I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
1. PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

5 PEMBAHASAN 5.1 Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

BAB VIII KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. (1). Potensi sumberdaya di kawasan pesisir Taman Konservasi Laut Olele.

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

I. PENDAHULUAN. yang tinggi dan memiliki ekosistem terumbu karang beserta hewan-hewan laut

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. terumbu karang untuk berkembangbiak dan hidup. Secara geografis terletak pada garis

BAB II KAJIAN PUSTAKA. secara luas sebagai alat penting untuk konservasi, namun hanya 0,5% dari

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Penilaian pengelolaan lingkungan pulau wisata, di kawasan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu, Jakarta Utara Siregar, Mara Oloan

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

RENCANA AKSI PENGELOLAAN TNP LAUT SAWU DAN TWP GILI MATRA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Tingginya dinamika sumberdaya ikan tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem

IDENTIFIKASI ANCAMAN TERHADAP KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN TAMAN WISATA PERAIRAN LAUT BANDA, PULAU HATTA, DAN PULAU AY

PENDAHULUAN Latar Belakang

PERLINDUNGAN KEANEKARAGAMAN HAYATI

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh bangsa Indonesia dan tersebar di seluruh penjuru tanah air merupakan modal

BAB I PENDAHULUAN. Terumbu karang merupakan komponen ekosistem utama pesisir dan laut

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

SEMINAR NASIONAL BASIC SCIENCE II

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

V KEBERGANTUNGAN DAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA DANAU

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Pombo merupakan salah satu Pulau di Provinsi Maluku yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi sumber daya alam dengan kategori Kawasan Suaka Alam, dengan status Cagar Alam/Taman Laut oleh Pemerintah Indonesia melalui SK. Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/7/1973 tanggal 25 Juli 1973 dengan luas 1.000 ha, termasuk daratan, terumbu karang dan lagun. Paska ditetapkannya sebagai Cagar Alam/Taman Laut, BKSDA Wilayah VIII Maluku dalam pengelolaannya kemudian menempatkan seorang petugas jaga dan dibuat sarana dan prasarana pegelolaan seperti bangunan pos jaga, menara pengintai, pondok kerja dan jaga, sumur bor dan MCK, generator dan alat penerangan, 3 buah speed-boat dengan dermaga dan garasinya di Dusun Waainuru (BKSDA Wilayah VIII-Kanwil Dephut Provinsi Maluku, 1995). Tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan Cagar Alam ini terutama oleh adanya praktek penangkapan ikan dengan menggunakan bom, bubu dan racun yang mengancam kelestarian ekosistem terumbu karang. Kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan Pulau Pombo antara lain sebagai (BKSDA Wilayah VIII-Kanwil Dephut Provinsi Maluku, 1995): (i) sarana penelitian dan laboratorium lapangan studi kelautan oleh Pusat Penelitian dan Pembangunan Oseanologi (P3O)-Lembaga Oseanologi Nasional (LON) LIPI dan PUSDI-PSL/EPM serta Fakultas Perikanan Universitas Pattimura; (ii) sarana pendidikan dan latihan konservasi sumber daya alam dan pariwisata alam: kader konservasi, pencinta alam, pemandu wisata alam oleh BKSDA Wilayah VIII bekerjasama dengan Kanwil Depparpostel dan Dinas Pariwisata Provinsi Maluku; (iii) sarana dan tujuan wisata; dan (iv) sarana untuk memenuhi kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar, seperti sumber perikanan tradisional. Manfaat yang telah diperoleh dari kawasan konservasi ini selain merupakan tempat penangkapan ikan, terutama ikan karang ekonomis oleh nelayan lokal, juga sebagai objek wisata dan disamping itu pula memberikan manfaat sebagai sarana laboratorium lapangan untuk penelitian. Tercatat ada beberapa penelitian

2 ilmiah dilakukan di tempat ini, diantaranya oleh (UNEP-WCMC, 2006): Soedharma (1977), Kvalvagnaes dan Halim (1979), Salm et al. (1982), Randall dan Eldredge (1983), dan de Korte (1984). Juga studi-studi yang telah dilakukan oleh P3O-LON LIPI bersama PUSDI-PSL/EPM Universitas Pattimura. Dalam perkembangannya kemudian kawasan konservasi laut ini terjadi perubahan, dimana untuk ekosistem terumbu karangnya ditetapkan sebagai Kawasan Pelestarian Alam, dengan status Taman Wisata Alam Laut, berdasarkan SK. Menteri Kehutanan No. 329/Kpts-VI/1996, pada tanggal 30 Juli 1996. Adapun untuk Pulau Pombo itu sendiri yang daratannya seluas 4,02 ha statusnya seperti semula sebagai Cagar Alam. Sebagai TWAL menjadikan kawasan konservasi ini selain mengemban fungsi sebagai penyelamatan plasma nutfah atau keaneka-ragaman terumbu karang, juga untuk pengembangan wisata bahari dan perikanan. Namun sayangnya hingga penelitian ini dilakukan pengelolaan untuk kawasan konservasi ini tidak berjalan sebagaimana mestinya dan terkesan tidak terurus. Sarana dan prasarana pengelolaan yang ada telah hancur, dan belum ada upaya rehabilitasi. Pengelolaan kawasan ini dapat dikatakan tidak optimal, dimana sejak ditetapkannya sebagai TWAL, hingga saat ini belum dilakukan suatu kajian pengelolaan, untuk merumuskan model pengelolaannya, adapun tujuan untuk menjadikannya sebagai kawasan objek wisata bahari masih sekedar wacana (hasil wawancara dengan Kepala BKSDA Kabupaten Maluku Tengah). Kendala dalam pengelolaan kawasan ini diantaranya yaitu tidak adanya dana, sumber daya manusia (SDM) dan koordinasi antar pemangku kepentingan (stakeholders), dan kegiatan yang baru dilaksanakan pada tahun 2008 ini adalah program transplantasi karang. Sementara itu laporan dari tim Identifikasi Potensi Kawasan Konservasi oleh BKSDA Maluku tahun 2005, disimpulkan bahwa lemahnya pengawasan membuat masyarakat melakukan kegiatan pada Cagar Alam TWA Pulau Pombo, sarana dan prasarana yang tidak ada, dan tidak adanya patroli yang efektif. Tidak optimalnya pengelolaan ini menyebabkan tidak adanya pengawasan terhadap aktifitas penangkapan ikan dengan cara dan alat yang merusak seperti pemboman ikan. Ancaman terhadap ekosistem terumbu karang oleh aktifitas pemboman ini semakin meningkat, dan lebih intensif saat-saat konflik horizontal

3 yang mendera provinsi ini (hasil wawancara dengan peneliti terumbu karang dari LIPI Ambon). Dikuatirkan kerusakan terumbu karang tersebut akan mengakibatkan kapasitas produksinya untuk menghasilkan produk akhir seperti ikan karang ekonomis penting akan semakin menurun. Kondisi ini dimungkinkan karena peran ekologinya sebagai habitat dan jasa sebagai tempat pemijahan, pengasuhan dan mencari makan terminimalkan. Fakta ini yang mendorong perlu dilakukan penelitian penilaian ekosistem terumbu karang, yang difokuskan pada nilai manfaat tidak langsung dari jasa terumbu karang sebagai tempat pemijahan, pengasuhan dan mencari makan bagi ikan karang ekonomis. Penilaian fungsi non-ekonomi ini dianggap perlu, mengingat kesulitan yang dihadapi dalam memberikan nilai yang komprehensif. Dengan demikian cara penilaian sumber daya ini dan cara-cara penilaian yang telah ada diharapkan dapat membantu memberikan nilai yang komprehensif dari ekosistem terumbu karang. Nilai manfaat tidak langsung yang diperoleh ini akan dapat menjadi informasi yang relevan untuk proses pengambilan keputusan dan merekomendasikan bentuk pengelolaan ekosistem terumbu karang yang optimal dan lestari dari perspektif ekonomi. 1.2. Permasalahan Ekosistem terumbu karang TWAL Pulau Pombo memiliki peran yang sangat penting dalam dinamika ekosistem pesisir dan laut disekitarnya. Peran yang dihubungkan dengan fungsi ekologinya yang menunjang kehidupan biota laut, termasuk komunitas ikan karang ekonomis, yang penting bagi perikanan karang setempat. Menurut Costanza et al. (1997) ekosistem menghadirkan fungsi sebagai habitat untuk populasi penghuni dan yang transit, dan menyediakan jasa sebagai tempat berlindung, dan menurut Moberg dan Folke (1999) fungsi ekosistem terumbu karang sebagai tempat pemijahan, pengasuhan, dan mencari makan yang penting untuk banyak mahluk hidup. Dengan demikian pemeliharaan dan pemulihan ekosistem terumbu karang Pulau Pombo, yang kualitasnya merosot, menjadi perhatian bersama. Hasil studi literatur dan survei awal, menunjukkan kondisi terumbu karang TWAL Pulau Pombo belakangan ini mengalami ancaman kerusakan yang serius. Identifikasi penyebab kerusakan adalah adanya aktifitas penangkapan ikan karang

4 dengan alat dan cara merusak seperti pemboman, bubu dan penggunaan racun. Potensi kekayaan alam laut yang dimiliki seperti terumbu karang, tercatat ada 105 spesies dari 53 genus dan subgenus (Salm et al., 1982 diacu di dalam UNEP- WCMC, 1991) dengan luas 0,6536 km 2 (Dinas Kelautan dan Perikanan Maluku Tengah, 2005), terancam rusak berkelanjutan, karang mati semakin luas, dengan tutupan terumbu karang yang semakin menurun pula. Terjadi degradasi kualitas terumbu karang yang semakin parah, bila mana aktifitas merusak tersebut tidak segera ditangani. Dampak lanjutannya adalah berpengaruh pada potensi kekayaan ikan karang setempat, yang tercatat ada 130 spesies ikan (Sumadhiharga, 1971 diacu di dalam UNEP-WCMC, 1991), kelimpahan dan keaneka-ragaman akan berkurang. Seperti yang terjadi di Papua New Guinea, hasil survei Jones et al. (2004) selama 8 tahun (1996-2003) dilaporkan bahwa kemunduran dalam tutupan karang menyebabkan kemunduran yang paralel dalam biodiversitas ikan, baik di daerah perlindungan laut (DPL) maupun di area terbuka bagi penangkapan ikan. Diakhir survei, penurunan dalam biodiversitas ikan telah berkurang 15%, kesembuhan kecil yang berhubungan dengan peningkatan dalam tutupan karang di tahun sebelumnya. Apa yang terjadi ini dapat dipahami sebagai menurunnya fungsi ekologisnya yang mendukung kehidupan komunitas ikan karang, seperti jasa tempat pemijahan, pengasuhan dan mencari makan. Hasil studi Anderson (2002) melaporkan bahwa tutupan karang hidup berkorelasi positif terhadap kelimpahan ikan. Akibat kerusakan terumbu karang adalah terjadi kemerosotan kemampuan produksi dari lingkungan ekosistem terumbu karang, kelimpahan dan keanekaragaman produk akhir seperti ikan karang ekonomis akan merosot pula. Selanjutnya yang terjadi adalah penurunan hasil tangkapan ikan karang ekonomis, resiko yang akan berdampak pada kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi jangka panjang dari nelayan karang lokal. Keadaan yang disimpulkan sebagai menurunnya manfaat ekonomi yang diperoleh dari ekosistem terumbu karang. Aktifitas penangkapan ikan dengan cara dan alat yang merusak ini dapat terjadi karena ketiadaan pengelolaan. Permasalahan ketiadaan pengelolaan ini ternyata telah berlangsung cukup lama sejak ditetapkannya kawasan ekosistem terumbu karang Pulau Pombo sebagai TWAL, dan meskipun ada rencana untuk

5 mengembangkan menjadi tujuan objek wisata bahari, namun rencana ini masih sebatas wacana. Kendala utama dalam pengelolaan TWAL ini adalah ketiadaan dana, SDM yang terbatas dan kurangnya koordinasi antara pemangku kepentingan. Akibat permasalahan tidak adanya pengelolaan tersebut menimbulkan kesan bahwa cagar alam dan TWAL Pulau Pombo layaknya kawasan bebas akses, orang bebas melakukan apa saja di kawasan lindung ini, termasuk pemboman ikan. Berdasarkan permasalahan tersebut, ada beberapa pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini. Pertama disebabkan oleh ketiadaan pengelolaan, bagaimana kondisi biofisik saat ini dari terumbu karang TWAL Pulau Pombo yang menyediakan jasa tempat pemijahan, pengasuhan dan mencari makan bagi ikanikan karang ekonomis. Kedua sebagai akibat lanjutan kondisi saat ini pada terumbu karang TWAL Pulau Pombo, ada tiga pertanyaan yang dikemukakan di sini, yaitu: (i) berapa produksi perikanan karang di TWAL Pulau Pombo; (ii) berapa nilai ekonomi manfaat tidak langsung ekosistem terumbu karang TWAL Pulau Pombo untuk jasa tempat pemijahan, pengasuhan dan mencari makan bagi ikan karang ekonomis. Dimana penilaiannya didasarkan atas pemanfaatan terumbu karang pada saat sekarang (existing), ketika tidak adanya pengelolaan TWAL; dan (iii) bagaimana alternatif pengelolaan ekosistem terumbu karang yang optimal dan lestari, dari perspektif ekonomi. 1.3. Kerangka Pemikiran Pendekatan kerangka pemikiran yang sistematis dalam bentuk alur diagram (Gambar 1), digunakan untuk tercapainya tujuan dari penelitian yang telah ditetapkan. Pulau Pombo ditetapkan sebagai TWAL karena pertimbangan memiliki ekosistem terumbu karang yang kaya keragamannya. Ekosistem terumbu karang tersebut dalam sistem laut setempat menyediakan beragam fungsi ekologi. Diantaranya sebagai tempat hidup, yang menyediakan jasa tempat pemijahan, pengasuhan dan mencari makan bagi ikan karang ekonomis, yang merupakan sumber mata-pencaharian dan sumber protein bagi nelayan karang dan masyarakat lokal. Tekanan pemanfaatan yang berlebihan terhadap terumbu karang, seperti praktek pemboman ikan, menyebabkan degradasi terumbu karang dan turunnya tutupan karang batu. Terjadi penurunan kualitas terumbu karang. Peran fungsionalnya sebagai tempat pemijahan, pengasuhan dan mencari makan bagi ikan karang ekonomis menjadi

6 terminimalkan. Menurut Öhman (1989) bahwa efek dari rusaknya terumbu karang adalah dapat mempengaruhi fauna ikan secara langsung melalui kepindahan ikan atau secara tidak langsung melalui pembinasaan habitat. Dari kondisi ini dampak lanjutan yang ditimbulkan adalah terjadi penurunan kelimpahan ikan karang, dan berkurangnya hasil tangkapan ikan karang ekonomis atau penurunan manfaat ekonomi. Ancaman terhadap keberadaan terumbu karang ini mendorong untuk perlu menghimpun informasi potensi ekosistem terumbu karang, dalam hal ini informasi nilai ekonomi yang menggambarkan nilai riil aset sumber daya, dengan cara melakukan penilaian ekosistem. Penilaian dilakukan dengan cara mengidentifikasi perubahan-perubahan dalam aliran biaya dan manfaat ekonomi dari perikanan karang yang disebabkan oleh perubahan kualitas terumbu karang. Perubahan diasumsikan sebagai kemerosotan kemampuannya untuk menyediakan tempat pemijahan, pengasuhan, dan mencari makan bagi ikan karang ekonomis. Nilai ekosistem ini dinyatakan dalam terminologi uang, memberikan nilai moneter terhadap jasa-jasa tersebut, yang diperoleh dari biaya dan manfaat yang mengalir sepanjang waktu dari aktifitas pemanfaatan ikan-ikan karang ekonomis yang berasosiasi dengan ke-tiga jasa tadi. Penilaian ini mencerminkan kerugian-kerugian atau keuntungan-keuntungan ekonomi yang diakibatkan oleh adanya perubahan kualitas ekosistem terumbu karang. Atau mencerminkan perubahan kepuasan atau kesejahteraan masyarakat lokal, utamanya nelayan karang, karena perubahan kualitas terumbu karang. Penilaian ini menjadi bersifat obyektif dalam menentukan nilai asset atau potensi dari ekosistem terumbu karang, sehingga terhindarkan dari penilaian yang rendah atau sebaliknya, penilaian yang kelewat tinggi. Nilai yang telah diperoleh ini dijadikan sebagai basis pertimbangan untuk membuat skenario pengelolaan terumbu karang, yang dalam studi ini skenario yang ditawarkan adalah skenario pengelolaan dengan model DPL dan tanpa pengelolaan. Skenario pertama adalah menetapkan 20% dari luas terumbu karang sebagai DPL dan kontrol atas aktifitas penangkapan ikan yang merusak untuk mencegah kerusakan yang semakin meluas, agar kelestarian ekosistem terumbu karang akan terjaga. Efek positifnya pada atribut biologi seperti kelimpahan, kekayaan jenis dan biomas dari organisme laut di dalamnya, dan menjamin keberlanjutan aktifitas ekonomi nelayan karang lokal. Seperti yang terjadi di DPL

7 Pulau Sumilon dan Apo, Pillipina. Skenario tanpa pengelolaan adalah seperti pemanfaatan yang ada sekarang ini (existing), dimana yang terjadi adalah kawasan TWAL bebas untuk kegiatan penangkapan ikan dan tidak adanya kontrol terhadap aktifitas penangkapan ikan yang merusak. Pendekatan yang digunakan untuk memutuskan bentuk pengelolaan yang ideal tersebut adalah dengan Cost Benefit Analysis (CBA), yang merupakan alat pengambilan keputusan ekonomi. Pendekatan CBA ini digunakan untuk menilai atau menaksir dan memprioritaskan skenario yang ada, yang akan membantu memperlihatkan keuntungan-keuntungan dan kerugian-kerugian dari tiap skenario dan dampaknya pada kesejahteraan masyarakat. Pengambilan keputusan dan skenario yang dipilih akan mengacu pada pertimbangan bahwa sumber daya yang digunakan telah dialokasikan secara efisien, yaitu pengelolaan yang memberikan paling besar peningkatan dalam kesejahteraan sosial dengan jumlah biaya yang minimum. 1.4. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut: 1. Menilai manfaat perikanan karang (surplus produsen) untuk mengestimasi nilai ekonomi, khusus peran fungsional terumbu karang yang menyediakan jasa tempat pemijahan, pengasuhan dan mencari makan bagi ikan karang ekonomis. 2. Mengkaji alternatif pengelolaan sumber daya terumbu karang TWAL Pulau Pombo, berbasis nilai ekonomi dari aktifitas perikanan karang, agar menjamin diperolehnya manfaat optimal dan lestari dari perspektif ekonomi. 1.5. Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Memberikan informasi terkini akan status kondisi terumbu karang TWAL Pulau Pombo. 2. Cara penilaian ekosistem untuk manfaat tidak langsung, khusus untuk jasa tempat pemijahan, pengasuhan dan mencari makan ini dapat bermanfaat untuk melakukan penilaian ekosistem yang lebih komprehensif. 3. Merupakan data dasar untuk menunjang penelitian tentang penilaian ekonomi ekosistem terumbu karang berdasarkan fungsi dan jasa lainnya.

8 Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Pulau Pombo Terumbu Karang (fungsi ekologi: habitat; & jasa: tempat pemijahan, pengasuhan dan mencari makan bagi ikan karang ekonomis) Pemanfaatan Terumbu Karang: Perikanan karang, Penilitian ilmiah, Pariwisata Perubahan Tutupan Terumbu Karang Data Towing Kajian Ekologi dan Ekonomi Terumbu Karang: - Komposisi substrat - Persentase tutupan karang batu - Struktur komunitas karang batu - Indeks kematian karang batu Metode Observasi Terumbu Karang: - Manta-tow: mengitari pulau - Transek kuadrat: Stasiun 1 (kategori 1) Stasiun 2 (kategori 2) Stasiun 3 (kategori 3) Perbedaan Kualitas Terumbu Karang Produksi Perikanan Karang: - Volume ikan karang ekonomis tangkapan - Keaneka-ragaman ikan karang ekonomis tangkapan - Ikan karang ekonomis terkait jasa ; Harga Ikan Karang Ekonomis; Biaya Ekstraksi Ikan Karang Ekonomis Wawancara dengan Nelayan Karang dan Pencacahan Hasil Tangkapan Ikan Karang Ekonomis Penilaian Ekonomi Terumbu Karang (indirect use: jasa tempat pemijahan, pengasuhan dan mencari makan ikan karang ekonomis): - Analisis ekonomi ikan karang ekonomis - Analisis ekonomi berdasarkan jasa Skenario: Tanpa pengelolaan Skenario: Pengelolaan Analisis Biaya-Manfaat (CBA) Pemanfaatan Lestari Terumbu Karang Gambar 1. Kerangka Pemikiran