BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun. politik dan kekuasaan pemerintah.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Republik Indonesia Tahun BPK merupakan suatu lembaga negara yang bebas dan

BAB I PENDAHULUAN. Pengawasan keuangan negara secara konstitusional dilakukan oleh suatu badan

BAB 1 PENDAHULUAN. Sebagai wujud pertanggungjawaban daerah atas otonomi pengelolaan keuangan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PADANG LAWAS UTARA,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Auditor merupakan profesi yang mendapat kepercayaan dari publik untuk

BAB I PENDAHULUAN. tindak pidana korupsi sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No. 31

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggara negara memerlukan aspek akuntabilitas (pertanggungjawaban).

BAB I PENDAHULUAN. publik dalam rangka pemenuhan hak publik. Untuk pengertian good governance,

BAB 1 PENDAHULUAN. menunjukkan titik terang, untuk mendorong perubahan dalam tata kelola

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintahan Daerah, yang disebut dengan Desentralisasi adalah penyerahan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan yang sangat pesat tersebut

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu lembaga negara yang ada di Indonesia adalah Badan Pemeriksa

BERITA DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2017 NOMOR 30

PEMERINTAH KOTA PADANG

BAB I PENDAHULUAN. Semakin meningkatnya tuntutan masyarakat atas penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. selanjutnya disebut UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa. berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. laporan pertanggungjawaban berupa Laporan Keuangan. Akuntansi sektor publik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan

d. bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 3 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 52 Tahun 2012 tentang Pedoman Pengelolaan Investasi Pemerintah Daerah,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB1 PENDAHULUAN. Salah satu agenda reformasi adalah desentralisasi keuangan dan. otonomi daerah sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang (UU) No.

WALIKOTA MAKASSAR PROVINSI SULAWESI SELATAN

PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN Konstitusi dan Rule of Law

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

PROVINSI JAWA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN. ini adalah semakin menguatnya tuntutan masyarakat terhadap pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. Pada pertengahan April 2016, Gubernur Daerah Khusus Istimewa (DKI)

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG

BAB 1 INTRODUKSI. riset, problem riset, pertanyaan riset, motivasi riset, tujuan riset, kontribusi riset,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BUPATI CILACAP PROVINSI JAWA TENGAH

2016, No Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Indonesia Nomor 3851); 2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang

BAB I PENDAHULUAN. melakukan audit terhadap pemerintah. Sedangkan undang-undang No 15 tahun

BAB I PENDAHULUAN. dikuatkan dan diatur oleh perundang-undangan yang berlaku. Dengan

Sub Bagian Hukum dan Humas BPK RI Perwakilan Provinsi Bali

BAB I PENDAHULUAN. governance) melalui upaya penegakan asas-asas pemerintahan yang baik dan

PENDAHULUAN. kendatipun disebut sebagai karya agung yang tidak dapat terhindar dari

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KASUS BANTUAN SOSIAL FIKTIF DI KLUNGKUNG TERANCAM. nusabali.com

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia telah beberapa kali mengalami amandemen. Pasca Reformasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pemeriksaan laporan keuangan/auditing secara umum adalah suatu proses

BAB I PENDAHULUAN. Konsep good governance memiliki arti yang luas dan sering dipahami

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan pelaksanaan akuntabilitas sektor publik terhadap terwujudnya

BAB I PENDAHULUAN. terjadinya krisis ekonomi di Indonesia ternyata disebabkan oleh buruknya

BAB I PENDAHULUAN. besarnya penyerahan wewenang dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, dimana

KESEPAKATAN BERSAMA BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DAN KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 01/KB/I-VIII.

I. PENDAHULUAN. proses penyelenggaraan kegiatan negara yang berkenaan dengan kepentingan publik.

BAB I PENDAHULUAN. terwujudnya good governance. Hal ini memang wajar, karena beberapa penelitian

BAB VII SIMPULAN DAN REKOMENDASI. penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh Badan Pemeriksa

BPK TETAP AUDIT KEUANGAN BADAN USAHA MILIK NEGARA.

PKSANHAN II PUSAT KAJIAN SISTEM DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. dan kemandirian. Berdasarkan UU No 32 Tahun 2004 Pasal 1 Angka 5 memberikan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. bertujuan untuk menjamin kesesuaian pelaksanaan kegiatan dengan kebijakan

NO SERI. E PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA BARAT NO SERI. E

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PENYERTAAN MODAL DAERAH KEPADA PERUSAHAAN DAERAH AIR MINUM KABUPATEN SINJAI

Walikota Tasikmalaya Provinsi Jawa Barat

BAB II KAJIAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS. yang dapat dijadikan milik Negara (UU no 17 pasal1 ayat1). Undang undang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Tuntutan pelaksanaan akuntabilitas sektor publik terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan jaman dan era globalisasi yang begitu pesat menjadi suatu

BAB I PENDAHULUAN. Guna menunjang profesionalisme sebagai akuntan publik, maka auditor dalam

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan yang baik (good governance), yaitu pemerintahan yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. mulanya diawali dengan adanya perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2017 TENTANG PEMBINAAN DAN PENGAWASAN PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN DAERAH

WALIKOTA PARIAMAN PERATURAN DAERAH KOTA PARIAMAN NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG

I. PENDAHULUAN. pengukuran kinerja pada capacity building yang mengikuti pola reinventing

LEMBARAN NEGARA. KEUANGAN BPK. Tata Kerja. Pencabutan. PERATURAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

2016, No Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3852); 2. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 200

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

2017, No Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5679); M

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. desentralisasi fiskal menitik beratkan pada pemerintah daerah. Pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien, serta sesuai dengan rencana,

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt cüéä Çá ]tãt UtÜtà

BAB 1 PENDAHULUAN. penerapan sistem pertanggung jawaban yang tepat, jelas, terukur, dan legitimate

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

peraturan (norma) dan kondisi pelaksanaannya, termasuk peraturan pelaksanaan dan limitasi pembentukannya. 2. Peninjauan, yaitu kegiatan pemeriksaan

BAB I PENDAHULUAN. Nepotisme). Banyaknya kasus korupsi yang terjadi akhir-akhir ini menjadikan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR..TAHUN.. TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Belanja Daerah (APBD). Dampak dari sistem Orde Baru menyebabkan. pemerintah daerah tidak responsif dan kurang peka terhadap aspirasi

PERTANGGUNGJAWABAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN Oleh : Andrizal 1 ABSTRACT

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan tentang pentingnya penelitian dilakukan. Bab ini meliputi

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintahan Daerah yang baik (good local governace) merupakan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI TAPIN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TAPIN NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG

Tugas dan Wewenang serta Dasar Hukum Lembaga Negara

WALIKOTA MAGELANG PERATURAN DAERAH KOTA MAGELANG NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG

WALIKOTA SAWAHLUNTO PROVINSI SUMATERA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. menolak hasil dengan memberikan rekomendasi tentang tindakan-tindakan

SELAYANG PANDANG BPK PERWAKILAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah terjadi perubahan yang mendasar salah satunya Pasal 23 ayat (5) yang mengatur kedudukan dan tugas Badan Pemeriksa Keuangan. Penyusun Undang-Undang Dasar 1945 menyadari bahwa pemeriksaaan pengelolaan keuangan negara merupakan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah, sehingah perlu untuk membentuk suatu badan yang terlepas dari pengaruh politik dan kekuasaan pemerintah. Perbaikan transparansi dan tata kelola pemerintahan yang baik adalah bagian terpenting dari penegakan Good Governance, transparansi dan akuntabilitas keuangan negara yang harus diwujudkan dalam lima tahapan pengelolaan dan pertanggung jawaban keuangan negara. Tahapan-tahapan tersebut adalah yang pertama; perencanaan dan penganggaran; kedua, pelaksanaan anggaran, ketiga, akuntansi, pelaporan dan pertanggung jawaban anggaran, keempat; pengawasan internal, dan kelima, pemeriksaan oleh auditor eksternal yang independen. Bagaimana mewujudkan aspirasi tersebut, pemerintah yang dipimpin dan dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum tahun 1999 menyampaikan paket undang-undang keuangan negara, yang terdiri dari tiga rancangan undang-undang (RUU). Rancangan Undang-Undang Keuangan 1

2 Negara, RUU tentang Perbendaharaan Negara, dan RUU Pemeriksaan Tanggung jawab Keuangan Negara kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Ketiga rancangan undang-undang tersebut pada akhirnya menjadi paket Undang -undang Keuangan Negara, yang terdiri dari Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 ( yang selanjutnya disebut Undang-undang Keuangan Negara), Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (selanjutnya disebut Undang-undang Perbendaharaan Negara), dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan Negara selanjutnya disebut dengan (Undangundang Badan Pemeriksa Keuangan Negara). Peraturan perundang-undangan tersebut merupakan landasan yuridis bagi negara untuk melaksanakan tugasnya melakukan penyelenggaraan pemerintah negara yang berkaitan dengan pemeriksa dan tanggung jawab keuangan negara. Undang-undang Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003 mengatur hal-hal yang meliputi pengertian dan ruang lingkup keuangan negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 mengatur ruang lingkup dan asas umum perbendaharaan negara, sedangkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang BPK mengatur hal yang meliputi kedudukan, tugas, kewajiban dan kewenangan BPK. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan Sebuah tuntutan reformasi dimana untuk menjadi suatu pemerintahan yang

3 baik dan bersih dan bebas dari Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) diharuskan untuk segera melakukan perubahan pembentukan perubahan perundang-undangan dan kelembagaan negara. Pada amandemen ketiga dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 merupakan suatu tujuan reformasi atas Pasal 23 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang mengatur tentang Badan Pemeriksa Keuangan, yang berfungsi untuk mengatur dan mengelolah keuangan negara. Pasal 23 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 juga menjelaskan kedudukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan disertai untuk memperkuat peran dan kinerjanya. BPK harus mandiri dan bebas dari ketergantungan pada pemerintah dalam hal kelembagaan, dan pelaporan sangat diperlukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), agar tugas dan amanat yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Seiring dengan gerakan reformasi tahun 1998, lahirnya tuntutantuntutan seperti: perubahan perbaikan sistem penyelenggaraan pemerintahan lebih berperannya pihak swasta /dunia usaha dan masyarakat sipil atau rakyat berdasarkan Good Governance dan untuk mewujudkan cita-cita reformasi tersebut diperlukan reformasi kelembagaan (institusional reform) dan reformasi manajemen publik ( publik manegement reform ) serta serangkaian reformasi lanjutan terutama yang berkaitan dengan sistem pengelolaan keuangan pemerintah (Mardiasmo, 2004: 24-27).

4 Konsepsi demikian menuntut adanya perbaikan, perubahan dan reformasi pada lembaga-lembaga negara atau pemerintah dalam arti luas, khususnya yang terkait dengan pengawasan keuangan negara, seperti yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, Menurut (Muchsan,1981: 36) Dalam rangka menciptakan pemerintahan yang kuat dan bersih pemerintah akan selalu berusaha akan menekan seminimal mungkin terjadinya perbuatan pemerintahan yang tendensinya merugikan pihak administrasi. Dikatakan pula bahwa dalam pengawasan terhadap perbuatan aparat pemerintah dapat dilakukan oleh semua aparat pemerintah atau aparat lain diluar eksekutif secara fungsional, dapat pula dilakukan oleh kekuasaan kehakiman, (Muchsan,1981: 39). Kedudukan BPK RI di Indonesia adalah sebagai salah satu lembaga negara yang menjadi pelaksana amanat konstitusional yaitu memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara, seperti yang diatur dalam Bab VIII A, Pasal 23 E, 23F, dan 23 G, Undang-Undang Dasar 1945. Mencermati hakikat Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur tentang eksistensi Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI), dapat dikatakan bahwa BPK RI sebagai salah satu lembaga negara, memiliki kedudukan yang kuat dan kokoh sehingga diharapkan mampu menerapkan sistem pengawasan keuangan negara yang baik yaitu dengan melakukan pemeriksaaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara untuk menjamin tidak terjadinya kebocoran dalam pengunaan keuangan negara. Pada sisi lain, optimalisasi kinerja lembaga ini mestinya mampu mewujudkan

5 cita-cita reformasi untuk melakukan perubahan sistem pemerintahan yang bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, (KKN) yang bertumpu pada prinsip Good Governance. Sebagaimana dikemukakan oleh Roscoe Pound Bahwa tugas utama hukum adalah untuk melakukan rekayasa sosial, dengan fungsi utama antara lain untuk melindungi kepentingan, yaitu kepentingan umum, kepentingan sosial dan kepentingan peribadi secara seimbang (Otje Salman, 2007: 48). Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan lahirnya paket Undang-undang Keuangan Negara ditambah Undang-undang BPK merupakan salah satu cara yang diambil oleh masyarakat Indonesia melalui wakil-wakilnya di DPR untuk melakukan perubahan dalam bidang pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara di Indonesia dalam rangka melindungi kepentingan umum rakyat Indonesia. Tugas dan wewenang Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI) diatur dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK yang diatur pada Bab III bagian kesatu, pada Pasal 6 ayat (1) menjelaskan tentang tugas BPK yaitu BPK bertugas memeriksa dan bertanggung jawab terhadap pengelolaan keuangan negara, yang dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga negara lainya, Bank Indonesia, BUMN, Badan layanan Umum, BUMD dan lembaga yang mengelola keuangan negara, dan pada pasal 7 ayat (1) menjelaskan bahwa BPK harus menyerahkan hasil pemeriksaan pengelolaan keuangan negara yang dilakukan kepada DPR, DPD, dan DPRD. Wewenang BPK juga diatur dalam

6 Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK pada Pasal 10 ayat (1) menjelaskan yaitu. BPK berwenang menilai dan/atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh bendahara, pengelola BUMN/BUMD, dan lembaga atau badan lain yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Kewenangan untuk menghitung kerugian negara juga dapat dilakukan oleh lembaga lain yaitu Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), kewenangan BPKP sebelumnya diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang kedudukan tugas, fungsi kewenangan, susunan organisasi dan tata kerja lembaga pemerintah non departemen sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 192 Tahun 2014 tentang Badan Pengawasan dan Pembangunan. Keputusan Presiden tersebut tidak mencamtumkan kewenangan BPKP dalam menghitung kerugian negara. Pada akhirnya kewenangan BPKP ini mendapat titik terang yaitu dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2008 tentang sistem pengendalian Intern Pemerintah pada Pasal 49 ayat (1) dan (2). Peraturan Pemerintah tersebut menjelaskan bahwa BPKP melakukan pengawasan intern melalui kegiatan audit, khususnya audit investigasi atau audit dengan tujuan tertentu yang ranahnya kemudian berujung pada kerugian negara. Kemudian diperkuat dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU- X/2012 tanggal 23 oktober 2012 yang menguatkan kewenangan BPKP untuk

7 melakukan audit investigasi berdasarkan Peraturan Presiden 192 Tahun 2014 dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008. BPKP dan BPK masingmasing memiliki kewenangan untuk melakukan audit investigasi dan menghitung kerugian negara. Sebelumnya terdapat beberapa pandangan yang berbeda dari para ahli tentang kewenangan lembaga yang menghitung kerugian negara untuk dijadikan sebagai alat bukti dalam melakukan pembuktian tindak pidana korupsi, diantaranya ahli keuangan negara, Dian Puji Simatupang yang dihadirkan oleh tim penasihat hukum mantan Dirut PLN. Dian Puji Simatupang, mengatakan bahwa BPKP tak lagi berwenang menghitung kerugian negara. Menurutnya yang memiliki kewenangan menghitung dan mengaudit kerugian negara adalah BPK, hal ini dipertegas dalam Undangundang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK, BPKP bisa menghitung kerugian negara asalkan ada ijin dari Presiden dan Menteri. Ia juga mengatakan, apabila ada hasil audit yang dikeluarkan bersamaan oleh BPK dan lembaga lain, penegak hukum harus mengacu pada hasil BPK, karena lembaga tersebut memiliki kewenangan dalam menghitung dan mengaudit kerugian negara. Ia tidak memungkiri dalam Pasal 6 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, BPKP diperbolehkan menghitung dan mengaudit kerugian negara. namun klausul undang-undang tersebut diperbaharui dengan lahirnya Undang-undang BPK pada Tahun 2006. Pendapat lain juga yang disampaikan oleh Oce Madril menyatakan bahwa BPKP berwenang menghitung Kerugian Negara Berdasarkan Kepres

8 103/2001, dan Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian Sistem Pengendalian Intern Pemerintah yang dikuatkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 31/PUU-X/2012, sedangkan Mudzakir menyatakan BPKP tidak berwenang menghitung kerugian negara, (dari http://www.surabaya.bpk.go.id/wp-content/uploads/2013/09/kewenangan- Penghitungan-Kerugian-Negara. diunduh 14 Mei 2016, 10:00). Contoh kasus lain yaitu perbedaan hasil audit antara BPK RI dan BPKP terkait pengadaan lahan PKS Abdya. Seperti dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) saat sidang perdana di Pengadilan Negeri Tipikor Banda Aceh pada 6 Juli 2015, kasus pengadaan lahan PKS Abdya diduga merugikan negara senilai Rp. 764.388.300,-(tujuh ratus enam puluh empat juta tiga ratus delapan puluh ribu tiga ratus rupiah). Hasil kerugian negara ini didapatkan penyidik berdasarkan laporan hasil audit BPKP Provinsi Aceh atas penghitungan kerugian keuangan negara nomor :SR-2195/PW.01/5/2013 tanggal 01 Nopember 2013. Anehnya, hasil audit BPKP ini berbeda jauh dengan hasil audit dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) yang menyatakan bahwa tidak ditemukan kerugian negara dalam pengadaan Tanah untuk PKS Abdya, BPK hanya merekomendasikan Pemkab Abdya segera melakukan sertipikasi untuk tanah yang belum memiliki sertipikat di lokasi PKS tersebut. (http://www.kompasiana.com/anasdjabo/kasus-lahan-pks-abdyamenguji-kewenangan-bpk-vs-bpkp_55f30503397b615819b7b1ce. diunduh 14 juli 2016, 09:00).

9 Kendala lain yang dihadapi BPK dalam melaksanakan tugas dan fungsi sebagai lembaga yang melakukan pemeriksaan terhadap pengelolaan keuangan negara baik yang dilaksanakan oleh pemerintah pusat/ daerah dan lembaga lainya yaitu adanya perbedaan pandangan antara lembaga maupun pakar tentang lembaga yang berkewenangan untuk menghitung kerugian negara, dan juga kurangnya tindak lanjut hasil pemeriksaan oleh lembaga yang berwenang atas hasil laporan pemeriksa yang dilakukan oleh BPK. Bertolak dari uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji permasalahan tersebut dalam penelitian dengan judul: Kewenangan Penghitungan Kerugian Negara Oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia dalam Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat diambil suatu permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana kewenangan BPK dalam menghitung kerugian negara dalam pembuktian tindak pidana korupsi? 2. Apa saja kendala-kendala yang dihadapi dalam menjalankan kewenangan penghitungan kerugian negara oleh BPK dalam pembuktian tindak pidana korupsi? 3. Bagaimana upaya untuk mengatasi kendala-kendala yang dihadapi BPK dalam kewenangan penghitungan kerugian negara dalam pembuktian tindak pidana korupsi?

10 C. Batasan Masalah. Penelitian ini dibatasi pada kajian terhadap Undang-undang BPK, mengenai kewenangan BPK untuk menghitung kerugian negara dalam pembuktian tindak pidana korupsi, kemudian mengidentifikasi kendalakendala BPK dalam melaksanakan kewenangan untuk menghitung kerugian negara dan upaya mengatasi kendala-kendala tersebut melalui tata kelola pemerintahan yang baik, agar tugas dan wewenang BPK dapat berjalan dengan baik. D. Tujuan Penelitian Bagian ini menguraikan apa yang dicapai oleh peneliti apa yang terkait dengan masalah hukumnya, tujuan penelitian yang hendak dicapai dalam penelitian hukum ini adalah untuk; 1. Mengetahui dan mengkaji kewenangan penghitungan kerugian negara yang dilakukan oleh BPK dalam pembuktian tindak pidana korupsi. 2. Mengetahui faktor yang menjadi kendala dalam pelaksanaan kewenangan penghitungan kerugian negara oleh BPK dalam pembuktian tindak pidana korupsi. 3. Mengetahui upaya - upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi kendala dalam kewenangan penghitungan kerugian negara oleh BPK dalam pembuktian tindak pidana korupsi. E. Manfaat Penelitian. Ada 2 (dua) manfaat penelitian Objektif dan Subjektif yaitu: Manfaat secara Objektif yaitu:

11 1. Manfaat objektif dari penulisan ini adalah dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para penyelenggara pemerintah pusat dan daerah, khususnya dalam hal kewenangan pemeriksaan dan pengelolaan keuangan negara oleh BPK. 2. Bagi lembaga pengelola keuangan negara, penulisan ini dapat diharapkan menjadi bahan kajian atau pun bahan evaluasi terkait dengan wewenang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). 3. Bagi masyarakat, penulisan tesis ini diharapkan dapat menjadi bahan dan sumber informasi yang menambah pengetahuan dan wawasan masyarakat terkait dengan tugas dan wewenang sebagai lembaga pemeriksa kerugian negara Manfaat Subyektif yaitu Bagi Penulis sendiri, penulisan tesis ini dapat diharapkan menambah pengetahuan baru ataupun pemikiran baru tentang wewenang Badan Pemeriksa Keuangan, dalam melaksanakan tugasnya untuk menghitung kerugian negara. F. Keaslian Penelitian Judul penelitian hukum ini adalah kewenangan penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK. Penelitian ini merupakan karya asli dari penulis dan bukan merupakan hasil plagiasi dari hasil penelitian maupun karya-karya tulis lainya. Tahap awal dalam penelitian ini telah ditemukan beberapa tesis yang terkait dengan masalah kewenangan BPK. Penelitian yang secara

12 khusus mengenai kewenangan penghitungan kerugian negara oleh BPK hingga saat ini belum ada. Berikut ini merupakan karya tulisan berupa tesis yang digunakan sebagai pembanding: 1. Erianur, Nomor Mahasiswa 067005029/HK,2010 program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara., dengan judul," Analisa Yuridis Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan Dalam pemeriksaan Keuangan Daerah ". Rumusan Masalah : a. Bagaimana Perimbangan Keuangan Negara dan Daerah setelah Reformasi? b. Bagaimana Pengelolaan Keuangan APBD dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah? c. Bagaimana Norma Pemeriksaan APBD oleh Badan Pemeriksa Keuangan? Hasil penelitian. Hal pertama Perimbangan Keuangan Negara dan Daerah adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proposional, demokratis, transparan, dan bertanggung jawab dalam rangka pendanaan penyelengaraan desentralisasi, dengan mempertimbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan daerah serta besaran pendanaan penyelengaraan dekonsentralisasi dan tugas pembantu, yang kedua perlu kecakapan yang tinggi bagi pimpinan daerah

13 agar pengelolaan dan terutama alokasi dari keuangan daerah dilakukan secara efektif dan efisien guna mencapai tujuan-tujuan pembangunan daerah. dan yang ketiga norma pemeriksaan APBD oleh BPK didasarkan kepada ketentuan dalam Undang-undang BPK. Persamaan dari penulisan tesis tersebut dengan tesis penulis teliti yaitu sama-sama membahas tentang Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia ( BPK RI) akan tetapi terdapat perbedaan yaitu penulis membahas tentang kewenangan penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK dalam pembuktian tindak pidana korupsi. Serta juga terletak pada judul tesis yaitu kewenagan lembaga yang dalam menghitung kerugian keuangan negara yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 2. Rusmilah, Nomor Mahasiswa 1488/PS/MH/, 2011 Magister Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Unversitas Gadjah Mada Yogyakarta, judul," Fungsi Pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap Pelaksanaan Anggaran di Kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM DIY (Khusus Pelaksanaan Anggaran di sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan)". Rumusan Masalah : 1. Bagaimanakah proses pengawasan oleh Badan Pemeriksa Keuangan terhadap pengelolaaan keuangan pada sub. bagian keuangan dan perlengkapan? 2. Apakah ada hambatan dalam pengawasan oleh Badan Pemeriksa Keuangan terhadap pengelolaan keuangan pada sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan

14 3. Langkah apa yang seharusnya dilakukan dalam menghadapi kendala di sub. Bagian Keuangan dan Perlengkapan Hasil Penelitian : Pertama Depertemen Hukum dan HAM telah memiliki struktur organisasi yang jelas yang mengatur mengenai tugas dan pekerjaan (job description) dari masing - masing bagian organisasi. Berdasarkan hasil telaah dari BPK, sudah ada komitmen yang kuat untuk meningkat tingkat kompetensi (pengetahuan dan keahlian) para pengelola Sistem Akuntansi Pemerintah (SAP). Upaya kantor Wilayah Kementrian Hukum dan HAM DIY untuk meningkatkan kopetensi telah dilakukan dengan melakukan sosialisasi dan pelatihan terhadap operator SAI dan SABMN. Hal kedua yang menjadi hambatan dalam proses pengawasan adalah aspek yuridis, aspek sumber daya manusia, aspek sarana dan prasarana. dan yang ketiga langkah yang seharusnya dilakukan adalah agar segera dilakukan sosialisasi mengenai pelaksana pelaporan keuangan secara terus menerus. Persamaan dalam penulisan tesis tersebut terletak di mana sama-sama membahas tentang Badan Pemeriksa Keuangan, akan tetapi terdapat perbedaan yang mendasar dimana penulis membahas tentang kewenangan penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK, sedangkan yang di jadikan tesis pembanding yang meneliti lebih kespesifik yaitu, Fungsi Pengawasan Badan Pemeriksa Keuangan terhadap pelaksanaan anggaran di

15 Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM DIY (Khusus Pelaksanaan Angaran di sub Bagian Keuangan dan Perlengkapan). 3. Dicky Jatnika, Nomor Mahasiswa: 08/279614/PHK/5630,2010, Magister Hukum Program Pasca sarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Judul," Tinjauan Yuridis Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan dalam Pelaksanaan Tugas Pemeriksaan Keuangan", Rumusan Masalah: 1). Bagaimana kebebasan dan kemandirian Badan Pemeriksa Keuangan terkait dengan pelaksanaan tugas pemeriksaan keuangan yang ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan 2). Apa saja yang dimaksud " bebas dan mandiri " dalam pelaksanaan pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara sebagaimana ditentukan dalam pasal 23 E ayat (1) UUD 1945. 3). Apa hambatan-hambatan hukum dan bagaimana mengatasi hambatanhambatan hukum yang terkait dengan kebebasan dan kemandirian Badan Pemeriksa Keuangan melaksanakan pemeriksaan keuangan negara. Hasil penelitian : Pertama gambaran tentang kebebasan dan kemandirian Badan Pemeriksa Keuangan dalam melaksanakan tugas pemeriksaan keuangan negara terdiri kebebasan dan kemandiriaan dalam bidang pemeriksaan,

16 organisasi dan sumber daya manusia serta dalam bidang anggaran. yang kedua tujuan dari kebebasan dan kemendirian adalah agar dalam melaksanakan tugas BPK dapat bekerja secara baik dan profesional sehinga pada akhirnya laporan hasil pemeriksaan yang dihasilkan dapat secara optimal memberikan gambaran pengelolaan keuangan negara, dan yang ketiga. Hambatan hukum terkait dengan kebebasan dan kemandirian BPK terdapat dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003, Undang-undang Nomor 28 Tahun 2004, Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004, penjelasan Pasal 34 ayat (2a) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 dan Undangundang Nomor 1 Tahun 2004 solusi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan mengenai keuangan negara. Persamaan dalam penulisan tesis tersebut terletak di mana sama-sama membahas tentang Badan Pemeriksa Keuangan, akan tetapi terdapat perbedaan yang mendasar, yaitu penulis membahas tentang kewenangan penghitungan kerugian keuangan negara oleh BPK dalam pembuktian tindak pidana korupsi, sedangkan yang dijadikan tesis pembanding yang meneliti yaitu, Tinjauan Yuridis Kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan dalam Pelaksanaan Tugas Pemeriksaan Keuangan".