BAB II KAJIAN PUSTAKA. secara luas sebagai alat penting untuk konservasi, namun hanya 0,5% dari
|
|
- Djaja Setiawan
- 6 tahun lalu
- Tontonan:
Transkripsi
1 7 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Sumber daya Wilayah Pesisir Fakta menunjukkan bahwa kawasan perlindungan laut telah dikenali secara luas sebagai alat penting untuk konservasi, namun hanya 0,5% dari lingkungan laut dunia benar-benar diperuntukkan sebagai kawasan yang dilindungi,bila dibandingkan dengan hampir 13% lingkungan darat sebagai kawasan perlindungan. Di perkirakan ±75% dari kawasan perlindungan laut mengalami pengelolaan yang terbatas atau tidak ada pengelolaan sama sekali (WWF, 2000) Upaya konservasi di alam Indonesia telah dikenal sejak 287 tahun yang lalu (tahun 1714), saat seorang peranakan Belanda-Perancis bernama Cornelis Castelein mewariskan 2 bidang tanah persil seluas 6 ha di Depok kepada para pengikutnya untuk digunakan sebagai Cagar Alam (Natuur Reservaat) (Wiratno dkk., 2004). Dalam kurun waktu yang panjang, banyak kawasan perlindungan telah dibentuk terutama untuk mengurangi hilangnya keanekaragaman dan variasi genetiknya, khususnya fokus pada ekosistem yang rentan dan species yang mempunyai nilai ekonomi penting. Pada saat ini, proses merosotnya mutu dan fungsi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, khususnya sumberdaya hutan (termasuk yang berada di dalam Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam) berjalan sangat cepat dalam tingkat yang memprihatinkan, dan telah meningkatkan intensitas konflik pengguna sumberdaya alam serta berdampak
2 8 negatif khususnya untuk fungsi kawasan taman nasional sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam dan ekosistemnya (Departemen Kehutanan, 2001). Secara teknis kegiatan konservasi menjadi tanggung jawab pemerintah dalam menjamin keberlangsungan pemanfaatan dan kelestarian alam, yang dituangkan dalam bentuk berbagai kegiatan dan proyek pemerintah melalui instansi-instansi teknis. Dalam perkembangannya hingga sekarang, masih banyak dijumpai proyek-proyek pemerintah yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah konservasi alam. Hal ini seringkali menimbulkan ketidakpuasan pihak-pihak pengguna, yang selanjutnya mencoba mendefinisikan dan mengembangkan program-program konservasi yang sesuai kebutuhannya. Pergeseran paradigma pendekatan teknis program konservasi, yaitu pendekatan atas-bawah yang dilakukan oleh pemerintah, seharusnya diganti dengan pendekatan dari bawah ke atas (pelaksanaannya berawal dan berkembang dari masyarakat). (Anonim, 2001). 2.2 Efektivitas Pengelolaan Sumber Daya Alam Pengertian Efektivitas Pengelolaan Efektivitas pengelolaan adalah indeks yang menunjukkan apakah kegiatan manajemen telah mencapai tujuan dan sasaran dari kawasan perlindungan. Hal ini memungkinkan perbaikan manajemen perlindungan kawasan melalui pembelajaran, adaptasi, dan diagnosa masalah spesifik yang mempengaruhi baik tujuan maupun sasaran yang telah dicapai. Selain itu juga
3 9 memberikan jalan untuk menunjukkan akuntabilitas dari pengelolaan sebuah Kawasan Perlindungan Laut (KPL). Mengevaluasi efektivitas pengelolaan dari sebuah kawasan perlindungan bukan merupakan pekerjaan mudah. Sebagai contoh, walaupun usaha pengelolaan terbaik, gangguan alam dapat secara radikal merusak ekosistem tanpa memperhatikan kualitas baik pengelolaan kawasan telah dilakukan. Evaluasi harus tepat dan akurat dalam mengkaji derajat atau ukuran pencapaian secara langsung berkaitan dengan kegiatan manajemen (Pomeroy et al. 2004) Manfaat Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Menurut Pomeroy et al, (2004) menyebutkan, bahwa melakukan evaluasi pengelolaan akan menawarkan jalan yang terstruktur untuk mempelajari keberhasilan dan kegagalan pengelolaan, serta membantu untuk mengerti bagaimana dan mengapa latihan-latihan dilakukan dan diperbaiki selalu sepanjang waktu. Selain itu evaluasi pengelolaan juga untuk identifikasi langkah dan aktivitas yang jelas, membangun dukungan peraturan baru atau menegakkan peraturan lama, menata agenda konservasi dan skala waktu yang realistis, serta membuka peluang untuk mengikat para pemakai kawasan dalam proses pembuatan keputusan. Pengelolaan sumber daya pesisir dan kelautan lambat laun berubah menjadi kegiatan profesional. Ada pengakuan terhadap kebutuhan bagi para pengelola pesisir dan kelautan untuk lebih sistematik dalam menggunakan KPL, untuk memperbaiki pembelajaran konservasi kelautan dan membuat contoh terbaik kegiatan pengelolaan. Untuk mencapai kebutuhan ini, terdapat
4 10 kesepakatan umum diantara praktisi konservasi bahwa evaluasi efektivitas pengelolaan akan memperbaiki kegiatan pengelolaan KPL. Efektivitas pengelolaan dari KPL membutuhkan timbal balik informasi secara terus menerus untuk mencapai tujuan. Proses pengelolaan mencakup perencanaan, desain, implementasi, monitoring, evaluasi, komunikasi dan adaptasi. Evaluasi terdiri dari kajian hasil dari kegiatan yang dilakukan dan apakah kegiatan tersebut menghasilkan capaian yang diinginkan. Evaluasi adalah bagian rutin dari proses manajemen. Evaluasi efektivitas pengelolaan dibangun pada rutinitas yang ada. Manajemen adaptif adalah substansi fundamental yang mendasari siklus proses pengelolaan, yang secara sistematis menguji asumsi-asumsi, pembelajaran terus menerus dengan mengevaluasi hasil, dan selanjutnya memperbaiki dan menyempurnakan kegiatan manajemen. Hasil dari manajemen adaptif dalam konteks kawasan perlindungan adalah terperbaharuinya efektivitas dan meningkatkan kemajuan menuju pencapaian hasil dan tujuan (Pomeroy et al., 2004) Tahapan Proses Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Menurut Pomeroy et al. (2004), tahapan proses evaluasi efektivitas pengelolaan meliputi: 1. Memilih kumpulan indikator terukur yang sesuai dengan tujuan dan sasaran kawasan perlindungan laut. 2. Membangun rencana kerja yang realistis dan batasan waktu yang dibutuhkan untuk melengkapi evaluasi.
5 11 3. Mengukur indikator dan mengumpulkan informasi penting untuk mengadakan evaluasi. 4. Mengkomunikasikan hasil ke pengambil keputusan dan para pihak terkait untuk menyesuaikan pengelolaan KPL Indikator Efektifitas Pengelolaan Indikator efektivitas pengelolaan kawasan perlindungan laut menurut Pomeroy et al. (2004) terdiri dari tiga kategori yaitu: 1. Indikator biofisik a. Kelimpahan species penting b. Struktur populasi species penting c. Distribusi habitat dan kompleksitasnya d. Komposisi dan struktur komunitas e. Keberhasilan merekrut dalam komunitas f. Kesatuan jaring makanan g. Tipe, level, dan kembalinya usaha perikanan h. Kualitas air i. Daerah yang menunjukkan tanda kepulihan j. Daerah minim atau tanpa dampak manusia 2. Indikator sosio-ekonomi: a. Pola penggunaan Sumber Daya Kelautan (SDK) b. Nilai lokal dan kepercayaan tentang SDK c. Tingkat pengetahuan dampak manusia terhadap SDK d. Persepsi terhadap ketersediaan sumber makanan dari laut (seafood) e. Persepsi terhadap hasil sumber lokal
6 12 f. Persepsi terhadap nilai bukan pasar dan nilai tidak termanfaatkan g. Material gaya hidup h. Distribusi sumber pendapatan rumah tangga i. Kualitas kesehatan manusia j. Struktur matapencaharian rumah tangga k. Infrastruktur masyarakat dan usaha l. Jumlah dan sifat pasar m. Pengetahuan para pihak terhadap sejarah alam n. Distribusi pengetahuan formal masyarakat o. Persentase kelompok pihak dalam posisi kepemimpinan p. Perubahan kondisi dari gsaris keturunan/leluhur dan sejarah lokasi 3. Indikator pengaturan (governance) a. Tingkat konflik terhadap sumber b. Keberadaan lembaga pengelolaan dan pengambilan keputusan c. Keberadaan dan adopsi terhadap rencana pengelolaan d. Pemahaman lokal terhadap aturan dan peraturan KPL e. Keberadaan dan kecukupan kebijakan yang mendukung f. Ketersediaan dan alokasi dari sumber-sumber untuk administrasi KPL g. Keberadaan dan aplikasi masukan dan penelitian ilmiah h. Keberadaan dan tingkat aktivitas dari organisasi masyarakat i. Derajat interaksi antara pengelola dan para pihak j. Proporsi pelatihan para pihak dalam pemanfaatan berkelanjutan k. Tingkat pelatihan yang tersedia untuk para pihak dalam berpartisipasi l. Tingkat partisipasi dan kepuasan para pihak dalam pengelolaan
7 13 m. Tingkat keterlibatan para pihak dalam pemantauan n. Prosedur penegakan ditentukan dengan jelas o. Cakupan penegakan p. Diseminasi informasi Indikator dan Cara Menggunakannya Sebuah indikator adalah sebuah unit informasi terukur dalam periode waktu yang akan mengijinkan untuk mendokumentasikan perubahan yang bersifat spesifik dari KPL. Sebuah indikator mengijinkan untuk mengukur aspek yang tidak secara langsung dapat diukur atau sangat sulit untuk diukur, seperti efektivitas. Efektivitas sulit diukur karena efektivitas adalah konsep multidimensi, sejumlah indikator yang berbeda harus digunakan untuk menentukan bagaimana perkembangan KPL. Indikator-indikator ini dapat menyediakan bukti apakah tujuan dan sasaran dari KPL tercapai atau tidak (Pomeroy et al. 2004). Terdapat 42 indikator seperti yang tercantum diatas, yang terdiri dari 10 indikator biofisik, 16 indikator sosio-ekonomi dan 16 indikator pengaturan. Agar bermanfaat dan praktis, indikator tersebut dikembangkan dengan memenuhi beberapa kriteria yang sesuai dengan lokasi KPL, misalnya tujuan pengelolaan suatu kawasan bisa membutuhkan satu atau lebih indikator. Berdasarkan hasil terbaik (best practices) dilapangan, indikator yang baik memenuhi lima kriteria: 1. Terukur: dapat dicatat dan dianalisis baik secara kuantitatif maupun kualitatif. 2. Tepat (precise): ditentukan dengan cara yang sama oleh semua orang.
8 14 3. Konsisten: tidak berubah sepanjang waktu sehingga selalu mengukur hal yang sama. 4. Sensitif: berubah secara proposional dalam merespon perubahan aktual dalam komponen ukur. 5. Sederhana: indikator sederhana umumnya dipilih dibanding indikator yang kompleks (Pomeroy et al. 2004). Indikator menyediakan hasil untuk beberapa tujuan: 1. Indikator memberikan masukan ke dalam evaluasi KPL untuk mengukur dan mendemonstrasikan efektivitas pengelolaan. 2. Pengukuran, analisa dan mengkomunikasikan indikator dapat mendorong pembelajaran, pertukaran pengetahuan, dan pemahaman yang baik terhadap kekuatan dan kelemahan dari pengelolaan KPL. 3. Pengelola dan praktisi KPL dapat menggunakan hasil indikator untuk menggarisbawahi perubahan yang dibutuhkan dalam rencana pengelolaan dan kegiatan untuk menyesuaikan dan memperbaiki KPL. 4. Indikator-indikator yang muncul akan membantu untuk mempelajari lebih dalam tentang KPL dan masyarakatnya serta sumber-sumber yang dipengaruhinya (Pomeroy et al. 2004) Kondisi Sosial Ekonomi Menurut Bunce dan Bob (2003) disebutkan bahwa pengelola Sumber Daya Alam (SDA) pesisir menyadari bahwa SDA pesisir tidak lagi dapat dikelola hanya dari segi biofisik saja. Perilaku masyarakat ke depan dan pemanfaatan SDA pesisir mempunyai implikasi serius pada kondisi/kesehatan
9 15 biofisik dari ekosistem pesisir dan laut. Pengelolaan SDA pesisir juga mempunyai implikasi serius terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat. Informasi sosial ekonomi sangat penting untuk pengelolaan pesisir yang efektif. Sebagai contoh: Daerah larangan tangkap diusulkan sebagai bagian dari perikanan yang besar untuk melindungi lokasi ikan memijah dan daerah yang terancam. Masyarakat pesisir menolaknya karena khawatir akan kehilangan mata pencaharian mereka. Informasi pola penangkapan yang dikumpulkan secara sistematis, jumlah nelayan dan persepsi nelayan akan membantu pengelola menentukan secara akurat siapa yang menerima dampak dan mengidentifikasi pilihan mata pencaharian yang dapat diterima. Pembuat kebijakan dan masyarakat umum ingin mengetahui apakah daerah perlindungan laut sudah berjalan efektif? Informasi perubahan persepsi masyarakat dalam memenuhi dan menegakkan peraturan dapat mengindikasikan kesuksesan atau kegagalan dari aktivitas pengelolaanjuga penerimaan terhadap kawasan perlindungan laut. Monitoring sosial ekonomi (sosek) adalah seperangkat panduan untuk program monitoring sosek di wilayah pesisir. Panduan ini menyediakan daftar yang sudah diprioritaskan sesuai dengan indikator sosek yang bermanfaat untuk pengelola pesisir, juga pertanyaan-pertanyaan untuk pengumpulan data dan tabel untuk analisis data. Diharapkan panduan ini akan menjalin kebutuhan-kebutuhan di tiap-tiap site/lokasi. Monitoring sosial ekonomi diharapkan berguna untuk:
10 16 Menyediakan metodologi untuk mengumpulkan data dasar sosial ekonomi secara rutin yang berguna untuk pengelolaan pesisir di tingkat lapangan/level site Menyediakan dasar untuk sistem regional dimana data di tingkat lapangan dapat mendukung/sesuai dengan data dasar (database) nasional,regional dan internasional untuk perbandingan. Monitoring sosial ekonomi juga diharapkan mampu menyediakan wawasan/pengetahuan kepada pengelola, yang kebanyakan datang dari latar belakang pendidikan biologi, menjadi mengerti maksud sosial ekonomi, bagaimana informasi sosial ekonomi bermanfaat untuk pengelolaan di lokasinya (Bunce dan Bob, 2003). 2.3 Posisi Masyarakat Lokal Roe (2004) menyatakan bahwa kini konservasi berbasis masyarakat menjadi wawasan kebijakan lingkungan global setelah puluhan tahun diperdebatkan. Dalam World Park Congress pada tahun 2003 di Durban, diluncurkan suatu prinsip bahwa biodiversitas sebaiknya dilindungi demi nilainya sebagai sumber daya masyarakat lokal dan sekaligus sebagai sumber daya publik di tingkat nasional dan global, dan bahwa pembagian yang setara antara biaya dan manfaat dari kawasan dilindungi harus terjamin terdistribusi di tingkat lokal, nasional dan global. Dalam pengelolaan KPL dukungan dan penghargaan masyarakat sangat penting. Ketika masyarakat melihat KPL sebagai beban tanpa mendatangkan dukungan yang positif maka dapat dikatakan pengelolaanitu menjadi tidak
11 17 efektif. Banyak cara masyarakat setempat mendapatkan keuntungan dari KPL meliputi keuntungan ekonomi dari pemanfaatan sumber daya alam (SDA), pelestarian hak-hak adat dan kegiatan-kegiatan budaya hingga pemanfaatan khusus buat masyarakat setempat (Jeanrenaud, 1997). 2.4 Pengaturan Yang Baik di Era Otonomi Daerah Konservasi di Indonesia akan gagal, apabila tidak berhasil mendapatkan dukungan yang konsisten dari pemerintah daerah. Sementara itu, kecenderungan pemerintah daerah era otonomi ini adalah mengejar pendapatan asli daerah (PAD). Selama arah politik pembangunan belum dirubah, maka kabupaten yang bukan penghasil (baik tambang maupun kayu) sulit mendapatkan porsi dana alokasi khusus (DAK) yang memadai. Pola ini mendorong kabupaten untuk mendapatkan hak eksploitasi sumber daya alam. Kabupaten dengan berbagai macam peraturan daerah (perda) yang ditetapkannya dapat melakukan apa saja. Hal ini sangat mengkhawatirkan, kaitannya dengan bagaimana kawasankawasan konservasi di daerah itu akan bertahan. Dengan dinamika perubahan yang sangat cepat ini, tentu masyarakat tidak bisa berharap banyak akan good governance di daerah-daerah (Wiratno, 2005). Pengelolaan/konservasi keanekaragaman hayati merupakan tanggung jawab pemerintah serta semua pihak terkait seperti organisasi nonpemerintah, kalangan akademisi, lembaga penelitian serta masyarakat yang diwujudkan melalui konsep pengelolaan SDA secara terpadu dengan memasukkan prinsip
12 18 pendekatan ekosistem. Taman Nasional sebagai salah satu kawasan konservasi mengembangkan model kerja sama kemitraan melalui pembentukan kelembagaan kerja sama kemitraan (Kementrian Lingkungan Hidup, 2005). 2.5 Pengelolaan Kawasan Pesisir di Teluk Kupang Taman Wisata Alam Laut di kawasan pesisir Teluk Kupang Taman Wisata Alam Laut (TWAL) adalah suatu kawasan pelestarian alam dengan tujuan utama untuk dimanfaatkan bagi kepentingan pariwisata dan rekreasi alam. Dalam beberapa kasus, manajemen KPL yang efektif akan membutuhkan gambaran hubungan sebab-akibat antara kelautan dan lingkungan darat dengan pemanfaatan manusia. Menurut Pomeroy et al (2004) Kriteria Kawasan Perlindungan Laut (KPL): 1. Melindungi keanekaragaman laut dunia yang sangat penting dan spesiesspesies langka 2. Menurunkan kemiskinan 3. Menyediakan masyarakat pesisir yang lebih sehat dengan dasar yang kuat untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Teluk Kupang adalah teluk terbesar di ujung Barat Pulau Timor, Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan merupakan pintu gerbang pelayaran terpenting ke Provinsi NTT. Teluk Kupang merupakan kawasan taman wisata alam laut, dan menurut administrasi pemerintahan berbatasan dengan Kecamatan Kupang Barat, Semau, Kupang Tengah, Kupang Timur, dan Sulamu di Kabupaten Kupang, dan berbatasan dengan Kecamatan Alak, Kelapa Lima, Maulafa, serts Oebobo di Kabupaten Kupang. Menurut administrasi kehutanan, TWAL Teluk
13 19 Kupang berada dalam wilayah kerja Sub Seksi KSDA Timor Barat, Sub Balai KSDA Nusa Tenggara Timur, BKSDA VII Kupang (Departemen Kehutanan, 1997). Berdasarkan letak geografisnya, TWAL Teluk Kupang terletak bada posisi 9,19 o -10,57 o LS dan 121,30 o -124,11 o BT. Luas kawasan TWAL Teluk Kupang, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 18/KPTS- II/93 tanggal 28 Januari 1993 adalah ha yang terbentang sepanjang pantai Teluk Kupang, Pulau Burung, Pulau Kera, Pulau Tikus, Pulau Kambing, Pulau Tabui, dan Pulau Semau. Topografi daerah di sekitar kawasan TWAL Teluk Kupang pada umumnya datar sampai bergelombang dengan titik tertinggi mencapai 250 meter dpl (Departemen Kehutanan, 1997). Keanekaragaman hayati, dan budaya masyarakat di daratan di dalam kawasan dan/atau di daratan di sekitar kawasan adalah modal dasar pembangunan daerah. Kawasan perlindungan laut didirikan untuk tujuan skala besar, termasuk melindungi spesies laut dan habitatnya, menjaga keanekaragaman hayati laut, mengembalikan cadangan perikanan, mengelola aktivitas pariwisata, dan meminimalkan konflik diantara berbagai pengguna. Untuk mencapai tujuan ini, sasaran yang spesifik dan terukur harus ditentukan dalam konteks keluaran dan hasil yang dicari. Pada gilirannya membutuhkan pengembangan rencana pengelolaan yang ditentukan dengan baik, identifikasi ukuran keberhasilan dari kawasan perlindungan laut, monitoring dan evaluasi dampak pengelolaan, danpada akhirnya aktivitas tersebut menjadi masukan ke dalam proses perencanaan untuk memperbaiki tujuan, rencana dan capaian. Dengan kata lain, kawasan perlindungan laut harus di kelola secara adaptif. Pemerintah, agen
14 20 donor dan para pihak yang berkentingan (stakeholders) yang mendapat keuntungan dari kawasan perlindungan laut membutuhkan informasi mengenai efektivitas pengelolaan yang akan mengijinkan mereka untuk mengkaji apakah hasilnya sesuai dengan usaha dan sumber daya yang telah dikeluarkan serta apakah sesuai dengan kebijakan dan tujuan pengelolaan (Pomeroy et al, 2004). Pengelolaan dengan menggunakan pendekatan struktural yang dilaksanakan di kawasan TWAL Teluk Kupang, dirancang untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan kawasan TWAL Teluk Kupang dengan tujuan akhir meningkatkan kesehatan terumbu karang untuk menghadapi perubahan iklim seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir di sekitar kawasan, melalui pemanfaatan yang berkelanjutan. Kriteria dasar pengelolaan terpadu dilakukan dengan membangun proses pengelolaan secara partisipatif, melalui pelibatan masyarakat lokal, pihak swasta dan pemerintah daerah dalam membangun konsep perencanaan kolaboratif. Kebutuhan yang sangat mendesak untuk menggunakan indikator-indikator dalam menilai atau mengevaluasi keluaran dari proses yang telah dibangun (WWF, 2003) Degradasi ekosistem terumbu karang Terumbu karang merupakan keunikan di antara asosiasi atau komunitas lautan yang seluruhnya dibentuk oleh kegiatan biologis. Kenyataan bahwa terumbu karang adalah mantap, terdiri dari bermacam-macam jenis, merupakan ekosistem yang baik adaptasinya dengan tingkat simbiosis ke dalam sangat tinggi, namun tetap tidak membuatnya tahan dari gangguan manusia. Kunzmann (2001) mengatakan, meskipun terumbu karang penting bagi aktivitas perikanan
15 21 dan pariwisata, namun lebih dari 60% terumbu karang dunia terancam akibat aktivitas manusia tersebut. Berdasarkan survey line intercept transect yang dilakukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dari luas tutupan karang hidup di Indonesia, hanya sekitar 6,2% dalam kondisi sangat baik, 23,72% dalam kondisi baik, 28,3% dalam kondisi rusak dan 41,78% dalam kondisi rusak berat. Hasil pengamatan oleh juga menunjukkan bahwa terumbu karang di Indonesia memiliki kondisi lebih buruk dari pada terumbu karang di perairan kawasan tengah dan timur Indonesia (Idris,2001). Kawasan pesisir Teluk Kupang memiliki kondisi ekosistem terumbu karang tidak jauh berbeda dengan kondisi secara keseluruhan di Indonesia. Berdasarkan hasil monitoring terumbu karang yang dilakukan oleh BAPPEDA Propinsi NTT, didapatkan berupa Peta Sebaran Terumbu Karang di kawasan Teluk Kupang (Gambar 2.1).
16 PETA SEBARAN TERUMBARANG DI KAWASAN TELUK KUPANG Gambar 2.1 Peta Sebaran Terumbu Karang di kawasan Teluk Kupang (Bappeda, 2004) 22
BAB I PENDAHULUAN. Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas lebih dari 28 juta hektar yang kini menghadapi ancaman dan persoalan pengelolaan yang sangat berat.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ikan) yang cukup tinggi, namun jika dibandingkan dengan wilayah
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai salah satu Kabupaten yang paling banyak memproduksi Ikan, komoditi perikanan di Kabupaten Kupang merupakan salah satu pendukung laju perekonomian masyarakat,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kawasan konservasi di Indonesia baik darat maupun laut memiliki luas lebih dari 28 juta hektar yang kini menghadapi ancaman dan persoalan pengelolaan yang sangat berat.
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar. Dari sekitar 15.900 juta ha hutan mangrove yang terdapat di dunia, sekitar
Lebih terperinciPENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan
PENDAHULUAN Latar Belakang Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan adanya kecenderungan menipis (data FAO, 2000) terutama produksi perikanan tangkap dunia diperkirakan hanya
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN Latar Belakang
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pesisir dan laut Indonesia merupakan wilayah dengan potensi keanekaragaman hayati yang sangat tinggi. Sumberdaya pesisir berperan penting dalam mendukung pembangunan
Lebih terperinciBUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG
BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG PENCADANGAN KAWASAN TERUMBU KARANG PASIR PUTIH SEBAGAI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN SITUBONDO BUPATI SITUBONDO, Menimbang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
101111111111105 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki sumberdaya alam hayati laut yang potensial seperti sumberdaya terumbu karang. Berdasarkan
Lebih terperinciKonservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI
Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI Indikator Perkuliahan Menjelaskan kawasan yang dilindungi Menjelaskan klasifikasi kawasan yang dilindungi Menjelaskan pendekatan spesies Menjelaskan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih 50.000 km 2 (Moosa et al dalam
Lebih terperinciRENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN 05-09 Prof. DR. M. Bismark, MS. LATAR BELAKANG Perlindungan biodiversitas flora, fauna dan mikroorganisme menjadi perhatian dunia untuk
Lebih terperinciBAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan
29 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN 3.1. Kerangka Berpikir Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan ekosistem laut. Mangrove diketahui mempunyai fungsi ganda
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu
BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Lombok memiliki luas 467.200 ha. dan secara geografis terletak antara 115 o 45-116 o 40 BT dan 8 o 10-9 o 10 LS. Pulau Lombok seringkali digambarkan sebagai
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Taman Nasional menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia yang merupakan pusat dari segitiga terumbu karang (coral triangle), memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di dunia (megabiodiversity). Terumbu karang memiliki
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN Latar Belakang
1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan luas 49 307,19 km 2 memiliki potensi sumberdaya hayati laut yang tinggi. Luas laut 29 159,04 Km 2, sedangkan luas daratan meliputi
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kabupaten Natuna memiliki potensi sumberdaya perairan yang cukup tinggi karena memiliki berbagai ekosistem laut dangkal yang merupakan tempat hidup dan memijah ikan-ikan
Lebih terperinciMENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT
KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa dalam
Lebih terperinciPERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA. Bab II
Bab II PERENCANAAN DAN PERJANJIAN KINERJA Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Daerah, setiap satuan kerja perangkat Daerah, SKPD harus menyusun Rencana
Lebih terperinciBUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG
BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah
1 BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sumberdaya alam seperti air, udara, lahan, minyak, ikan, hutan dan lain - lain merupakan sumberdaya yang esensial bagi kelangsungan hidup manusia. Penurunan
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di wilayah pesisir yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak
Lebih terperinciI PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat
I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Seiring dengan laju pertumbuhan penduduk dan perubahan kondisi sosial masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat dalam pemanfaatan
Lebih terperinciKRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010
KRITERIA KAWASAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 PENETAPAN FUNGSI KAWASAN Tiga kriteria konservasi bagi perlindungan jenis dan komunitas: Kekhasan Perlindungan, Pengawetan & Pemanfaatan Keterancaman
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya
I. PENDAHULUAN A. Latar belakang Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, wilayah daratan Indonesia ( 1,9 juta km 2 ) tersebar pada sekitar 17.500 pulau yang disatukan oleh laut yang sangat luas sekitar
Lebih terperinciVIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove
VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN 8.1. Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove Pendekatan AHP adalah suatu proses yang dititikberatkan pada pertimbangan terhadap faktor-faktor
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pariwisata memiliki peran yang semakin penting dan memiliki dampak positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013). Dengan adanya misi
Lebih terperinci92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM
ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM Indonesia diposisi silang samudera dan benua 92 pulau terluar overfishing PENCEMARAN KEMISKINAN Ancaman kerusakan sumberdaya 12 bioekoregion 11 WPP PETA TINGKAT EKSPLORASI
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU
MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU MENTERI KEHUTANAN,
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. suatu sistem, dimana bagian-bagian tugas negara diserahkan
1 BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Bergulirnya periode reformasi memberikan dorongan bagi pemerintah untuk melakukan perubahan secara signifikan terhadap bentuk hubungan antara pusat dan daerah. Salah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia adalah negara berkembang yang terus menerus melakukan pembangunan nasional. Dalam mengahadapi era pembangunan global, pelaksanaan pembangunan ekonomi harus
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Faktor kepuasan kerja dijelaskan oleh Umam (2010) bahwa terdapat dua indikator yaitu adanya ciri-ciri instrinsik dan ekstrinsik dari suatu pekerjaan yang menentukan
Lebih terperinciRENCANA STRATEGIS
TROPICAL FOREST CONSERVATION ACTION FOR SUMATERA RENCANA STRATEGIS 2010-2015 A. LATAR BELAKANG Pulau Sumatera merupakan salah kawasan prioritas konservasi keanekaragaman hayati Paparan Sunda dan salah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Pada
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar yang diperkirakan memiliki kurang lebih 17 504 pulau (DKP 2007), dan sebagian besar diantaranya adalah pulau-pulau kecil
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dijelaskan bahwa suaka margasatwa, adalah kawasan suaka alam yang mempunyai
Lebih terperinciBAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR
BAB V. KEBIJAKAN PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DAERAH KABUPATEN ALOR 5.1. Visi dan Misi Pengelolaan Kawasan Konservasi Mengacu pada kecenderungan perubahan global dan kebijakan pembangunan daerah
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,
KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.38/MEN/2004 TENTANG PEDOMAN UMUM PENGELOLAAN TERUMBU KARANG MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN, Menimbang : a. bahwa sumberdaya terumbu karang dan ekosistemnya
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. 16,9 juta ha hutan mangrove yang ada di dunia, sekitar 27 % berada di Indonesia
1.1 Latar Belakang I. PENDAHULUAN Wilayah pesisir dan lautan merupakan salah satu wilayah yang kaya akan sumberdaya alam hayati dan non hayati. Salah satu sumberdaya alam hayati tersebut adalah hutan mangrove.
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1 1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kota Sibolga terletak di kawasan pantai Barat Sumatera Utara, yaitu di Teluk Tapian Nauli. Secara geografis, Kota Sibolga terletak di antara 01 0 42 01 0 46 LU dan
Lebih terperinciKEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG
KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24/KEPMEN-KP/2014 TENTANG KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN NUSA PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG DI PROVINSI BALI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang
BAB I PENDAHULUAN 1.1.LatarBelakang Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang 95.181 km terdiri dari sumber daya alam laut dan pantai yang beragam. Dengan kondisi iklim dan substrat
Lebih terperinciGUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN
GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 97 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA STRATEGIS WILAYAH PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL TAHUN 2011-2030 GUBERNUR JAWA TIMUR, Menimbang : bahwa sebagai pelaksanaan
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN. yang dimaksud adalah taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wisata alam oleh Direktorat Jenderal Pariwisata (1998:3) dan Yoeti (2000) dalam Puspitasari (2011:3) disebutkan sebagai kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR
PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciTantangan Ke Depan. 154 Tantangan Ke Depan
5 Tantangan Ke Depan Pemahaman ilmiah kita terhadap ekosistem secara umum, khususnya pada ekosistem laut, mengalami kemajuan pesat dalam beberapa dekade terakhir. Informasi tentang pengelolaan ekosistem
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. dari penunjukan kawasan konservasi CA dan SM Pulau Bawean adalah untuk
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Suaka Alam Pulau Bawean ditunjuk dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 76/Kpts/Um/12/1979 tanggal 5 Desember 1979 meliputi Cagar Alam (CA) seluas 725 ha dan Suaka
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Potensi geografis yang dimiliki Indonesia berpengaruh terhadap pembangunan bangsa dan negara. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2011 menunjukkan bahwa
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Isu konservasi sumberdaya hayati menjadi salah satu bagian yang dibahas dalam Agenda 21 pada KTT Bumi yang diselenggarakan di Brazil tahun 1992. Indonesia menindaklanjutinya
Lebih terperinciBAB VIII KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN. (1). Potensi sumberdaya di kawasan pesisir Taman Konservasi Laut Olele.
303 BAB VIII KESIMPULAN, SARAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN 8.1. Kesimpulan (1). Potensi sumberdaya di kawasan pesisir Taman Konservasi Laut Olele. Berdasarkan hasil penelitian, keberadaan sumberdaya dan potensi
Lebih terperinciPELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV
xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan oleh manusia. Sumberdaya hutan yang ada bukan hanya hutan produksi, tetapi juga kawasan konservasi.
Lebih terperinciOleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan
Oleh: Ir. Agus Dermawan, M.Si. Direktur Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan DIREKTORAT KONSERVASI KAWASAN DAN JENIS IKAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL KEMENTERIAN KELAUTAN DAN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan lautan. Negara Indonesia mempunyai wilayah pesisir dengan panjang garis pantai sekitar 81.791
Lebih terperinciV KEBERGANTUNGAN DAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA DANAU
V KEBERGANTUNGAN DAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP SUMBERDAYA DANAU 70 5.1 Kebergantungan Masyarakat terhadap Danau Rawa Pening Danau Rawa Pening memiliki peran penting dalam menciptakan keseimbangan
Lebih terperinciPRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI
PRINSIP DASAR PENGELOLAAN KONSERVASI Fredinan Yulianda, 2010 Lima prinsip dasar Pengelolaan Konservasi 1. Proses ekologis seharusnya dapat dikontrol 2. Tujuan dan sasaran hendaknya dibuat dari sistem pemahaman
Lebih terperinciPEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER
PEMERINTAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA RANCANGAN PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR. TAHUN. TENTANG PENGELOLAAN TAMAN HUTAN RAYA BUNDER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA
Lebih terperinciPELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN III
xxxxxxxxxx Kurikulum 2006/2013 Geografi K e l a s XI PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN III Tujuan Pembelajaran Setelah mempelajari materi ini, kamu diharapkan memiliki kemampuan
Lebih terperinciSTUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR
STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR Oleh: HERIASMAN L2D300363 JURUSAN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA FAKULTAS TEKNIK
Lebih terperinciPembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015
Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015 Papua terdiri dari Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan luas total 42,22 juta ha merupakan provinsi terluas dengan jumlah penduduk
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan sub-sektor perikanan tangkap merupakan bagian integral dari pembangunan kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk : (1) meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 45 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG KAWASAN PERKOTAAN DENPASAR, BADUNG, GIANYAR, DAN TABANAN
Lebih terperinciInvestasi cerdas untuk perlindungan keanekaragaman hayati laut dan membangun perikanan Indonesia. Wawan Ridwan
Investasi cerdas untuk perlindungan keanekaragaman hayati laut dan membangun perikanan Indonesia Wawan Ridwan Simposium Nasional Konservasi Perairan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, 9 10 Mei 2017 (c) Nara
Lebih terperinciLaporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN
BA B PENDAHULUAN I 1.1. Latar Belakang Sebagai bangsa yang besar dengan kekayaan potensi sumber daya alam yang luar biasa, sebenarnya Indonesia memiliki peluang yang besar untuk menjadi pelaku ekonomi
Lebih terperinciBAB V ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH
RANCANGAN RPJP KABUPATEN BINTAN TAHUN 2005-2025 V-1 BAB V ARAH KEBIJAKAN PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG DAERAH Permasalahan dan tantangan yang dihadapi, serta isu strategis serta visi dan misi pembangunan
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kawasan konservasi mempunyai peran yang sangat besar terhadap perlindungan keanekaragaman hayati. Kawasan konservasi juga merupakan pilar dari hampir semua strategi
Lebih terperinciKAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR
KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA ANI MARDIASTUTI JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR Kawasan Konservasi Indonesia UURI No 5 Tahun 1990 Konservasi
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat
1 I. PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Negara Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang memiliki wilayah perairan yang sangat luas. Dengan luasnya wilayah perairan yang dimiliki oleh negara Indonesia
Lebih terperinciBAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori Pengelolaan sumber daya alam, khususnya hutan yang berkelanjutan dimasa kini telah menjadi keharusan, dimana keberadaan serta keberlangsungan fungsi sumber daya
Lebih terperinciTINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang
4 TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang Ruang (space) dalam ilmu geografi didefinisikan sebagai seluruh permukaan bumi yang merupakan lapisan biosfer, tempat hidup tumbuhan, hewan dan manusia (Jayadinata
Lebih terperinciPEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR
PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG LARANGAN PENGAMBILAN KARANG LAUT DI WILAYAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Taman Nasional Kerinci Seblat
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Menurut Undang-Undang No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE), Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai
Lebih terperinci5. EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN
5. EVALUASI EFEKTIVITAS PENGELOLAAN Evaluasi efektivitas pengelolaan dilakukan dengan melakukan penilaian terhadap 4 aspek dalam siklus pengelolaan yaitu: perencanaan, masukan, proses, dan keluaran. Setiap
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia Timur. Salah satu obyek wisata yang terkenal sampai mancanegara di
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah salah satu provinsi yang terletak di Indonesia Timur. Salah satu obyek wisata yang terkenal sampai mancanegara di provinsi ini adalah
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM DENGAN RAHMAT
Lebih terperinci1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Wilayah teritorial Indonesia yang sebagian besar merupakan wilayah pesisir dan laut kaya akan sumber daya alam. Sumber daya alam ini berpotensi untuk dimanfaatkan bagi
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri dari 17.504 buah pulau (28 pulau besar dan 17.476 pulau kecil) dengan panjang garis pantai sekitar
Lebih terperinciLEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
No.121, 2014 LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA SERBAGITA. Kawasan Perkotaan. Tata Ruang. Perubahan. PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN Latar Belakang
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Data pokok kelautan dan perikanan 2010 1 menggolongkan Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan jumlah pulau yang banyak.
Lebih terperinciBAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang
BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas. Hutan
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 46 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENYELENGGARAAN KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang:
Lebih terperinciPERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN
PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.30/MEN/2010 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN DAN ZONASI KAWASAN KONSERVASI PERAIRAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN
Lebih terperinciPERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Menimbang: bahwa
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Ekosistem terumbu karang mempunyai keanekaragaman biologi yang tinggi dan berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung bagi berbagai
Lebih terperinciBAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbentang antara
1 BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan yang terbentang antara Samudera Hindia dan Samudera Pasifik dan tersebar dari pulau Sumatera sampai ke ujung timur
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, pertahanan dan keamanan serta adanya ekosistem
Lebih terperinciKonservasi Lingkungan. Lely Riawati
1 Konservasi Lingkungan Lely Riawati 2 Dasar Hukum Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pulau Pombo merupakan salah satu Pulau di Provinsi Maluku yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi sumber daya alam dengan kategori Kawasan Suaka Alam, dengan status
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan hidup. Oleh karena adanya pengaruh laut dan daratan, dikawasan mangrove terjadi interaksi kompleks
Lebih terperinci1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan berkelanjutan telah menjadi komitmen masyarakat dunia. Pada saat ini, beberapa negara maju maupun negara berkembang termasuk Indonesia, telah menerima konsep
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan sumberdaya alam anugerah Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak terhingga nilainya bagi seluruh umat manusia. Sebagai anugerah, hutan mempunyai nilai filosofi yang
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, salah satu pengelompokan hutan berdasarkan fungsinya adalah hutan konservasi. Hutan konservasi merupakan
Lebih terperinciPENDANAAN BERKELANJUTAN BAGI KAWASAN KONSERVASI LAUT
PENDANAAN BERKELANJUTAN BAGI KAWASAN KONSERVASI LAUT Oleh: Rony Megawanto Tekanan terhadap sumber daya perikanan semakin tinggi seiring dengan meningkatkan permintaan pasar (demand) terhadap produk-produk
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Indonesia memiliki tanah air yang kaya dengan sumber daya alam dan ekosistemnya. Potensi sumber daya alam tersebut semestinya dikembangkan dan dimanfaatkan sebesar-besarnya
Lebih terperinciDENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN PRESIDEN NOMOR 45 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA TATA RUANG KAWASAN PERKOTAAN DENPASAR, BADUNG, GIANYAR, DAN TABANAN
Lebih terperinciIndonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Mitigasi Berbasis Lahan
Indonesia Climate Change Trust Fund Usulan Program Mitigasi Berbasis Lahan Judul Kegiatan: Provinsi/Kota/Kabupaten: Lembaga Pengusul: Jenis Kegiatan: Mitigasi Berbasis Lahan A. Informasi Kegiatan A.1.
Lebih terperinciPENDAHULUAN Latar Belakang
PENDAHULUAN Latar Belakang Wilayah pesisir pulau kecil pada umumnya memiliki panorama yang indah untuk dapat dijadikan sebagai obyek wisata yang menarik dan menguntungkan, seperti pantai pasir putih, ekosistem
Lebih terperinciII. TINJAUAN PUSTAKA. fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam untuk
5 II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman Taman Hutan Raya (Tahura) adalah hutan yang ditetapkan pemerintah dengan fungsi pokok sebagai hutan konservasi yaitu kawasan pelestarian alam
Lebih terperinciI. PENDAHULUAN Latar Belakang
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagai sebuah negara yang sebagian besar wilayahnya terdiri atas lautan, Indonesia memiliki potensi sumberdaya perikanan yang potensial untuk dikembangkan sebagai salah
Lebih terperinciBAB I PENDAHULUAN. Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Sebagian hutan tropis terbesar di dunia terdapat di Indonesia. Berdasarkan luas, hutan tropis Indonesia menempati urutan ke tiga setelah Brasil dan Republik Demokrasi
Lebih terperinci