu jika terjadi hujan selama 1 jam dengan intensitas hujan 1 mm/jam pada daerah aliran sungai seluas 1 km 2, dengan asumsi besarnya koefisien aliran (C)=1, maka debit banjir yang terjadi sebesar 0,278 m 3 /detik (Hadisusanto, 2011). 1.4.9. Faktor Penyebab Banjir dan Genangan di Perkotaan Banjir terjadi karena alur sungai tidak memiliki kapasitas cukup bagi debit aliran yang melalui sungai sehingga timbul luapan pada daerah yang berada di kanan dan kiri sungai. Catatan-catatan mengenai peristiwa banjir di Indonesia menunjukkan bahwa sungai-sungai di Indonesia memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Perbedaan karakteristik sungai kaitannya dengan fenomena bajir disebabkan oleh banyak faktor (Sudjarwadi, 1987). Ada lima faktor penting penyebab banjir di Indonesia, yaitu faktor hujan, faktor hancurnya retensi DAS, kesalahan perencanaan pembangunan alur sungai, pendangkalan sungai, dan faktor kesalahan tata wilayah serta 18

pembangunan sarana-prasarana. Perubahan fisik yang terjadi di DAS akan berpengaruh langsung terhadap kemampuan retensi DAS terhadap banjir. Retensi DAS merupakan kemampuan DAS untuk menahan air di bagian hulu. Alih fungsi lahan misalnya dari hutan menjadi perumahan akan menyebabkan retensi DAS berkurang secara drastis. Seluruh air hujan akan dilepaskan ke bagian hilir. Semakin besar retensi suatu DAS, maka semakin baik karena air hujan dapat diresapkan dengan baik hingga secara perlahan dialirkan ke sungai sehingga tidak menimbulkan banjir (Maryono, 2005). Daerah perkotaan dapat terkena banjir karena sungai, pesisir pantai, curah hujan dan luapan airtanah, dan kegagalan sistem artifisial. Penelitian ini fokus pada banjir akibat luapan sungai. Banjir perkotaan berawal dari hasil kombinasi kejadian meteorologis dan hidrologis, misalnya pengendapan dan aliran yang ekstrim. Banjir juga dapat terjadi karena kegiatan-kegiatan manusia, termasuk pertumbuhan dan perkembangan kota yang tidak terencana untuk dataran banjir maupun kerusakan bendungan yang gagal dalam pembangunan yang telah direncanakan (Jha, 2012). Aktivitas manusia meningkat karena arus urbanisasi semakin meningkat. Pengaruh urbanisasi secara umum pada karakteristik suatu DAS adalah berkurangnya infiltrasi ke dalam tanah dan meningkatkan kecepatan aliran. Pengaruh urbanisasi dari keseluruhan respon DAS cenderung meningkatkan frekuensi banjir. Urbanisasi juga berpengaruh pada keseimbangan air karena perubahan pola drainase (Wohl, 2000 dalam Mansell, 2003). Alur sungai mendapat masukan berupa limpasan dari curah hujan yang bergerak sebagai overlandflow maupun aliran bawah permukaan (subsurface flow). Banjir terjadi ketika limpasan dalam volume besar mengalir dengan cepat ke dalam saluran-saluran dan sungai. Debit puncak banjir dipengaruhi oleh banyak faktor, diantaranya adalah intensitas dan durasi hujan, topografi dan geologi, vegetasi, serta kondisi hidrologi sebelum hujan. Genangan akibat banjir di daerah perkotaan dinilai lebih penting dari daerah yang masih kosong di pedesaan. Penggenangan banjir di perkotaan mengakibatkan kerugian yang jauh lebih besar dibandingkan di pedesaan. 19

Kerugian yang ditimbulkan akibat banjir di perkotaan dapat berupa kerugian harta benda, terganggunya arus lalu lintas dan kegiatan penduduk, penyakit, dan lain sebagainya. Genangan air yang terjadi di perdesaan mungkin hanya mengakibatkan terputusnya hubungan lalu lintas kendaraan selama beberapa waktu. Umumnya dampak ini tidak terlalu berpengaruh pada kehidupan masyarakat karena frekuensi lalu lintas masih rendah (Subarkah, 1980). Dampak hidrologis yang cukup besar akibat pembangunan perkotaan seringkali terjadi pada daerah aliran sungai yang kecil. Sebelum pembangunan yang semakin meningkat, banyak curah hujan yang jatuh di lembah akan menjadi aliran bawah permukaan, pengisian akuifer atau pemanfaatan ke jaringan aliran hilir. Pembangunan perkotaan benar-benar dapat mengubah bentangalam pada daerah aliran sungai yang kecil, tidak seperti pada daerah aliran sungai yang lebih besar dengan vegetasi alam dan tanah yang masih dipertahankan (Konrad, 2003). 1.4.10. Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai hubungan antara perubahan penggunaan lahan dengan perubahan debit banjir telah dilakukan beberapa kali pada daerah kajian yang berbeda dan metode yang berbeda pula. Perbedaan penelitian kali ini dengan penelitian yang pernah dilakukan adalah daerah kajian dan metode yang digunakan. Daerah kajian merupakan Sub DAS di wilayah perkotaan sedangkan penelitian sebelumnya mengkaji DAS dengan perkembangan kota yang tidak terlalu dominan. Penelitian ini menggunakan metode rasional untuk menentukan debit puncak dan slope area method untuk mengetahui debit maksimum yang dapat ditampung oleh sungai. Metode tersebut lebih sesuai digunakan pada penelitian kali ini karena cakupan wilayahnya relatif kecil dan sebagian besar penggunaan lahannya berupa permukiman dan bangunan. Hasil dari penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa perubahan penggunaan lahan menyebabkan terjadinya kenaikan debit puncak. Tabel 1.1 merupakan tabel perbandingan dan ringkasan dari penelitian yang pernah dilakukan. 20

Peneliti Farida (2006) Daerah Kajian Sub DAS 1. Mengetahui besarnya Tmbakbayan, pengaruh perubahan Sleman, penggunaan lahan Daerah terhadap respon DAS Istimewa di sub DAS Yogyakarta Tambakbayan. 2. Mengestimasi besarnya debit puncak sebagai respon DAS menggunakan metode rasional modifikasi di Sub DAS Tambakbayan. Tabel 1.1. Penelitian Sebelumnya Tujuan Metode Hasil 1. Metode Cook dan Bransby-William untuk menentukan koefisien aliran. 2. Metode Rasional Modifikasi pendekatan Cook dan Bransby- William untuk menentukan debit puncak. 1. Perubahan penggunaan lahan pada periode tahun 1992 dan 2006 menyebabkan terjadinya perubahan respon DAS terhadap hujan, yaitu menyebabkan terjadinya peningkatan koefisien aliran sebesar 1,63% dengan metode Cook dan 2,01% menggunakan metode Bransby-William. 2. Hasil prediksi debit puncak dengan model rasional modifikasi pendekatan cook menghasilkan nila sebesar 9,347 m 3 /detik dan 8,897 m 3 /detik menggunakan rasional modifikasi metode Bransby William. Fitra (2009) Sub DAS bagian hulu Waduk Cacaban, Tegal, Jawa Tengah 1. Mengetahui sebaran hujan wilayah di daerah penelitian. 2. Mengetahui nilai intensitas hujan harian maksimum rancangan di daerah penelitian. 3. Mengetahui nilai debit banjir maksimum di daerah penelitian. 4. Mengetahui peranan masing-masing sub DAS di hulu waduk terhadap pengaliran air hujan saat kondisi hujan deras. 1. Metode Poligon Thiessen untuk menentukan hujan wilayah. 2. Analisis frekuensi. 3. Metode rasional untuk analisis debit banjir maksimum 4. Analisis deskriptif 1. Hujan wilayah daerah penelitian selama 21 tahun (1983-2003) sebesar 145,011 mm/jam. 2. Besarnya debit maksimum antara DAS Cacaban Wetan, DAS Cacaban Kulon, dan DAS Curih Agung berbedabeda, debit banjir maksimum tertinggi terjadi pada DAS Cacaban Kulon. 3. Besarnya waktu konsentrasi masingmasing sub DAS jauh lebih kecil dibandingkan dengan durasi hujan yang terjadi karena air hujan yang dialirkan melalui masing-masing sub DAS sudah mencapai waduk sebelum hujan berhenti. 21

Peneliti Aviani (2010) Utami (2014) Daerah Kajian Sub DAS Code, Daerah Istimewa Yogyakarta Sub DAS Belik, Daerah Istimewa Yogyakarta Lanjutan Tabel 1.1. Tujuan Metode Hasil 1. Mengetahui besarnya perubahan tata guna lahan yang terjadi pada tahun 1996-2006 yang mengakibatkan peningkatan koefisien aliran pada Sub DAS Code. 2. Mengestimasi besarnya debit puncak banjir tahun 1996 dan 2006 dengan menggunakan model rasional modifikasi 1. Mengkaji perubahan penggunaan lahan di Sub DAS Belik secara spasial dan temporal pada tahun 2003 dan 2012. 2. Menghitung besar debit limpasan yang terjadi pada tahun 2003 dan 2012. 3. Menganalisis pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap debit limpasan di sub DAS Belik 1. Metode Cook untuk menentukan koefisien aliran 2. Metode Rasional Modifikasi untuk menentukan debit puncak 1. Analisis IDF dan rumus Mononobe untuk menentukan intensitas curah hujan rancangan. 2. Metode Rasional untuk menentukan besarnya debit limpasan dan Metode Slope Area untuk menentukan kapasitas sungai 3. Analisis deskriptif untuk menjelaskan pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap debit banjir limpasan 1. Sub DAS Code mengalami perubahan penggunaan lahan pada periode tahun 1996 dan 2006. Konversi lahan pertanian menjadi permukiman sebesar 0,22% menyebabkan terjadinya peningkatan koefisien aliran sebesar 3,03%. 2. Peningkatan debit aliran sebesar 13,43 m3/detik antara tahun 1996-2003. Hasil yang diharapkan: 1. Perbandingan penggunaan lahan di Sub DAS Belik dan perubahannya antara tahun 2003 dan 2012. 2. Prediksi debit banjir limpasan yang terjadi di Sub DAS Belik dihubungkan dengan kapasitas sungai. 3. Adanya pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap debit banjir limpasan di Sub DAS Belik 22

1.5. Kerangka Pemikiran Kota merupakan pusat kegiatan masyarakat. Tuntutan akan kebutuhan lahan untuk perkantoran, pertokoan, dan fasilitas pendukung lainnya semakin menigkat seiring dengan berjalannya waktu. Hal ini menyebabkan infrastruktur kota berkembang pesat seperti yang terjadi di Kota Yogyakarta yang sebagian daerahnya merupakan Daerah Aliran Sungai Belik. Semakin meningkatnya jumlah kawasan terbangun mengakibatkan genangan di beberapa lokasi ketika terjadi hujan. Apabila intensitas hujan yang jatuh di suatu DAS melebihi kapasitas infiltrasi, air akan mengisi cekungan-cekungan di permukaan tanah setelah laju infiltrasi terpenuhi. Setelah cekungan-cekungan tersebut penuh, selanjutnya air akan mengalir atau melimpas di atas permukaan tanah. Limpasan permukaan (surface runoff) yang merupakan air hujan yang mengalir dalam bentuk lapisan tipis di atas permukaan lahan akan masuk ke saluran-saluran seperti parit dan selokan kemudian menuju anak sungai dan menjadi bagian dari aliran sungai. Penggunaan lahan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap aliran permukaan. Penutup lahan akan memengaruhi besarnya infiltrasi dan aliran dari suatu kejadian hujan. Penggunaan lahan yang berubah menjadi bangunan gedung dan permukiman di Sub DAS Belik akan menghambat infiltrasi air ke dalam tanah dan merubah besarnya aliran air hujan yang jatuh di permukaan. Perubahan aliran dapat diidentifikasi dengan menggunakan pendekatan koefisien aliran. Koefisien aliran tersebut digunakan untuk mengetahui perbandingan hujan yang jatuh dengan besarnya aliran yang terjadi. Koefisien aliran pada umumnya dipengaruhi oleh penggunaan lahan, jenis tanah, luas DAS, karakteristik jaringan sungai, dan topografi. Karakteristik DAS tersebut akan memengaruhi respon DAS terhadap hujan yang jatuh sehingga besarnya evaporasi, infiltrasi, aliran permukaan, dan kandungan airtanah akan berbeda setiap DAS. Pengaruh perubahan penggunaan lahan dapat diketahui dengan suatu pendekatan hidrologi seperti pendekatan dengan debit aliran tahunan dan kecenderungan perubahannya, tebal aliran, dan koefisien aliran atau limpasan. Apabila debit aliran semakin meningkat maka dapat diketahui bahwa perubahan penggunaan lahan berpengaruh negatif terhadap suatu DAS. Analisis deskriptif 23

dengan melihat hubungan antara koefisien limpasan (C) dan debit banjir dapat digunakan untuk mengetahui hubungan perubahan penggunaan lahan terhadap peningkatan debit aliran. Curah Hujan Pertumbuhan penduduk Meningkatnya aktivitas penduduk Meningkatnya kebutuhan lahan Keterbatasan lahan Alih fungsi lahan Peta perubahan penggunaan lahan Berkembangnya infrastruktur perkotaan Tanah kedap air Limpasan permukaan Perubahan koefisien limpasan Peta distribusi koefisien limpasan Peningkatan debit banjir Kapasitas maksimum sungai terlampaui Evaluasi debit limpasan akibat perubahan penggunaan lahan Gambar 1.4. Diagram Alir Kerangka Pemikiran 24

Identifikasi lebih lanjut untuk mengevaluasi suatu DAS memerlukan data besarnya hujan harian dan penggunaan lahan yang diinterpretasi dari citra satelit. Penelitian ini akan menganalisis data hujan rata-rata harian maksimum selama beberapa tahun untuk memperoleh hujan maksimum rancangan dengan periode ulang tertentu. Hasil tersebut kemudian dihubungkan dengan perubahan koefisien aliran untuk mengetahui besarnya debit maksimum yang terjadi pada waktu tersebut. Hasil analisis debit dihubungkan dengan perubahan penggunaan lahan di daerah kajian sehingga dapat diketahui pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap debit banjir yang terjadi. Kapasitas sungai digunakan sebagai bahan evaluasi apakah sungai masih mampu menampung debit yang melaluinya. Diagram alir kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.4. 1.6. Batasan Operasional Analisis frekuensi adalah analisis yang didasarkan pada sifat statistik data yang tersedia untuk memperoleh probabilitas besaran data di waktu yang akan datang (Harto, 1993). Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama (Asdak, 2010). Distribusi frekuensi adalah suatu distribusi yang mengelompokkan data yang belum terkelompok menjadi data kelompok (Soewarno, 1995). Debit banjir maksimum rancangan merupakan volume air yang mengalir per satuan waktu yang diakibatkan oleh hujan maksimum dengan periode ulang tertentu (Sosrodarsono dan Takeda, 1993) Durasi hujan adalah lama waktu berlangsungnya hujan (Sudjarwadi, 1987). Hujan harian maksimum adalah hujan harian yang paling besar terjadi dalam setahun (Harto, 1883). Hujan rancangan adalah hujan yang ditentukan dengan periode ulang tertentu (Triatmodjo, 2010). Intensitas hujan adalah tebal hujan per satuan waktu (Sudjarwadi, 1987). 25

Kala ulang adalah waktu hipotetik dimana hujan atau banjir dengan suatu besaran tertentu akan disamai atau dilampaui sekali dalam jangka waktu tersebut (Harto, 1993). Kapasitas sungai adalah kemampuan saluran sungai untuk melewatkan debit. Kedap air adalah suatu sifat lahan yang tidak dapat meresapkan air. Koefisien limpasan (C) merupakan bilangan yang menunjukkan perbandingan antara besarnya limpasan permukaan dengan besarnya curah hujan (Asdak, 2010). Limpasan permukaan adalah air hujan yang mengalir dalam bentuk lapisan tipis di atas permukaan lahan masuk ke saluran-saluran dan bergabung dengan aliran sungai (Triatmodjo, 2010). Perubahan penggunaan lahan adalah bertambahnya suatu penggunaan lahan dari satu sisi penggunaan diikuti dengan berkurangnya tipe penggunaan lahan yang lain dari suatu waktu ke waktu berikutnya, atau berubahnya fungsi suatu lahan pada kurun waktu yang berbeda (Hardjowigeno, 2007). Waktu konsentrasi waktu tempuh yang diperlukan oleh air dari tempat yang paling jauh (hulu DAS) sampai ke titik pengamatan aliran air (outlet) (Asdak, 2010). 26