HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 1.1 Pengaruh Pembentukan Kalus Pada Media MS Kombinasi ZPT BAP dan 2,4-D.

HASIL DAN PEMBAHASAN Eksplorasi Eksplan Terubuk

IV. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Air leri merupakan bahan organik dengan kandungan fosfor, magnesium

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Kultur Jaringan Tanaman Eksplan

HASIL DAN PEMBAHASAN. eksplan hidup, persentase eksplan browning, persentase eksplan kontaminasi,

I. PENDAHULUAN. Anggrek bulan (Phalaenopsis amabilis (L.) Blume) merupakan jenis. pesona, bahkan menjadi penyumbang devisa bagi negara.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kombinasi Embriogenesis Langsung dan Tak Langsung pada Perbanyakan Kopi Robusta. Reny Fauziah Oetami 1)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Kombinasi BAP dan IBA terhadap Waktu Munculnya Tunas Akasia (Acacia mangium Willd.)

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 4. A=N0K0; B=N0K1; C=N0K2

13/10/2012 PENDAHULUAN. REVIEW KULTUR JARINGAN CENDANA (Santalum album L.)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hipogea L.) merupakan salah satu komoditas pertanian

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil pengatnatan terhadap parameter saat muncul tunas setelah dianalisis. Saat muncul tunas (hari)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada Rimpang Kencur (Kaempferia galanga L) telah dilaksanakan di

3 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Bahan dan Alat

TINJAUAN PUSTAKA. Botani Melon (Cucumis melo L.)

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. hidup, terkontaminasi dan eksplan Browning. Gejala kontaminasi yang timbul

BAHAN DAN METODE. Histodifferensiasi Embrio Somatik

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Umum Kultur Pada Kultivar Jerapah dan Sima

HASIL DAN PEMBAHASAN. Percobaan 1 : Pengaruh Pertumbuhan Asal Bahan Tanaman terhadap Pembibitan Jarak Pagar

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. zat pengatur tumbuh memperlihatkan pertumbuhan yang baik. Hal tersebut sesuai

HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN. Variabel pertumbuhan yang diamati pada eksplan anggrek Vanda tricolor

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Induk Hortikultura Gedung Johor Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan

BAHAN DAN METODE. Pertanian Universitas Sumatera Utara, Medan. Penelitian ini dimulai pada bulan

TINJAUAN PUSTAKA Botani, Penyebaran dan Manfaat Tanaman Jarak Pagar ( Jatropha curcas L.) Kultur Jaringan Tanaman

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB IV. adalah 81% daun. (5) (6) dari eksplan. hitam/coklat. daun dari 12. stagnan putih 6% 44% 37%

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan kacang tanah dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan

REGENERASI EKSPLAN MELALUI ORGANOGENESIS DAN EMBRIOGENESIS SOMATIK

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Umum Penelitian

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Murashige-Skoog dengan penambahan zat pengatur tumbuh 2,4-D dan

RESPON PERTUMBUHAN MERISTEM KENTANG (Solanum tuberosuml) TERHADAP PENAMBAHAN NAA DAN EKSTRAK JAGUNG MUDA PADA MEDIUM MS

I. PENDAHULUAN. Masalah mengenai tebu yang hingga kini sering dihadapi adalah rendahnya

TINJAUAN PUSTAKA Botani Melon

HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kondisi Umum Percobaan

PENGARUH PEMBERIAN NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BUAH NAGA (Hylocereus costaricensis) MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN SECARA IN VITRO

INDUKSI VARIASI SOMAKLONAL EMPAT GENOTIPE KEDELAI MELALUI EMBRIOGENESIS SOMATIK. Abstrak

Regenerasi Tanaman secara In Vitro dan Faktor-Faktor Yang Mempenaruhi

I. PENDAHULUAN. menggunakan satu eksplan yang ditanam pada medium tertentu dapat

I. PENDAHULUAN. Manggis (Garcinia mangostana L.) merupakan salah satu komoditas buah tropis

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stevia (Stevia rebaudiana) merupakan salah satu jenis tanaman obat di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

3 METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan tempat 3.2 Alat dan Bahan 3.3 Metode Penelitian pendahuluan

KULIAH DASAR BIOTEKNOLOGI

PENGARUH PEMBERIAN NAA DAN KINETIN TERHADAP PERTUMBUHAN EKSPLAN BUAH NAGA (Hylocereus costaricensis) MELALUI TEKNIK KULTUR JARINGAN SECARA IN VITRO

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) merupakan salah satu tanaman palawija yang

BAB I PENDAHULUAN. Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk. atau Pimpinella alpine Molk.

Romasli Nadeak a Nelly Anna b, Edy Batara Mulya Siregar b. Kampus USU Medan (Penulis Korespondensi,

PENGARUH UMUR FISIOLOGIS KECAMBAH BENIH SUMBER EKSPLAN

Isi Materi Kuliah. Pengertian Kalus. Aplikasi Kultur Kalus. Kultur Kalus 6/30/2011

BAHAN DAN METODE. Tempat dan Waktu. Bahan dan Alat. diameter 12 cm dan panjang 28 cm, dan bahan-bahan lain yang mendukung

BAB I PENDAHULUAN. 2011). Alfalfa termasuk tanaman kelompok leguminose yang berkhasiat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. (HST). Data hari muncul kalus yang telah diperoleh dianalisis dengan analisis

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman tebu (Saccharum officinarum L.) tergolong dalam famili Graminae yaitu

REGENERASI TANAMAN SENGON (Albizia falcataria) MELALUI MULTIPLIKASI TUNAS AKSILAR DENGAN PENGGUNAAN KOMBINASI ZPT DAN AIR KELAPA SKRIPSI.

TINJAUAN PUSTAKA. Suhadirman (1997) menyebutkan bahwa Musa acuminata ini berdasarkan. klasifikasi tumbuhan ini sebagai berikut : Kingdom : Plantae;

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

LAPORAN PRAKTIKUM KULTUR JARINGAN TANAMAN

Pengaruh Retardan dan Aspirin dalam Menginduksi Pembentukan Umbi Mikro Kentang (Solanum tuberosum) Secara In Vitro

I. PENDAHULUAN. Kedelai (Glycine max [L] Merr.) adalah salah satu komoditas utama kacangkacangan

TINJAUAN PUSTAKA. Kedudukan krisan dalam sistematika tumbuhan (Holmes,1983)

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

HASIL DAN PEMBAHASAN

INDUKSI AKAR SARANG SEMUT (Myrmecodia pendansmerr. & L.M.Perry)DENGAN PERLAKUAN ARANG AKTIF DAN IBA PADA MEDIUM MS SECARA IN VITRO

BAB III METODE PENELITIAN. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan 2

TINJAUAN PUSTAKA. Kenaf (Hibiscus cannabinus L.)

I. PENDAHULUAN. Kacang tanah (Arachis hypogaea L.) memiliki peran strategis dalam pangan

BAHAN DAN METODE Tempat dan Waktu Pelaksanaan Bahan dan Alat Metode Penelitian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV HASIL DAN PENGAMATAN. membesarnya sel-sel epidermis bagian atas kemudian sel-sel tersebut membelah

Pengaruh Pemberian Zat Pengatur Tumbuh 2,4-Dikhlorofenoksiasetat...Wahyu Indria

PENGARUH KONSENTRASI DAN LAMA PERENDAMAN DENGAN ZAT PENGATUR TUMBUH (ZPT) INDOLEBUTYRIC ACID (IBA) TERHADAP PERTUMBUHAN STEK TANAMAN JERUK

BAB 3 BAHAN DAN METODA

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Eksplan pisang yang dikultur secara in vitro menunjukkan respon

INDUKSI KALUS EMBRIOGENIK DAN INISIASI EMBRIO SOMATIK ANGGREK BULAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 21 hari setelah tanam. Sedangkan analisis pengaruh konsentrasi dan lama perendaman

Kultur Sel. Eksplan Kultur Sel

Tipe perkecambahan epigeal

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 2,4-D terhadap induksi pembelahan sporofitik mikrospora anggrek bulan

TINJAUAN PUSTAKA. dalam kelas Liliopsida yang merupakan salah satu tumbuhan berbunga lidah dari

Lizawati Fakultas Pertanian, Universitas Jambi, Mendalo Darat, Jambi ABSTRACT

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

No. 02 Hasil Penelitian Tahun Anggaran 2010

HASIL DA PEMBAHASA. Percobaan 1. Pengujian Pengaruh Cekaman Kekeringan terhadap Viabilitas Benih Padi Gogo Varietas Towuti dan Situ Patenggang

BAHAN DAN METODE PENELITIAN. Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan. Percobaan ini dilakukan mulai

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan di Indonesia merupakan sumber plasma nutfah yang sangat potensial

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. yang sesuai untuk perkecambahan pada biji Phalaenopsis amabilis (L.) Bl.

Induksi Kalus dan Embrio Somatik Tanaman Jambu Biji Merah (Psidium guajava L.) Callus and Somatic Embryo Induction of Guava (Psidium guajava L.

Imam Mahadi, Sri Wulandari dan Addarwida Omar Program Studi Pendidikan Biologi Jurusan PMIPA FKIP Universitas Riau Pekanbaru ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) merupakan tumbuhan obat asli

Transkripsi:

22 HASIL DAN PEMBAHASAN Percobaan I. Induksi Kalus Awalnya percobaan ini menggunakan rancangan percobaan RAL 2 faktorial namun terdapat beberapa perlakuan yang hilang akibat kontaminasi kultur yang cukup besar disertai banyaknya eksplan yang mengering/mati. Maka pada percobaan I pengolahan data dilakukan menggunakan RAL 1 faktor yaitu kombinasi media perlakuan. Tahap Inisiasi Inisiasi dilakukan pada tanggal 27 April, 11 dan 14 Mei 2010. Respon awal yang muncul dalam tahap inisiasi yaitu eksplan mulai membengkak pada minggu pertama. Sebagian besar eksplan hanya mengalami pembengkakan, sebagian lagi mulai muncul kalus pada minggu kedua dan sebagian kecil tidak menunjukkan respon yang berarti sampai minggu keempat. Tabel 4. Respon Berbagai Varietas Bahan Eksplan Tahap Inisiasi terhadap Berbagai Media Perlakuan pada 4 MST Perlakuan Varietas Media Picloram (ppm) Chanee Monthong Aksis Monthong Terminal MS 0 bengkak - kalus coklat muda MS 1 kalus putih bengkak Bengkak MS 2 kalus putih kalus coklat muda Bengkak MS 3 - bengkak Bengkak MS 4 kalus putih bengkak Bengkak MS 5 kalus coklat muda kalus coklat muda Bengkak B5 0 kalus putih bengkak - B5 1 - bengkak kalus putih B5 2 - - Bengkak B5 3 kalus putih bengkak Bengkak B5 4 kalus putih bengkak Bengkak B5 5 kalus putih bengkak kalus putih WPM 0 bengkak bengkak Bengkak WPM 1 kalus putih bengkak kalus putih WPM 2 kalus putih bengkak - WPM 3 kalus putih bengkak Bengkak WPM 4 - bengkak Bengkak WPM 5 kalus putih bengkak kalus putih Keterangan : tanda ( ) menunjukkan bahwa eksplan tidak memberikan respon terhadap media

23 Menurut George dan Sherrington (1984) kalus merupakan kumpulan sel yang tidak terorganisir, tidak berbentuk dan terjadi karena pembelahan yang sangat aktif. Dengan adanya rangsangan dari hormon endogen atau zat pengatur tumbuh yang ditambahkan (eksogen) menyebabkan metabolisme sel menjadi aktif. Dalam keadaan demikian jaringan dikatakan sedang mengalami dedifferensiasi. Keadaan ini terus berlangsung selama proliferasi kalus. Jika melihat respon pada tahap inisiasi ini, embrio zigotik durian Chanee terlihat lebih responsif dibandingkan durian Monthong. Dari 18 jenis media perlakuan yang diujikan (Tabel 4), embrio zigotik durian Chanee memberikan respon bengkak pada 2 media perlakuan, berkalus pada 12 media perlakuan dan ada juga eksplan yang tidak memberikan respon. Sedangkan embrio zigotik durian Monthong memberikan respon berkalus hanya pada dua media perlakuan untuk embrio bagian aksis dan pada lima media perlakuan untuk embrio bagian terminal. A B Gambar 7. Tipe Kalus: (A) Kalus Tipe 1, (B) Kalus Tipe 2 Terdapat dua tipe kalus yang terlihat pada tahap ini. Tipe yang pertama (Tipe 1) yaitu kalus putih yang memiliki ciri-ciri struktur kalusnya kompak dan tumbuh secara berkelompok di salah satu sisi eksplan (Gambar 7a). Sedangkan kalus Tipe 2 berwarna coklat muda, struktur kalusnya remah dan menyebar di seluruh permukaan eksplan (Gambar 7b). Kedua tipe kalus ini hampir mirip dengan kalus Kakao yang berhasil diinduksi oleh Maximova et al. dalam penelitian yang mereka lakukan pada tahun 2002. Menurut Maximova et al. (2005) kalus yang berasal dari eksplan staminodes kakao memiliki 2 tipe kalus, tipe pertama kalus putih yang jika dilihat di bawah mikroskop selnya terlihat

24 memanjang, dari kumpulan kalus tipe ini tidak pernah ada yang berkembang menjadi embrio somatik. Tipe kedua terdiri dari sel-sel bulat berwarna coklat terang hingga coklat gelap dan friable (remah). Kumpulan sel tipe ini seringkali ditemukan berasosiasi dengan embrio somatik. Kalus pada kakao dan durian memiliki penampakan yang hampir sama kemungkinan karena kedua tanaman ini berkerabat dekat (berasal dari satu Famili yaitu Malvaceae). Tahap Subkultur I (SK I) Parameter yang diamati pada tahap subkultur I ini adalah persentase eksplan berkalus. Pada tiap varietas terdapat beberapa perlakuan yang tidak terisi data, hal ini terjadi karena kultur mengalami kontaminasi sehingga tidak memenuhi ulangan. Jika dibandingkan dengan respon kultur pada saat inisiasi, pada subkultur I ini varietas Monthong mengalami perkembangan respon kalus yang cukup pesat, terlihat dari banyaknya eksplan yang mulai berkalus pada berbagai perlakuan media dan persentase eksplan berkalus yang cukup tinggi jika dibandingkan dengan varietas Chanee. Eksplan dari embrio zigotik durian Chanee memiliki kalus yang sedikit dan kalusnya cepat berubah warna. Sehingga pada subkultur berikutnya, kalus durian Chanee mengalami perubahan warna yang cukup drastis, sebagian besar kalusnya mencoklat lalu kering dan mati, dan sebagian lagi terkontaminasi oleh cendawan dan bakteri (7 perlakuan), sehingga hanya sedikit yang mampu bertahan sampai akhir penelitian. Sementara untuk eksplan yang berasal dari embrio zigotik dewasa durian varietas Monthong, meskipun responnya terhadap media perlakuan agak lambat, yaitu sebagian besar kalus baru muncul pada subkultur I (eksplan berumur 5-8 MST), namun kalus yang dihasilkan lebih banyak, proliferasi kalusnya lebih cepat sementara pola perubahan warnanya lebih lambat, sehingga kalus dari varietas Monthong inilah yang dominan dipakai dalam percobaan berikutnya (percobaan II dan percobaan III). Perlakuan media berpengaruh nyata terhadap rata-rata persentase eksplan berkalus yang berbeda sangat nyata pada semua jenis eksplan (Tabel 5). Persentase eksplan berkalus untuk eksplan varietas Monthong cukup tinggi pada

media MS hampir semua taraf konsentrasi picloram. Pada eksplan embrio zigotik Monthong bagian aksis, kalus berhasil diinisiasi pada eksplan sebesar 100% pada media MS dengan tambahan Picloram 2, 3 dan 5 ppm, sedangkan untuk eksplan bagian terminal pada media MS yang dilengkapi dengan Picloram 1, 3 dan 5 ppm. Untuk varietas Chanee, media yang menunjukkan rata-rata persentase eksplan berkalus tertinggi adalah media B5 + picloram 4 ppm, yaitu mencapai 100%. Tabel 5. Pengaruh Jenis Media dan ZPT terhadap Rata-rata Persentase Eksplan Berkalus Tahap Sub Kultur I pada 4 MST Perlakuan Embrio Monthong Media Picloram (ppm) Chanee Embrio Aksis Embrio Terminal MS 0 - - 66.67 ab MS 1-74.7 abc 100.0 a MS 2 12.5 e 100.0 a 90.0 a MS 3-100.0 a 100.0 a MS 4 64.2 a-d - - MS 5 80.0 ab 100.0 a 100.0 a B5 0 36.3 cde 36.1 cde 0.0 d B5 1-13.0 e 26.7 bcd B5 2-47.6 b-e 20.0 cd B5 3 25.0 e 23.3 de 62.5 abc B5 4 100.0 a 66.7 a-d 83.3 a B5 5 70.7 abc 74.7 ab - WPM 0-6.7 e 58.7 abc WPM 1 46.0 b-e 33.3 cde 13.3 d WPM 2 26.1 e 29.0 cde - WPM 3 70.8 abc 0.0 e 21.7 bcd WPM 4-0.0 e 80.0 a WPM 5 28.3 de 0.0 e 22.5 bcd Pr > F 0.0018 0.0001 0.0001 KK (%) 28.35 (34.50) 42.49 (57.24) 30.37 (40.66) Keterangan : Tanda menunjukkan bahwa data tidak diperoleh karena eksplan mati atau kontaminasi kultur. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%. Angka didalam kurung menunjukkan nilai KK sebelum ditransformasi, data ditransformasi dengan rumus x + 0.5 Data hasil penelitian menunjukkan bahwa media MS mampu menginduksi kalus pada eksplan embrio zigotik durian Monthong dengan persentase tinggi. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan Helmi (2009) mengenai embriogenesis 25

somatik manggis yang memperoleh hasil bahwa media MS sangat nyata menginduksi lebih banyak eksplan untuk membentuk kalus yang diduga embriogenik dibandingkan dengan media B5 dan WPM. Namun sampai disini belum dapat dipastikan apakah kalus yang terbentuk dari embrio zigotik durian Monthong ini adalah kalus embriogenik. Tahap Subkultur II (SK II) Eksplan yang digunakan pada subkultur II merupakan eksplan berkalus pada tahap sub kultur I, sehingga paket perlakuan pada subkultur II tidak selengkap pada subkultur I, hanya tersisa 9 perlakuan saja, seperti terlihat pada Tabel 6 dan Tabel 7. Hasil yang berbeda nyata antar perlakuan dapat terlihat pada parameter rata-rata diameter eksplan berkalus (2-4 MST) (Tabel 6), rata-rata persentase kalus remah dan rata-rata skor kalus (Tabel 7). Pada parameter rata-rata persentase eksplan berkalus hasil yang ditunjukkan antar perlakuan sangat berbeda nyata. Tabel 6. Pengaruh Jenis Media dan ZPT terhadap Bobot dan Diameter Eksplan Berkalus Tahap Sub Kultur II Perlakuan Diameter (cm) Bobot 4 MST Picloram Media (g) 1 MST 2 MST 3 MST 4 MST (ppm) MS 1 0.02 b 0.04 b 0.34 b 0.50 b 0.59 b WPM 0 0.04 b 0.09 b 0.22 b 0.41 b 0.66 b WPM 3 0.02 b 0.00 b 0.36 b 0.39 b 0.44 b WPM 4 0.09 b 0.10 b 0.55 b 0.96 b 1.28 b WPM 5 0.00 b 0.00 b 0.25 b 0.25 b 0.25 b B5 0 0.11 b 0.22 ab 1.03 ab 1.29 b 1.53 b B5 3 0.39 a 0.50 a 1.92 a 2.79 a 3.63 a B5 4 0.02 b 0.00 b 0.10 b 0.17 b 0.53 b B5 5 0.04 b 0.00 b 0.13 b 0.25 b 0.49 b Pr > F 0.0004 0.1179 0.0413 0.0373 0.0401 KK (%) 15.93 31.88 36.54 37.19 7.67 (133.87) (217.62) (137.95) (134.89) (124.48) Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%. Angka didalam kurung menunjukkan nilai KK sebelum ditransformasi, data ditransformasi dengan rumus x + 0.5 26

Pada parameter pertambahan bobot, diameter, persentase eksplan berkalus dan skor kalus, kombinasi media B5 dengan tambahan picloram 3 ppm merupakan media yang menunjukkan hasil tertinggi. Eksplan pada media tersebut mengalami rata-rata penambahan bobot sebesar 0.39 gram dan diameter 3.63 cm setelah dikultur selama 4 MST, dengan 100% eksplan berkalus dan mampu membentuk kalus yang baru dengan skor kalus 3.5 yang artinya rata-rata persentase penutupan eksplan oleh kalus mencapai 87.5% (Tabel 5 dan Tabel 6). Tabel 7. Pengaruh Jenis Media dan ZPT terhadap % Eksplan Berkalus, % Kalus Berstruktur Remah, Skor, dan Warna Kalus Tahap Sub Kultur II pada 4 MST Perlakuan % Eksplan % Kalus Skor Warna Picloram Media Berkalus Remah Kalus Kalus (ppm) MS 1 50.00 b 50.00 ab 0.50 c coklat WPM 0 96.43 a 71.43 a 2.76 ab kc, cm WPM 3 95.00 a 40.00 ab 2.15 abc pk, cm, c WPM 4 65.00 ab 00.00 b 1.93 abc putih WPM 5 50.00 b 25.00 ab 1.13 bc p,c B5 0 86.90 a 00.00 b 2.05 abc p, pk, pc B5 3 100.0 a 33.33 ab 3.50 a pk, c B5 4 65.00 ab 60.00 ab 1.05 bc p, cm, c B5 5 49.43 b 00.00 b 0.98 c p, cm Pr > F 0.0042 0.0357 0.0108 KK (%) 28.43 22.72 (113.93) 22.56 (55.12) Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%. Warna kalus : p = putih, pk = putih kekuningan, pc = putih kecoklatan, kc = kuning kecoklatan, cm = coklat muda, c = coklat. Angka didalam kurung menunjukkan nilai KK sebelum ditransformasi, data ditransformasi dengan rumus x + 0.5 27 Kombinasi 9 perlakuan yang tersisa menunjukkan persentase kalus berstruktur remah tertinggi terdapat pada media WPM tanpa tambahan ZPT yaitu sebesar 71.43 %. Kalus yang berstruktur remah tersebut teramati memiliki warna kalus putih kekuningan, kuning kecoklatan, coklat muda atau coklat dan agak bening (Gambar 8). Menurut Bhojwani dan Razdan (1989) kalus embriogenik dicirikan tidak kompak, mudah memisah (friabel) dan berwarna agak bening.

Namun sampai disini belum dapat dipastikan apakah kalus durian yang dihasilkan pada tahap ini embriogenik atau tidak. 28 Gambar 8. Kalus Berstruktur Remah Percobaan II. Proliferasi Kalus dan Induksi Kalus Embriogenik Pada awalnya percobaan II terdiri dari 12 perlakuan, namun akibat kontaminasi kultur terdapat tiga perlakuan yang hilang yaitu WPM + picloram (3, 4 dan 5 ppm), sehingga hanya tinggal 9 perlakuan yang tersisa. Persentase Kalus yang Membentuk Kalus Baru Kalus yang mampu beregenerasi dengan baik ditandai dengan munculnya kalus-kalus baru pada bagian segmen kalus bekas pelukaan. Kalus yang diharapkan muncul pada bekas pelukaan adalah kalus embriogenik, namun pada subkultur III sebagian besar kalus baru yang muncul hanya berupa kalus putih yang berstruktur seperti kapas. Pada subkultur III dan IV, semua kalus yang disubkultur pada media perlakuan dapat berkembang dengan cukup baik (yaitu > 70 % kalus pada subkultur III dan 75 % kalus pada subkultur IV mampu membentuk kalus baru). Perlakuan yang menunjukkan persentase kalus yang membentuk kalus baru paling cepat mencapai 100% adalah perlakuan media B5 tanpa ZPT dan media MS + BAP 1 ppm + Picloram 4 ppm. Perlakuan berpengaruh nyata terhadap persentase kalus yang membentuk kalus baru pada subkultur IV dan sangat nyata pada subkultur V. Namun tidak dapat disimpulkan perlakuan mana yang terbaik karena terdapat beberapa perlakuan yang rata-rata persentase kalus yang membentuk kalus barunya mencapai 100% (Tabel 8).

Tabel 8. Pengaruh Jenis Media dan ZPT terhadap Persentase Kalus yang Membentuk Kalus Baru Sub Kultur III, IV, V dan VI pada 4 MST Perlakuan (ppm) Persentase Kalus yang Membentuk Kalus Baru (4 MST) Media BAP Pic (ppm) (ppm) SK III SK IV SK V SK VI MS 1 3 75.00 100.0 a 100.0 a 98.33 MS 1 4 100.0 98.00 a 100.0 a 98.33 MS 1 5 91.67 87.50 ab 100.0 a 100.0 MS 0 1 85.71 93.34 a - - WPM 0 0 72.92 100.0 a 100.0 a - B5 0 0 100.0 95.24 a 100.0 a - B5 0 3 81.38 97.22 a 75.84 bc - B5 0 4 83.33 75.00 b 75.00 c - B5 0 5 83.35 100.0 a 100.0 a - Pr > F 0.2905 0.0359 0.0050 0.9075 KK (%) 21.9 10.47 16.27 6.33 Keterangan : Tanda menunjukkan bahwa data tidak diperoleh karena eksplan mati atau kontaminasi kultur. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%. 29 Bobot, Diameter dan Skor Penutupan Kalus Proliferasi kalus adalah perbanyakan/perkembangan sel-sel kalus. Kemampuan proliferasi kalus dapat terlihat dari pertambahan bobot, diameter dan skor penutupan kalus (Tabel 9). Menurut Gunawan (1992) suatu sifat yang teramati dalam jaringan yang membentuk kalus adalah bahwa pembelahan sel tidak terjadi pada semua sel dalam jaringan asal, tetapi hanya sel di lapisan periphery yang membelah terus menerus, sedangkan sel-sel ditengah tetap muda, sehingga terjadi pertambahan diameter gumpalan dan bobot kalus yang terbentuk. Perlakuan berpengaruh sangat nyata pada parameter bobot subkultur III dan IV. Perlakuan yang memberikan bobot tertinggi adalah kombinasi media MS + BAP 1 ppm + picloram 4 ppm pada SK III dan kombinasi media MS + BAP 1 ppm + picloram 3 ppm pada SK IV. Disini terlihat bahwa pada konsentrasi picloram yang lebih rendah, pertambahan bobot kalus justru semakin tinggi pada subkultur berikutnya. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi penurunan kebutuhan akan picloram dan konsentrasi picloram yang lebih tinggi justru menghambat penambahan bobot kalus.

30 Tabel 9. Pengaruh Jenis Media dan ZPT terhadap Bobot, Diameter dan Skor Ukuran Kalus Tahap Sub Kultur III, IV, V dan VI pada 4 MST Perlakuan Bobot 4 MST (gram) Diameter 4 MST (cm) Skor Ukuran Kalus 4 MST Me dia BAP (ppm) Pic (ppm) SK III SK IV SK V SK VI SK III SK IV SK V SK VI SK III SK IV SK V SK VI MS 1 3 0.02 b 0.40 a 0.28 0.30 0.00 b 2.18 a 1.83 ab 1.34 0.92 d 3.55 a 3.51 a 2.90 MS 1 4 0.17 a 0.21 b 0.46 0.28 1.60 a 1.26 ab 2.26 a 1.51 3.44 a 3.53 a 3.13 ab 2.19 MS 1 5 0.03 b 0.05 b 0.22 0.32 0.63 ab 0.38 b 1.08 ab 1.35 2.08 bcd 2.54 b 2.50 bc 3.34 MS 0 1 0.02 b 0.02 b - - 0.02 b 0.02 b - - 1.34 cd 1.23 c - - WPM 0 0 0.02 b 0.05 b 0.02-0.13 b 0.13 b 0.19 b - 2.23 abc 2.33 b 2.13 c - B5 0 0 0.05 b 0.06 b 0.04-0.42 b 0.37 b 0.12 b - 2.83 ab 2.74 ab 2.46 c - B5 0 3 0.11 ab 0.14 b 0.57-0.84 ab 0.63 b 1.36 ab - 2.58 ab 2.02 bc 2.03 cd - B5 0 4 0.02 b 0.03 b 0.04-0.00 b 0.50 b 0.33 b - 1.00 cd 2.25 b 1.75 c - B5 0 5 0.03 b 0.12 b 0.08-0.44 b 0.75 b 0.83 ab - 1.25 cd 2.00 bc 2.67 abc - Pr > F 0.0046 0.0001 0.0557 0.9288 0.002 0.0019 0.0089 0.8838 0.0001 0.0001 0.0001 0.0887 KK (%) 6.31 8.88 19.29 10.26 26.66 29.97 31.12 24.06 (115.1) (77.7) (124.21) (61.6) (116.3) (104.39) (89.41) (67.79) 36.26 22.36 24.43 38.8 Keterangan : Tanda menunjukkan bahwa data tidak diperoleh karena eksplan mati atau kontaminasi kultur. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%. Angka didalam kurung menunjukkan nilai KK sebelum ditransformasi, data ditransformasi dengan rumus x + 0.5 30

31 Pada parameter diameter kalus, perlakuan berpengaruh sangat nyata pada subkultur III, IV dan V. Perlakuan yang memberikan diameter tertinggi adalah kombinasi media MS + BAP 1 ppm + picloram 4 ppm pada SK III, SK V dan SK VI. Pada SK IV rata-rata diameter tertinggi terjadi pada kombinasi media MS + BAP 1 ppm + picloram 3 ppm sebesar 2.18 cm. Pada parameter skor ukuran kalus, perlakuan berpengaruh sangat nyata pada subkultur III, IV dan V. Media yang memberikan skor ukuran kalus tertinggi adalah kombinasi media MS + BAP 1 ppm + picloram 4 ppm pada SK III, kombinasi media B5 + picloram 3 ppm pada SK IV dan SK V dan kombinasi media MS + BAP 1 ppm + picloram 5 ppm pada SK VI. Data-data tersebut menunjukkan bahwa kalus dari media B5 + picloram mengalami proliferasi yang lebih baik jika disubkultur pada media MS + BAP 1 ppm + picloram, dibandingkan tetap disubkultur pada media B5 + picloram tanpa penambahan BAP. Menurut Wattimena et al. (1992) kemampuan jaringan eksplan membentuk kalus dan laju pertumbuhan kalus dapat berbeda-beda pada tiap tanaman, tergantung medium, zat pengatur tumbuh dan faktor lingkungan lainnya. Persentase Kalus Embriogenik dan Waktu Awal Kemunculannya Waktu mulai munculnya kalus yang diduga embriogenik terjadi dalam rentang waktu subkultur II hingga subkultur IV (Tabel 10). Media yang memberikan hasil persentase kalus embrionik yang tertinggi pada subkultur III adalah media MS + picloram 1 ppm sebesar 85.7 %, namun tidak berbeda nyata dengan media B5 + picloram 3 ppm (81.4 %) dan media MS + BAP 1 ppm + Picloram 3 ppm (75 %). Pada subkultur IV, hanya media MS + picloram 1 ppm yang rata-rata persentase kalus embrioniknya meningkat dari ketiga kombinasi perlakuan terbaik tadi, namun karena kontaminasi kultur yang tinggi pada perlakuan ini, sehingga datanya tidak bisa dilihat lagi pada subkultur V dan VI. Persentase pembentukan kalus embrionik hingga 100% mampu dicapai pada beberapa kombinasi perlakuan, yaitu pada media MS + BAP 1 ppm + Picloram 4 ppm (subkultur IV

dan V), media MS + BAP 1 ppm + Picloram 5 ppm (subkultur VI) dan B5 + Picloram 5 ppm (subkultur IV dan V). Tabel 10. Pengaruh Jenis Media dan ZPT terhadap Waktu Munculnya Kalus Embrionik dan Persentase Kalus Embrionik pada Tahap Sub Kultur III, IV, V dan VI pada 4 MST Perlakuan Waktu Munculnya Persentase Kalus Embrionik (4 MST) Media BAP Pic Kalus (ppm) (ppm) Embrionik SK III SK IV SK V SK VI MS 1 3 SK III, 3 MST 75.0 ab 44.4 ab 70.0 ab 33.3 b MS 1 4 SK IV, 2 MST 0.00 c 100.0 a 100.0 a 66.7 ab MS 1 5 SK IV, 4 MST 0.00 c 87.5 ab 50.0 abc 100.0 a MS 0 1 SK II, 4 MST 85.7 a 93.3 a - - WPM 0 0 SK II, 4 MST 0.00 c 33.3 b 0.00 c - B5 0 0 SK IV, 2 MST 0.00 c 28.6 b 28.5 abc - B5 0 3 SK II, 4 MST 81.4 a 77.7 ab 55.8 ab - B5 0 4 SK II, 4 MST 50.0 b 50.0 ab 75.0 ab - B5 0 5 SK IV, 3 MST 0.00 c 100.0 a 100.0 a - Pr > F 0.0001 0.0059 0.0015 0.0463 KK (%) 10.78 (57.44) 18.87 (56.45) 18.84 (57.86) 25.03 (86.42) Keterangan : Tanda menunjukkan bahwa data tidak diperoleh karena eksplan mati atau kontaminasi kultur. Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%. Angka didalam kurung menunjukkan nilai KK sebelum ditransformasi, data ditransformasi dengan rumus x + 0.5 32 Menurut Evans et al. (1981) terdapat dua macam kalus yang dapat terbentuk dalam kultur jaringan suatu tanaman, yaitu kalus embriogenik dan kalus non embriogenik. Kalus embriogenik adalah kalus yang memiliki potensi untuk beregenerasi menjadi tanaman, baik melalui organogenesis (langsung membentuk organ) maupun embriogenesis (melalui pembentukan embrio somatik). Perubahan yang teramati secara fisik ketika suatu sel yang non embriogenik menjadi embriogenik adalah ketika sel tersebut mengalami pembelahan yang tidak sama (asymmetric) yang menghasilkan sel dengan vakuola lebih besar dan sitoplasma yang lebih kecil dan padat. Sel embriogenik yang terbentuk dapat dibedakan dari ukurannya yang kecil, berbentuk isodiametrik dan sitoplasma yang padat. Dalam perkembangan awal sel embriogenik ini berbentuk globular dengan massa pembelahan sel yang terorganisir dan epidermis yang jelas akan tetapi masih belum terdiferensiasi (Gray, 2005).

33 Menurut Jimenez (2001), pembelahan asimetrik tidak secara langsung membentuk embrio, tetapi terlebih dahulu membentuk proembryogenic masses (PEMs) yang kemudian hanya satu atau beberapa sel saja yang berkembang menjadi embrio. Sisa PEMs yang yang tidak membentuk embrio akan tereleminasi melalui suatu siklus kematian sel yang teratur. Kalus yang diduga embriogenik pada perlakuan kombinasi media MS + BAP 1 ppm + Picloram (3-5) ppm, mulai menunjukan tanda-tanda terbentuknya embrio somatik fase pro-embrio globular pada subkultur VI setelah disubkultur selama 1 MST (Gambar 9). Diantara kalus yang remah mulai terlihat bentukan menyerupai bulatan-bulatan kecil yang menempel pada eksplan. Gambar 9. Kalus dengan Pro-Embrio Globular pada Media Perlakuan MS + BAP 1 ppm + Picloram 4 ppm Dodds & Robert (1985) menyebutkan bahwa faktor kimia terpenting dalam media induksi embriogenesis somatik adalah auksin dan nitrogen tereduksi. Diduga karena nitrogen pada media MS lebih tinggi konsentrasinya dibandingkan media B5 dan WPM maka media MS mampu mempercepat waktu munculnya kalus yang diindikasikan sebagai kalus embrionik. Namun dalam penelitian ini waktu terbentuknya kalus pada semua jenis media terlihat relatif seimbang dan dipengaruhi juga oleh jenis dan konsentrasi ZPT yang ditambahkan. Karena percobaan II ini menggunakan rancangan RAL 1 faktor, sehingga pengaruh jenis media tidak dapat dilihat secara statistik. Picloram merupakan salah satu jenis auksin yang telah terbukti mampu mendorong pembentukan embrio somatik. Muchtar (1996) melaporkan bahwa pada tanaman rotan manau (Calamus manan M.) pembentukan embio somatik yang maksimum terjadi pada auksin picloram pada konsentrasi 2 ppm. Walaupun

34 secara statistik tidak berbeda nyata namun meningkatnya konsentrasi picloram, menurunkan embrio somatik yang terbentuk. Didukung oleh hasil penelitian yang dilakukan oleh Nindita (2010) yang menunjukkan bahwa embrio somatik dapat terbentuk dari kalus yang dikulturkan pada media MS yang mengandung picloram 1.0 mg/l saja untuk jenis eksplan aksis embrio dan kotiledon pada tanaman jarak pagar. Penelitian yang dilakukan oleh Purba (2009) menunjukkan bahwa embrio somatik pada manggis dapat terbentuk pada media WPM + picloram 1 µm, B5 + picloram 0.5 µm dan B5 + picloram 1 µm, dengan persentase yang sama yaitu. 6.25 %. Meskipun pada beberapa penelitian tersebut di atas picloram baik untuk menginduksi embrio somatik secara tunggal dan dalam taraf rendah, namun pada penelitian ini embrio somatik baru mulai terbentuk saat terjadi kombinasi antara sitokinin taraf rendah (BAP 1 ppm) dan auksin taraf lebih tinggi (Picloram 3-5 ppm). Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Wattimena et al (1992) bahwa umumnya induksi embriogenesis memerlukan nisbah auksin-sitokinin yang tinggi, yaitu konsentrasi auksin dalam media lebih tinggi dibandingkan konsentrasi sitokinin. Struktur dan Warna Kalus Kalus yang embriogenik cenderung memiliki struktur yang remah, pada Tabel 10 disajikan data mengenai persentase kalus yang remah dan kompak pada berbagai kombinasi media perlakuan. Pada subkultur III, kalus berstruktur remah hanya dimiliki oleh 4 media dari 9 media yang ada, sisanya baru mulai terlihat pada subkultur IV. Kalus pada perlakuan kombinasi media MS + BAP 1 ppm + Picloram 4 ppm, MS + BAP 1 ppm + Picloram 5 ppm, MS + picloram 1 ppm dan B5 + picloram 5 ppm pada subkultur IV memiliki persentase kalus remah mencapai 100 %. Persentase kalus remah cenderung meningkat pada subkultur IV dan V, walaupun ada 2 media yang mengalami penurunan yaitu perlakuan MS + BAP 1 ppm + picloram 3 ppm dan B5 + picloram 3 ppm (Tabel 11). Parameter warna kalus tidak menunjukkan perbedaan warna yang mencolok diantara semua perlakuan (Lampiran 4). Karena pada dasarnya, kalus yang muncul pada masa awal inisiasi hanya memiliki 2 warna, yaitu putih dan

35 coklat muda. Namun seiring dengan berjalannya waktu subkultur, keragaman warna kalus yang muncul mulai beragam menjadi 7 (tujuh) warna seperti terlihat pada Lampiran 2. Kalus yang pada waktu inisiasi percobaan I memiliki warna putih dan berstruktur kompak, pada subkultur berikutnya warrnanya berubah dan memiliki pola sebagai berikut: putih putih kekuningan putih kecoklatan kuning kuning kecoklatan coklat muda coklat mati/kering. Tabel 11. Pengaruh Jenis Media dan ZPT terhadap Persentase Struktur Kalus (Remah (RH) dan Kompak (KP)) Tahap Sub Kultur III, IV, V dan VI pada 4 MST Perlakuan Persentase Struktur Kalus (4 MST) Media BAP (ppm Pic (ppm) SK III SK IV SK V SK VI RH KP RH KP RH KP RH KP MS 1 3 100 0 44 56 84 16 39 61 MS 1 4 0 100 100 0 100 0 68 32 MS 1 5 0 100 100 0 67 33 100 0 MS 0 1 100 0 100 0 - - - - WPM 0 0 0 100 33 67 0 100 - - B5 0 0 0 100 28 72 28 72 - - B5 0 3 100 0 78 22 80 20 - - B5 0 4 67 33 67 33 100 0 - - B5 0 5 0 100 100 0 100 0 - - Keterangan : Tanda menunjukkan bahwa data tidak diperoleh karena eksplan mati atau kontaminasi kultur. Pic = Picloram. Kalus yang pada waktu inisiasi sejak munculnya sudah berwarna coklat muda, pada perkembangan berikutnya kalus-kalus baru yang muncul disekitar kalus tersebut akan berwarna putih kekuningaan, kuning, kuning kecoklatan atau tetap coklat muda. Namun jika tidak muncul lagi kalus baru, maka dari kalus coklat muda itu akan berubah warna menjadi coklat dan mati. Struktur kalus tidak berkaitan dengan warna kalusnya, karena kalus yang berstruktur kompak warnanya bisa bermacam-macam, begitu pula dengan kalus yang berstruktur remah.

36 Percobaan III. Pendewasaan Embrio Somatik Persentase Tipe Kalus Meskipun eksplan berasal dari perlakuan yang sama, namun terdapat 4 tipe kalus yang teramati (Gambar 6, pada Bab Bahan dan Metode). Kalus tersebut disebar dalam 15 kombinasi media perlakuan (percobaan III.a) dan 12 kombinasi media perlakuan (Percobaan III.b). Agak sulit untuk mengelompokkan kalus yang setipe sebelum masuk ke media perlakuan pada percobaan III. Karena keempat tipe kalus tersebut ada pada hampir semua botol. Sehingga kalus-kalus tersebut disubkultur pada media perlakuan tanpa terlebih dahulu menyamaratakan persentasenya. Sehingga persentase dari setiap tipe pada awal subkultur (0 MST) ditampilkan juga pada Tabel 12 dan Tabel 13. Kalus yang diduga embriogenik adalah tipe 2 dan tipe 3, tipe 2 adalah kalus yang memiliki bentukan globular yang menyatu dengan kalus yang bertekstur remah dan transparan, sementara kalus tipe 3 memiliki ciri kalus embriogenik yaitu bertekstur remah dan berwarna kuning hingga coklat dengan warna agak transparan, namun belum terlihat bentukan globularnya. Percobaan III.a (perlakuan BAP-NAA, Tabel 12) menunjukkan pada hampir semua perlakuan, persentase kalus tipe 2 menurun pada 4 MST dan semakin berkurang pada 8 MST, bahkan habis pada beberapa perlakuan BAP 1 dan 2 ppm. Sedangkan persentase kalus tipe 3 pada hampir semua perlakuan meningkat pada 4 MST dan untuk hampir semua perlakuan BAP 0 ppm (kecuali picloram 4) persentase kalus tipe 3 menurun, sedangkan untuk perlakuan yang lain tetap. Jika dilihat selisih antara data 8 MST dan 0 MST, penurunan persentase kalus tipe 2 yang paling besar terjadi pada media MS + BAP 1 ppm + NAA 1 ppm dan MS + BAP 2 ppm + NAA 1 ppm yaitu sebesar 60 %. Sedangkan peningkatan persentase tipe kalus 3 yang terbesar terjadi pada media MS + BAP 1 ppm + NAA 3 ppm yaitu sebesar 50%. Penurunan persentase kalus tipe 2 pada paket perlakuan BAP-NAA ini adalah akibat banyaknya pro-embrio globular yang berdedifferensiasi menjadi kalus, kalus yang dihasilkan ini memiliki karakter yang sama dengan kalus tipe 3, hal inilah yang menyebabkan persentase kalus tipe 3 meningkat. Kondisi ini

37 kemungkinan disebabkan oleh eksplan yang sudah terlalu sering mengalami subkultur (pada akhir pengamatan eksplan sudah disubkultur sebanyak delapan kali), sehingga kemampuannya untuk membentuk embrio somatik sudah melemah. Percobaan III.b (perlakuan BAP-Picloram, Tabel 13) menunjukkan hasil pada media perlakuan MS + BAP 1 + Picloram 4 persentase kalus tipe 2 meningkat dari 0% menjadi 10% pada 4 MST dan 20 % pada 8 MST. Sedangkan pada media MS + Picloram 12 persentase kalus tipe 2 meningkat dari 10% menjadi 20% pada 4 MST dan tetap 20 % pada 8 MST. Sedangkan untuk kalus tipe 3, persentasenya meningkat pada 4 MST pada sebagian besar perlakuan dan menurun lagi pada 8 MST hampir di semua perlakuan. Jika dilihat selisih antara data 8 MST dan 0 MST, kenaikan persentase kalus tipe 2 yang paling besar terjadi pada media MS + BAP 1 + Picloram 4 ppm sebesar 20 % dan penurunan persentase kalus tipe 2 yang paling besar terjadi pada media MS + BAP 1 ppm dan MS + BAP 2 ppm + Picloram 8 ppm yaitu sebesar 20 %. Sedangkan persentase kalus tipe 3 justru lebih banyak mengalami penurunan, yang terbesar terjadi pada media MS + BAP 1 ppm + Picloram 4 ppm yaitu sebesar 40%. Gambar 10. Kalus Bernodul pada Media Perlakuan MS + BAP 1 ppm + Picloram 4 ppm Pada kombinasi perlakuan BAP-Picloram, persentase kalus tipe 2 mengalami penurunan yang tidak terlalu signifikan. Sementara persentase kalus tipe 3 juga banyak mengalami penurunan pada 8 MST akibat banyak kalus yang mencoklat, kering dan mati pada kelompok perlakuan ini.

38 Tabel 12. Pengaruh Kombinasi Taraf Konsentrasi BAP dan NAA terhadap Persentase Tipe Kalus Sub Kultur I pada 0 MST, 4 MST dan 8 MST Perlakuan 0 MST 4 MST 8 MST BAP (ppm) NAA (ppm) Tipe 1 Tipe 2 Tipe 3 Tipe 4 Tipe 1 Tipe 2 Tipe 3 Tipe 4 Kntm Tipe 1 Tipe 2 Tipe 3 Tipe 4 Kntm Kering 0 0 70 10 20 0 30 10 40 20 0 30 10 10 0 10 40 0 1 45 55 0 0 15 45 40 0 0 15 15 20 0 0 50 0 2 35 65 0 0 25 50 25 0 0 15 15 15 15 0 40 0 3 5 65 30 0 5 40 55 0 0 0 15 15 5 0 65 0 4 0 80 0 20 0 75 0 15 10 0 45 5 0 10 40 1 0 0 50 30 20 0 45 35 20 0 0 10 45 20 0 25 1 1 20 60 20 0 20 55 5 0 20 10 0 40 0 20 30 1 2 15 55 10 20 15 55 10 20 0 0 20 10 30 0 40 1 3 0 50 40 10 0 50 40 0 10 0 0 90 0 10 0 1 4 0 50 45 5 0 35 40 15 10 0 0 45 20 10 25 2 0 0 20 45 35 0 5 50 45 0 0 0 50 15 10 25 2 1 0 90 10 0 0 90 10 0 0 0 30 10 60 0 0 2 2 0 40 60 0 0 35 65 0 0 0 0 70 0 10 20 2 3 10 60 10 20 10 55 25 10 0 0 20 25 15 20 20 2 4 15 30 35 20 15 35 40 10 0 0 15 40 15 10 20 Keterangan : kntm = kontaminasi kultur 38

39 Tabel 13. Pengaruh Kombinasi Taraf Konsentrasi BAP dan Picloram terhadap Persentase Tipe Kalus Sub Kultur I pada 0 MST, 4 MST dan 8 MST Perlakuan 0 MST 4 MST 8 MST Picloram BAP (ppm) Tipe 1 Tipe 2 Tipe 3 Tipe 4 Tipe 1 Tipe 2 Tipe 3 Tipe 4 Kntm Tipe 1 Tipe 2 Tipe 3 Tipe 4 Kntm Kering (ppm) 0 0 100 0 0 0 100 0 0 0 0 75 0 0 0 0 25 0 4 60 0 30 10 50 0 50 0 0 35 5 20 5 10 25 0 8 30 5 50 15 10 5 70 15 0 10 5 40 10 0 35 0 12 35 10 55 0 30 20 35 5 10 30 20 20 0 10 20 1 0 60 30 10 0 60 15 25 0 0 30 10 20 0 0 40 1 4 50 0 50 0 50 10 35 5 0 35 20 10 5 0 30 1 8 40 15 40 5 30 15 30 15 10 25 5 15 10 10 35 1 12 90 0 0 10 60 0 20 10 10 20 0 15 20 10 35 2 0 40 15 25 20 35 0 25 40 0 35 0 0 10 10 45 2 4 85 0 5 10 70 0 20 10 0 20 0 0 0 0 80 2 8 80 20 0 0 60 20 5 15 0 0 0 5 5 0 90 2 12 80 0 20 0 60 0 20 20 0 55 0 0 30 0 15 Keterangan : kntm = kontaminasi kultur 39

40 Hasil yang diharapkan pada percobaan III ini adalah berkembangnya proembrio globular yang sempat diperoleh pada akhir percobaan II menjadi fase embrio yang lain (hati dan torpedo). Pada percobaan III.a pro-embrio globular yang sempat terbentuk tetap ada namun tidak berkembang menjadi fase yang lain. Sementara pada percobaan III.b, globular-globular yang tampak pada kalus tipe 2 ternyata hanya berupa nodul-nodul berbentuk setengah bulat yang kompak dengan eksplan (Gambar 10), jadi kemungkinan nodul tersebut bukanlah fase pro-embrio somatik. Jumlah Pro-Embrio Globular Menurut Dodds and Roberts (2002), embriogenesis somatik adalah proses pembentukan embrio yang berasal dari sel atau jaringan vegetatif tanaman yang membentuk struktur embrioid karena menyerupai embrio yang berasal dari sel zigot. Tahap pertama dalam terbentuknya embrio somatik yaitu pembelahan sel tunggal secara terus menerus, sehingga terbentuk kumpulan sel, kemudian kumpulan sel tersebut berkembang ke tahap pembentukan pro embrio globular, lalu tahap jantung, dan terakhir tahap torpedo. Embrio somatik pada tahap torpedo akan berkembang menjadi tanaman muda. Menurut Purnamaningsih (2002) embriogenesis mempunyai beberapa tahap spesifik, yaitu induksi sel dan kalus embriogenik, pendewasaan, perkecambahan dan hardening. A B C Gambar 11. Pro-Embrio Globular : (A) Di Media Perlakuan MS + BAP 1 ppm + NAA 5 ppm, (B) Perbesaran 40 kali (C) Irisan Melintang Perbesaran 40 kali Pada pengamatan secara visual, tahap embrio yang berhasil diamati pada media perlakuan diduga merupakan stadia awal embrio globular (globular proembrio)(gambar 11.A). Pro-embrio globular yang tampak berwarna coklat

agak buram, tidak bening seperti embrio seharusnya. Hal ini diduga diakibatkan adanya senyawa fenolik yang dihasilkan oleh kalus itu sendiri, yang menyebabkan terjadinya browning (mencoklat). Pro-embrio globular yang terbentuk mudah dilepaskan dari eksplan berkalus (Gambar 11.B). Irisan melintang dari pro-embrio globular memperlihatkan susunan sel yang tersusun rapi (Gambar 11.C). Hasil rekapitulasi sidik ragam menunjukkan bahwa taraf BAP berpengaruh nyata terhadap jumlah pro-embrio globular pada 4 MST dan sangat nyata pada 8 MST. Sedangkan taraf NAA berpengaruh sangat nyata pada 4 MST dan 8 MST. Interaksi antara BAP dan NAA berpengaruh sangat nyata pada rata-rata jumlah pro-embrio globular pada 4 MST, dan berpengaruh nyata pada 8 MST. Rata-rata jumlah pro embrio tertinggi terjadi pada perlakuan BAP 2 ppm sebesar 1.92, namun hal ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanpa BAP, yaitu sebesar 1.69 pada 4 MST. Pada perlakuan NAA rata-rata jumlah pro embrio berbeda nyata pada taraf 1 ppm pada 4 MST sebesar 2.78 dan 8 MST sebesar 1.94 (Tabel 14). Tabel 14. Pengaruh Taraf Konsentrasi BAP dan NAA terhadap Rata-Rata Jumlah Pro-Embrio Perlakuan Jumlah Globular 4 MST 8 MST 12 MST Taraf BAP 0 ppm 1.69 ab 0.99 ab 0.74 1 ppm 0.96 b 0.41 b 0.87 2 ppm 1.92 a 1.39 a 0.72 Taraf NAA 0 ppm 0.81 b 0.59 b 0.72 ab 1 ppm 2.78 a 1.94 a 1.22 a 2 ppm 1.42 b 0.62 b 0.66 ab 3 ppm 0.89 b 0.66 b 0.48 b 4 ppm 1.70 b 0.83 b 0.80 ab Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%. 41 Banyak penelitian yang sudah menunjukkan keberhasilan beberapa jenis auksin dalam pembentukan embrio somatik, diantaranya oleh Tabei et al (1991), yang menyimpulkan bahwa embrio somatik pada tanaman melon dapat terbentuk pada tingkat konsentrasi auksin yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitiannya embrio

42 somatik melon dapat terbentuk dari eksplan kotiledon dengan menggunakan 1.0-2.0 mg/l 2,4-D, 3.0-10.0 mg/l NAA dan 30.0-100.0 mg/l IAA. Hasil penelitian Oktavia (2004) menunjukkan 2,4-D 1 µm dapat menginduksi embrio somatik kopi arabika. Hasil penelitian Gunawan (2002) embrio somatik dapat dihasilkan dari pucuk in vitro jati menggunkan NAA dengan konsentrasi 0.1 mg/l (0.54 µm). Pada penelitian ini, pro-embrio globular dapat teramati pada semua perlakuan kombinasi taraf BAP (0-2 ppm) dan taraf NAA yang diujikan (0-5 ppm). Kombinasi perlakuan yang terbaik dan menunjukkan rata-rata jumlah pro-embrio globular yang berbeda nyata dengan kombinasi media lainnya adalah MS + BAP 2 ppm + NAA 1 ppm, yaitu sebesar 5.05 pada 4 MST dan menurun menjadi 3.33 pada 8 MST (Tabel 15). A B C D Gambar 12. Pro-embrio globular yang terbentuk pada media perlakuan (A) MS + NAA 3 ppm, (B) MS + BAP 1 ppm + NAA 1 ppm, (C) MS + BAP 2 ppm + NAA 1 ppm, (D) MS + BAP 2 ppm + NAA 5 ppm Rata-rata jumlah pro embrio globular cenderung menurun seiring dengan semakin lamanya kalus dikulturkan dalam media perlakuan. Banyak dari proembrio globular yang telah berhasil terbentuk, tidak mampu berkembang ke fase embrio selanjutnya, tapi justru berdediferensiasi kembali menjadi kalus dengan sifat sel yang belum terdiferensiasi. Namun kalus ini diduga masih memiliki sifat embrionik karena bentuknya sama dengan kalus sebelum terbentuknya pro-embrio globular ( kalus tipe 3). Menurut Purnamaningsih (2002) tahap pendewasaan adalah tahap perkembangan dari struktur globular membentuk kotiledon dan primordial akar. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa tahap pendewasaan adalah tahap yang paling sulit. Pada tahap ini sering digunakan auksin pada konsentrasi rendah. Menurut Watherel and Douglas (1976) dalam George and Sherrington (1984), faktor penting untuk keberhasilan embriogenesis somatik tanaman adalah

43 pemilihan waktu yang tepat dalam melakukan sub kultur pada tahap inisiasi sel embriogenik tanaman. Karena kultur yang terlalu lama berada dalam media yang konsentrasi auksinnya tinggi dapat kehilangan kapasitas embriogeniknya. Tabel 15. Pengaruh Interaksi BAP dan NAA Berbagai Kombinasi Taraf Konsentrasi terhadap Rata-Rata Jumlah Pro-Embrio Globular Waktu Pengamatan BAP (ppm) NAA (ppm) 0 1 2 3 4 0 1.22 bc 1.89 bc 1.44 bc 1.19 bc 2.72 b 4 MST 1 0.33 c 1.39 bc 2.56 b 0.00 c 0.50 c 2 0.89 bc 5.05 a 0.28 c 1.50 bc 1.89 bc 0 0.50 bc 1.83 b 0.87 bc 0.31 bc 1.44 bc 8 MST 1 0.11 c 0.67 bc 1.00 bc 0.11 c 0.17 bc 2 1.17 bc 3.33 a 0.00 c 1.56 bc 0.89 bc Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada waktu pengamatan yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT dengan α=5%. Belum berhasilnya pendewasaan embrio somatik dalam percobaan ini mungkin disebabkan oleh taraf dan konsentrasi ZPT yang belum sesuai, terbentuknya metabolit sekunder seperti senyawa fenol dan keadaan lingkungan kultur yang kurang mendukung untuk pembentukan embrio somatik atau kalus yang digunakan sebagai eksplan sudah terlalu sering disubkultur sehingga kemampuannya membentuk embrio somatik sudah mulai menurun. Kemampuan eksplan membentuk embrio somatik juga kemungkinan besar berkaitan dengan umur eksplan dan varietas yang digunakan, karena masing-masing mengandung ZPT endogen yang berbeda. Pada perlakuan kombinasi BAP dan Picloram tidak terdapat bentuk-bentuk bulat seperti pro-embrio globular, hanya terdapat nodul-nodul menyerupai bentuk globular namun tak sempurna yang tumbuh pada permukaan eksplan. Eksplan awal untuk paket perlakuan ini berasal dari kalus yang presentase kalus embriogeniknya kecil (31.67 %), jika dibandingkan dengan eksplan awal untuk paket perlakuan BAP-NAA yang kalus embriogeniknya mencapai 75.67 %. Oktavia (2004) terbentuknya kalus non embriogenik yang berlebihan pada eksplan menghambat pembentukan dan regenerasi embrio somatik kopi arabika. Selain terdapat pro-embrio globular, pada media MS0, MS + NAA 1 ppm dan media MS + NAA 2 ppm, ditemukan juga terbentuknya akar (Gambar 13),

44 yaitu sebesar 25% eksplan pada perlakuan MS-0 memberikan respon berupa tumbuhnya akar dengan rata-rata jumlah akar 1.6. Pada perlakuan MS + NAA 1 ppm akar yang teramati 20 % dengan rataan jumlah akar 1.8 dan pada perlakuan MS + NAA 2 ppm, akar yang terbentuk hanya 5 % dengan rataan 0.1. Gambar 13. Kalus berakar pada media perlakuan MS + NAA 1 ppm Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Wattimena et al (1992) bahwa penambahan auksin secara tunggal ke dalam media kultur mampu menginduksi akar pada eksplan, karena salah satu fungsi utama dari auksin adalah sebagai perangsang pertumbuhan akar. Didukung oleh pendapat Beyl (2005), pada umumnya konsentrasi auksin yang rendah menyebabkan inisiasi akar, sedangkan konsentrasi auksin yang tinggi dapat menyebabkan terbentuknya kalus. Pertumbuhan akar pada eksplan tidak diharapkan dalam menginduksi embrio somatik karena bila eksplan membentuk akar kemungkinan eksplan akan membentuk kalus embriogenik dan menghasilkan embrio somatik sangat kecil.