PENGARUH VARIASI TEMPERATUR PADA PROSES HARDENING TERHADAP KEKERASAN, STRUKTUR MICRO BAJA AISI DENGAN MEDIA PENDINGIN Oleh: DEDI SUPRIANTO

dokumen-dokumen yang mirip
Heat Treatment Pada Logam. Posted on 13 Januari 2013 by Andar Kusuma. Proses Perlakuan Panas Pada Baja

HEAT TREATMENT. Pembentukan struktur martensit terjadi melalui proses pendinginan cepat (quench) dari fasa austenit (struktur FCC Face Centered Cubic)

ANALISA PERUBAHAN DIMENSI BAJA AISI 1045 SETELAH PROSES PERLAKUAN PANAS (HEAT TREATMENT)

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1. PERLAKUAN PANAS

PENGARUH PROSES HARDENING PADA BAJA HQ 7 AISI 4140 DENGAN MEDIA OLI DAN AIR TERHADAP SIFAT MEKANIS DAN STRUKTUR MIKRO

Karakterisasi Material Bucket Teeth Excavator 2016

MATERIAL TEKNIK DIAGRAM FASE

METODE PENINGKATAN TEGANGAN TARIK DAN KEKERASAN PADA BAJA KARBON RENDAH MELALUI BAJA FASA GANDA

PENGARUH TEMPERATUR DAN HOLDING TIME DENGAN PENDINGIN YAMACOOLANT TERHADAP BAJA ASSAB 760

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

PENGARUH MULTIPLE QUECHING TERHADAP PERUBAHAN KEKERASAN DAN STRUKTUR MIKRO PADA BAJA ASSAB 760

MATERIAL TEKNIK 5 IWAN PONGO,ST,MT

PENINGKATAN KEKAKUAN PEGAS DAUN DENGAN CARA QUENCHING

Karakterisasi Material Sprocket

ANALISIS PROSES TEMPERING PADA BAJA DENGAN KANDUNGAN KARBON 0,46% HASILSPRAY QUENCH

Karakterisrik Mekanik Proses Hardening Baja Aisi 1045 Media Quenching Untuk Aplikasi Sprochet Rantai

ANALISA PENGARUH TEMPERATUR PADA PROSES TEMPERING TERHADAP SIFAT MEKANIS DAN STRUKTUR MIKRO BAJA AISI 4340

ANALISA PENGARUH MANIPULASI PROSES TEMPERING TERHADAP PENINGKATAN SIFAT MEKANIS POROS POMPA AIR AISI 1045

Laporan Praktikum Struktur dan Sifat Material 2013

PENGARUH PROSES PERLAKUAN PANAS TERHADAP KEKERASAN DAN STRUKTUR MIKRO BAJA AISI 310S

PERLAKUAN PANAS (HEAT TREATMENT)

PENGARUH PERLAKUAN TEMPERING TERHADAP KEKERASAN DAN KEKUATAN IMPAK BAJA JIS G 4051 S15C SEBAGAI BAHAN KONSTRUKSI. Purnomo *)

ANALISA PENGARUH TEMPERATUR TEMPERING TERHADAP STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT MEKANIK PADA BAJA AAR-M201 GRADE E

VARIASI TEMPERATUR PEMANASAN PADA PROSES PERLAKUAN PANAS TERHADAP KEKERASAN DENGAN MATERIAL SS 304L

I. PENDAHULUAN. Definisi baja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah suatu benda

PRAKTIKUM JOMINY HARDENABILITY TEST

BAB IV PEMBAHASAN. BAB IV Pembahasan 69

PENGARUH MEDIA PENDINGIN PADA PROSES HARDENING MATERIAL BAJA S45C

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Logam Ferro

Baja adalah sebuah paduan dari besi karbon dan unsur lainnya dimana kadar karbonnya jarang melebihi 2%(menurut euronom)

PRAKTIKUM METALURGI FISIK LAPORAN AKHIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

ANALISIS PENGARUH TEMPERING

PENGARUH WAKTU PENAHANAN TERHADAP SIFAT FISIS DAN MEKANIS PADA PROSES PENGKARBONAN PADAT BAJA MILD STEEL

ANALISA QUENCHING PADA BAJA KARBON RENDAH DENGAN MEDIA SOLAR

07: DIAGRAM BESI BESI KARBIDA

BAB I PENDAHULUAN. BAB I Pendahuluan 1

Analisa Deformasi Material 100MnCrW4 (Amutit S) Pada Dimensi Dan Media Quenching Yang Berbeda. Muhammad Subhan

II. TINJAUAN PUSTAKA. unsur dasar dan karbon sebagai unsur paduan utamanya. Kandungan karbon

BAB IV PEMBAHASAN Data Pengujian Pengujian Kekerasan.

PROSES PENGERASAN (HARDENNING)

I. TINJAUAN PUSTAKA. unsur paduan terhadap baja, proses pemanasan baja, tempering, martensit, pembentukan

UNIVERSITAS MERCU BUANA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bidang material baja karbon sedang AISI 4140 merupakan low alloy steel

ANALISIS STRUKTUR MIKRO DAN SIFAT MEKANIK BAJA MANGAN AUSTENITIK HASIL PROSES PERLAKUAN PANAS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketika itu banyak terjadi fenomena patah getas pada daerah lasan kapal kapal

BAB I PENDAHULUAN. perlu dapat perhatian khusus baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya karena

Proses Annealing terdiri dari beberapa tipe yang diterapkan untuk mencapai sifat-sifat tertentu sebagai berikut :

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pengujian struktur mikro dilakukan untuk mengetahui isi unsur kandungan

11. Logam-logam Ferous Diagram fasa besi dan carbon :

Perlakuan panas (Heat Treatment)

PENGARUH MANUAL FLAME HARDENING TERHADAP KEKERASAN HASIL TEMPA BAJA PEGAS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PROSES QUENCHING DAN TEMPERING PADA SCMnCr2 UNTUK MEMENUHI STANDAR JIS G 5111

BAB IV DATA DAN ANALISA

BAB III PERCOBAAN DAN HASIL PERCOBAAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penambahan karbon yang disebut carburizing atau karburasi, dilakukan dengan

PENGARUH TEMPERATUR CARBURIZING PADA PROSES PACK CARBURIZING TERHADAP SIFAT SIFAT MEKANIS BAJA S 21 C

BAB VII PROSES THERMAL LOGAM PADUAN

BAB III METODE PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Bab II menjelaskan tentang beberapa konsep dasar teori yang mendukung topik

STUDI KOMPARASI HEAT TREATMENT TERHADAP SIFAT-SIFAT MEKANIS MATERIAL RING PISTON BARU DAN BEKAS

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Variasi Media Quenching Air, Oli, dan Angin Kompresor Terhadap Struktur Mikro dan Kekerasan Pada Baja AISI 1045

PENGARUH MEDIA PENDINGIN PADA PROSES HARDENING TERHADAP STRUKTURMIKRO BAJA MANGAN HADFIELD AISI 3401 PT SEMEN GRESIK

Sistem Besi-Karbon. Sistem Besi-Karbon 19/03/2015. Sistem Besi-Karbon. Nurun Nayiroh, M.Si. DIAGRAM FASA BESI BESI CARBIDA (Fe Fe 3 C)

Simposium Nasional Teknologi Terapan (SNTT) ISSN: X

PENGARUH JENIS BAHAN DAN PROSES PENGERASAN TERHADAP KEKERASAN DAN KEAUSAN PISAU TEMPA MANUAL

LAPORAN TUGAS AKHIR PENELITIAN TENTANG SIFAT-SIFAT KEKUATAN TARIK, KEKERASAN, KOMPOSISI KIMIA DAN STRUKTUR MIKRO DARI TALI SERAT BAJA BUATAN KOREA

Pengaruh Penambahan Barium Karbonat Pada Media Karburasi Terhadap Karakteristik Kekerasan Lapisan Karburasi Baja Karbon Rendah

Jurusan Teknik Material dan Metalurgi, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. LANDASAN TEORI. Dalam penggunaannya, logam yang digunakan akan mengalami gaya luar atau

TUGAS PENGETAHUAN BAHAN HEAT TREATMENT

Pengaruh Heat Treatment Dengan Variasi Media Quenching Air Garam dan Oli Terhadap Struktur Mikro dan Nilai Kekerasan Baja Pegas Daun AISI 6135

Kekuatan tarik komposisi paduan Fe-C eutectoid dapat bervariasi antara MPa tergantung pada proses perlakuan panas yang diterapkan.

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

Pengaruh Heat Treatment denganvariasi Media Quenching Oli dan Solar terhadap StrukturMikro dan Nilai Kekerasan Baja Pegas Daun AISI 6135

BAB I PENDAHULUAN. alat-alat perkakas, alat-alat pertanian, komponen-komponen otomotif, kebutuhan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Deskripsi Data

PENGARUH MULTIPLE QUECHING TERHADAP PERUBAHAN KEKERASAN DAN STRUKTUR MIKRO PADA BAJA ASSAB 760

PROSES NORMALIZING DAN TEMPERING PADA SCMnCr2 UNTUK MEMENUHI STANDAR JIS G 5111

PENGARUH TEMPERING PADA BAJA St 37 YANG MENGALAMI KARBURASI DENGAN BAHAN PADAT TERHADAP SIFAT MEKANIS DAN STRUKTUR MIKRO

PENGARUH PERBANDINGAN GAS NITROGEN DAN LPG PADA PROSES NITROKARBURISING DALAM REAKTOR FLUIDIZED BED TERHADAP SIFAT MEKANIS BAJA KARBON RENDAH

STUDI PEMBUATAN BESI COR MAMPU TEMPA UNTUK PRODUK SAMBUNGAN PIPA

PENGARUH BAHAN ENERGIZER PADA PROSES PACK CARBURIZING TERHADAP KEKERASAN CANGKUL PRODUKSI PENGRAJIN PANDE BESI

BAB V DIAGRAM FASE ISTILAH-ISTILAH

BAB III PERCOBAAN DAN HASIL PERCOBAAN

Pengaruh Proses Quenching Terhadap Kekerasan dan Laju Keausan Baja Karbon Sedang

HASIL DAN PEMBAHASAN. dengan menggunakan kamera yang dihubungkan dengan komputer.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

III. METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2013 sampai dengan selesai.

PENGARUH VARIASI WAKTU TAHAN PADA PROSES NORMALIZING TERHADAP SIFAT MEKANIK DAN STRUKTUR MIKRO BAJA AISI 310S PADA PRESSURE VESSEL

Machine; Jurnal Teknik Mesin Vol. 2 No. 2, Juli 2016 ISSN :

Transkripsi:

PENGARUH VARIASI TEMPERATUR PADA PROSES HARDENING TERHADAP KEKERASAN, STRUKTUR MICRO BAJA AISI 1025 DENGAN MEDIA PENDINGIN Oleh: DEDI SUPRIANTO JurusanTeknikMesin, Sekolah Tinggi Tekhnik Harapan Medan Jln. HM. Joni No. 70 c Medan (20217) Email.Dsuprianto10@gmail.com ABSTRAK Pada baja AISI 1025 dilakukan pengerasan (hardening) untuk memperoleh sifat tahan aus dan kekerasan yang tinggi dengan proses hardening pada variasi suhu 800 0 C, 850 0 C dan 900 0 C yang kemudian didinginkan dengan media pendingin air, air larutan garam dan oli. Setiap baja mempunyai karakteristik yang berbeda-beda, seperti sifat-sifat fisis, sifat mekanis dan sifat kimia. Oleh sebab itu perlu suatu penanganan khusus yang diharapkan memiliki umur yang lebih lama dari perencanaannya, maka ketahanan terhadap aus dari bahan tersebut dapat dilakukan melalui perlakuan panas dengan cara hardening dengan variasi suhu 800 0 C, 850 0 C dan 900 0 C setelah itu dilanjutkan dengan pendinginan mendadak menggunakan media pendingin air, air larutan garam dan oli yang bertujuan meningkatkan ketahanan terhadap gesekan dan tekanan. Dari hasil pengujian vickers pada baja AISI 1025 (asli) memiliki nilai kekerasan rata-rata 187.0346 VHN sedangkan baja yang mengalami proses hardening pada suhu 800 0 C yang didinginkan dengan air, air garam dan oli mendapatkan nilai kekerasan rata-rata 225.9393 VHN, 267.4606 VHN, 174.5508 VHN, baja yang mengalami proses hardening pada suhu 850 0 C yang didinginkan dengan air, air garam dan oli mendapatkan nilai kekerasan rata-rata 336.9085 VHN, 378.4476 VHN, 183.3511VHN,dan baja yang mengalami proses hardening pada suhu 900 0 C yang didinginkan dengan air, air garam dan oli mendapatkan nilai kekerasan rata-rata 245.5047 VHN, 190.8039 VHN, 162.7562 VHN. Kata kunci : Baja 1025, Hardening, media pendingin, vickers, mikroskop optic 1. PENDAHULUAN 1.1.Latar belakang Baja merupakan logam yang banyak digunakan dalam berbagai bidang, terutama dalam bidang industri. Pengaplikasian baja sangatlah beraneka ragam tergantung kebutuhan serta sifat-sifat dari baja itu sendiri yang penting ialah sifat mekanik. Sifat mekanik merupakan sifat-sifat yang berkaitan dengan kelakuan (behavior) terhadap beban mekanik. Sifat mekanik terdiri dari kekuatan (strength), ketangguhan (toughnes), kekerasan (hardness), keuletan (ductile) modulus elastisitas dan ketahanan arus. Temperatur dalam proses perlakuan panas akan menentukan terhadap tingkat ketahanan dan kekuatan bahan. Dalam bidang material terdapat dua cara perlakuan panas untuk meningkatkan nilai kekerasan baja, yaitu perlakuan panas (heat trearment) dan deformasi plastis. Baja karbon yang di panaskan hingga mencapai suhu austenit kemudian didinginkan secara cepat akan terbentuk struktur martensit yang memiliki kekerasan yang lebih tinggi dari struktur perlit maupun ferit, proses ini dinamakan

quenching. Baja spesifikasi AISI 1025 merupakan baja karbon menengah dengan komposisi karbon berkisar 0,22-0,30 %. Baja ini umumnya dipakai sebagai komponen industri misalnya untuk komponen roda gigi pada mesin bubut yang pada aplikasinya sering mengalami gesekan dan tekanan maka ketahanan terhadap aus dan kekerasan sangat di perlukan sekali [KS Review, 2004]. Untuk mendapatkan kekerasan dan ketahanan terhadap aus dari bahan tersebut dapat dilakukan melalui perlakuan panas dengan cara hardening yang di lanjutkan dengan proses quenching. Tujuannya untuk mendapatkan struktur martensit yang keras dan memiliki ketahanan aus yang baik. Dari proses quenching tersebut spesimen sering sekali mengalami cracking, distorsi dan ketidak seragaman kekerasan yang diakibatkan oleh tidak seragamnya temperatur larutan pendingin (Totten, 1993). 1.2 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui kekerasan pada baja AISI 1025, dan mendapatkan nilai uji kekerasan Vickers pada baja AISI 1025 yang di hardening dengan variasi suhu 800 0 C, 850 0 C dan 900 0 C dengan menggunakan media pendingin air, larutan garam dan oli pada masing - masing suhu. 2. Melakukan perbandingan kekerasan pada baja AISI 1025 yang dipanaskan pada variasi suhu 800 0 C, 850 0 C dan 900 0 C. Dan didingin kan secara cepat dengan menggunakan media pendingin air, larutan garam dan oli pada masing - masing suhu. 3. Untuk mengetahui struktur mikro pada baja AISI 1025, yang di panaskan (hardening) dengan variasi suhu 800 0 C, 850 0 C dan 900 0 C. 2. LANDASAN TEORI 2.1. Pengertian baja Baja adalah salah satu logam ferro yang banyak digunakan dalam dunia teknik dan industri. Kandungan baja yang utama diantaranya yaitu besi dan karbon Kandungan besi (Fe) pada baja sekitar 97% dan karbon (C) sekitar 0,2% hingga2,1% sesuai grade-nya. Selain unsur besi (Fe) dan karbon (C), baja mengandung unsur lain seperti mangan (Mn) dengan kadar maksimal 1,65%, silikon (Si) dengan kadar maksimal 0,6%, tembaga (Cu) dengan kadar maksimal 0,6%, sulfur (S), fosfor (P) dan lainnya dengan jumlah yang dibatasi dan berbeda-beda. Fungsi karbon dalam baja adalah sebagai unsur pengeras dengan mencegah dislokasi pada kisi kristal (crystal lattice) atom besi. Baja karbon ini dikenal sebagai baja hitam karena berwarna hitam, banyak digunakan dari peralatan dapur, transportasi, generator, sampai kerangka gedung dan jembatan. Kandungan meningkatkan kekerasan (hardness) dan kekuatan tariknya (tensile strength), namun disisi lain membuatnya menjadi getas (brittle) serta menurunkan keuletannya (ductility). 2.2. Klasifikasi Baja 2.3. Pengaruh Unsur Paduan pada Baja 2.4. Sifat-sifat Baja 2.5. Baja AISI 1025 Material yang digunakan dalam penelitian ini sebagai sampel adalah baja karbon rendah SAE 1025 yang memiliki sifat hardenability yang rendah akibat rendahnya kadar karbon dalam baja tersebut. Tabel komposisi kimia baja SAE 1025 dapat di jelaskan pada table 2.1. Berikut ini adalah komposisi kimia baja SAE 1025: Tabel 1 Komposisi baja AISI 1025 Kode C % Si % Mn % Mo % P % S % AISI 0.25 0,37 0.80 0,025 0,035 0,035 1025 max max Baja SAE 1025 termasuk ke dalam keluarga baja karbon rendah yang memiliki kisaran kadar karbon antara 0.22 sampai 0.30 % C di perlihatkan pada table 2.1. Baja karbon ini penggunaannya cukup luas karena harganya yang murah, keuletan yang sangat baik, dan mampu mesin serta mampu las yang baik. namun baja ini memiliki kekurangan yaitu hardenability yang buruk karena kadar karbon yang dikandungnya sedikit. Baja jenis ini sering

digunakan pada aplikasi seperti body mobil, baja struktural, baja lembaran untuk pipa, bangunan, jembatan, dan kaleng minuman. 2.6. Diagram TTT (Time Temperature Transformation) Martensit terbentuk jika fasa austenit dengan cepat ke temperatur rendah. Transformasi dari fasa austenit ke ferit terjadi suatu proses pengintian dan pertumbuhan butir yang dipengaruhi oleh waktu. Karena laju pendinginan yang begitu cepat, maka atom karbon tersebut terperangkap dalam larutan sehingga membentuk struktur martensiti dari pengukuran sebenarnya pipa pada sisi luar dan sisi dalam pemipaan dengan ukuran diameter. Gambar 2 Skema pendinginan quench (Al-Matsany, 2012). Pada gambar 2 merupakan pendinginan A dan B yang menunjukkan dua proses pendinginan cepat. Kurva A akan menyebabkan distorsi dan tekanan internal yang lebih tinggi daripada laju pendinginan B. Hasil akhir dari pendinginan akan menjadi martensit. Laju pendinginan B juga dikenal sebagai Critical Cooling Rate, yang bersinggungan dengan nose dari diagram TTT. Tingkat pendinginan kritis didefinisikan sebagai tingkat pendinginan terendah yang menghasilkan martensit 100% dan meminimalkan internal dan distorsi (Al-Matsany, 2012). Gambar 1 Diagram TTT dan struktur mikro pada tiap fase (Al-Matsany, 2012). Pada gambar 2 merupakan pendinginan A dan B yang menunjukkan dua proses pendinginan cepat. Kurva A akan menyebabkan distorsi dan tekanan internal yang lebih tinggi daripada laju pendinginan B. Hasil akhir dari pendinginan akan menjadi martensit. Laju pendinginan B juga dikenal sebagai Critical Cooling Rate, yang bersinggungan dengan nose dari diagram TTT. Tingkat pendinginan kritis didefinisikan sebagai tingkat pendinginan terendah yang menghasilkan martensit 100% dan meminimalkan internal dan distorsi (Al-Matsany, 2012). 2.6. Diagram Fasa Fe-C Fasa didefinisikan sebagai bagian dari bahan yang memiliki struktur atau komposisi tersendiri. Diagram fasa Fe-C atau biasa disebut diagram kesetimbangan besi karbon merupakan diagram yang menjadi parameter untuk mengetahui segala jenis fasa yang terjadi di dalam baja dengan segala perlakuannya. Konsep dasar dari diagram fasa adalah mempelajari bagaimana hubungan antara besi dan paduannya dalam keadaan setimbang. Hubungan ini dinyatakan dalam suhu dan komposisi, setiap perubahan komposisi dan perubahan suhu akan mempengaruhi struktur mikro.

Pada diagram fasa Fe-C yang ditampilkan muncul larutan padat (α, γ,) atau disebut besi delta (δ), austenit (γ) dan ferit (α). Ferit mempunyai struktur kristal BCC (Body Centered Cubic) dan austenit mempunyai struktur kristal FCC (Face Centered Cubic) sedangkan besi delta (δ) mempunyai struktur kristal FCC pada suhu tinggi. Apabila kandungan karbon melebihi batas daya larut, maka akan membentuk fasa kedua yang disebut karbida besi atau sementit. Karbida besi mempunyai komposisi kimia Fe3C yang sifatnya keras dan getas. Peningkatan kadar karbon pada baja karbon akan meningkatkan sifat mekanik baja tersebut, terutama kekerasan karena sifat yang dimiliki oleh endapan sementit yang keras. Pada gambar 3 di bawah ini merupakan gambar diagram fasa Fe3C. sekitar 0,77% maksimum pada temperatur 727 C. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan di dalam diagram fasa Fe-C yaitu perubahan fasa ferit atau besi alfa (α), austenit atau besi gamma (γ), sementit atau karbida besi, perlit dan martensit. Berikut ini uraiannya: 1. Ferit atau besi alfa (α) Ferit merupakan suatu larutan padat karbon dalam struktur besi murni yang memiliki struktur BCC dengan sifat lunak dan ulet. Karena ferit memiliki struktur BCC (Body Centered Cubic), maka ruang antar atom-atomnya adalah kecil dan padat sehingga atom karbon yang dapat tertampung hanya sedikit sekali sekitar 0,02% C. Fasa ferit mulai terbentuk pada temperatur antara300 C hingga mencapai temperatur 727 C. Struktur mikro fasa ferit dapat dilihat pada gambar Gambar 4. Gambar 3 Diagram Fasa Fe3C (ASMHandbook Vol.4:4, 1991). Pada gambar 2.3 menunjukkan bahwa pada temperatur sekitar 727 C terjadi temperatur transformasi austenit menjadi fasa perlit (gabungan fasa ferit dan sementit). Transformasi fasa ini dikenal sebagai reaksi eutektoid dan merupakan dasar proses perlakuan panas pada baja. Kemudian pada temperatur antara 912 C dan 1394 C merupakan daerah besi gamma (γ) atau disebut austenit. Pada kondisi tersebut biasanya austenit bersifat stabil, lunak, ulet, mudah dibentuk dan memiliki struktur kristal FCC (Face Centered Cubic). Besi gamma tersebut dapat melarutkan karbon dalam jumlah besar yaitu sekitar 2,11% maksimum pada temperatur sekitar 1148 C. Besi BCC dapat melarutkan karbon dalam jumlah yang sangat rendah, yaitu Gambar 4 Struktur mikro fasa ferit (Callister, 2007) 2. Austenit atau besi gamma Austenit adalah modifikasi struktur besi murni dengan struktur FCC yang memiliki jarak atom lebih besar dibandingkan dengan ferit. Meskipun demikian, rongga-rongga pada struktur FCC hampir tidak dapat menampung atom karbon dan penyisipan atom karbon akan mengakibatkan tegangan dalam struktur sehingga tidak semua rongga dapat terisi, dengan kata lain daya larutnya menjadi terbatas sekali. Struktur mikro fasa austenit dapat dilihat pada gambar Gambar 5.

Gambar 5 Struktur mikro fasa austenit (Callister, 2007). 3. Perlit Perlit merupakan campuran antara ferit dan sementit yang berbentuk seperti pelat-pelat yang disusun secara bergantian antara sementit dan ferit. Fasa perlit ini terbentuk pada saat kandungan karbon mencapai 0,76% C, besi pada fase perlit akan memiliki sifat keras, ulet dan kuat. Struktur mikro fasa perlit dapat dilihat pada gambar Gambar 6. 5. Martensit Martensit adalah suatu fasa yang terjadi karena pendinginan yang sangat cepat. Jenis fasa martensit tergolong kedalam bentuk struktur kristal BCT. Pada fasa ini terjadi proses difusi hal ini dikarenakan terjadinya pergerakan atom secara serentak dalam waktu yang sangat cepat sehingga atom yang tertinggal pada saat terjadi pergeseran akan tetap berada pada larutan padat. Besi yang berada pada fase martensit akan memiliki sifat yang kuat dan keras, akan tetapi besi ini juga bersifat getas dan rapuh.. Struktur mikro fasa martensit dapat dilihat pada gambar Gambar 8. Gambar 6 Struktur mikro fasa perlit (Callister, 2007). 4. Karbida besi atau sementit Karbida besi adalah paduan besi karbon, dimana pada kondisi tersebut karbon melebihi batas larutan sehingga membentuk fasa kedua atau karbida besi yang memiliki komposisi Fe3C. Karbida pada ferit akan meningkatkan kekerasan pada baja. Akan tetapi karbida besi murni tidak liat, karbida ini tidak dapat menyesuaikan diri dengan adanya konsentrasi tegangan. Struktur mikro fasa sementit dapat dilihat pada gambar Gambar 7. Gambar 7 Struktur mikro fasa sementit (Callister, 2007). Gambar 8 Struktur mikro fasa martensit (Callister, 2007). Beberapa istilah dalam diagram kesetimbangan Fe-C dan fasa-fasa yang terdapat didalam diagram diatas akan dijelaskan dibawah ini. Berikut ini adalah batas-batas temperatur kritis pada diagram Fe-C yang ditampilkan pada Gambar (AnonimC, 2015). 1. A1 adalah reaksi eutektoid yaitu perubahan fasa γ menjadi α+fe3c (perlit) untuk baja hypoeutectoid. 2. A2 adalah titik Currie (pada temperatur 769 C), dimana sifat magnetik besi berubah dari feromagnetik menjadi paramagnetic. 3. A3 adalah temperatur transformasi dari fasa γ menjadi α (ferit) yang ditandai pula dengan naiknya batas kelarutan karbon seiring dengan turunnya temperatur. 4. Acmn adalah temperatur transformasi dari fasa γ menjadi Fe3C (sementit) yang ditandai pula dengan penurunan batas kelarutan karbon seiring dengan turunnya temperatur. 5. A12, adalah temperatur transformasi γ

menjadi α+fe3c (perlit) untuk baja hypereutectoid. 2.7. Perlakuan Panas (Heat Treatment). Perlakuan panas (heat treatment) merupakan kombinasi suatu proses pemanasan dan pendinginan yang dilakukan secara terkontrol yang diterapkan pada logam tertentu atau paduan dalam keadaan padat untuk mendapatkan struktur mikro dan sifat-sifat mekanik tertentu sesuai dengan yang diinginkan. Pada perlakuan panas baja, struktur mikro memegang peranan yang cukup penting. Perubahan yang terjadi pada struktur mikro karena selama pemanasan dan pendinginan akan mempengaruhi perubahan sifat pada baja tersebut. Proses perlakuan panas atau heattreatment dibedakan menjadi 2 macam yaitu, perlakuan panas equilibrium yang merupakan proses perlakuan panas yang menghasilkan struktur yang equilibrium, contohnya: annealing dan normalizing. Serta perlakuan panas non-equilibrium yang menghasilkan struktur yang non equilibrium, contohnya hardening. Berikut beberapa proses perlakuan panas (heat treatment) pada baja dijelaskan seperti di bawah ini: 1. Full annealing Proses annealing untuk baja hypoeutektoid dilakukan dengan memanaskan sampai suhu sedikit di atas suhu kritisnya A3 dan ditahan beberapa saat pada suhu tersebut, kemudian didinginkan dengan laju pendinginan lambat di dalam furnace. Sifat baja hasil proses annealing adalah menjadi lebih lunak dan ulet. 3. Quenching Quenching merupakan suatu proses perlakuan panas terhadap baja. Proses ini dilakukan dengan memanaskan baja sampai suhu austenit dan dipertahankan dalam jangka waktu tertentu pada suhu austenit tersebut, lalu didinginkan secara cepat di dalam media pendingin berupa air, air larutan garam, oli, larutan alkohol dan sebagainya. Pada umunya baja yang telah mengalami proses quenching memiliki kekerasan yang tinggi serta dapat mencapai kekerasan yang maksimum tetapi agak rapuh. Adanya sifat yang rapuh, maka kita harus mengurangi dengan melakukan proses lebih lanjut seperti tempering. Gambar 2.9 menjelaskan bahwa quenching merupakan salah satu teknik perlakuan panas yang diawali dengan proses pemanasan sampai temperatur austenite (austenisasi) diikuti pendinginan secara cepat, sehingga fasa austenit langsung bertransformasi secara parsial membentuk struktur martensit. Temperatur pemanasan hingga fasa austenit untuk proses quenching disebut juga sebagai temperatur pengerasan (hardening temperatur). Proses selanjutnya setelah mencapai temperatur pengerasan, yaitu penahanan selama beberapa menit untuk menghomogenisasikan energi panas yang diserap selama pemanasan, kemudian didinginkan secara cepat dalam media pendingin. 2. Normalizing Proses normalizing untuk baja hypoeutektoid dilakukan dengan memanaskan suhu sedikit di atas suhu annealing yaitu mencapai 500 C di atas suhu kritis A3 dengan menggunakan udara terbuka. Hasil proses normalizing baja akan berbutir lebih halus, lebih homogen dan lebih keras dari hasil annealing. Gambar 9 Kurva proses quenching (Shackelford, 1996).

Tujuan utama quenching adalah menghasilkan baja dengan sifat kekerasan tinggi. Sekaligus terakumulasi dengan kekuatan tarik dan kekuatan luluh, melalui transformasi austenit ke martensit. Proses quenching akan optimal jika selama proses transformasi, struktur austenite dapat dikonversi secara keseluruhan membentuk struktur martensit. Hal-hal penting untuk menjamin keberhasilan quenching dan menunjang terbentuknya martensit ialah temperatur pengerasan, waktu tahan laju pemanasan, metode pendinginan, media pendingin, dan hardenability. Hardenability merupakan fungsi dari komposisi kimia dan ukuran butir pada temperatur tertentu. Selain itu, dimensi dari logam juga berpengaruh terhadap hasil proses quenching, karena cenderung akan terjadi pembentukan lapisan uap pada bagian-bagian tertentu yang akan mengakibatkan laju pendinginan yang tidak seragam dan terbentuknya struktur mikro yang berbeda pada beberapa bagian tersebut. Media pendingin yang digunakan untuk mendinginkan baja bermacam-macam. Berbagai bahan pendingin yang digunakan dalam proses perlakuan panas antara lain: a. Air Air adalah media yang paling banyak digunakan untuk quenching karena biayanya yang murah dan mudah digunakan serta pendinginannya yang cepat. Air memberikan pendinginan yang sangat cepat yang menyebabkan tegangan dalam, distorsi dan retakan. Air merupakan senyawa dengan rumus kimia H2O yang berarti pada setiap molekul air ada dua atom hidrogen yang terikat dengan atom oksigen. Air membeku pada suhu 273 K = 0 C dan menguap dibawah tekanan normal pada suhu 373 K = 100 C (Gary, 2011). b. Minyak atau oli Minyak yang digunakan sebagai fluida pendingin dalam perlakuan panas adalah yang dapat memberikan lapisan karbon pada kulit (permukaan) benda kerja yang diolah. Selain minyak yang khusus digunakan sebagai bahan pendingin pada proses perlakuan panas dapat juga digunakan oli, minyak bakar atau solar. Oli sebagai media pendingin lebih lunak jika dibandingkan dengan air. Oleh karena itu medium oli tidak menghasilkan baja sekeras yang dihasilkan pada medium air. Pendinginan lambat bertujuan agar didapat struktur mikro yang lebih stabil dikarenakan perubahan bentuk butir terjadi secara perlahan, sehingga menghasilkan baja yang lunak dan ulet. Oli atau biasa disebut dengan pelumas berfungsi sebagai pendingin, dimana pelumas tersebut mampu menghilangkan panas yang dihasilkan baik dari gesekan atau sumber lain seperti pembakaran atau kontak dengan zat tinggi. Perubahan suhu dan oksidatif material akan menurunkan efisiensi pelumas. c. Udara Pendinginan udara dilakukan untuk perlakuan panas yang membutuhkan pendinginan lambat. Untuk keperluan tersebut udara yang disirkulasikan ke dalam ruangan pendingin dibuat dengan kecepatan yang rendah. Udara sebagai pendingin akan memberikan kesempatan kepada logam untuk membentuk kristal- kristal dan kemungkinan mengikat unsur-unsur lain dari udara. d. Garam Garam dipakai sebagai bahan pendingin disebabkan memiliki sifat mendinginkan yang teratur dan cepat. Bahan yang didinginkan di dalam cairan garam akan mengakibatkan ikatannya menjadi lebih keras karena pada permukaan benda kerja tersebut akan meningkat zat arang. 2.8. Mikroskop Optik Prinsip kerja dari alat uji struktur mikro (mikroskop optik) ditunjukkan pada Gambar 2.11 yaitu bekas horizontal cahaya dari sumber cahaya dipantulkan dengan memakai reflektor kemudian melalui lensa objektif sinar diteruskan

ke atas permukaan sampel. Beberapa cahaya dipantulkan dari permukaan sampel akan diperbesar melalui lensa objektif dan okuler yang biasanya digambarkan pada puncak lensa yang terhubung dengan komputer ketika mengambil foto struktur mikro didapat hasil yang presis. Struktur mikro setelah mengalami proses perlakuan panas agar dapat membandingkan struktur mikro antara sebelum dan sesudah dilakukannya perlakuan panas (heat treatment), sedang spesimen metalografi sama dengan untuk uji kekerasan dan alat pemeriksaannya memakai mikrokop optik dan stereo. Kekerasan Rockwell skala B menggunakan indentor bola baja berdiameter 1,6 mm dengan beban 100 kgf. sedangkan kekerasan Rockwell skala C menggunakan indentor kerucut intan dengan penekanan sebesar 150 kgf, seperti digambarkan pada gambar 2.12. Gambar 10 Skema pengamatan struktur mikro dengan mikroskop optic (Van Vlack, 1992). 2.9. Metode Pengujian Kekerasan Rockwell Pengujian kekerasan pada metode Rockwell menggunakan indentor berupa bola baja yang dikeraskan atau dapat juga menggunakan indentor berupa kerucut intan. Beban atau gaya yang digunakan untuk penakan adalah bervariasi tergantung pada logam yang diuji (Kalogueloe.blogspot, 2013). Nilai kekerasannya didasarkan pada kedalaman indentasi yang terjadi. Nilai kekerasan metode Rockwell dibagi dalam skala kekerasan yaitu : kekerasan Rockwell skala C, biasa ditulis dengan HRC. Kekerasan Rockwell skala B, ditulis dengan HRB.Kekerasan Rockwell skala B digunakan untuk bahan atau logam yang relative lunak, sedangkan Rockwell skala C digunakan untuk logam yang relative keras. Gambar 11 Pengujian Rockwell Mencari besarnya nilai kekerasan dengan menggunakan metode Rockwell dijelaskan pada gambar 2.13, yaitu pada langkah 1 benda uji ditekan oleh indentor dengan beban minor (Minor Load F0) setelah itu ditekan dengan beban mayor (major Load F1) pada langkah 2, dan pada langkah 3 beban mayor diambil sehingga yang tersisa adalah minor load dimana pada kondisi 3 ini indentor ditahan seperti kondisi pada saat total load F yang terlihat pada gambar 2.13. Besarnya minor load maupun major load tergantung dari jenis material yang akan di uji terlihat pada gambar 2.13. Gambar 12 Prinsip kerja metode pengukuran kekerasan Rockwell Dibawah ini merupakan rumus yang digunakan untuk mencari besarnya kekerasan dengan metode Rockwell. HR = E e Dimana : F0 = Beban Minor(Minor Load) (kgf)

F1 = Beban Mayor(Major Load) (kgf) F = Total beban (kgf) e = Jarak antara kondisi 1 dan kondisi 3 yang dibagi dengan 0.002 mm E = Jarak antara indentor saat diberi minor load dan zero reference line yang untuk tiap jenis indentor berbeda-beda. HR = Besarnya nilai kekerasan dengan metode hardness 2.9.1. Metode Pengujian KekerasanVickers Prinsip dari pengujian kekerasan metode Vickers mirip dengan metode brinell.sudut indentor piramida berlian Vickers adalah 136 0. Jejek indentasi yang dihasilkan oleh indentor Vickers lebih jelas, daripada jejak indentor dari pengujian metode brinell.sehingga metode ini memiliki akurasi yang lebih baik. Karena kelebihannya ini, maka metode Vickers lebih banyak digunakan dalam dunia penelitian dan pendidikan.aplikasi dari metode ini sangat luas, mulai untuk logam yang memiliki nilai Vickers rendah 5 HV pada logam yang lunak, sampai logam dengan nilai Vickers tinggi sekitar 1500 HV pada logam yang sangat keras. Beban yang digunakan sangat bervariasi mulai dari 1 kgf sampai 120 kgf, untuk uji kekerasan makro, dan 15 1000 gram untuk uji kekerasan makro. Waktu dengan waktu yang digunakan untuk pembebanan indentasi biasanya adalah selama 30 detik. Bilangan kekerasan Vickers (VHN) dihitung dengan rumrs berikut : Dimana : VHN P D = Vickerss Heardness Number = Beban yang diterapkan (kgf) = Panjang diagonal jejak indentasi Panjang diagonal jejak indentasi diukur dengan menggunakan mikroskop optik, yang biasanya merupakan bagian integral atau satu kesatuan dari peralatan uji Vickers, seperti gambar 13. Gambar 13 Pengujian Vickers Adapun keuntungan dari metode pengujian Vickers, adalah: 1. Dengan pendesak yang sama, baik pada bahan yang keras maupun lunak, nilai kekersan suatu benda uji dapat diketahui. 2. Penentuan angka kekerasan pada benda - benda kerja tipis atau kecil dapat diukur dengan memilih gaya yang relatif kecil. Pengujian mikro Vickers adalah metode pengujian kekerasan dengan pembebanan yang relatif kecil yang sulit dideteksi oleh metode mikro Vickers. Pada pengujian ini menggunakan metode mikro Vickers karena untuk mengetahui seberapa besar nilai kekerasan pada permukaan benda uji hasil dari proses heat treatment, sehingga pembebanan yang dibutuhkan juga relative kecil yaitu berkisar antara 10 sampai 1000 kgf. a. Keuntungan metode Vickers : Indentor dibuat dari bahan yang cukup keras, sehingga dimungkinkan dilakukan untuk berbagai jenis logam. Memberikan hasil berupa skala kekerasan yang kontiniu dan dapat digunakan untuk menentukan kekerasan pada logam yang sangat lunak dengan kekerasan DPH 5 hingga logam yang sangat keras dengan DPH 1500.

Dapat dilakukan untuk benda - benda dengan ketebalan yang sangat tipis, sampai 0.006 inchi. Harga kekerasan yang didapat dari uji Vickers tidak bergantung pada besar beban indentor. b. Kerugian metode Vickers : Pengujian ini tidak dapat digunakan untuk pengujian rutin karena pengujian tersebut lama, memerlukan persiapan permukaan benda uji yang teliti, dan rentan terhadap kesalahan perhitungan panjang diagonal. 3. Alat Dan Bahan Adapun alat-alat dan bahan yang digunakan dalam proses pengujian ini adalah untuk melengkapi proses pembuatan specimen pengujian di lab PTKI (Pendidikan Teknologi Kimia Industri). 3.1. Alat 1. Gergaji Besi 2. Sigmat (jangka sorong) 3. Sarung tangan 4. Penjepit 5. Furnance (Oven Pemanas Baja) 6. Mesin Poles Spesimen 7. Mesin uji kekerasan Vickers 8. Mikroskop optic 3.2. Bahan Pengujian ini menggunakan bahan Baja AISI 1025, dimana spesimen asli dapat dilihat pada gambar 14. Gambar 14 Baja AISI 1025 3.3. Diagram Alir Penelitian Penelitian dalam tugas akhir ini dilakukan dalam beberapa tahapan penting meliput: menentukan tujuan penelitian,mengumpulkan landasan teori untuk penelitian, menentukan proseder penelitian melakukan pengujian dan analisa hasil pengujian. Tahapan penelitian tersebut di susun agar penelitian dapat berjalan secara sistematis, dari tahapan penelitian diatas kemudian disusun diagram alir penelitian. 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Uji Kekerasan Hasil pengujian kekerasan dengan tiga titik uji, yang mana dengan menggunakan gaya penekanan sebesar 10 kgf pada alat uji kekerasan vickers, pada baja AISI 1025 yang di hardening dengan variasi suhu 800 0 C, 850 0 C, 900 0 C dan di dinginkan menggunakan media pendingin air, air garam dan oli. 4.2. Hasil Uji Kekerasan Tanpa Proses Hardening Hasil pengujian kekerasan dengan tiga titik uji, yang mana dengan menggunakan gaya penekanan sebesar 10 kg pada alat uji kekerasan vickers, pada baja AISI 1025 (spesimen original). Dengan menggunakan Identitas Diagonal (m) No Bahan Beban VHN a b d² 1 0.318 0.318 0.1011 183.4223 Baja Asli Aisi 2 10 kgf 0.314 0.314 0.0985 188.2639 1025 3 0.313 0.313 0.0979 189.4177 persamaan pengujian kekerasan vickers, maka nilai HV (Hardnes Vickers) pada baja AISI 1025 (spesimen asli) dapat diperoleh: Dimana: VHN P : Nilai kekerasan Vikers : Beban yang digunakan Rata-rata 187.0346 d² : Panjang diagonal rata-rata (mm) Maka nilai kekerasan baja AISI 1025 pada titik no 1 adalah : Untuk Mencari panjang diagonal ratarata (d²) maka dapat dicari dengan :

Nilai Kekerasan VHN Dimana : d² : Panjang diagonal rata rata (mm) Grafik Hasil Uji Vickers Baja AISI 1025 Asli a : Diagonal Vertical b : Diagonal Horizontal Maka diagonal rata-rata (d²) adalah: d 2 = 0,318 190 188 186 184 182 180 183,422 3 188,263 9 189,417 7 Titik 1 Titik 2 Titik 3 VHN VHN Hasil perhitungan dengan persamaan di atas, maka nilai VHN dari setiap spesimen uji baja AISI (spesimen asli) titik nomor 2 dengan hasil 188,2639 VHNdan titik nomor 3 dengan hasil 189,4177 VHN seperti yang terlihat pada tabel 4.1. Tabel 4. 1 Hasil pengujian kekerasan baja AISI 1025 original Hasil pengujian kekerasan dengan tiga titik uji, dengan menggunakan gaya sebesar 10 kgf pada alat uji keras vickers, pada baja AISI 1025 pada spesimen yang asli dan dapat diperoleh dengan rata-rata nilai kekerasan vickers ialah 187,0346 VHN. Hasil data-data yang didapat dari hasil pengujian yang vickers pada baja AISI 1025 dilampirkan pada tabel diatas dan dapat didilihat pada baja AISI 1025 pada titik 1 dan titk 2 mengalami peningkatan kekerasan dan pada titik 3 peningkatan kekerasan semangkin keras. Maka dapat dijelaskan dalam bentuk gambar grafik 15. Gambar 15 Grafik hasil uji vickers baja AISI 1025 original 4.3. Hasil Uji Struktur Mikro Struktur mikro yang terdapat pada hasil pengujian ini diambil dengan menggunakan mikroskop optic dengan pembesaran 500X pada setiap spesimen uji. Dan dengan mikroskop optic kita dapat mengetahui bentuk ferit dan martensit. 4.4. Hasil Foto Mikro Struktur Spesimen Asli Struktur mikro yang terdapat pada hasil pengujian ini diambil dengan menggunakan mikroskop optic dengan pembesaran 500X pada setiap spesimen uji yang terdapat pada gambar 16. ferrite martensit Gambar 16 Struktur mikro baja AISI 1025 pada spesimen asli Gambar 16 diatas, dapat dilihat bahwa struktur yang diperoleh dari spesimen asli ini adalah ferrite karena jumlah martensite yang terbentuk sedikit sehingga peningkatan kekerasannya pun kecil.

5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1.KESIMPULAN Berdasarkan hasil dari pengujian dan pembahasan pada bab sebelumnya, uji kekerasan vickers pada material baja AISI 1025 asli dan baja AISI 1025 yang melalui proses pemanasan (hardening) dengan variasi suhu 800 0 C, 850 0 C dan 900 0 C yang kemudian didinginkan secara cepat dengan media pendingin air, air garam dan oli, mempunyai beberapa kesimpulan atau penjelasan sebagai berikut : 1. Pada hasil pengujian uji kekerasan Vickers material baja AISI 1025 asli dan hardening dengan variasi suhu 800 0 C, 850 0 C dan 900 0 C yang kemudian didinginkan dengan media pendingin air, air larutan garam dan oli menghasilkan uji kekerasan Vickers dengan nilai rata-rata masingmasing spesimen. a. nilai rata-rata uji kekerasan Vickers pada baja asli = 187.0346 VHN b. nilai rata-rata uji kekerasan Vickers pada suhu 800 0 dengan media pendingin air = 225.9393 VHN, dengan media pendingin air larutan garam = 267.4606 VHN, dengan media pendingin oli = 174.5508 VHN. c. nilai rata-rata uji kekerasan Vickers pada suhu 850 0 dengan media pendingin air = 336.9085 VHN, dengan media pendingin air larutan garam = 378.4476 VHN, dengan media pendingin oli = 183.3511VHN. d. nilai rata-rata uji kekerasan Vickers pada suhu 900 0 dengan media pendingin air = 245.5047 VHN, dengan media pendingin air larutan garam = 190.8039 VHN, dengan media pendingin oli = 162.7562 VHN. 2. Dari nilai rata-rata uji kekerasan Vickers yang dihasilkan pada baja AISI 1025 asli dan proses pemanasan (hardening) dengan variasi suhu 800 0 C, 850 0 C dan 900 0 C yang kemudian didinginkan secara cepat dengan media pendingin air, air garam dan oli, adalah baja AISI 1025 yang di panaskan (hardening) suhu 850 0 C memiliki tingkat kekerasan uji vickers yang lebih tinggi dibandingkan dengan baja AISI 1025 asli, baja AISI 1025 yang melalui pemanasan hardening 800 0 C dan pemanasan hardening 900 0 C. Dan dari penelitian yang sudah dilakukan pada setiap suhu media pendingin air garam memiliki tingkat kekerasan yang tinggi di bandingkan dengan media pendingin air dan oli yang telah terbukti dengan melakukan penilitian dengan melakukan proses pengujian Vickers. 3. Dari hasil pemanasan (hardening) dengan variasi suhu 800 0 C, 850 0 C dan 900 0 C dilakukan pengamatan foto struktur mikro pada bagian tepi menunjukan fasa martensite, semakin banyak fasa martensite yang terbentuk menyebabkan tingkat kekerasan semakin tinggi, dalam hasil pengamatan terdapat perbedaan antara beberapa variasi hardening dan media pendingin. 5.2 Saran Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, penulis menyarankan beberapa hal antara lain: 1. Untuk membuat komponen yang membutuhkan kekerasan yang lebih tinggi sebaiknya digunakan metode hardening dengan suhu 850 0 C, dan dinginkan dengan media pendingin air. Dan jangan menggunakan suhu 900 0 C dikarenakan bisa melepas karbon yang terikat pada baja tersebut karena pemanasan pada suhu 900 0 C sudah berada pada suhu A 3. 2. Disarankan untuk mengembangkan judul dari skripsi saya dengan melakukan proses crburizing dengan berbagai hardening atau berbagai variasi holding time dengan media pendingin air garam.

3. Peneliti harus melakukan perawatan yang lebih pada peralatan yang bersinggungan langsung dengan reagent karena akan menyebabkan korosi. DAFTAR PUSTAKA al-matsany. (2012, 3 12). http://blog.ub.ac.id/pertamaxxx diagramttt-time temperature transformation/. Diakses 04 Desember 2015. Pukul 19.00 WIB. Retrieved 12 4, 2015 Callister, Wiliam D. Material Science and Engineering 7th. John Wiley & Sons, Inc. Kanada. (2007). Handbook, A. (1993). baja dapat diaplikasikan berdasarkan komposisi kimianya. Kalogueloe.blogspot, 2. (2013, 5 15). http://kalogueloe.blogspot.co.id/2013/03/p engujian-keras-brinell-vickers.html. Retrieved 8 19, 2016, from http://kalogueloe.blogspot.co.id/2013/03/p engujian-keras-brinell-vickers.html. review, K. (2004). chain sprocket apllikasi baru di segmen otomotif yang menjanjikan KS Review Vol no 2004.p62. schonmetz. (1985). Schonmetz, Alois Karl Gruber. 1985. Pengetahuan Bahan dalam Pengerjaan Logam. Aksara. Bandung. shackelford. (1996). Shackelford, James, F. Introduction to Material Science for Engineering. Mc Graw Hill Companies, Inc. Totten. GE, B. (1993). Totten, GE, Bates, CE, Clinton, NA, Handbook of Quenchant and Quenching Technology, ASM International. USA. USA.