BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah. kesehatan yang terus berkembang di dunia. Peningkatan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pelayanan kesehatan umum seperti rumah sakit dan panti jompo. Multidrugs

BAB I PENDAHULUAN. paru. Bila fungsi paru untuk melakukan pembebasan CO 2 atau pengambilan O 2 dari atmosfir

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang Masalah. Staphylococcus adalah bakteri gram positif. berbentuk kokus. Hampir semua spesies Staphylococcus

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Infeksi nosokomial atau Hospital-Acquired Infection. (HAI) memiliki kontribusi yang besar terhadap tingkat

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepsis adalah terjadinya SIRS ( Systemic Inflamatory Respon Syndrome)

BAB I PENDAHULUAN. penyebab utama penyakit infeksi (Noer, 2012). dokter, paramedis yaitu perawat, bidan dan petugas lainnya (Noer, 2012).

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Kolonisasi bakteri merupakan keadaan ditemukannya. koloni atau sekumpulan bakteri pada diri seseorang.

Pseudomonas aeruginosa adalah kuman patogen oportunistik yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Bakteri dari genus Staphylococcus adalah bakteri. gram positif kokus yang secara mikroskopis dapat diamati

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Diabetes melitus (DM) terutama DM tipe 2 merupakan masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. dalam morbiditas dan mortalitas pada anak diseluruh dunia. Data World

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam beberapa tahun terakhir, angka kejadian penyakit infeksi

BAB I PENDAHULUAN. Ventilator Associated Pneumonia (VAP) merupakan suatu peradangan pada paru (Pneumonia)

I. PENDAHULUAN. Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri. Staphylococcus aureus yang mengalami kekebalan terhadap antibiotik

BAB I PENDAHULUAN. pengisian alveoli oleh eksudat, sel radang dan fibrin. Pneumonia masih

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. adalah infeksi. Sekitar lima puluh tiga juta kematian

BAB 1 PENDAHULUAN. yang resisten terhadap minimal 3 kelas antibiotik. 1 Dari penelitian yang

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan. kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO 2002,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dan non-bergerak bulat kecil berbentuk atau non-motil cocci. Hal ini

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. kematian di dunia. Salah satu jenis penyakit infeksi adalah infeksi

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Staphylococcus aureus merupakan salah satu. penyebab utama infeksi di rumah sakit dan komunitas,

BAB I. PENDAHULUAN. Pseudomonas aeruginosa (P. aeruginosa) merupakan bakteri penyebab tersering infeksi

BAB I PENDAHULUAN. Propolis adalah campuran dari sejumlah lilin lebah dan resin yang

BAB I PENDAHULUAN. terutama obat yang mengalami eliminasi utama di ginjal (Shargel et.al, 2005).

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Indonesia serta negara-negara Asia lainnya berasal dari tumbuh-tumbuhan

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

BAB I PENDAHULUAN. Angka morbiditas dan mortalitas pneumonia di seluruh dunia sangat

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Broiler atau ayam pedaging merupakan ternak yang efisien dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. Mikroorganisme penyebab penyakit infeksi disebut juga patogen

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Enterobacter sp. merupakan bakteri gram negatif. berbentuk batang. Enterobacter sp.

I. PENDAHULUAN. penurunan sistem imun (Vahdani, et al., 2012). Infeksi nosokomial dapat terjadi

BAB I PENDAHULUAN. kelompok penyakit yang berhubungan dengan infeksi. Penyakit ini banyak ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan penyebab kematian nomor 6 di Indonesia. 1. merupakan pneumonia yang didapat di masyarakat. 1 Mortalitas pada penderita

BAB 1 PENDAHULUAN. dari saluran napas bagian atas manusia sekitar 5-40% (Abdat,2010).

ABSTRAK ANTIBIOGRAM INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT DI LABORATORIUM MIKROBIOLOGI KLINIK RUMAH SAKIT IMMANUEL BANDUNG PERIODE JANUARI -DESEMBER 2008

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I. PENDAHULUAN. Staphylococcus aureus, merupakan masalah yang serius, apalagi didukung kemampuan

I. PENDAHULUAN. Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri Gram negatif berbentuk

BAB 1 PENDAHULUAN. Penyakit infeksi adalah penyakit yang disebabkan oleh masuk dan berkembang biaknya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. infeksi bakteri. Resistensi antibiotik terjadi ketika bakteri berubah dalam

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. pneumonia, mendapatkan terapi antibiotik, dan dirawat inap). Data yang. memenuhi kriteria inklusi adalah 32 rekam medik.

I. PENDAHULUAN. penyakit menemui kesulitan akibat terjadinya resistensi mikrobia terhadap antibiotik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. jamur, dan parasit (Kemenkes RI, 2012; PDPI, 2014). Sedangkan infeksi yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Menurut perkiraan World Health Oraganization (WHO) ada sekitar 5 juta

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

ABSTRAK PREVALENSI GEN OXA-24 PADA BAKTERI ACINETOBACTER BAUMANII RESISTEN ANTIBIOTIK GOLONGAN CARBAPENEM DI RSUP SANGLAH DENPASAR

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi di Indonesia masih termasuk dalam sepuluh penyakit

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar tidak

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan unit pelayanan medis yang sangat kompleks, rumah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berbagai sumber infeksi, seperti: gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga

BAB 1 PENDAHULUAN. yang selalu bertambah setiap tahunnya. Salah satu jenis infeksi tersebut adalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang mana tidak hanya terkait dengan persoalan estetika, tetapi juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bawah 5 tahun dibanding penyakit lainnya di setiap negara di dunia. Pada tahun

BAB I PENDAHULUAN. HIV/AIDS, diare, dan malaria (UNICEF, 2016). Di Indonesia, prevalensi

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Otitis Media Supuratif Kronik (OMSK) merupakan. infeksi telinga tengah kronis berdurasi lebih dari tiga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Antibiotik merupakan pengobatan utama dalam. manajemen penyakit infeksi. Namun, akibat penggunaan

Pola Kuman dan Uji Kepekaan Antibiotik pada Pasien Unit Perawatan Intensif Anak di Rumah Sakit Umum Daerah Koja Jakarta

BAB I PENDAHULUAN UKDW. lain (Jawetz dkk., 2013). Infeksi yang dapat disebabkan oleh S. aureus antara lain

BAB I PENDAHULUAN. sinus yang disebabkan berbagai macam alergen. Rinitis alergi juga merupakan

III. METODE PENELITIAN. 3.1 Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif laboratorik dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. infeksi tersebut. Menurut definisi World Health Organization. (WHO, 2009), Healthcare Associated Infections (HAIs)

POLA KEPEKAAN BAKTERI PENYEBAB VENTILATOR-ASSOCIATED PNEUMONIA (VAP) DI ICU RSUP H. ADAM MALIK PERIODE JULI-DESEMBER Oleh :

Pola Kepekaan Bakteri Staphylococcus aureus terhadap Antibiotik Vancomycin di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

Infeksi yang diperoleh dari fasilitas pelayanan kesehatan adalah salah satu penyebab utama kematian dan peningkatan morbiditas pada pasien rawat

I. PENDAHULUAN. Di negara-negara berkembang, penyakit infeksi masih menempati urutan

BAB I PENDAHULUAN I.1 LATAR BELAKANG. Mycobacterium non tuberculosis pertama kali. ditemukan pada abad ke 19 ketika penyakit mirip

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas di dunia.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Di berbagai negara khususnya negara berkembang, peranan antibiotik dalam

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. invasif secara umum dikenal sebagai infeksi daerah operasi (IDO). 1. dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC)

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Staphylococcus epidermidis (S. epidermidis) merupakan salah satu spesies dari genus bakteri

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

INTISARI. Lisa Ariani 1 ; Erna Prihandiwati 2 ; Rachmawati 3

MEDIA MEDIKA INDONESIANA

BAB I PENDAHULUAN UKDW. jika menembus permukaan kulit ke aliran darah (Otto, 2009). S. epidermidis

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. satunya bakteri. Untuk menanggulangi penyakit infeksi ini maka digunakan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

(Juniatiningsih, 2008). Sedangkan di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari - Desember 2010 angka kejadian sepsis neonatorum 5% dengan angka kematian

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Pneumonia adalah penyebab utama kematian anak di. seluruh dunia. Pneumonia menyebabkan 1,1 juta kematian

I. PENDAHULUAN. atas yang terjadi pada populasi, dengan rata-rata 9.3% pada wanita di atas 65

PENDAHULUAN. kejadian VAP di Indonesia, namun berdasarkan kepustakaan luar negeri

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan global. yang utama. Penyakit infeksi ini menyerang jutaan manusia

LAPORAN HASIL PENELITIAN. Oleh : VINISIA

ALUR GYSSEN Analisa Kualitatif pada penggunaan Antibiotik

PENGARUH FAKTOR DEMOGRAFI TERHADAP KEJADIAN INFEKSI DAN POLA RESISTENSI Staphylococcus aureus. Pasien di RSUP Dr Kariadi SemarangPeriode

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan yang terus berkembang di dunia. Peningkatan penyakit infeksi ini dapat memberikan pengaruh terhadap penggunaan antibiotik yang tidak terkontrol baik secara kuantitas maupun kualitas sehingga memberikan dampak adanya peningkatan penggunaan antibiotik yang berakibat timbulnya kejadian resistensi (Melviani, 2010; Thomson, 1999). Kejadian resistensi khususnya bakteri terhadap berbagai antimikroba (antibiotik) merupakan masalah pandemi yang tidak kalah penting dibandingkan dengan masalah infeksi bakteri itu sendiri (Yuwono & Biomed, 2010). Kejadian resistensi ini kebanyakan muncul di negara-negara berkembang walaupun tidak semuanya demikian (Thomson, 1999; Dharma et al, 2013). Beberapa pandemi resistensi bakteri antara lain Extended Spectrum Beta-Lactamases, Streptococcus Pneumonia resistant, Multidrug- ResistantMycobacterium Tuberculosis, Enterobacteriaceae resistant, Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA)(Yuwono & Biomed, 2010). 1

2 Staphylococcus aureus (S. Aureus) merupakan bakteri Gram positif yang dapat menimbulkan infeksi lokal dan sistemik yang biasanya didapat dalam infeksi nasokomial pada sebuah rumah sakit (Yuwono& Biomed, 2010; Kayser, 2005). Bakteri ini dapat menyebar melalui kontak langsung skin-to-skin sehingga dapat lebih memudahkan penularan pada tenaga kesehatan, pengunjung rumah sakit dan pasien (Dharma et al, 2013). Seperti yang dilaporkan oleh Vincent, dkk (1996) penelitian yang dilakukan oleh European Prevalence of Infection In Intensive Care (EPIC) mendapatkan 20.6% dari 10.038 pasien di 1417 Instalasi Perawatan Intensif di Eropa tahun 1992. Dengan pneumonia merupakan terbanyak (46.9%), infeksi saluran napas bawah (17.8%), infeksi traktus urinarius (17.6%), dan infeksi melalui aliran darah (12%). Mikroorganisme terbanyak yang ditemukan adalah Enterobacteriaceae (34.4%), Staphylococcus aureus (30.1%), Pseudomonas aeruginosa (28.7%), Staphylococcus koagulase negatif (19.1%), dan jamur (17.1%). Pada perang dunia kedua terdapat kejadian penting dalam sejarah resistensi S. aureus terhadap antimikroba. Berbagai manifestasi infeksi S. aureus pada saat itu dapat diatasi dengan antimikroba penisilin. Penisilin diproduksi oleh jamur Penicillium chrysogenum. Selama fermentasi,

3 jamur ini menghasilkan 6-aminopenicillanic acid yang memiliki sebuah cincin thiazolidine dan sebuah cincin beta laktam, komponen beta laktam inilah yang merupakan komponen inti fungsi penisilin sebagai bakterisida (Foster, 1996). Tetapi dalam kurun waktu kurang dari lima tahun telah ditemukan galur (strain) resisten terhadap antimikroba tersebut. Di Inggris pada tahun 1948 didapatkan 60% isolat S. aureus telah resisten terhadap penisilin dan pada akhir tahun 1950-an di berbagai negara Eropa angka kejadian resistensi S. aureus terhadap penisilin telah mencapai 90% (Zhang et al, 2009). Staphylococcus aureus yang mengalami resistensi penisilin kemudian dapat diatasi dengan pemberian metisilin atau disebut Methicillin Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA) (Yuwono & Biomed, 2010). Setelah beberapa tahun menggunakan metisilin, masalah resistensi muncul kembali dengan ditemukannya isolat Methicillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA). Berdasarkan bukti empiris menunjukan bahwa MRSA tidak hanya resisten terhadap metisilin melainkan juga resisten terhadap berbagai antibiotik beta-laktam lainnya seperti oxasilin, penisilin, dan amoksisilin, sehingga untuk pemilihan terapi akan lebih sulit (Yuwono & Biomed, 2010). Namun pada penelitan yang dilakukan oleh M. Saravanan dan

4 Anima Nanda pada tahun 2009 di India, didapati bahwa MRSA masih sensitif terhadap oksasilin. Hasil penemuan ini berlawanan dengan hasil penelitian yang dilakukan di tempat lain. Hal ini dapat disebabkan karena faktor penggunaan dan pengendalian antibiotik serta pengendalian infeksi (Hadi, 2009; Dharma et al, 2013). Dalam buku yang berjudul Diseases and Disorder: MRSA, infeksi ini pertama kali ditemukan pada pasien-pasien di rumah sakit dan panti jompo di Amerika Serikat pada tahun 1960. Sejak epidemi pertamanya tahun 1968 di Amerika Serikat, hingga kini MRSA masih merupakan masalah utama infeksi nosokomial (Sheen, 2010). Dalam penelitian kasus MRSA di sembilan negara selama lebih dari tiga puluh tahun oleh Center for Disease Control and Prevention (CDC), menunjukan bahwa infeksi MRSA menyumbang 2% dari seluruh infeksi Staphylococcus aureus pada tahun 1974. Angka itu meningkat menjadi 22% pada tahun 1995. Kemudian meningkat dengan cepat hingga hampir mecapai 65% pada tahun 2008 dan masih terus berkembang (Gorwitz, 2008). Menurut Clinical Practice Guideline dari Infectious Diseases Society of America tahun 2011, hingga saat ini obat pilihan untuk terapi infeksi MRSA adalah vankomisin. Walaupun demikian, kemanjurannya masih dipertanyakan karena secara in vitro efek bakterisidalnya lebih lambat

5 dibandingkan dengan antibiotik beta-laktam (LaPlante & Rybak, 2004; Dharma et al, 2013). Pada tahun 1996 timbul kekhawatiran karena telah ditemukan penyebaran MRSA yang menurun kepekaannya terhadap vankomisin (Yuwono & Biomed, 2010; Brooks et al, 2010). Kegagalan klinis vankomisin diduga dapat disebabkan antara lain karena jeleknya penetrasi vankomisin ke jaringan tertentu dan hilangnya aksesori fungsi gen-regulator di MRSA. Di samping itu terdapat laporan kasus mengenai vankomycin-intermediet S. aureus (VISA) dan vankomycinresistant S. aureus (VRSA). Berdasarkan kekhawatiran dan laporan kasus tersebut, munculnya alternatif pengobatan terhadap MRSA yaitu salah satunya dengan menggunakan Linezolid (Micek, 2007). Berdasarkan studi sebelumnya yang melibatkan 9 uji klinik acak dengan 3144 subyek. Untuk infeksi yang disebabkan oleh MRSA, ternyata linezolid lebih efektif secara signifikan dibandingkan vankomisin dengan RR 1,09, 95% CI 1,03-1,17 dan angka kesembuhan mikrobiologi pada dewasa RR 1,17, 95% CI 1,04-1,32. Tidak ada satupun uji klinik acak yang melaporkan mortalitas akibat SSTI (skin and soft tissue infections) maupun akibat terapi yang diberikan. Tidak ada perbedaan yang signifikan pada semua penyebab mortalitas antara pemberian linezolid maupun

6 vankomisin. Insidens red man syndrome, pruritus, dan kemerahan lebih sedikit pada kelompok linezolid dibandingkan pada kelompok vankomisin. Namun terdapat laporan terjadinya trombositopenia dan mual yang lebih sering pada kelompok yang diberikan terapi linezolid. Tampaknya dari data tersebut, durasi rawat inap pasien lebih pendek pada kelompok yang diberikan linezolid dibandingkan vankomisin. Biaya harian pengobatan juga lebih sedikit dikeluarkan pada kelompok yang diberikan linezolid oral daripada vankomisin injeksi. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka sekiranya perlu diteliti uji kepekaan antibiotik Linezolid terhadap bakteri Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dan Methicillin Sensitive Staphylococcus Aureus (MSSA). I.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai bagaimana sensitivitas obat Linezolid terhadap bakteri MRSA dan MSSA.

7 I.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan sensitivitas bakteri MRSA dan MSSA terhadap antibiotik Linezolid. I.4 Manfaat Penelitian Diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai penggunaan senyawa baru sebagai terapi penyakit infeksi, mengingat semakin banyak bakteri yang sudah resisten terhadap antibiotik. Serta diharapkan penelitian ini dapat menjadi awal untuk penelitian lebih lanjut mengenai pengembangan antibiotik baru. I.5 Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya mengenaibakteri MRSA dan hubungannya dengan antibiotik antara lain: Alternatives to Vancomycin for the Treatment of Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus Infections oleh Scott T. Micek yang meneliti tentang alternatif treatmen MRSA selain menggunakan linezolid. Methicillin resistant and susceptible Staphylococcus aureus: Appraising therapeutic approaches in the Northwest of Iran oleh Alka, et al tahun (2013) yang

8 meneliti tentang uji sensitivitas bakteri MRSA terhadap beberapa antibiotik salah satunya Linezolid. Sensitivity pattern of methicillin resistant Staphylococcus aureus isolated from patients admitted in a tertiary care hospital of Pakistan oleh Kaleem, f et al (2010). In vitro activity of daptomycin & linezolid against methicillin resistant Staphylococcus aureus& vancomycin resistant enterococci isolated from hospitalized cases in Central India oleh Sheetalet al (2013)