4 KULTIVASI Chaetoceros gracilis DALAM MEDIUM NPSi 4.1 Pendahuluan 4.1.1 Latar belakang Indonesia memiliki potensi keanekaragaman hayati perairan yang luar biasa besarnya. Sumberdaya yang tidak dapat secara langsung dikomersialkan seperti mikroflora dan fauna dengan kandungan senyawa metabolit primer dan sekundernya masih relatif kurang dijamah (Effendi 2002). Chaetoceros adalah jenis mikroalga atau diatom laut yang mudah untuk dibudidayakan, dimana suhu optimum dan salinitas optimum untuk Chaetoceros sp masing-masing berkisar antara 25-30 o C dan antara 17-30 ppt (Isnansetyo dan Kurniastuty 1995). Spesies ini dapat hidup pada suhu 10-20 o C dan dapat dikultur masal pada air laut yang diperkaya dengan pupuk anorganik atau pupuk kandang (BBLL 2002). Genus Chaetoceros memiliki lebih dari 160 spesies dan merupakan genus terbesar dari Kelas Bacillariophyceae yang hidup di perairan dingin sampai perairan panas. Chaetoceros memiliki setae dan digunakan untuk membentuk filamen yang membuatnya terus melayang di permukaan air (Lee 2008). Chaetoceros merupakan jenis mikroalga yang paling umum dijumpai di perairan lepas pantai Indonesia, sering disebut golden-brown algae karena kandungan pigmen kuning lebih banyak dari pigmen hijau sehingga bila padat populasinya, perairan akan terlihat coklat muda (Arinardi et al. 1997). Wang (1999) menyatakan bahwa sel secara individu dari Chaetoceros berbentuk kotak, mempunyai dimensi lebar 12 sampai 14 mikron, dan panjang 15 sampai 17 mikron, dengan jarum di ujungnya. Sel ini bisa membentuk rantai sekitar 10 sampai 20 sel, ketika dikultur dengan aerasi kuat. Tiga faktor lingkungan yang paling menentukan dalam kultivasi mikroalga atau diatom, yaitu nutrien, suhu dan cahaya (Nontji 2006). Pada umumnya mikroalga jenis diatom memerlukan mineral-mineral seperti Nitrogen (N), Pospor (P), Carbon (C), Magnesium (Mg), Sulfur (S), dan Silika untuk pertumbuhannya, selain vitamin dan trace element lainnya seperti cobalt, zink, borron, mangan. Unsur kimia tersebut dapat diperoleh dari lingkungannya atau ditambahkan ke dalam medium pertumbuhannya (Borowitzka 1988).
29 Medium pertumbuhan yang biasa digunakan untuk kultivasi Chaetoceros adalah medium Guillard. Namun harga medium ini cukup mahal, sehingga perlu dicari alternatif medium yang lebih murah. Larastri (2006) menyatakan bahwa Chaetoceros sp dan beberapa diatom lain dapat ditumbuhkan dalam medium NPSi, namun belum dikembangkan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian Chaetoceros gracilis yang diperoleh dari perairan Indonesia menggunakan medium pertumbuhan NPSi. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan medium yang sesuai untuk pertumbuhan Chaetoceros gracilis dengan harga murah, sehingga pemanfaatannya lebih optimal. 4.1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah mendapatkan pola pertumbuhan Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi dan menentukan rendemen biomasa Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi. 4.2 Bahan dan Metode 4.2.1 Bahan dan alat (1) Bahan baku Bahan baku yang digunakan pada penelitian ini meliputi mikroalga laut jenis Chaetoceros gracilis. Mikroalga laut sebagai bahan baku pada penelitian ini dipanen pada umur 7 hari. Medium yang digunakan untuk menumbuhkan Chaetoceros gracilis adalah NPSi, yang terdiri dari urea, triple super fosfat (TSP) dan natrium silika yang dibeli di toko pertanian dan toko kimia. Selain itu juga ditambahkan vitamin B12, biotin, dan vitamin B1 yang dibeli di apotek, serta trace element seperti CuSO 4 5H 2 O, ZnSO 4 7H 2 O, NaMoO 4 2H 2 O, (NH 4 )6Mo 7 O 24 4H 2 O, CoCl 2 6H 2 O, MnCl 2 4H 2 O. (2) Alat Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain erlenmeyer, flask, lampu neon 20 Watt, pompa udara untuk aerasi, selang, refrigerator, mikro pipet dan tipnya, mikroskop, haemositometer, filter keramik, sentrifus, pengering beku (freeze dryer), dan peralatan gelas lain yang digunakan di laboratorium.
30 4.2.2 Metode penelitian (1) Kultivasi Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi Chaetoceros gracilis ditumbuhkan dalam flask yang dilengkapi dengan aerasi dan lampu 20 Watt (2500 lux) yang dilakukan terus menerus. Kultivasi dilakukan pada ruangan yang dilengkapi dengan AC bersuhu sekitar 25-26 o C. Hal ini mengacu pada Lailati (2007) yang melaporkan bahwa kultur Chaetoceros gracilis pada ruangan yang dilengkapi AC dengan lama penyinaran 24 jam menghasilkan rendemen biomasa sel lebih besar dibanding 12 jam, pada tempat dan kondisi sama. Komposisi medium NPSi yang digunakan mengikuti peneliti sebelumnya, yaitu N:P:Si = 3:1:4 (Larastri 2006). Komposisi medium yang digunakan untuk pertumbuhan Chaetoceros gracilis disajikan pada Lampiran 1. Kultur Chaetoceros gracilis dibuat dengan cara menambahkan sebanyak 10 % stok kultur ke dalam wadah yang telah berisi medium NPSi. (2) Penentuan kurva pertumbuhan Untuk mengetahui kurva pertumbuhan C. gracilis, maka dilakukan analisis penghitungan jumlah sel dari awal kultivasi sampai akhir kultivasi (fase kematian) dengan metode hitungan langsung menggunakan haemositometer dan mikroskop.. Kurva pertumbuhan ini bertujuan untuk menentukan umur panen Chaetoceros gracilis. Pertumbuhan mikroalga juga dapat ditinjau dari rendemen biomasa, yaitu berat biomasa kering per satuan volume atau per satuan luasan atau per satuan berat (Becker 1994). (3) Pemanenan Chaetoceros gracilis Kultur yang telah masuk fase akhir logaritmik (umur 7 hari) dipanen, selanjutnya dipisahkan biomasanya menggunakan metode filtrasi. Filter yang digunakan adalah filter keramik yang memiliki pori 0,3 µm. Biomasa Chaetoceros gracilis yang diperoleh kemudian dikeringkan menggunakan freeze dryer lalu ditimbang untuk diketahui berat keringnya. 4.2.3 Prosedur analisis (1) Penghitungan jumlah sel Sel dalam kultur dihitung dengan cara melakukan sampling setiap hari sampai kultur mencapai fase kematian. Penghitungan jumlah sel dilakukan dengan metode hitungan langsung menggunakan haemositometer dan
31 mikroskop perbesaran 400x (Hadioetomo 1993) dengan formulasi yang dipakai dalam menghitung kepadatan sel adalah sebagai berikut: N 2 N 1 mm 1 0,2 mm 0,1mm 3 1 mm 10 ml 1 2 N 3 Keterangan: N = kepadatan sel (sel/ml) ΣN 1 = jumlah sel dalam 80 kotak kecil (ulangan ke-1). ΣN 2 = jumlah sel dalam 80 kotak kecil (ulangan ke-2). 1 mm = panjang haemositometer dalam 80 kotak kecil. 0,2 mm = lebar hemasitometer dalam 80 kotak kecil. 0,1 mm = tinggi hemasitometer. 3 1 mm 3 10 ml = faktor konversi dari satuan mm 3 ke satuan ml. Hasil penghitungan jumlah sel kemudian dibuat log dan diplotkan pada grafik hingga diperoleh kurva pertumbuhan dengan umur kultur (hari) sebagai sumbu x dan log kepadatan sel (sel/ml) sebagai sumbu y. (2) Penghitungan rendemen biomasa Berat kering dari masing-masing kultur kemudian dilakukan penghitungan terhadap rendemen biomasa dengan cara membagi berat kering tersebut dengan volume panen. Perhitungan rendemen biomasa (Becker 1994) adalah sebagai berikut: Rendemen biomasa = Berat biomasa kering (gram) Volume panen (liter) 4.3 Hasil dan Pembahasan 4.3.1 Pertumbuhan Chaetoceros gracilis Pada penelitian ini pertumbuhan diamati berdasarkan jumlah sel dan warna kultur. Pertumbuhan pada organisme uniseluler adalah pertambahan jumlah sel yang berarti juga pertambahan jumlah organisme. Kultur Chaetoceros gracilis umur 1 hari disajikan pada Gambar 4. Pada awal kultivasi, kultur masih terlihat jernih. Setelah beberapa hari warna kultur menjadi coklat, dan lama kelamaan kultur terlihat coklat tua yang menandakan sudah pekat. Selama kultivasi diberi aerasi dengan tujuan untuk menghindari sedimentasi mikroalga, meratakan sinar untuk pencahayaan dan nutrien serta mencegah stratifikasi
32 suhu dan mempermudah pertukaran gas antara medium kultur dan udara karena sumber karbon dalam bentuk CO 2 digunakan untuk fotosintesis (Coulteau 1996). Gambar 4 Kultur Chaetoceros gracilis umur 2 hari Selama kultivasi terjadi perubahan warna kultur. Perubahan warna yang terjadi dari awal sampai akhir kultivasi, yaitu dari warna coklat bening, coklat agak keruh, coklat keruh lalu kembali lagi menjadi coklat agak keruh dan terakhir menjadi coklat bening yang disertai dengan terbentuknya endapan berwarna coklat di dasar flask. Perubahan warna tersebut merupakan indikator terjadinya peningkatan kepadatan sel dari kepadatan sel rendah menjadi tinggi kemudian turun menjadi rendah kembali secara bertahap yang akhirnya kultur mati. Kepadatan sel Chaetoceros gracilis disajikan pada Lampiran 2. Kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan pada medium NPSi dan Guillard dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6. Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi memiliki beberapa fase dalam kurva pertumbuhan, yaitu fase eksponensial, fase stasioner, dan fase kematian. Pada penelitian ini fase lag tidak terjadi, karena medium yang digunakan pada kultur dan inokulum sama, selain itu inokulum kultur yang digunakan berada dalam fase logaritmik juga. Sehingga inokulum tidak mengalami masa adaptasi.
33 Log jumlah sel (sel/ml) 6.5 6.0 5.5 5.0 0 5 10 15 20 25 30 Waktu (hari) Gambar 5 Kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis dalam medium NPSi (a = fase pertumbuhan; b = fase stasioner; c = fase kematian) Log jumlah sel (sel/ml) 7.0 6.5 6.0 5.5 5.0 0 5 10 15 20 25 30 Waktu (hari) Gambar 6 Kurva pertumbuhan Chaetoceros gracilis dalam medium Guilllard (a = fase pertumbuhan b = fase stasioner; c = fase kematian) (Lailati 2007) Fase pertumbuhan ditandai dengan meningkatnya jumlah sel selama kultivasi, dilanjutkan dengan penurunan jumlah sel sampai mencapai stasioner. Fase pertumbuhan dicapai pada kultur berumur 1 hari hingga 7 hari, dengan kepadatan sel antara 2,1 x 10 5 sampai 2,4 x 10 6 sel/ml, lalu mengalami penurunan. Adanya pertumbuhan, selain ditandai dengan meningkatnya jumlah sel, juga ditandai dengan perubahan warna kultur dimana pada fase ini kultur berwarna coklat keruh dan terlihat pekat. Pendeknya fase pada kultur diatom ini diduga karena kultivasi dengan penyinaran 24 jam menyebabkan sel menjadi sulit membentuk auksospora karena terjadi pembelahan terus-menerus. Sel diatom semakin lama akan semakin kecil dari ukuran induknya. pembelahan sel menghasilkan Proses sel anakan yang lebih kecil dari induknya. Suksesi pembelahan aseksual menghasilkan sel yang semakin lama berukuran lebih kecil (Nontji 2006).
34 Fase pertumbuhan terjadi pada umur 1 hari hingga 7 hari. Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium Guillard mengalami penurunan pertumbuhan setelah hari ke-8. Kondisi ini juga dialami oleh Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi. Hal ini menunjukkan bahwa nutrien utama seperti N, P, dan Si untuk pertumbuhan Chaetoceros gracilis dapat dipenuhi dengan menggunakan medium NPSi. Mikroalga dalam metabolismenya menghasilkan metabolit primer dan metabolit sekunder. Metabolit primer (intrasesuler) dihasilkan selama fase pertumbuhan. Beberapa makromolekul yang digolongkan ke dalam metabolit primer adalah karbohidrat, protein dan lemak. Pada penelitian ini (Chaetoceros gracilis ditumbuhkan dalam medium NPSi) fase stasioner dicapai setelah kultur berumur 8 hari sampai 25 hari, dengan kepadatan tertinggi sebesar 2,3x10 6 sel/ml. Jumlah sel cenderung tidak meningkat, artinya tidak ada penambahan jumlah sel. Fase stasioner merupakan fase pertumbuhan yang konstan karena nutrien semakin berkurang dan populasi semakin padat. Menurut Kungvankij (1988) dan Richmond (2004) populasi sel pada akhir fase logaritimik cenderung menurun dan pada fase stasioner kurang lebih konstan, dimana jumlah sel yang mati sama dengan yang membelah. Pada fase ini pertambahan jumlah sel akibat pembelahan sel seimbang dengan pengurangan jumlah sel akibat kematian (Becker 1994). Kultur pada fase ini terlihat berwarna coklat pekat. Warna coklat pada kultur ini merupakan warna pigmen yang dimiliki oleh Chaetoceros gracilis. Pada fase stasioner dihasilkan metabolit sekunder (ekstraseluler) yang berupa komponen aktif antara lain senyawa antibakteri. Setelah kultur berumur 25 hari, jumlah sel menurun yang menandakan terjadinya fase kematian. Jumlah sel pada kultur umur 28 hari sebesar 6,9 x10 5 sel/ml. Fase kematian selain ditunjukkan dengan menurunnya jumlah sel, warna kultur mulai memudar dan terbentuk suatu endapan di dalam kultur. Sel mikroalga yang telah mati akan mengendap di bawah, dan kultur menjadi bening. Pada akhir kultivasi, sel Chaetoceros gracilis jumlahnya lebih sedikit. Pada fase kematian, jumlah sel yang mati lebih besar dari jumlah sel yang hidup. Sel yang masih hidup tidak lagi memiliki kemampuan untuk tumbuh, tetapi hanya mampu bertahan hidup. Sel mengalami lisis karena tidak lagi mendapat suplai nutrien. Hal ini menunjukkan bahwa nutrien pada kultur mikroalga sangat diperlukan
35 karena tanpa penambahan nutrien mengakibatkan hasil pertumbuhan menjadi sangat rendah (Harrison dan Berges 2005). Gambar 5 dan 6 menunjukkan bahwa pola pertumbuhan Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi sama dengan yang ditumbuhkan dalam medium Guillard (medium yang umum digunakan untuk diatom termasuk Chaetoceros). Keduanya tidak mengalami fase adaptasi. Kepadatan sel pada kultur yang ditumbuhkan dalam medium Guillard lebih besar dibandingkan dalam medium NPSi (Gambar 5 dan 6). Hal ini diduga karena nutrien dalam medium Guillard lebih lengkap dibandingkan medium NPSi. Pada medium Guillard selain sumber N, P dan Si juga dilengkapi dengan FeCl 3. 6H 2 O, EDTA. Unsur N diperoleh dari urea, unsur P diperoleh dari TSP dan Si diperoleh dari Na metasilika. Unsur Si dalam kultivasi mikroalga jenis diatom merupakan unsur utama selain N dan P. Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) menyatakan bahwa silika sangat penting untuk proses perkembangbiakan diatom karena silika berperan dalam pembentukan sel, pembelahan sel serta dibutuhkan dalam proses metabolisme. Faktor intrinsik dan ekstrinsik mempengaruhi pertumbuhan mikroalga. Tiga faktor lingkungan yang paling menentukan dalam kultivasi mikroalga atau diatom, yaitu nutrien, temperatur dan cahaya (Nontji 2006). Selain itu, pertumbuhan suatu jenis fitoplankton atau mikroalga erat kaitannya dengan ketersediaan hara makro dan mikro serta dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan, antara lain cahaya, suhu, ph, kandungan CO 2 bebas dan salinitas (BBLL 2002). Pada penelitian ini unsur hara dipenuhi dengan pemberian nutrien yang terdiri dari urea, TSP, natrium silika serta vitamin dan trace element. Suhu lingkungan yang digunakan untuk kultur adalah 25-26 o C dan salinitas air laut sebagai mediumnya adalah 28-30 ppt. Hal ini sesuai dengan Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) yang menyatakan bahwa suhu optimum dan salinitas optimum untuk Chaetoceros sp masing-masing berkisar antara 25-30 o C dan antara 17-30 ppt. 4.3.2 Pemanenan biomasa Chaetoceros gracilis Pada penelitian ini diatom Chaetoceros gracilis dipanen pada umur kultur 7 hari dengan cara mengumpulkan kultur ke dalam satu wadah (flash) untuk dilakukan filtrasi. Filtrasi dilakukan untuk memisahkan biomasa sel dari cairan mediumnya. Pemanenen dilakukan pada umur 7 hari dimana kultur berada pada fase akhir logaritmik. Produk yang diambil dari Chaetoceros gracilis adalah
36 komponen aktif yang bersifat antibakteri. Waktu pemanenan ini mengacu pada hasil penelitian Trianti (1998) dan Pribadi (1998), yang menunjukkan bahwa senyawa antibakteri dari mikroalga dihasilkan pada fase logaritmik akhir dan stasioner. Pada penelitian ini proses pemisahan biomasa dari kultur dilakukan menggunakan metode filtrasi. Bila pemisahan menggunakan sentrifus, akan memerlukan waktu lebih lama, karena kapasitas sentrifus hanya 2 liter sekali running. Proses pemisahan biomasa dari kultur sebanyak 24 liter dengan sentrifugasi memerlukan waktu sekitar 6 jam, sedangkan bila menggunakan filtrasi hanya sekitar 2-3 jam. Selain itu penggunaan sentrifus lebih mahal dibanding filtrasi. Pemanenan biomasa atau pemisahan biomas dari kultur dengan filtrasi dapat dilakukan untuk kultur dalam jumlah berapapun. Akan tetapi kelemahan penggunaan filtrasi adalah tidak semua jenis sel mikroalga dapat dipisahkan dengan filter ini karena ukurannya berbeda-beda, oleh karena itu bila akan menggunakan filter ini pori-pori keramik filternya harus disesuaikan dengan ukuran sel yang akan dipisahkan. Ukuran Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi pada penelitian ini adalah panjang ±8,8 mikron dan lebar ± 5 mikron, sehingga dapat menggunakan filter keramik yang mempunyai ukuran pori 0,3 mikron. Pada umumnya mikroalga jenis diatom memerlukan mineral-mineral seperti Nitrogen (N), Pospor (P), Carbon (C), Si, Magnesium (Mg), Sulfur (S) untuk pertumbuhannya, selain vitamin dan trace element lainnya seperti cobalt, zink, borron, mangan. Unsur kimia tersebut dapat diperoleh dari lingkungannya atau ditambahkan ke dalam medium pertumbuhannya. Pada penelitian ini unsur hara dipenuhi dengan penambahan urea sebagai sumber N, TSP sebagai sumber P dan natrium silika sebagai sumber Si, vitamin B1, biotin dan B12, serta trace element yang meliputi CuSO 4 5H 2 O, ZnSO 4 7H 2 O, NaMoO 4 2H 2 O, (NH 4 )6Mo 7 O 24 4H 2 O, CoCl 2 6H 2 O, MnCl 2 4H 2 O. Pengeringan Chaetoceros gracilis dilakukan menggunakan freeze dryer dengan tujuan agar sel menjadi kering sehingga permukaan sel mikroalga menjadi lebih besar dan mempermudah proses penetrasian pelarut, sehingga proses penarikan komponen aktif lebih mudah terjadi. Pengeringan dengan menggunakan freeze dryer menguntungkan karena tidak merusak komponen aktif yang dikandung bahan. Beberapa jenis komponen aktif merupakan bahan yang mudah rusak oleh pemanasan, sehingga proses pemisahannya tidak boleh
37 dilakukan pada suhu yang terlalu tinggi. Biomasa sel kering yang dihasilkan berwarna hijau kecoklatan, karena mengandung klorofil dan karoten. Hal ini sesuai dengan laporan Isnansetyo dan Kurniastuty (1995) yang menyatakan bahwa pigmen kuning merupakan pigmen yang mendominasi sel Chaetoceros dan juga mengandung pigmen fukosantin (Round et al. 1996). Chaetoceros berwarna kuning kecoklatan karena kandungan pigmen karotennya (Borowitzka 1988). Biomasa Chaetoceros gracilis yang diperoleh disajikan pada Gambar 7. Rendemen biomasa Chaetoceros gracilis (0,16 g/l) ini rendah. Hal ini diduga karena selama kultivasi mikroalga tidak dilakukan penambahan CO 2. Sumber CO 2 yang digunakan untuk pertumbuhan mikroalga pada penelitian ini hanya berasal dari udara melalui aerasi. Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium Guillard juga menghasilkan rendemen biomasa 0,16 g/l. Artinya Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi menghasilkan rendemen yang sama dengan yang ditumbuhkan dalam medium Guillard, dimana selama kultivasi keduanya tidak ditambahkan CO 2. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Pacheco-Vega (2009) yang menunjukkan bahwa kepadatan dari Chaetoceros muelleri (Limmermann Grown) yang ditumbuhkan dalam medium pupuk cair yang mengandung urea, NH4NO4, HPO4 dan silika mempunyai kepadatan sel yang tidak berbeda nyata dengan yang ditumbuhkan dalam medium f/2. Berdasarkan hal ini dapat dikatakan bahwa untuk menumbuhkan Chaetoceros dapat digunakan medium dengan sumber N yang berbeda-beda. Gambar 7 Biomasa Chaetoceros gracilis kering
38 4.4 Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penelitian ini antara lain : (1) Chaetoceros gracilis yang diambil dari perairan Indonesia dapat ditumbuhkan dalam medium NPSi. (2) Pola atau fase pertumbuhan Chaetoceros gracilis pada penelitian ini meliputi fase logaritmik, fase stasioner dan fase kematian. (3) Rendemen biomasa dari Chaetoceros gracilis yang ditumbuhkan dalam medium NPSi dan dipanen pada umur 7 hari sebesar 0,16 g/l.