BAB 6 PEMBAHASAN. Penelitian ini menggunakan tikus Wistar sebagai hewan coba. Mekanisme dasar

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 5 HASIL PENELITIAN. Jumlah sampel yang diteliti sebanyak 12 ekor tikus Wistar. Pada kelompok

BAB I PENDAHULUAN. Parasetamol atau asetaminofen atau N-asetil-p-aminofenol merupakan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. menyatu dengan saluran bilier dan kandung empedu. Beratnya pada orang

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. senyawa kimia N-asetil-p-aminofenol yang termasuk dalam nonsteroid antiinflamatory

PENGARUH PEMBERIAN ASETAMINOFEN PRE- TREATMENT TERHADAP DERAJAT KERUSAKAN HEPAR TIKUS WISTAR YANG DIBERI DOSIS TOKSIK ASETAMINOFEN

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB 1 PENDAHULUAN. Jejas hati imbas obat (drug-induced liver injury; DILI) atau biasa dikenal

BAB 5 PEMBAHASAN. Sistematika pembahasan dilakukan pada masing-masing variabel meliputi

BAB I PENDAHULUAN. meningkat, terlebih dengan adanya isu back to nature serta krisis berkepanjangan

BAB I PENDAHULUAN. dibuktikan manfaatnya (Sudewo, 2004; Tjokronegoro, 1992). zingiberaceae, yaitu Curcuma mangga (Temu Mangga). Senyawa fenolik pada

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. zat-zat asing (xenobiotic). Zat-zat ini dapat berasal dari alam (makanan, dibuang melalui urin atau asam empedu.

BAB 1 PENDAHULUAN (Sari, 2007). Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara termasuk

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. yang meliputi persentase hepatosit normal, pembengkakan hepatosit, hidropik,

BAB I PENDAHULUAN. untuk menelitinya lebih jauh adalah Coriolus versicolor.

BAB I PENDAHULUAN. digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. Berdasarkan intensitasnya, nyeri

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bertingkat dengan empat dosis tidak didapatkan kematian pada

I. PENDAHULAN. memetabolisme dan mengekskresi zat kimia. Hati juga mendetoksifikasi zat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dalam memproduksi daging. Mampu tumbuh cepat sehingga dapat menghasilkan

BAB I PENDAHULUAN. sekarang para ahli tidak henti-hentinya meneliti mekanisme kerja dari obat

BAB I PENDAHULUAN. obat ini dijual bebas di apotik maupun di kios-kios obat dengan berbagai merek

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. yang dilakukan oleh Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes melitus (DM) adalah penyakit metabolisme berupa suatu

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

ABSTRAK MANIFEST ASI KERUSAKAN HEP ATOSIT YANG DllNDUKSI OBAT-OBATAN

DiGregorio, 1990). Hal ini dapat terjadi ketika enzim hati yang mengkatalisis reaksi konjugasi normal mengalami kejenuhan dan menyebabkan senyawa

I. PENDAHULUAN. Parasetamol merupakan obat antipiretik dan analgetik yang telah lama

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat menyebabkan stres oksidatif. Kebutuhan untuk terlihat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. banyak dilakukan oleh kelompok umur lansia (Supardi dan Susyanty, 2010).

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V. KESIMPULAN, SARAN & RINGKASAN. V.1. Kesimpulan. anti tuberkulosis akhir fase intensif pada 58 subyek penelitian ini. V.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari lemak tumbuhan maupun dari lemak hewan. Minyak goreng tersusun

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan nyamuk. Dampak dari kondisi tersebut adalah tingginya prevalensi

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Rifampisin (RFP) dan isoniazid (INH) merupakan obat lini pertama untuk

menghilangkan kesadaran. Berdasarkan kerja farmakologinya, analgesik dibagi dalam dua kelompok besar yaitu analgesik narkotik dan analgesik non

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. saraf pusat tanpa menghilangkan kesadaran. 2,3 Parasetamol umumnya digunakan

MENGATASI KERACUNAN PARASETAMOL

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh Mycobacterium

BAB I PENDAHULUAN. imunologi sel. Sel hati (hepatosit) mempunyai kemampuan regenerasi yang cepat,

BAB I PENDAHULUAN. salah satu penyebab utama kematian. Ada sekitar sepertiga penduduk dunia telah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit perlemakan hati non alkohol atau non alcoholic fatty liver

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bahan pewarna saat ini memang sudah tidak bisa dipisahkan dari

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. kedokteran kortikosteroid mulai dikenal sekitar tahun 1950, dan preparat

BAB I PENDAHULUAN. Pemakaian parasetamol sangat luas di dunia kedokteran karena merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Warna merupakan salah satu sifat yang penting dari makanan, di samping juga

I. PENDAHULUAN. Di zaman yang modern sekarang ini radikal bebas tersebar di mana mana,

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus

EFEK NEFROPROTEKTIF EKSTRAK TAUGE (Vigna radiata (L.)) TERHADAP PENINGKATAN KADAR KREATININ SERUM TIKUS WISTAR YANG DIINDUKSI PARASETAMOL DOSIS TOKSIK

I. PENDAHULUAN. perhatian adalah buah luwingan (Ficus hispida L.f.). Kesamaan genus buah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah sepasang organ berbentuk kacang yang masing-masing

BAB 1 PENDAHULUAN. menjadi sasaran utama toksikasi (Diaz, 2006). Hati merupakan organ

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DAFTAR ISI. viii. xii xiii xiv xv xvi

BAB I PENDAHULUAN. berbagai media massa (Rochmayani, 2008). Menurut World Health

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. 2-5% dari berat badan pada orang dewasa normal yang terletak pada kwadran

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Tahun-tahun terakhir ini muncul suatu fenomena dimana pengobatan

Oleh : Wiwik Yulia Tristiningrum M BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. skizofrenia atau secara absolut terdapat 400 ribu jiwa lebih penduduk Indonesia

GAMBARAN HISTOPATOLOGI HEPAR DAN GINJAL PASCA PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL DAUN KEMBANG BULAN

BAB I PENDAHULUAN. dan injuri otot (Evans, 2000) serta menimbulkan respon yang berbeda pada jaringan

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan sel, dan menjadi penyebab dari berbagai keadaan patologik. Oksidan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. coba setelah pemberian polisakarida krestin (PSK) dari jamur Coriolus versicolor

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan dasar yang sama dengan telepon tetap kabel, namun dapat

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Ekstrak memberikan rendemen sebesar 27,13% (Tabel 3).

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenika) atau campuran dari bahanbahan

BAB V PEMBAHASAN. Kadar glukosa darah pada penelitian ini, terjadi peningkatan pada masingmasing

BAB I PENDAHULUAN. budaya di dalam masyarakat Indonesia. Sebab, obat-obatan tradisional lebih

BAB 1 PENDAHULUAN. Manusia dapat terpapar logam berat di lingkungan kehidupannya seharihari.

BAB V PEMBAHASAN. Penelitian ini menggunakan Ekstrak Bawang Putih (Allium sativum) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. banyak digunakan karena bahan ini paling ekonomis, mudah diperoleh dipasaran.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. 2005). Hati terlibat dalam sintesis, penyimpanan dan metabolisme banyak senyawa

TOKSIKOMETRIK. Studi yang mempelajari dosis dan respon yang dihasilkan. Efek toksik. lethal dosis 50

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. LAIs. Golongan antipsikotik tipikal adalah antidopaminergik yang bekerja sebagai

PERUBAHAN KADAR UREUM DAN KREATININ PASCA PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL DAUN KEMBANG BULAN (Tithonia diversifolia) (STUDI PADA TIKUS PUTIH GALUR WISTAR)

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dalam proses memasak. Hal ini dapat dilihat dari sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. Non Alcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD) yang semakin meningkat

Bab 1 PENDAHULUAN. tetapi sering tidak diketahui, karena tidak menunjukkan gejala untuk waktu

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Oleh : Tanti Azizah Sujono Hidayah Karuniawati Agustin Cahyaningrum

BAB I PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat dunia termasuk Indonesia (global epidemic). World

BAB I PENDAHULUAN. penurunan fungsi paru dan penurunan kualitas hidup manusia. 2 Penyakit paru

Kata kunci: perlemakan hati, rosela, bengkak keruh, steatosis, inflamasi lobular, degenerasi balon, fibrosis

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat bervariasi dan begitu populer di kalangan masyarakat. Kafein

I. PENDAHULUAN. Minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan pokok penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. lebih dari 8 juta orang di seluruh dunia setiap tahunnya dengan 80% dari

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Radikal bebas merupakan salah satu penyebab timbulnya berbagai penyakit

Transkripsi:

BAB 6 PEMBAHASAN Penelitian ini menggunakan tikus Wistar sebagai hewan coba. Mekanisme dasar dalam pengaturan perkembangan hepar pada tikus, seperti halnya spesies vertebrata lain, mempunyai kemiripan dengan manusia. Sehingga studi dengan memakai tikus secara bermakna dapat dipakai untuk menggantikan hepar manusia sebagai bahan percobaan. 49 Karena penelitian dilakukan pada dua kelompok perlakuan, maka tikus yang dipakai sebanyak 12 ekor. Hal ini sesuai dengan rekomendasi WHO bahwa untuk penelitian pada hewan coba, sebaiknya memakai jumlah hewan coba seminimal mungkin ( 5-6 ekor tiap kelompok perlakuan ) yang masih memungkinkan untuk uji statistik ( memenuhi prinsip Reduction dari 3R ) 50. Walaupun tikus telah diberi dosis toksik asetaminofen, tidak didapatkan tikus yang mati pada akhir percobaan.. Hal ini terjadi karena sel hepatosit tikus mempunyai kemampuan regenerasi yang lebih besar dibandingkan manusia. Pada kerusakan hepar yang hebat, tikus mampu melakukan regenerasi sampai 75 % sel yang rusak dalam waktu 1 bulan 49. Pemberian asetaminofen dosis toksik menyebabkan akumulasi NAPQI yang berlebih di hepar. Target sel yang terkena efek langsung dari akumulasi NAPQI di hepar adalah sel hepatosit. Kematian sel hepatosit melewati dua cara, yaitu nekrosis dan apoptosis. Nekrosis sel ditandai dengan pembengkakan sel, kebocoran membran dan 44

disintegrasi inti. Apoptosis ditandai dengan penyusutan sel, fragmentasi inti serta pembentukan badan-badan apoptotik. Secara histologis apoptosis lebih sulit dideteksi, sedangkan sel yang nekrotik dapat bertahan sampai beberapa hari. Saat kematian hepatosit terjadi, ensim-ensim sitosolik hepatosit dapat dideteksi di dalam plasma. Ensim sitosolik hepatosit yang paling banyak untuk menilai derajat kerusakan hepatosit adalah Alanine Aminotransferase (ALT). Selain kadar ALT darah, kadar AST juga dapat dipakai sebagai tolok ukur derajat kerusakan hepatosit walaupun kurang spesifik. Meskipun demikian, hasil bagi antara kadar AST dengan ALT ( rasio de ritis ) dapat dipakai sebagai kontrol, apakah kelainan pada hepar berlangsung akut atau kronik 25. Pada penelitian ini, rasio de ritis semua sampel adalah kurang dari 1,5 yang menunjukkan bahwa proses keracunan terjadi secara akut. Sementara itu, Pada penelitian ini didapatkan nekrosis di zone sentral pada kelompok perlakuan dengan kerusakan moderat ( 26 40 % ) terjadi pada 4 sampel. Sedangkan nekrosis dengan derajat berat terjadi pada 2 sampel. Sementara itu, pada kelompok kontrol terjadi kerusakan sangat berat ( > 50% ) pada 4 sampel serta kerusakan sedang ( 26 40 % ) dan berat ( 41 50 % ) masing-masing pada satu sampel. Pada uji kolmogorov-smirnov didapatkan perbedaan bermakna derajat kerusakan hepatosit di zona sentral antara kelompok kontrol dan perlakuan. Walaupun terdapat perbedaan derajat kerusakan pada zona sentral, namun pada pemeriksaan ALT darah tidak didapatkan perbedaan bermakna antara kelompok kontrol dan kelompok perlakuan. Hal ini dapat terjadi karena pemberian asetaminofen pretreatment mengubah lokasi metabolisme asetaminofen dan formasi NAPQI. 45

Sitokrom P450 (terutama fraksi CYP2E1 dan CYP1A2) di zone sentral menjadi down regulated dan metabolisme asetaminofen bergeser ke periportal. NAPQI yang terbentuk sebagai hasil reaksi antara CYP2E1 ataupun CYP1A2 tidak terkonsentrasi di zone sentral saja, namun juga terjadi pada seluruh area hepar memiliki gradien yang berbeda dengan konsentrasi terbesar di zone sentral. Glutation yang terdapat dalam jumlah besar di periportal menyebabkan NAPQI yang terbentuk di periportal dapat di metabolisme secara efektif menjadi bentuk yang tidak aktif. Setelah pemberian dosis toksik asetaminofen, metabolit toksik ( NAPQI ) juga terdistribusi sampai ke periportal dengan jumlah yang lebih besar dibandingkan pretreatment. Karena kadar glutation lebih banyak di periportal dibandingkan midzone dan zone sentral, maka jumlah ikatan kovalen NAPQI dengan hepatosit secara gradual juga lebih banyak di zone sentral dibandingkan midzone dan periportal. Keadaan ini menyebabkan beberapa konsekuensi: Sel yang mengalami nekrosis di zone sentral menjadi lebih sedikit dibandingkan kontrol. Ikatan kovalen antara hepatosit dengan NAPQI yang tersebar di mid zone dan periportal yang tidak sebanyak di zone sentral menyebabkan tidak seluruh mitokondria di dalam hepatosit di kedua zona tersebut berikatan kovalen dengan NAPQI. Hal ini menyebabkan aktivasi caspase pada beberapa sel di luar zone sentral, sehingga terjadi apoptosis di luar zone sentral. Sel yang mengalami apoptosis juga melepaskan ALT kedalam darah. Secara keseluruhan, dalam lobulus hepar terjadi kematian hepatosit dalam jumlah yang relatif sama antara kelompok Perlakuan dengan kelompok Kontrol. Namun mekanisme kematian dengan cara nekrosis hepatosit lebih banyak terjadi pada 46

kelompok kontrol, sedangkan pada kelompok Perlakuan mekanisme kematian hepatosit dengan cara nekrosis dan apoptosis. Hal ini yang menyebabkan kadar ALT darah pada kedua kelompok tidak berbeda bermakna. A B C D Gambar 10. Gambaran histopatologi hepar 6 hari setelah dosis toksik asetaminofen pada kelompok kontrol ( gambar A dan B ) serta pada kelompok perlakuan ( gambar C dan D ) Selain itu, produksi glutation yang lebih efektif di area periportal setelah pemberian asetaminofen pretreatment menyebabkan terjadinya peningkatan kemampuan detoksifikasi NAPQI. Hal ini membuat rerata kadar ALT setelah pemberian asetaminofen pretreatment tidak jauh berbeda secara bermakna dibandingkan dengan awal penelitian. Demikian pula setelah pemberian dosis toksik asetaminofen, tidak terdapat perbedaan bermakna antara kadar ALT setelah pemberian asetaminofen pretreatment dibandingkan dengan setelah 47

pemberian dosis toksik asetaminofen. Walaupun demikian, terdapat perbedaan bermakna rerata kadar ALT awal penelitian dengan akhir penelitian pada kelompok Perlakuan yang menunjukkan bahwa pemberian asetaminofen pretreatment tidak memberikan efek protektif pada sel hepatosit secara keseluruhan. 48