BAB V ANALISIS STRATIGRAFI SEKUEN, DISTRIBUSI DAN KUALITAS RESERVOIR

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III METODOLOGI PENELITIAN

IV.2 Pengolahan dan Analisis Kecepatan untuk Konversi Waktu ke Kedalaman

Bab V. Analisa Stratigrafi Sekuen

BAB V SEKUEN STRATIGRAFI

Gambar 4.5. Peta Isopach Net Sand Unit Reservoir Z dengan Interval Kontur 5 Kaki

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS

Foto 4.9 Singkapan batupasir sisipan batulempung

HALAMAN PENGESAHAN KATA PENGANTAR

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

ANALISIS STRATIGRAFI SEKUEN FORMASI TARAKAN, KAITANNYA DENGAN DISTRIBUSI DAN KUALITAS RESERVOIR DI SUB-CEKUNGAN TARAKAN KALIMANTAN TIMUR TESIS

BAB III PEMODELAN GEOMETRI RESERVOIR

BAB IV UNIT RESERVOIR

DAFTAR ISI. SARI... i. ABSTRACT... ii. KATA PENGANTAR... iii. DAFTAR ISI... vi. DAFTAR GAMBAR... x. DAFTAR TABEL... xvi BAB I PENDAHULUAN...

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB 4 ANALISIS FASIES SEDIMENTASI DAN DISTRIBUSI BATUPASIR C

Gambar 3.21 Peta Lintasan Penampang

BAB II. KAJIAN PUSTAKA

BAB III GEOMETRI DAN KARAKTERISASI UNIT RESERVOIR

BAB IV ANALISIS SEDIMENTASI

BAB IV ANALISIS BIOSTRATIGRAFI DAN STRATIGRAFI SEKUEN

BAB V INTERPRETASI DATA. batuan dengan menggunakan hasil perekaman karakteristik dari batuan yang ada

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

Bab III Analisis Stratigrafi Sikuen

Aplikasi Metode Dekomposisi Spektral Dalam Interpretasi Paleogeografi Daerah Penelitian

Interpretasi Stratigrafi daerah Seram. Tabel 4.1. Korelasi sumur daerah Seram

BAB IV PEMODELAN RESERVOAR

BAB III METODE PENELITIAN. Dalam penelitian ini diperlukan uraian mengenai objek dan alat alat yang

Bab III Pengolahan dan Analisis Data

PROGRAM STUDI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN YOGYAKARTA 2011

Bab I Pendahuluan 1.1 Subjek dan Objek Penelitian 1.2 Latar Belakang Permasalahan 1.3 Masalah Penelitian

Tabel hasil pengukuran geometri bidang sesar, ketebalan cekungan dan strain pada Sub-cekungan Kiri.

BAB III KARAKTERISASI RESERVOIR

BAB III DATA DAN PENGOLAHAN DATA

Sejarah Dan Lokasi Lapangan IBNU-SINA

Bab III Studi Stratigrafi Sekuen

BAB I PENDAHULUAN. Lapangan X merupakan salah satu lapangan eksplorasi PT Saka Energy

3.1. Penentuan Batas Atas dan Bawah Formasi Parigi

PENENTUAN SIFAT FISIK BATUAN RESERVOIR PADA SUMUR PENGEMBANGAN DI LAPANGAN RR

BAB IV RESERVOIR KUJUNG I

BAB IV ANALISIS KORELASI INFORMASI GEOLOGI DENGAN VARIOGRAM

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR

I. PENDAHULUAN. Cekungan Asri adalah salah satu cekungan sedimen penghasil hidrokarbon di

BAB I PENDAHULUAN. lebih tepatnya berada pada Sub-cekungan Palembang Selatan. Cekungan Sumatra

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN. Posisi C ekungan Sumatera Selatan yang merupakan lokasi penelitian

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang

Bab IV Analisis Data. IV.1 Data Gaya Berat

BAB IV TEKTONOSTRATIGRAFI DAN POLA SEDIMENTASI Tektonostratigrafi Formasi Talang Akar (Oligosen-Miosen Awal)

BAB II GOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. usia produksi hidrokarbon dari lapangan-lapangannya. Untuk itulah, sebagai tinjauan

BAB III GEOLOGI DAERAH LEPAS PANTAI UTARA MADURA

BAB V HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

BAB III GEOLOGI UMUM 3.1 TINJAUAN UMUM

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN SUMATERA TENGAH

II.1.2 Evolusi Tektonik.. 8

a) b) Frekuensi Dominan ~22 hz

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN

GEOMETRI FACIES SAND LAYER BI-24 BERDASARKAN ANALISA WELL LOG PADA LAPANGAN X PT.PERTAMINA EP

BAB III ANALISIS GEOMETRI DAN KUALITAS RESERVOIR

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB IV ASOSIASI FASIES DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. cekungan penghasil minyak dan gas bumi terbesar kedua di Indonesia setelah

BAB I PENDAHULUAN. Analisis fasies dan evaluasi formasi reservoar dapat mendeskripsi

4.2 Pembuatan Kolom Stratigrafi Pembuatan kolom stratigrafi (Lampiran F) dilakukan berdasarkan atas

BAB 4 KARAKTERISTIK RESERVOIR

BAB I PENDAHULUAN. Lapangan XVII adalah lapangan penghasil migas yang terletak di Blok

Gambar I.1. : Lokasi penelitian terletak di Propinsi Sumatra Selatan atau sekitar 70 km dari Kota Palembang

(a) Maximum Absolute Amplitude (b) Dominant Frequency

KARAKTERISASI RESERVOIR DAN PERHITUNGAN VOLUMETRIK CADANGAN HIDROKARBON PADA RESERVOIR A, LAPANGAN DALMATIAN, CEKUNGAN NATUNA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Pertamina EP yang berada di Jawa Barat (Gambar 1.1). Lapangan tersebut

Bab I. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Zona penelitian ini meliputi Cekungan Kalimantan Timur Utara yang dikenal juga

Gambar 1. Kolom Stratigrafi Cekungan Jawa Barat Utara (Arpandi dan Padmosukismo, 1975)

BAB III METODE PENELITIAN. Objek yang dikaji adalah Formasi Gumai, khususnya interval Intra GUF a sebagai

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

IV-15. Bab IV Analisis Asosiasi Fasies

BAB I PENDAHULUAN. BAB I - Pendahuluan

2.2.2 Log Sumur Batuan Inti (Core) Log Dipmeter Log Formation Micro Imager (FMI)

BAB III DASAR TEORI. 3.1 Analisa Log. BAB III Dasar Teori

III.3 Interpretasi Perkembangan Cekungan Berdasarkan Peta Isokron Seperti telah disebutkan pada sub bab sebelumnya bahwa peta isokron digunakan untuk

Bab I Pendahuluan I.1 Latar Belakang

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN

POTENSI MIGAS BERDASARKAN INTEGRASI DATA SUMUR DAN PENAMPANG SEISMIK DI WILAYAH OFFSHORE CEKUNGAN TARAKAN KALIMATAN TIMUR

STUDI SEKUEN STRATIGRAFI FORMASI PARIGI LAPANGAN C CEKUNGAN JAWA BARAT UTARA KABUPATEN SUBANG, JAWA BARAT

ANALISIS FASIES LAPISAN BATUPASIR G-4, I-20 DAN I-15 BERDASARKAN DATA WIRELINE LOG DAN DATA SEISMIK PADA LAPANGAN DK, CEKUNGAN KUTEI, KALIMANTAN TIMUR

Bab II Tektonostrigrafi II.1 Tektonostratigrafi Regional Cekungan Sumatra Selatan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III TEORI DASAR. III.1. Biostratigrafi

I.1 Latar Belakang I.2 Maksud dan Tujuan

BAB IV PEMODELAN PETROFISIKA RESERVOIR

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB 2 GEOLOGI REGIONAL

6.1 Analisa Porositas Fasies Distributary Channel

DAFTAR ISI. BAB II GEOLOGI REGIONAL... 9 II.1. Tektonik... 9 II.2. Struktur Geologi II.3. Stratigrafi II.4. Sistem Perminyakan...

IV.5. Interpretasi Paleogeografi Sub-Cekungan Aman Utara Menggunakan Dekomposisi Spektral dan Ekstraksi Atribut Seismik

BAB III TEORI DASAR. 3.1 Gelombang Seismik. Suatu gelombang yang datang pada bidang batas dua media yang sifat

BAB II GEOLOGI REGIONAL DAN LAPANGAN TANGO

Transkripsi:

BAB V ANALISIS STRATIGRAFI SEKUEN, DISTRIBUSI DAN KUALITAS RESERVOIR V.1 Analisis Sekuen dari Korelasi Sumur Analisis stratigrafi sekuen pada penelitian ini dilakukan dengan analisis data sumur yang dilanjutkan dengan korelasi antar sumur dan interpretasi stratigrafi seismik. Analisis dilakukan untuk mengenali hubungan antar lapisan batuan pada suatu perulangan kronostratigrafi dalam ruang dan waktu yang terlihat secara tidak langsung pada log sumur dan reflektor seismik yang berkaitan dengan strata yang dibatasi oleh permukaan yang mengalami erosi atau keselarasan lain yang berhubungan atau tidak adanya pengendapan. Selain mengenali dan menentukan batas sekuen dan maximum flooding surface, analisis sekuen juga mengetahui bagaimana perkembangan system-tract dan pola sedimentasi pada paket parasekuen. Pada penampang seismik terlihat pada fasies seismik, kuat lemahnya dan menerus tidaknya reflektor seismik. Keadaan tersebut sebagai pengaruh turun-naiknya muka laut relatif dan kecepatan sedimentasi yang dicerminkan dalam urutan transgresi dan regresi dari lapisan sedimen. Berdasarkan pada analisis dan integrasi motif log sumur dan penafsiran biostratigrafi, pembagian sekuen pada Formasi Tarakan umur Pliosen dihasilkan dua paket sekuen, Sekuen T1 dan T2. Dari data 12 sumur, pada sekuen T1 memiliki ketebalan antara 350 670 m dengan lokasi paling tebal di sumur OB-B1 atau di bagian utara tengah lokasi penelitian. Ketebalan sekuen T2 terhitung berkisar 324 580 m dengan lokasi paling tebal dijumpai pada sumur Bayan A1 atau di wilayah utara bagian barat. Analisis lebih lanjut pada setiap sekuen dari hasil korelasi batas sekuen antar sumur ditafsirkan pada masing-masing sekuen memiliki tiga paket system tract yaitu LST, TST dan HST. Hadirnya lowstand system tract (LST) pada kedua sekuen menandakan telah terjadi penurunan muka air laut secara cepat (forced regression) pada awal sekuen (SB-T1 dan SB-T2) Tesis oleh Priatin Hadi Wijaya, NIM: 22007004 45

V.1.1 Analisis System Tract pada Sekuen T-1 a. Lowstand System Tract (LST) Paket LST dibatasi di bagian bawah oleh batas sekuen SB-T1 dan Trasgressive surface (TS) yang menjadi awal dari TST. Pada paket LST dicirikan secara umum oleh blocky shape pada motif log Vsh dan perubahan lingkungan secara tiba-tiba. Perubahan lingkungan ini terekam jelas pada sumur Kantil-1, OB-B1 dan Vanda-1 dari dari inner-neritic atas menjadi lingkungan supra-tidal (Gambar V.1). Bentuk blocky atau silindris dijumpai pada sumur Bayan A1 yang ditafsirkan sebagai endapan gosong pasir (sand bar). Pada sumur ini nilai Vsh 0,1-0,05 dengan tebal 110 m yang ditafsirkan berada di tengah gosong delta. Perlapisan batupasir dan serpih di sumur Kantil-1 memberikan informasi bahwa paket LST ini dapat dibagi menjadi dua parasekuen. Parasekuen di bawah masih dominan serpih namun di atasnya berubah ke blocky dengan ketebalan batupasir 55 m. Perubahan parasekuen ini bisa diperkirakan selama LST terjadi dua kali regresi, regresi pertama di lokasi Kantil-1 masih pada perbatasan supra-tidal dengan intertidal dan pada regresi kedua telah berubah menjadi lower supratidal dengan sistem pengendapan dominan fluvial-tidal dominated delta. Kedua parasekuen ini membentuk paket mengkasar ke atas dan lapisan pasir menebal ke atas dengan pola sedimentasi progradasi (progradational parasequence set). Di wilayah offshore sebelah timur dari Kantil-1 dan wilayah selatan (Iris-1 ke timur) motif log Vsh berubah menjadi gerigi (saw teeth) yang mengindikasikan erosi pada batas sekuen tidak lagi dominan dengan lingkungan pengendapan di lower intertidal sampai inner-neritic yang bahkan mencapai sumur Vanda-1 di ujung timur (Gambar V.2). b. Transgressive System Tract (TST) Dari sumur Mengatal-1, Iris-1 dan Bunyu-1, pada paket TST yang dibatasi di bagian bawah oleh Trasgressive surface (TS) dan maximum flooding surface (MFS), dapat dibagi menjadi tiga parasekuen membentuk pola retrogradational parasequence set dengan motif log Vsh berupa bell shaped sampai irregular shaped. Hal tersebut mencerminkan perubahan litologi yang semakin menghalus ke atas, menipis ke atas dan menunjukkan energi melemah ke arah atas. Informasi tersebut mengindikasikan terjadi transgresi yang mengubah lingkungan upper- Tesis oleh Priatin Hadi Wijaya, NIM: 22007004 46

middle intertidal dengan unit pengendapan gosong pasir (sand bar) ke lower intertidal sampai inner-neritic. Dari data biostratigrafi, di sumur Dahlia-1 terjadi perubahan lingkungan yang awalnya intertidal menjadi inner-neritic. Bahkan pada sumur Vanda-1 di paling timur, lingkungan pengendapan berubah cepat dari supra-tidal ke inner-neritic dan secara litologi berubah cepat dari sedimen klastik menjadi batugamping (Lampiran-2f). Pada sumur Bayan A1 dan Mengatal-1 dengan ketebalan 95-120 m dan motif log Vsh berbentuk silindris mencerminkan bahwa selama fase TST, lingkungan pengendapan masih stabil di gosong mulut delta yang berarti selama terjadinya transgresi, lingkungan pengendapan di wilayah ini relatif tidak berubah drastis. Kondisi ini dimungkinkan terjadi karena influx sediment cukup besar dan kontinyu. c. Highstand System Tract (HST) Lapisan sedimen pada paket HST dibatasi oleh MFS di bagian bawah dan batas sekuen ke-2 pada Formasi Tarakan (SB-T2). Analisis log Vsh pada sumur Mengatal-1 dan Kantil-1 terlihat paket HST dapat dipilah menjadi empat parasekuen membentuk progradational parasequence set. Di sumur Bayan A1, pola sedimentasi cenderung ke agradational parasequence set. Secara umum, ketebalan paket HST di kedua belas sumur berkisar dari 260 540 m. Endapan HST dicirikan dengan motif log Vsh berupa funnel shape dan silindris di bagian barat atau di Pulau Tarakan, dan di near offshore utara pada sumur Kantil-1. Funnel shaped dan irregular terlihat dominan di bagian timur seperti pada Iris-1, OB-B1, Vanda-1 dan Dahlia-1. Motif log Vsh funnel shaped mengindikasikan perubahan litologi yang semakin kasar ke atas dan menunjukkan energi yang menguat ke atas dan ditafsirkan sebagai endapan proximal to distal sand-bar di wilayah inter-tidal, sedangkan motif log irregular didominasi oleh perselingan batupasir dan batulempung dan ditafsirkan sebagai endapan tidal-plain di wilayah inter-tidal. Bahkan dari data biostratigrafi, lokasi sumur Vanda-1 pada lingkungan outerneritic ke inner-neritic dan lokasi Dahlia-1 di daerah inner neritic. Bentuk relatif silindris dan funnel-shape dengan empat bagian parasekuen nampak pada sumur Bayan A1, Mengatal-1, Selipi-1 dan Sesanip-1 yang mencerminkan selama HST, perubahan permukaan relatif muka laut cukup stabil dengan influx sediment kontinyu dan relatif besar. Ketebalan sedimen batupasir pada sumur Bayan A1 yang memiliki nilai rata-rata Vsh 0,12 Tesis oleh Priatin Hadi Wijaya, NIM: 22007004 47

mencapai 340 m. Selama HST dari bentuk log tersebut, Pulau Tarakan sebagian besar merupakan endapan gosong pasir di area middle-lower supra-tidal dari sistem tidal-fluvial dominated delta. V.1.2 Analisis System Tract pada Sekuen T2 a. Lowstand System Tract (LST) Pada paket LST di sekuen T2 dibatasi di bagian bawah oleh batas sekuen SB-T2 dan Trasgressive surface (TS-T2) yang menjadi awal dari paket TST-T2. Pada paket LST ini dicirikan secara umum oleh blocky shape pada motif log Vsh dan berangsur berubah ke arah timur menjadi blocky shape lebih tipis dan saw-teeth di bagian atas. Perubahan bentuk log Vsh dari arah barat ke timur ini merefleksikan perubahan lingkungan dari proximal-distal sand bar pada area supratidal di di lokasi sumur Mengatal-1, Kantil-1, Sesanip-1 dan Selipi-1 menjadi lingkungan middle to lower intertidal dan inner-neritic di sumur OB-B1, Iris-1, Bunyu C1 dan Dahlia-1. Pada lokasi Mengatal-1 dengan endapan LST memiliki ketebalan 210 m dan nilai Vsh 0,14 ditafsir sebagai endapan gosong pasir di wilayah proximal tidal-fluvial dominated delta. Di lokasi Iris-1 dan Bunyu-1, lapisan LST dengan respon log bell shape diindikasikan sebagai endapan lower tidal channel di lingkungan marginal deltaic plain (Gambar V.3). Berdasarkan karakter log, paket LST dapat dipilah menjadi dua parasekuen. Batas parasekuen adalah sisipan serpih yang nampak jelas pada sumur Kantil-1, OB-B1, Vanda-1 dan Iris-1. Namun di area Pulau Tarakan (Mengatal-1, Bayan A1) kurang terlihat. Secara umum dua parasekuen ini membentuk pola sedimenasi agradational parasequence set. Di wilayah offshore timur lebih nampak pola perulangan bell shape dan irreguler shape. b. Transgressive System Tract (TST) Paket TST di sekuen T2 dibatasi oleh Trasgressive surface (TS) dan maximum flooding surface (MFS) yang dapat pilah menjadi dua parasekuen membentuk pola agradational parasequence set di bagian barat dan timur sebelah utara, dan pola retrogradational parasequence set dengan motif log Vsh berupa bell shaped di sebelah timur tenggara. Dari penafsiran data biostratigrafi, secara umum lingkungan pengendapan berada di antara supra-tidal ke inter-tidal. Untuk sumur Dahlia-1 dan Vanda-1 yang lebih ke basinward di lingkungan lower intertidal dan inner-neritic. Tesis oleh Priatin Hadi Wijaya, NIM: 22007004 48

Mengenai kedua parasekuen, di wilayah barat cenderung seragam dengan respon Vsh blocky shape yang mencerminkan endapan gosong pasir di area tidal-fluvial dominated delta. Di wilayah tenggara, endapan di parasekuen bawah dengan motif Vsh bell shape atau menghalus ke atas mencerminkan endapan retrogradasi yang bisa ditafsirkan sebagai endapan tidal channel. Namun untuk parasekuen sebelah atas dengan motif Vsh yang irreguler shape mengindikasikan di lingkungan tidal flat atau marginal deltaic plain pada wilayah intertidal. Dari informasi dua parasekuen ini dapat dinyatakan selama pengendapan HST, perubahan relatif muka air laut cenderung naik secara kontinyu sampai maximum flooding surface yang menjadi batas atas dari paket TST. c. Highstand System Tract (HST) Lapisan sedimen untuk paket HST di sekuen T2 dibatasi oleh MFS di bagian bawah dan batas sekuen ke-3 (SB-T3). Analisis log Vsh pada sumur Mengatal-1, Sesanip dan Bayan A1 terlihat paket HST dapat dibagi menjadi tiga parasekuen membentuk progradational parasequence set Pada sumur Mengatal-1 ketiga parasekuen yang berpola progradational parasequence set memiliki ketebalan 240 m dan nilai Vsh 0,1 sebagai endapan proximal delta sand-bar di wilayah supra-tidal sampai upper intertidal. Endapan HST di sekuen ini dicirikan dengan motif log Vsh berupa funnel shape yang berulang terutama di bagian barat atau di Pulau Tarakan. Ketebalan parasekuen antara 65 120 m. Pada sumur OB-B1 nampak pada lapisan parasekuen terbagi oleh perulangan lapisan sedimen batupasir dan serpih dengan tebal lapisan 10 20 m yang menandakan lingkungan pengendapan sekitar tidal plain di lower intertidal. Motif log Vsh funnel shaped mengindikasikan perubahan litologi yang semakin kasar ke atas dan menunjukkan energi yang menguat ke atas dan ditafsirkan sebagai endapan gosong pasir di upper intertidal, sedangkan motif log irregular di sumur OB-B1 dan Dahlia-1 didominasi oleh perselingan batupasir dan batulempung dan ditafsirkan sebagai endapan tidal plain di lower intertidal. Dari data biostratigrafi, lokasi sumur Vanda-1 pada lingkungan inner neritic di awal HST dan berangsur regresi ke lower dan upper inter-tidal. Litologi di sumur Vanda-1 dominan serpih yang diselingi lapisan batugamping. Tesis oleh Priatin Hadi Wijaya, NIM: 22007004 49

Gambar V.1 Analisis system-tract dan parasekuen pada Sekuen T1 dan T2 di wilayah utara lokasi penelitian dari arah barat (Bayan A1) ke timur (Vanda-1) Tesis oleh Priatin Hadi Wijaya, NIM: 22007004 50 50

Gambar V.2 Analisis system-tract dan parasekuen pada Sekuen T1 dan T2 di di wilayah selatan lokasi penelitian dari arah barat-barat daya (Sesanip-1) ke timur timur-tenggara (Dahlia-1) Tesis oleh Priatin Hadi Wijaya, NIM: 22007004 51 51

Gambar V.3 Analisis system-tract dan parasekuen pada Sekuen T1 dan T2 di lintasan utara (OB-B1) selatan (Dahlia-1) di wilayah bagian tengah lokasi penelitian Tesis oleh Priatin Hadi Wijaya, NIM: 22007004 52 52

V.2 Analisis dan Interpretasi Stratigrafi Seismik Setelah dilakukan interpretasi terhadap 28 penampang seismik dengan menarik tiga top horizon (SB-T1, SB-T2 dan SB-T3) hasil pengikatan dengan sumur pemboran, aspek seismik stratigrafi meliputi fasies seismik, kemenerusan reflektor dan terminasi pada batas bawah dan atas dari masing-masing batas sekuen. Secara regional, reflektor seismik memiliki tingkat variasi yang tinggi. Umumnya diskontinyu dengan clinoform progradasi. Terminasi onlap di bagian barat dan top lap di lapisan bawah batas sekuen T1 di wilayah tengah barat menunjukkan kenaikan muka air laut yang cepat (forced regression). Di bagian utara di wilayah tengah, nampak indikasi toplap di lapisan bawah dari di SB-T1, SB-T2 dan SB-T3,. Pada Sekuen T1 di sebelah timur Sumur Kantil-1 terlihat reflektor kuat (Gambar V.4). Reflektor yang kuat ini ditafsirkan lapisan batupasir pada gosong delta selama fase regresi pada LST yang didukung kenampakan reflektor berupa hummocky dan hummocky clinoforms sebagai indikator sedimentasi progradasi.hal ini tercermin dari respon log bell shape. Bidang reflektor pada sekuen T2 terlihat pola sub-paralellel sampai parallel dan di beberapa tempat dijumpai hummocky menunjukkan bidang perlapisan menerus dan di beberapa tempat melensa. Hal in menjadi ciri dari lingkungan intertidal di sekitar tidalfluvial dominated delta. Kenampakan refllektor yang lemah sampai sedang menunjukkan perlapisan serpih cukup dominan pada lingkungan lower intertidal sampai inner-neritic (Gambar V.4). Pada penampang seismik L71a-s86 terminasi onlap terlihat di SP.3092 pada batas sekuen SB-T2. Didukung kenampakan fasies seismik hummocky clinoforms pada sekuen T2 menunjukkan adanya pola sedimentasi progradasi. Pada sekuen T2 dengan batas sekuen di bawah (SB-T2) terjadi forced regression atau karena kenaikan relatif muka air laut yang cepat merupakan sekuen tipe-1. Pada sekuen T1 terlihat fasies seismik sub-parallel dengan reflektor kuat pada SP.3412-3092 dan berangsur lemah ke timur yang mengindikasikan lingkungan pengendapan middle intertidal di wilayah tengah dan berangsur berubah ke lower intertidal sampai inner-neritic pada wilayah tengah - timur. Tesis oleh Priatin Hadi Wijaya, NIM: 22007004 53

Gambar V.4 Analisis stratigrafi seismik pada empat penampang seismik di wilayah offshore timur Pulau Tarakan Tesis oleh Priatin Hadi Wijaya, NIM: 22007004 54 54

V.3 Distribusi dan Kualitas Reservoir Analisis distribusi reservoir dan penentuan kualitas reservoir dilakukan secara vertikal dan lateral. Analisis secara vertikal dilakukan dengan menghitung, mengamati dan menafsirkan keterdapatan lapisan net-reservoir pada masing-masing system tract di Sekuen T1 dan sekuen T2. Untuk analisis secara lateral digunakan salah satu contoh parasekuen yang ditafsirkan sebarannya secara lateral pada masing-masing system tract di Sekuen T1 dan T2. Integrasi dari kedua analisis secara vertikal dan lateral ini akan menentukan lapisan net-reservoir yang ideal pada setiap system-tract pada sekuen T1 dan T2 yang selanjutnya dilakukan analisis kualitas reservoir. Secara umum dari pengamatan kedua sekuen, ketebalan net-reservoir di wilayah barat yang diwakili empat sumur (Mengatal-1, Sesanip-1, Selipi-1 dan Bayan A1) memiliki ketebalan antara 363 524 m dengan prosentase NTG 67,8 91,2%. Ketebalan netreservoir ke timur semakin menurun. Di wilayah tengah tebal net-reservoir antara 134 343 m dan di wilayah timur (OB-B1 dan Dahlia-1) hanya antara 32 238 m (Tabel V.1). Tabel V.1 Hasil prosentase NTG dari ketebalan Gross dan Net Reservoir pada setiap sekuen di sumur pemboran di tiga wilayah lokasi Penelitian Letak Wilayah Wilayah Barat Wilayah Tengah Wilayah Timur Nama Reservoir Sekuen Sumur Gross Net NTG (%) Mengatal-1 Sekuen T2 526 478 90.9 Sekuen T1 535 363 67.8 Sesanip-1 Sekuen T2 542 468 86.4 Selipi-1 Sekuen T2 622 524 84.2 Bayan A1 Sekuen T2 501 457 91.2 Sekuen T1 584 519 88.9 Kantil-1 Sekuen T2 540 343 63.5 Sekuen T1 496 295 59.5 Iris-1 Sekuen T2 305 152 49.8 Sekuen T1 346 134 38.8 Bunyu C1 Sekuen T2 429 281 65.5 Sekuen T1 324 134 41.3 OB-B1 Sekuen T2 665 238 35.8 Sekuen T1 431 45 10.4 Dahlia-1 Sekuen T2 403 65 16.1 Sekuen T1 393 32 8.1 Tesis oleh Priatin Hadi Wijaya, NIM: 22007004 55

Ditinjau dari perbandingan antara sekuen T1 dan sekuen T2, pada sebagian besar sumur menunjukkan sekuen T2 memiliki net-reservoir lebih tebal dan prosentase NTG lebih besar walaupun gross reservoir lebih tipis. Pada sumur Sumur Mengatal-1 dengan ketebalan sekuen T2 526 m, net-reservoir mencapai 478 m atau NTG 91%. Sedangkan pada sekuen T1 dengan tebal 535 m, kandungan net-reservoir 362 m atau NTG 68%. Semakin ke timur, prosentase net to gross reservoir (NTG) semakin menurun, pada sumur Kantil-1 di sekuen T2, NTG adalah 63,5%, namun pada sekuen T1 hanya mencapai 59,5%. Pada sumur ini, ketebalan net-reservoir untuk untuk sekuen T2 343 m dan di sekuen T1 295 m. Untuk sumur OB-B1, tebal net-reservoir di sekuen T2 238 m dan NTG 35%. Adapun di sekuen T1, ketebalan net reservoir hanya 45 m dengan NTG 10,4%. Pada sumur OB-B1, ketebalan net-reservoir 238 m pada sekuen T2, tapi untuk sekuen T1 hanya 45 m. Mengenai sumur Vanda-1 karena terletak di sebelah timur lokasi penelitian yang berjarak 26,2 km dan sistem pengendapan telah berubah ke sistem karbonat, untuk distribusi reservoir diabaikan. Mengenai analisis kualitas reservoir dibatasi pada nilai rata-rata volume serpih (Vsh) dan porositas efektif pada lapisan net-reservoir di level parasekuen ideal yang telah ditentukan. Nilai rata-rata Vsh dihitung pada zone net reservoir dalam satu parasekuen yang telah dilakukan cut-off 50%. Nilai rata-rata porositas dikalkulasi pada zone net reservoir dalam satu parasekuen setelah digunakan cut-off 12%. Dari pengamatan secara umur, perbandingan kualitas reservoir antara sekuen T1 dengan sekuen T2 seperti halnya ketebalan net-reservoir dan prosentase NTG bahwa pada sekuen T2 yang lebih muda memiliki nilai Vsh lebih rendah dan porositas efektif lebih tinggi daripada sekuen T1. Contoh ideal pada sumur A1 yang terletak di wilayah barat bagian utara terlihat pada paket HST, nilai Vsh hanya 3,5 8,0 % dan porositas efektif mencapai 32 38%. Hal ini cukup berbeda dibandingkan pada paket HST di sekuen T1 yang memiliki nilai Vsh 8 16 % dan nilai porositas efektif 18 27% (Gambar V.5). Hasil integrasi antara analisis dan korelasi stratigrafi sekuen dengan hasil distribusi dan kualitas reservoir pada data sumur pemboran di lintasan barat timur bagian utara dan bagian selatan, juga lintasan dari arah utara ke selatan dapat dilihat pada Gambar V.5, Gambar V.6 dan Gambar V.7 Tesis oleh Priatin Hadi Wijaya, NIM: 22007004 56

Gambar V.5 Integrasi hasil analisis stratigrafi sekuen dengan distribusi dan kualitas reservoir di wilayah utara lokasi penelitian dari arah barat (Bayan A1) ke timur (Vanda-1) Tesis oleh Priatin Hadi Wijaya, NIM: 22007004 57 57

Gambar V.6 Integrasi hasil analisis stratigrafi sekuen dengan distribusi dan kualitas reservoir di wilayah selatan lokasi penelitian dari arah barat barat-daya (Sesanip-1) ke arah timur timur-tenggara (Dahlia-1) Tesis oleh Priatin Hadi Wijaya, NIM: 22007004 58 58

Gambar V.7 Integrasi hasil analisis stratigrafi sekuen dengan distribusi dan kualitas reservoir di lintasan dari utara (OB-B1) ke selatan (Dahlia-1) di wilayah bagian tengah lokasi penelitian Tesis oleh Priatin Hadi Wijaya, NIM: 22007004 59 59

V.3.1 Distribusi Reservoir Analisis distribusi reservoir secara vertikal pada system tract di sekuen T1 dan T2 dilakukan pada sembilan sumur yang terbagi menjadi tiga wilayah; barat, tengah dan timur. Analisis dengan melakukan korelasi di tiga lintasan dilakukan untuk memilih paket parasekuen yang ideal pada setiap system tract. Korelasi dilakukan pada lintasan arah barat - timur di bagian utara (Gambar V.5), pada lintasan arah barat laut tenggara di bagian selatan (Gambar V.6) dan lintasan arah utara ke selatan (Gambar V.7). Hasil analisis dari ketiga lintasan tersebut dipilih tiga parasekuen ideal pada masingmasing system tract pada sekuen T1 dan T2. Pada sekuen T1 dipilih parasekuen ke-2 pada LST yaitu P2-LST, di paket TST dipilih parasekuen ke-1 P1-TST dan untuk paket HST dipilih parasekuen ke-4 P4-HST. Adapun untuk sekuen T2, parasekuen yang dipilih untuk mewakili system-tract yaitu parasekuen P2-LST, P2-TST dan P3-HST. Di wilayah barat yang memiliki net-reservoir paling tebal dan prosentase NTG terbesar di bandingkan wilayah tengah dan timur, ketiga parasekuen yang pilih di sekuen T1 dan T2 memiliki tebal net-reservoir antara 25 143 m dengan prosentase NTG 34 99%. Pada sekuen T1, parasekuen P4-HST memiliki net-reservoir lebih tebal daripada parasekuen P1- TST dan P2-LST. Pada sumur Mengatal-1, tebal net-reservoir P4-HST adalah 80 m dengan NTG 87%. Hal ini sangat kontras dibandingkan pada P1-TST yang hanya 38 m dan P2-LST 25 m dengan NTG 34%. Pada sumur Bayan A1, tebal net-reservoir P4-HST 143 m dengan NTG 85%, namun pada P1-TST hanya 26 m dengan NTG 70% dan parasekuen P2-LST 79 m dengan NTG 85%. Pada sekuen T2, parasekuen P2-LST dan P2-HST umumnya memiliki net-reservoir lebih tebal dan prosentase NTG lebih besar daripada parasekuen P2-TST. Pada sumur Mengatal- 1, tebal net-reservoir P2-HST 52 m dengan NTG 85% dan P2-LST 89 m dengan NTG 94%, namun pada parasekuen P2-TST 49 m dan NTG 84 m. Pada sumur Bayan A1, P2- HST memiliki tebal net-reservoir 102 m dengan NTG 99%, P2-LST 55 m dengan NTG 90%, sedangkan untuk P2-TST 60 m dengan NTG 88%. Untuk paket sekuen T2, dari empat sumur, parasekuen P2-HST memiliki net-reservoir paling tebal dan prosentase NTG paling besar. Adapun di sumur Sesanip-1 dan Selipi-1, parasekuen P2-LST lebih tebal daripada dua parasekuen lainnya yaitu 78 m dan 92 m, sedangkan parasekuen lainnya antara 42 65 m. (Tabel V.2) Tesis oleh Priatin Hadi Wijaya, NIM: 22007004 60

Tabel V.2 Hasil prosentase NTG dari Gross dan Net Reservoir pada setiap parasekuen di system-tract Sekuen T1 dan T2 di wilayah barat dari lokasi Penelitian Nama Sumur Mengatal-1 Sesanip-1 Selipi-1 Bayan A1 Sekuen Sekuen T2 Sekuen T1 Parasekuen pada System Tract Gross Reservoir Net NTG (%) P2-HST 61 52 85 P2-TST 58 49 84 P2-LST 95 89 94 P4-HST 92 80 87 P1-TST 43 38 88 P2-LST 75 25 34 P2-HST 83 65 78 Sekuen T2 P2-TST 54 42 78 P2-LST 97 78 80 Sekuen T1 P4-HST 97 78 80 P2-HST 78 54 69 Sekuen T2 P2-TST 81 60 74 P2-LST 113 92 81 Sekuen T1 P4-HST 169 135 80 Sekuen T2 Sekuen T1 P2-HST 103 102 99 P2-TST 68 60 88 P2-LST 61 55 90 P4-HST 169 143 85 P1-TST 37 26 70 P2-LST 79 67 85 Di wilayah tengah, analisis ketiga parasekuen di sekuen T1 memiliki ketebalan netreservoir antara 9 45 m dengan NTG 47 80 %, adapun di sekuen T2, ketebalan netreservoir antara 11 72 m dengan NTG 28 96 %. Sumur Kantil-1 merupakan lokasi dengan NTG paling tinggi dibandingkan sumur Iris-1 dan Bunyu C1. Pada sekuen T1 sumur Kantil-1, NTG mencapai 50 80% dengan ketebalan net-reservoir 18 45 m. Pada sekuen T2, NTG bahkan mencapai 88 96 % dan tebal net-reservoir 54 72 m atau bisa dikatakan distribusi net-reservoir pada sekuen T2 lebih baik daripada sekuen T1 (Tabel V.3). Di wilayah timur, dari sumur OB-B1 dan Dahlia-1, ketebalan net-reservoir semakin tipis dan NTG menurun. Pada sekuen T1 ketebalan net-reservoir hanya berkisar 0 18 m dengan NTG 0 47 %. Untuk sekuen T2 ketebalan net-reservoir hanya berkisar 27 81 m dengan NTG 31-69 % (Tabel V.3). Tesis oleh Priatin Hadi Wijaya, NIM: 22007004 61

Tabel V.3 Hasil prosentase NTG dari Gross dan Net Reservoir pada setiap parasekuen di system-tract Sekuen T1 dan T2 di wilayah tengah dan timur lokasi Penelitian Wilayah Tengah Wilayah Timur Nama Sumur Kantil-1 Iris-1 Bunyu C1 OB-B1 Dahlia-1 Sekuen Sekuen T2 Sekuen T1 Sekuen T2 Sekuen T1 Sekuen T2 Sekuen T1 Sekuen T2 Sekuen T1 Sekuen T2 Sekuen T1 Parasekuen pada Reservoir NTG System Tract Gross Net (%) P2-HST 80 70 88 P2-TST 75 72 96 P2-LST 58 54 93 P4-HST 89 45 50 P1-TST 24 18 75 P2-LST 54 43 80 P2-HST 77 32 42 P2-TST 46 15 33 P2-LST 54 15 28 P4-HST 66 35 53 P1-TST 17 9 53 P2-LST 39 21 54 P2-HST 50 37 73 P2-TST 37 11 30 P2-LST 79 40 50 P4-HST 68 32 47 P1-TST 38 27 71 P2-LST 32 22 69 P2-HST 118 81 69 P2-TST 135 42 31 P2-LST 49 31 63 P4-HST 86 18 21 P1-TST 19 0 0 P2-LST 32 15 47 P2-HST 55 29 52 P2-TST 59 36 61 P2-LST 70 27 39 P4-HST 70 8 11 P1-TST 22 0 0 P2-LST 29 11 38 Hasil pemodelan 3D untuk distribusi lateral dengan perangkat lunak Petrel nampak pada parasekuen P2-HST memiliki distribusi net-reservoir paling dominan diikuti parasekuen P2-LST dan P2-TST. Distribusi net-reservoir paling terbatas dijumpai pada P2-LST Sekuen T1 atau parasekuen ke-2 dari LST di sekuen T1. Luasnya distribusi net-reservoir tercermin dari posisi batas intertidal dan inner-neritic dan pergeseran ke arah timur (basinward) pada area luar dari endapan gosong pasir (sand bar) di area intertidal (Gambar V.8). Tesis oleh Priatin Hadi Wijaya, NIM: 22007004 62

Gambar V.8 Kenampakan 3D untuk distribusi Vsh pada parasekuen P2-LST sekuen T1 (A), P2-LST sekuen T2 (B), P2-TST sekuen T2 (C) dan P2-HST pada sekuen T2 (D) Tesis oleh Priatin Hadi Wijaya, NIM: 22007004 63 63

V.3.2 Kualitas Reservoir Analisis kualitas reservoir secara vertikal pada system tract di sekuen T1 dan T2 dilakukan pada sembilan sumur yang terbagi menjadi tiga wilayah; barat, tengah dan timur. Seperti halnya pada distribusi net-reservoir, analisis dengan melakukan korelasi di tiga lintasan dilakukan untuk memilih paket parasekuen yang ideal pada setiap system tract. Berdasarkan hasil analisis distribusi net-reservoir secara vertikal dipilih tiga parasekuen ideal pada masing-masing system tract pada sekuen T1 dan T2 yang akhirnya dipakai untuk analisis kualitas reservoir. Pada sekuen T1 dipilih P2-LST, P1-TST dan P4-HST. Adapun untuk sekuen T2, parasekuen yang dipilih P2-LST, P2-TST dan P3-HST. Untuk wilayah barat yang memiliki porositas efektif paling tinggi dan nilai Vsh paling rendah di bandingkan wilayah tengah dan timur, ketiga parasekuen yang pilih di sekuen T1 dan T2 memiliki porositas efektif antara 15 36 % dengan kandungan Vsh 4-26%. Pada sekuen T1, parasekuen P4-HST memiliki prosentase porositas efektif lebih tinggi daripada parasekuen P1-TST dan P2-LST. Pada sumur Bayan A1, prosentase porositas efektif P4-HST 23% dengan nilai rata-rata Vsh 11%, namun pada P1-TST porositas efektif 20% dengan Vsh 18% dan porositas efektif parasekuen P2-LST 21% dengan Vsh 17%. Pada sumur Mengatal-1, prosentase porositas efektif P4-HST 28,5% dengan nilai rata-rata Vsh 16,1%. Ini cukup berbeda dibandingkan pada prosentase porositas efektif P1-LST yang hanya 15% dengan Vsh 24% (Tabel V.4) Pada sekuen T2, parasekuen P2-LST dan P2-HST umumnya mengandung prosentase porositas efektif lebih tinggi dan prosentase rata-rata Vsh lebih rendah daripada parasekuen P2-TST. Pada sumur Mengatal-1, prosentase porositas efektif P2-HST 31% dengan Vsh 14,4% dan P2-LST 28% dengan Vsh 16,2%, sedangkan pada parasekuen P2-TST lebih rendah dengan porositas efektif 26%. Pada sumur Bayan A1, P2-HST memiliki prosentase porositas efektif 36% dengan Vsh sangat rendah hanya 4% atau mendekati clean-sand, porositas efektif pada P2-LST 26% dengan Vsh 19%, sedangkan untuk P2-TST 21% porositas efektif dengan prosentase rata-rata Vsh 18%. Di wilayah tengah, analisis ketiga parasekuen di sekuen T1 memiliki prosentase porositas efektif 9,5-17% dengan Vsh 11 22%, adapun di sekuen T2, prosentase porositas efektif 12,5 21 % dengan Vsh sangat variatif 11 42 % (Tabel V.4) Tesis oleh Priatin Hadi Wijaya, NIM: 22007004 64

Tabel V.4 Hasil rata-rata nilai Vsh dan porositas efektif pada setiap parasekuen di systemtract pada sekuen T1 dan T2 di tiga wilayah lokasi penelitian Letak Wilayah Wilayah Barat Tengah Wilayah Timur Nama Sumur Mengatal-1 Sesanip-1 Selipi-1 Bayan A1 Kantil-1 Iris-1 Bunyu C1 OB-B1 Dahlia-1 Sekuen Parasekuen Net NTG Vsh Por-Ef pada ST Reservoir (%) (%) (%) P2-HST 52 85.3 14.4 31.0 Sekuen T2 P2-TST 49 84.4 14.8 26.0 P2-LST 89 93.7 16.2 28.0 P4-HST 80 87.0 16.1 28.5 Sekuen T1 P1-TST 38 88.4 16.8 26.0 P2-LST 25 33.5 24.0 15.0 P2-HST 65 78.3 18.0 - Sekuen T2 P2-TST 42 77.7 20.0 - P2-LST 78 80.3 18.0 - Sekuen T1 P4-HST 78 80.3 26.0 - P2-HST 54 69.4 19.0 - Sekuen T2 P2-TST 60 74.0 25.0 - P2-LST 92 81.4 21.0 - Sekuen T1 P4-HST 135 79.9 20.0 - P2-HST 102 99.0 4.0 36.0 Sekuen T2 P2-TST 60 88.2 18.0 21.0 P2-LST 55 90.1 19.0 26.0 P4-HST 143 84.6 17.0 23.0 Sekuen T1 P1-TST 26 70.3 18.0 20.0 P2-LST 67 84.8 17.0 21.0 P2-HST 70 87.6 11.0 19.0 Sekuen T2 P2-TST 72 96.0 12.0 17.0 P2-LST 54 93.1 9.0 16.0 P4-HST 45 50.3 21.0 9.5 Sekuen T1 P1-TST 18 74.8 20.0 9.5 P2-LST 43 79.7 15.0 10.0 P2-HST 32 41.8 11.0 21.0 Sekuen T2 P2-TST 15 32.5 21.0 16.0 P2-LST 15 27.8 13.0 19.0 P4-HST 35 53.0 19.0 17.0 Sekuen T1 P1-TST 9 53.2 11.0 12.0 P2-LST 21 54.0 19.0 13.0 P2-HST 37 73.3 20.0 19.0 Sekuen T2 P2-TST 11 30.1 42.0 12.5 P2-LST 40 50.5 20.0 15.0 P4-HST 32 47.0 22.0 16.0 Sekuen T1 P1-TST 27 70.5 21.0 13.0 P2-LST 22 69.1 20.0 14.0 P2-HST 81 68.6 21.0 18.0 Sekuen T2 P2-TST 42 31.1 25.0 17.0 P2-LST 31 63.2 21.0 14.0 P4-HST 18 20.9 40.0 14.0 Sekuen T1 P1-TST 0 0.0 No 10.0 P2-LST 15 47.4 39.0 12.0 P2-HST 29 52.5 58.0 16.0 Sekuen T2 P2-TST 36 60.5 62.0 13.0 P2-LST 27 38.8 59.0 15.0 P4-HST 8 11.5 No 12.0 Sekuen T1 P1-TST 0 0.0 No 9.0 P2-LST 11 38.3 49.0 10.0 Tesis oleh Priatin Hadi Wijaya, NIM: 22007004 65

Dari hasil pemodelan 3D untuk kualitas reservoir secara lateral dengan mengintegrasikan porositas efektif dari log sumur dan pola kecenderungan (trend surface) distribusi netreservoir lateral dengan perangkat lunak Petrel, terlihat pada parasekuen P2-HST memiliki distribusi porositas efektif paling dominan diikuti parasekuen P2-LST dan P2-TST. Distribusi porositas efektif paling rendah dan terbatas dijumpai pada P2-LST Sekuen T1. Tingginya nilai porositas efektif seiiring dengan luasnya distribusi net-reservoir yang tercermin dari posisi batas intertidal dan inner-neritic dan pergeseran ke arah timur (basinward) pada area luar dari endapan gosong pasir di wilayah supra-tidal dan intertidal (Gambar V.9). Seperti halnya pada distribusi net-reservoir, pada batas intertidal dan inner-neritic semakin ke timur yang diikuti oleh endapan gosong pasir di wilayah supra-tidal dan intertidal berdampak pada semakin tingginya kualitas reservoir yaitu tingginya nilai porositas efektif dan luasnya distribusi net-reservoir. Pada parasekuen P2-HST di sekuen T2, batas luar endapan gosong pasir di wilayah intertidal telah mendekati batas luar intertidal yang dari log Vsh mengindikasikan endapan progradasi membentuk progradational parasequence set dengan parasekuen di atas dan di bawahnya pada paket HST. Pada sumur Iris-1 di area tersebut, nilai rata-rata Vsh pada parasekuen P2-HST adalah 11% dengan porositas efektif mencapai 21%. Pada sumur Bunyu C1 yang berdekatan dengan sumur Iris-1, nilai rata-rata Vsh pada parasekuen P2-HST adalah 20% dengan porositas efektif mencapai 19%. Namun untuk endapan di wilayah intertidal pada parasekuen P2-LST di sekuen T1 dan T2, distribusi porositas efektif lebih tinggi dan merata dibandingkan P2-TST dan P2-HST. Pada parasekeuen P2-LST di sekuen T2, sedimen di wilayah intertidal terlihat memiliki sebaran net porositas efektif paling tinggi dan merata dari utara ke selatan. Untuk lingkungan inner-neritic di wilayah timur terlihat kandungan porositas efektif relatif paling rendah karena pasokan sedimen delta semakin kecil dan lebih dominan serpih. Pada sumur OB-B1, nilai Vsh di sekitar 40% dengan porositas efektif 12% pada sekuen T1 dan nilai Vsh 25% pada sekuen T2 dengan porositas efektif 16%. Tesis oleh Priatin Hadi Wijaya, NIM: 22007004 66

Gambar V.9 Kenampakan 3D untuk distribusi porositas-efektif pada parasekuen P2-LST sekuen T1 (A), P2-LST sekuen T2 (B), P2-TST sekuen T2 (C) dan P2-HST pada sekuen T2 (D) Tesis oleh Priatin Hadi Wijaya, NIM: 22007004 67 67

V.4 Keterkaitan Analisis Stratigrafi Sekuen dengan Distribusi dan Kualitas Reservoir Dari perbandingan antara sekuen T1 dan sekuen T2 yang sebagian besar sumur menunjukkan bahwa sekuen T2 memiliki distribusi net-reservoir secara vertikal lebih tinggi dengan prosentase NTG dan porositas efektif lebih tinggi walaupun gross reservoir lebih tipis, hal ini mencerminkan fase regresi semakin dominan pada sekuen T2 yang lebih muda. Pada sekuen T2 yang lebih muda, parasekuen P2-LST dan P2-HST umumnya memiliki net-reservoir lebih tebal dan kualitas reservoir lebih tinggi daripada parasekuen P2-TST. Ini mengindikasikan proses sedimentasi pada wilayah supra-tidal dan intertidal dengan pengaruh lingkungan tidal-fluvial dominated delta berlangsung relatif dominan dengan pasokan sedimen dari darat pada paket LST dan HST dibandingkan paket sedimentasi selama TST. Bahkan sebagian besar data log sumur menunjukkan influx sediment dan kualitas reservoir paling tinggi terjadi selama HST. Dari hasil pemodelan 3D integrasi antara distribusi dan kualitas reservoir secara lateral yang memperlihatkan pada parasekuen P2-HST memiliki distribusi net-reservoir dan kualitas reservoir paling baik diikuti parasekuen P2-LST dan P2-TST. Distribusi netreservoir paling terbatas dengan kualitas reservoir relatif buruk dijumpai pada P2-LST Sekuen T1 atau parasekuen ke-2 dari LST di sekuen T1. Luasnya distribusi net-reservoir dan tingginya kualitas reservoir tercermin dari posisi batas intertidal dan inner-neritic dan pergeseran ke arah timur (basinward) pada area luar dari endapan gosong pasir di wilayah supra-tidal dan intertidal. Dikaitkan dengan hasil analisis stratigrafi sekuen, proses regresi pada LST di sekuen T2 lebih dominan dibandingkan dengan paket LST pada sekuen T1. Hal ini tercermin dari ketebalan blocky shape di beberapa sumur wilayah barat (Bayan A1 dan Mengatal-1) lebih tebal pada sekuen T2 yang lebih muda dari sekuen T1. Dari stratigrafi seismik, terminasi onlap terlihat pada batas sekuen SB-T2 dengan kenampakan fasies seismik hummocky clinoforms pada sekuen T2 yang menunjukkan adanya pola sedimentasi progradasi. Sedangkan pada sekuen T1 di lokasi yang sama terlihat fasies seismik sub-parallel dengan reflektor kuat dan berangsur lemah ke timur yang mengindikasikan lingkungan Tesis oleh Priatin Hadi Wijaya, NIM: 22007004 68

pengendapan gosong pasir di supratidal intertidal di wilayah tengah dan berangsur berubah ke tidal-plain di intertidal sampai ke inner-neritic. Pada pemodelan 3D yang dikaitkan dengan analisis sekuen pada korelasi log sumur dan interpretasi stratigrafi seismik terindikasi bahwa proses regresi yang menghasilkan pola sedimentasi progradasi di wilayah barat atau di unit pengendapan gosong pasir di wilayah supratidal dan intetidal adalah lebih dominan terjadi pada sekuen T2 yang lebih muda daripada sekuen T1. Turunnnya muka air relatif yang lebih cepat pada sekuen T2 di paket LST masih berlanjut pada paket HST walaupun di selingi transgresi pada paket TST. Fase regresi dengan pasokan sedimen yang tinggi daripada LST dan TST, pada paket HST di sekuen T2 menghasilkan distribusi net reservoir lebih luas dan kualitas reservoir lebih tinggi. Pada parasekuen P2-HST di sekuen T2, batas luar endapan gosong pasir di wilayah intertidal telah mendekati batas luar intertidal yang dari log Vsh mengindikasikan endapan progradasi membentuk progradational parasequence set dengan parasekuen di atas dan di bawahnya pada paket HST. Menariknya untuk endapan di area intertidal selama pengendapan LST yang diwakili oleh parasekuen P2-LST di sekuen T1 dan T2, distribusi dan kualitas reservoir lebih tinggi dan merata dibandingkan P2-TST dan P2-HST. Pada parasekeuen P2-LST di sekuen T2, sedimen di intertidal terlihat memiliki distribusi dan kualitas reservoir paling tinggi dan merata dari utara ke selatan. Hal ini mencerminkan selama forced regression, sedimen gosong pasir semakin menyebar dan dominan pada lingkungan supra-tidal sampai intertidal. Namun proses erosi ini relatif tidak berlanjut pada lingkungan inner-neritic di wilayah timur yang terlihat kandungan porositas efektif relatif paling rendah. Tesis oleh Priatin Hadi Wijaya, NIM: 22007004 69