BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hukum acara pidana dan hukum pidana merupakan hal yang tidak bisa dipisahkan. Hukum acara pidana adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. penetapan status tersangka, bukanlah perkara yang dapat diajukan dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tepatnya pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Meskipun hakim dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh serta rekomendasi pihak manapun juga, tetapi dalam melaksanakan tugas pekerjaanya,

BAB I PENDAHULUAN. commit to user

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guna mendapatkan suatu putusan akhir dalam persidangan diperlukan adanya bahan-bahan mengenai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

BAB 1 PENDAHULUAN 1. LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Pidana merupakan salah satu dari keseluruhan hukum yang berlaku

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

JAMINAN PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA DAN TERDAKWA DALAM KUHAP DAN RUU KUHAP. Oleh : LBH Jakarta

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. merupakan produk dari sebuah kebudayaan yang didasarkan pada pikiran, akal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. terdapat dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang. menegaskan tentang adanya persamaan hak di muka hukum dan

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. adalah termasuk perbankan/building society (sejenis koperasi di Inggris),

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

ANALISIS YURIDIS PRAPERADILAN PENGHENTIAN PENYIDIKAN DENGAN ALASAN POLRES SUKOHARJO TIDAK MENERIMA. LAPORAN DARI PEMOHON (No.03/Pid/Pra/2008/PN.

I. PENDAHULUAN. pengeledahan, penangkapan, penahanan dan lain-lain diberi definisi dalam. Berdasarkan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. Negara yang terbukti melakukan korupsi. Segala cara dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

I. PENDAHULUAN. pelaksanaannya diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. melindungi individu terhadap pemerintah yang sewenang-wenang dan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masalah korupsi merupakan masalah yang sentral dewasa ini dan sering hal itu menimbulkan banyak perbincangan dan diskusi mengingat korupsi dipandang sudah dilakukan secara sporadis di berbagai bidang dan tingkatan. Korupsi membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, pembangunan sosial ekonomi dan juga politik, serta dapat merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas. Kasus-kasus tindak pidana korupsi sering kali sulit diungkap karena biasanya dilakukan oleh lebih satu orang dalam keadaan yang terselubung dan teroganisir. Peraturan perundang-undangan telah dibuat guna menjerat kejahatan korupsi antara lain Undang-Undang 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang- Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, disamping itu juga telah dibentuk komisi khusus untuk menangani tindak pidana korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Tidak cukup sampai disitu Pemerintah juga menfasilitasi penegakan hukum dengan adanya lembaga Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang berfungsi memeriksa dan memutus mengenai perkara tindak pidana korupsi. Upaya pengakan hukum terhadap kejahtan korupsi sedang menjadi prioritas negara, karenanya dewasa ini sering ditemui pelaku kejahatan korupsi yang harus mempertanggung jawabkan kejahatan yang dilakukan. Proses penegakan hukum terhadap kejahatan ini terkait dnegan penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh Kepolisian Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ataupun Kejaksaan Republik Indonesia guna menemukan pelaku dan bukti-bukti tindak pidana korupsi. Demi untuk terlaksananya kepentingan pemeriksaan tindak pidana, undang-undang memberi kewenangan kepada penyidik dan penuntut umum untuk melakukan tindakan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penyitaan dan sebagainya. Upaya 1

2 paksa yang dikenakan instansi penegak hukum merupakan pengurangan dan pembatasan kemerdekaan dan hak asasi tersangka, tindakan tersebut harus dilakukan secara bertanggungjawab menurut ketentuan hukum dan Undang- Undang yang berlaku (due process of law). Tindakan upaya paksa yang dilakukan bertentangan dengan hukum dan undang-undang merupakan perkosaan terhadap hak asasi tersangka. Penjelasan umum butir 3c Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP), yang berbunyi setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang merupakan perwujudan asas praduga tak bersalah (Andi Hamzah, 2012: 14-15). Sebagai seorang yang belum dinyatakan bersalah, maka wajar bila tersangka atau terdakwa mendapat jaminan perlindungan hak yang diatur dalam KUHAP. Namun dalam pelaksanaanya asas praduga tak bersalah ini menimbulkan dampak tersangka melakukan kejahatan secara pasif, yang sekaligus menciptakan beban pada aparat penegak hukum yaitu polisi dan jaksa penuntut umum untuk mengabaikan status praduga tak bersalah dan mengembangkan kasus hanya dari bukti yang memberatkan untuk memperoleh keyakinan, ini membuat korban tak bersalah rentan terhadap keyakinan yang salah (Michael Naughton,2011:41). Banyak pendapat dari masyarakat tentang aparat penegak hukum yang sengaja memanfaatkan jabatannya untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak semestinya baik itu masih dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya maupun diluar tugasnya sebagai pelindung masyarakat. Sehingga dalam upaya untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia dan agar para penegak hukum menjalankan tugasnya secara konsekuen, KUHAP membentuk suatu lembaga baru yaitu lembaga praperadilan (Ratna Nurul Alfiah, 1986: 1-3).

3 Praperadilan merupakan lembaga yang baru dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP yang sebelumnya tidak ada semasa berlakunya Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) yang merupakan produk hukum warisan dari pemerintah kolonial Belanda. Lembaga praperadilan sebagai pemberian wewenang tambahan kepada Pengadilan Negeri untuk melakukan pemeriksaan terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan penggunaan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum mengenai sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan dan tuntutan ganti rugi dan rehabilisasi (Ratna Nurul Alfiah, 1986: 3). Lembaga praperadilan tidak mempersoalkan materi perkara hanya sebatas membicarakan prosedural pelaksanaan upaya paksa, terutama penangkapan dan penahanan, serta permintaan ganti rugi dan rehabilitasi. Menurut Nur Hidayat (dalam Devi Kartika Sari, Prija Djatmika, dan Faizin Sulistio, 2015: 3) ditinjau dari segi struktur dan susunan peradilan, Praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri. Bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang memberi putusan akhir atas suatu peristiwa pidana. Praperadilan adalah lembaga untuk membangun saling kontrol antara Kepolisian, Kejaksaan dan Tersangka melalui Kuasa Hukumnya atau menciptakan saling kontrol antara sesama penegak hukum karena pada kenyataannya dalam melakukan tugasnya, aparat penegak hukum khususnya (polisi, jaksa, hakim) tidak terlepas kemungkinan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Melalui putusan Mahkamah Agung No.227/K/Kr/1982, Mahkamah Agung berpendapat bahwa praperadilan dimaksudkan sebagai wewenang pengawasan horizontal dari Pengadilan Negeri. Pengaturan Praperadilan dalam KUHAP menuntut Kepolisan dan Kejaksaan untuk bekerja secara prosedural sesuai dengan ketentuan hukum acara. Pelaksanaan tugas yang tidak sesuai dianggap bertentangan dengan undang-undang, akan menciptakan hak-hak kepada tersangka untuk mengajukan

4 Praperadilan. Memeriksa dan menyelesaikan tindak pidana harus memahami manusia dan kemanusian yang wajib dilindungi harkat martabat kemanusiaanya. Tujuan dari tindakan penegakan hukum untuk mempertahankan dan melindungi kepentingan masyarakat, aparat penegak hukum tidak boleh mengorbankan harkat dan martabat tersangka/terdakwa (Yahya Harahap, 2012: 68). Beberapa kasus yang menimpa masyarakat berkaitan tindakan penyalahgunaan wewenang ataupun indikasi adanya kesewenang-wenangan aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya di Indonesia, seperti : a. Penggeledahan dan penyitaan yang dilakukan oleh penyidik Kejagung di Kantor PT. VSI di Panin Tower Senayan City lantai 8, Jalan Asia Afrika tidak sesuai izin Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Barang dan dokumen yang disita tidak terkait dengan kasus dugaan Korupsi cessie Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang menyeret Victoria Securities International Corporation terbukti tidak sah dan dilakuakn tidak sesuai KUHAP (http://republika.co.id/berita/nasional/hukum/15/09/30/nvhka6282-vsiputusan-praperadilan-lindungi-masyarakatdari-kezaliman-jaksa, diakses pada 2 Oktober 2015 pada 23.35). b. Penyiksaan untuk memperoleh keterangan terhadap 5 (lima) tersangka atas tindak pidana pelecehan seksual di Jakarta International School yang dilakukan oleh Tim Penyidik Polda Metro Jaya (http://megapolitan.kompas.com/read/2015/02/17/20160381/polisi.akui.lakuk an.kekerasan.saat.penyidikan.kasus.jis, diakses pada 18 September 2015 pukul 20.15 WIB). Berdasarkan beberapa data dan berita yang beredar di media massa maupun media cetak dapat dikatakan KUHAP masih dianggap belum dapat melindungi hak asasi tersangka dan terdakwa. Terhadap tindakan yang tidak mempunyai dasar hukum dan melanggar batasan-batasan yaitu penguasa yang

5 melakukan penyalahgunaan wewenang (De-tournement de Pouvoir) dan perbuatan yang sewenang-wenang (Abus de Droit). Hal ini berimplikasi terhadap upaya pengajuan judicial review terhadap KUHAP oleh masyarakat yang menjadi korban terhadap tindakan penangkapan, penahanan, penyitaan dan penghentian penyidikan yang dilakukan anggota polisi (Mokhamad Muslimin, 2011 :2). Atas dasar inilah Mahkamah Konstitusi memutuskan untuk melakukan perubahan dalam KUHAP, yaitu dengan memasukan ranah penetapan tersangka ke dalam wewenang Praperadilan melalui putusan permohonan judicial review terhadap Pasal 77 huruf a KUHAP mengenai konsep Praperadilan atas penetapan tersangka korupsi bioremediasi PT Chevron Bachtiar Abdul Fatah (http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150428163639-12-49799/mkputuskan-penetapan-tersangka-masuk-objek-praperadilan/, diakses pada 14 Mei 2015 pukul 20.14 WIB). Dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi Putusan Nomor 21/PUU-XII/2014 "Pasal 77 huruf (a) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disingkat MK) memutuskan mengubah ketentuan dalam Pasal 77 huruf (a) KUHAP yaitu yang awalnya mengatur kewenangan Praperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan, hingga memperluas kewenangan Praperadilan untuk memutus mengenai sah tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan. Atas dasar putusan MK tersebut kemudian Ongky Syahrul Ramadhona mengajukan Praperadilan atas penetapan tersangka terhadap dirinya atas dasar dugaan melakukan tindak pidana korupsi berupa Penyimpangan dalam Pelaksanaan Paket Pekerjaan Pengadaan Alat Peraga dan KIT Multi Media Interaktif dan Alat Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) serta Alat

6 Penunjang Administrasi untuk 45 (empat puluh lima) Sekolah Dasar pada Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Timor Tengah Utara Tahun Anggaran 2008 Tahun Pelaksanaan 2011. Kejaksaan Negeri Kefamenanu menetapkan Ongky Syahrul Ramadhona sebagai Tersangka berdasarkan surat perintah penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Kefamenanu nomor Print-10/P.3.12/Fd.1/05/2014 atas tersangka tanggal 21 Mei 2014, selama dikeluarkan surat perintah penyidikan tersebut dan ditetapkan sebagai tersangka, tidak pernah mendapat surat pemberitahuan sebagai tersangka dan hak-haknya, Ongky Syahrul Ramadhona tidak pernah menerima surat panggilan sebagai tersangka dan juga tidak pernah dilakukan pemeriksaan sebagai tersangka. Sedangkan menurut bunyi Pasal 1 angka 2 KUHAP, dalam proses penyidikan yang dilakukan adalah mengumpulkan bukti untuk kemudian menetukan ada atau tidaknya perbuatan pidana. Setelah adanya perbuatan pidana, maka kemudian dicari yang bertanggung jawab atas perbuatan pidana itu menjadi tersangka. Putusan MK Nomor.21/XII-PUU/2014, menyebutkan bahwa, Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP dan disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya ; Bedasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan kajian terhadap pengaruh Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 atas pengajuan permohonan praperadilan mengenai penetapan tersangka atas Ongky Syahrul Ramadhona, serta apakah alasan hukum hakim Pengadilan Negeri Kefamenanu dalam mempertimbangkan permohonan praperadilan telah memenuhi ketentuan KUHAP. Oleh karena itu penulis tertarik untuk membahasnya dalam sebuah penulisan hukum (skripsi) yang berjudul: PENGARUH PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 21/PUU-XII/2014 TERHADAP

7 PUTUSAN NOMOR 2/PID.PRAP/2015/PN.KFM MENGENAI PENETAPAN STATUS ONGKY SYAHRUL RAMADHONA SEBAGAI TERSANGKA KORUPSI B. Perumusan Masalah Bedasarkan uraian latar belakang yang telah diuraikan penulis, maka yang menjadi pokok permasalahan yang diulas dalam penulisan hukum ini sebagai berikut : 1. Apakah pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 terhadap pengajuan praperadilan mengenai penetapan status Ongky Syahrul Ramadhona sebagai tersangka korupsi? 2. Apakah pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Kefamenanu dalam memeriksa dan memutus pengajuan praperadilan berkaitan penetapan status tersangka Ongky Syahrul Ramadhona telah sesuai dengan Pasal 1 angka 2 jo Pasal 184 ayat (1) KUHAP? C. Tujuan Penelitian Bedasarkan latarbelakang dan rumusan masalah, tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian hukum ini terdiri dari tujuan obyektif dan tujuan subyektif sebagai berikut : 1. Tujuan obyektif a. Menjelaskan apakah pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:21/PUU-XII/2014 terhadap pengajuan praperadilan mengenai penetapan status tersangka Ongky Syahrul Ramadhona. b. Menjelaskan apakah pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Kefamenanu dalam memeriksa dan memutus pengajuan praperadilan berkaitan penetapan status tersangka Ongky Syahrul Ramadhona telah sesuai dengan Pasal 1 angka 2 jo Pasal 184 ayat (1) KUHAP.

8 2. Tujuan Subyektif a. Menambah, memperluas wawasan, pengetahuan, dan kemampuan penulis dalam mengkaji masalah dalam bidang Hukum acara Pidana terutama menyangkut argumentasi hakim dalam memutus perkara praperadilan pidana dengan kesesuaian Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan peraturan lainnya. b. Memberikan sumbangan pikiran pemikiran kepada bidang hukum acara pidana, khususnya praperadilan mengenai penetapan status tersangka. c. Melengkapi persyaratan dalam memperoleh gelar sarjana hukum di fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret. D. Manfaat Penelitian Penelitian hukum ini selain memiliki tujuan, juga diharapkan mampu untuk memberikan manfaat baik secra teoritis maupun praktis, antara lain: 1. Manfaat teoritis a. Memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum khususnya dalam bidang hukum acara pidana yang berkaitan dengan masalah praperadilan mengenai penetapan tersangka (Studi Kasus Putusan Nomor:2/Pid.Prap/2015/PN Kfm mengenai penetapan status tersangka Ongky Syahrul Ramadhona). b. Menjadi bahan pengajaran untuk dapat memahami lebih lanjut mengenai Praperadilan mengenai penetapan tersangka bedasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Menjadi bahan referensi dan literatur bagi para pembaca, baik mahasiswa, akademisi, maupun penegak hukum sehingga dapat menyumbangkan pemikiran baru untuk penyelesaian dan pemecahan masalah yang terkait dengan penelitian ini.

9 d. Dijadikan acuan bagi penelitian-penelitian yang sejenis dikemudian hari. 2. Manfaat praktis a. Memberikan jawaban atas permasalahan yang telah diteliti. b. Sebagai masukan bagi pihak-pihak yang terkait langsung dengan penelitian ini. c. Menjadi sarana bagi penulis dalam mengembangkan penalaran, pola pikir ilmiah, membentuk pola pikir dinamis, dan mengetahui pemahaman penulis dalam menerapkan Ilmu hukum yang telah diperoleh selama menimba Ilmu di Fakultas Hukum univeristas Sebelas Maret. E. Metode Penelitian Penelitian Hukum (legal research) adalah suatu proses untuk menentukan kebenaran koherensi, yaitu menentukan apakah aturan hukum yang ada sudah sesuai dengan norma hukum, apakah norma hukum yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum dan apakah tindakan seseorang sudah sesuai dengan norma hukum atau prinsip hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 47). Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan know-how, penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang dihadapi. Dibutuhkan kemmapuan untuk mengidentifikasi masalah hukum, mnelakukan penalaran hukum, menganalisis masalah yang dihadapi dan kemudian memberikan pemecahan atas masalah tersebut (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 60). Dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini termasuk dalam penelitian hukum (legal research). Penelitian hukum (legal research) adalah suatu proses untuk menentukan

10 kebenaran koherensi, yaitu menentukan apakah aturan hukum yang ada sudah sesuai dengan norma hukum, apakah norma hukum yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum dan apakah tindakan seseorang sudah sesuai dengan norma hukum atau prinsip hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 47). Penelitian hukum bersifat normatif, pendekatan dan bahan-bahan yang digunakan harus dikemukakan (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 55-56). 2. Sifat Penelitian Sifat penelitian ini yaitu preskriptif dan terapan. Peter Mahmud Marzuki menyatakan Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat preskriptif dan terapan. Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma hukum. Sebagai ilmu terapan, ilmu hukum menentukan standar prosedur ketentuan-ketentuan rambu-rambu dan melaksankan aturan hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 41-42). 3. Pendekatan Penelitian Menurut Peter Mahmud Marzuki dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Pendekatan digunakan agar penulis mendapatkan informasi dari berbagai aspek menegenai isu yang sedang dicoba untuk diacari jawabannya. Adapun pendekatan-pendekatan dalam penelitian hukum antara lain : a. Pendekatan undang-undang (statue approach) b. Pendekatan kasus (case aapproach) c. Pendekatan historis (historical approach) d. Pendekatan komparatif (comparative approach)

11 e. Pendekatan konseptual (conceptual approach) Pendekatan yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah pendekatan kasus (case appoach). Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaiatan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam menggunakan pendekatan kasus yang perlu dipahami adalah ratio decidendi yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai kepada putusannya, ratio decidendi atau reasoning merupakan referensi bagi penyusunan agumentasi dalam pemecahan isu (Peter Mahmud Marzuki,2014:134). 4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum Sumber-sumber penelitian hukum dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer bersifat autoritatif yang terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumendokumen resmi, meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki,2014:181). Penulis mengunakan bahan-bahan hukum dalam penelitian hukum ini antara lain: a. Bahan Hukum Primer 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, amandemen ke empat; 2) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana; 3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;

12 4) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia; 5) Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014; 6) Putusan Nomor 2/Pid.Prap/2015/PN Kfm. b. Bahan Hukum Sekunder Berupa pendapat hukum dari berbagai buku yang berkaitan dengan penulisan ini, Kamus dan ensiklopedia serta bahan-bahan dari internet. 5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Penelitian ini menggunakan pendekatan kasus maka menggunakan pengumpulan bahan hukum yang berupa putusan-putusan pengadilan mengenai isu hukum yang dihadapi dan memiliki kekuatan hukum tetap (Peter Mahmud Marzuki, 2014:238). Teknik pengumpulan bahan hukum yang mendukung dan berkaitan dengan pemaparan penulisan hukum ini adalah studi dokumen (studi kepustakaan). Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mempelajari, membaca, mencatat buku-buku literatur dengan isu hukum, peraturan perundangundangan yang hendak diteliti. Kemudian dianalisis dan dirumuskan sebagai bahan pendukung penelitian. 6. Teknik Analisis Bahan Hukum Penulis menggunakan teknik analisis bahan hukum dengan metode deduksi silogisme. Seperti halnya Silogisme yang diajarkan Aristoteles, pengguanan metode deduksi berpangkal dari pengajuan premis mayor, kemudian diajukan premis minor. Dari kedua premis ini kemudian ditarik suatu kesimpulan atau conclusio (Peter Mahmud Marzuki, 2014:89). Selanjutnya Hadjon mengemukakan bahwa premis mayor adalah aturan

13 hukum, sedangkan premis minor adalah fakta hukum (Peter Mahmud Marzuki,2014:90). F. Sistematika Penulisan Hukum Penulis menyusun sistematika penulisan hukum dengan membagi dalam empat bab, yaitu : BAB I : PENDAHULUAN Penulis mengemukakan mengenai latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum. BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Penulis membahas tentang kerangka teori yang melandasi penelitian serta mendukung di dalam memecahkan masalah yang diangkat dalam penulisan hukum ini, meliputi : tinjauan tentang Mahkamah Konstitusi, tinjauan tentang praperadilan, tinjauan tentang tersangka, tinjauan tentang penyelidikan, tinjauan tentang penyidikan, tinjauan tentang kejaksaan, tinjauan temtang obyek Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014,dan tinjauan tentang tindak pidana korupsi. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Penulis menguraikan tentang hasil penelitian tentang Pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 terhadap pengajuan perkara praperadilan mengenai penetapan status Ongky Syahrul Ramadhona sebagai tersangka korupsi dan kesesuaian pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Kefamenanu dalam

14 memeriksa dan memutus perkara praperadilan berkaitan penetapan status tersangka Ongky Syahrul Ramadhona dengan KUHAP. BAB IV : PENUTUP Bab ini merupakan akhir dari penelitihan hukum yang memuat simpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian oleh penulis yang telah dilakukan serta memuat saran-saran bagi pihak-pihak yang berkepentingan tehadap pembahasan dan simpulan yang tealh dipaparkan DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN