4. HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
KARAKTERISTIK HABITAT MAMALIA LAUT DI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU, JAKARTA UTARA

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.Kondisi umum lokasi penelitian

DISTRIBUSI LUMBA-LUMBA DI KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA CHIKARISTA IRFANGI

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

3. METODE PENELITIAN

3 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4 KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kondisi Umum Lokasi Penelitian

HIDROSFER VI. Tujuan Pembelajaran

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pulau Pramuka I II III

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

PENYEBARAN KOMUNITAS FAUNA DI DUNIA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kehidupan bergantung kepada air dalam berbagai bentuk. Air merupakan

4 KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

METODE PENELITIAN. Gambar 7 Lokasi penelitian di perairan dangkal Semak Daun.

EVALUASI KONDISI LINGKUNGAN PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

V ASPEK EKOLOGIS EKOSISTEM LAMUN

V. GAMBARAN UMUM PERAIRAN SELAT BALI

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah pulau yang sangat banyak. Secara astronomis, Indonesia terletak

SMA/MA IPS kelas 10 - GEOGRAFI IPS BAB 6. DINAMIKA HIDROSFERLATIHAN SOAL 6.4

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

Modul 1 : Ruang Lingkup dan Perkembangan Ekologi Laut Modul 2 : Lautan sebagai Habitat Organisme Laut Modul 3 : Faktor Fisika dan Kimia Lautan

V. KEADAAN UMUM WILAYAH. 5.1 Kondisi Wilayah Kelurahan Pulau Panggang

POLA DISTRIBUSI SUHU DAN SALINITAS DI PERAIRAN TELUK AMBON DALAM

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Plankton merupakan organisme renik yang hidup melayang-layang di air dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. PT. Bintuni Utama Murni Wood Industries 1

2. TINJAUAN PUSTAKA. utara. Kawasan pesisir sepanjang perairan Pemaron merupakan kawasan pantai

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA KELIMPAHAN FITOPLANKTON DENGAN ZOOPLANKTON DI PERAIRAN SEKITAR JEMBATAN SURAMADU KECAMATAN LABANG KABUPATEN BANGKALAN

BAB IV GAMBARAN WILAYAH STUDI

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Rencana Pengembangan Berkelanjutan Kelautan dan Perikanan di Pulau Maratua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. disebut arus dan merupakan ciri khas ekosistem sungai. Secara ekologis sungai

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Makanan merupakan salah satu faktor yang dapat menunjang dalam

5 PEMBAHASAN 5.1 Kondisi Perairan di Kabupaten Barru

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sampai sub tropis. Menurut Spalding et al. (1997) luas ekosistem mangrove di dunia

KEBERADAAN LUMBA-LUMBA DAN HUBUNGANNYA DENGAN KONDISI HABITAT DI PERAIRAN PULAU KARANG CONGKAK, KEPULAUAN SERIBU, PROVINSI DKI JAKARTA

2.2. Reaksi ikan terhadap cahaya

BAB II SURVEI LOKASI UNTUK PELETAKAN ANJUNGAN EKSPLORASI MINYAK LEPAS PANTAI

Gerakan air laut yang dapat dimanfaatkan dalam kegiatan sehari-hari adalah nomor

Samudera adalah kumpulan air yang sangat banyak, menutupi hampir. 71 persen Bumi dan memisahkan benua. Jutaan tahun yang lalu ketika Bumi

POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab 4 Hasil Dan Pembahasan

ES R K I R P I S P I S SI S S I TEM

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

TINJAUAN PUSTAKA. tahapan dalam stadia hidupnya (larva, juwana, dewasa). Estuari merupakan

hujan, penguapan, kelembaban udara, suhu udara, kecepatan angin dan intensitas

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STUDI DAN HUBUNGAN ARUS TERHADAP SEBARAN DAN FLUKTUASI NUTRIEN (N DAN P) DI PERAIRAN KALIANGET KABUPATEN SUMENEP

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

b) Bentuk Muara Sungai Cimandiri Tahun 2009

TINJAUAN PUSTAKA. meskipun ada beberapa badan air yang airnya asin. Dalam ilmu perairan

REKLAMASI PANTAI DI PULAU KARIMUN JAWA

6 PEMBAHASAN 6.1 Daerah Penangkapan Ikan berdasarkan Jalur Jalur Penangkapan Ikan

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB II KAJIAN PUSTAKA

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2. KONDISI OSEANOGRAFI LAUT CINA SELATAN PERAIRAN INDONESIA

Judul : PAUS BELUGA Penulis Cerita : Renny Yaniar Penulis Pengetahuan : Christien Ismuranty Editor Bahasa : Niken suryatmini Desain dan Layout : Imam

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. ekosistem lamun, ekosistem mangrove, serta ekosistem terumbu karang. Diantara

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

Horizontal. Kedalaman. Laut. Lintang. Permukaan. Suhu. Temperatur. Vertikal

PENANGKAPAN IKAN. Fisheries Department UMM

MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : KEP.33/MEN/2002 TENTANG ZONASI WILAYAH PESISIR DAN LAUT UNTUK KEGIATAN PENGUSAHAAN PASIR LAUT

5 PEMBAHASAN 5.1 Sebaran SPL Secara Temporal dan Spasial

Migrasi Ikan Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhinya

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Pengertian Pencemaran Laut dan Penyebab Terjadinya Pencemaran Laut

KANDUNGAN ZAT PADAT TERSUSPENSI (TOTAL SUSPENDED SOLID) DI PERAIRAN KABUPATEN BANGKA

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Data yang dikeluarkan oleh Kantor Distrik Teluk Mayalibit. Tanggal 6 Januari

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pola Sebaran Nutrien dan Oksigen Terlarut (DO) di Teluk Jakarta

Transkripsi:

13 4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil 4.1.1. Jenis dan lokasi perjumpaan Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan, terdapat beberapa lokasi yang diketahui sebagai jalur aktivitas dari mamalia. Lokasi tersebut berupa daerah laut terbuka (offshore) ataupun daerah perairan dangkal seperti daerah tubir terumbu karang. Daerah laut terbuka dan daerah tubir terumbu karang diperkirakan sebagai tempat aktivitas seperti foraging (mencari makan), travelling (berenang bergerombol), dan resting (berenang secara perlahan). Mamalia laut yang ditemukan pada waktu kemunculan membentuk suatu kelompok, di dalam kelompok tersebut terdapat dua jenis lumba-lumba yang berenang secara bersamaan. Lokasi perjumpaan dengan mamalia laut antara lain di sekitar perairan Gusung Mungu, Karang Baronang, Utara Pulau Payung, Perairan Pulau Pari, Selatan Pulau Payung, Pulau Semut, Timur Pulau Opak Besar, Goba Tipis, Gusung Mengkek, Selatan Pulau Panggang, Timur Karang Lebar, dan Timur Karang Congkak. Lumba-lumba yang ditemukan dalam kelompok saat pengamatan antara lain lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus), lumbalumba paruh panjang (Stenella longirostris), dan lumba-lumba biasa (Delphinus delphis). Sedangkan jenis mamalia laut lain yang ditemukan di perairan Kepulauan Seribu adalah jenis paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens). Menurut Priyono (2001) lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus), lumba-lumba paruh panjang (Stenella longirostris), dan lumba-lumba biasa (Delphinus delphis) memiliki persebaran di sekitar Laut Jawa. Jenis dan lokasi perjumpaan dengan mamalia disajikan pada Gambar 3. 4.1.2. Kondisi habitat perairan Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh nilai suhu permukaan laut saat kemunculan mamalia laut berkisar antara 26-32 C. Nilai salinitas yang diperoleh dari hasil pengamatan adalah berkisar antara 30 32 0 / 00. Kecepatan arus yang diperoleh saat pengamatan berdasarkan waktu kemunculan mamalia laut berkisar antara 0,0207-0,2098 m/s. Kecepatan angin yang berada di Kepulauan Seribu dipengaruhi oleh angin musin Barat dan angin musim Timur. Dari hasil pengamatan kecepatan angin berdasarkan waktu kemunculan lumba-lumba yang dikonversi menggunakan skala Beaufort diketahui kecepatan angin berkisar antara 1 10 knot. Kecepatan angin

14 memberikan pengaruh terhadap bentuk gelombang saat kemunculan mamalia laut. Dari hasil pengamatan yang dilakukan, saat kemunculan mamalia laut di beberapa lokasi terjadi pada saat air surut rendah, surut, mulai pasang rendah, dan air pasang. Data kondisi pasang surut air laut dan jumlah mamalia laut berdasarkan jenis dan hari perjumpaan disajikan dalam Tabel 1 dan 2. Kondisi habitat perairan yang diperoleh berdasarkan waktu dan lokasi kemunculan disajikan dalam Tabel 3. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari nelayan, jenis ikan yang terdapat di perairan offshore dan daerah tubir terumbu karang antara lain cumi-cumi selat (Loligo pealii), ikan kembung (Rastrelliger sp.), ikan lemuru (Sardinella lemuru), ikan selar (Caranx sp.), ikan tembang (Sardinella fimbriata), ikan tengkek (Megalaspis cordyla), ikan terbang (Paraxoceotus brachypterus), ikan teri (Stolephorus sp.), dan ikan tongkol (Auxis thazard thazard). Lumba-lumba hidung botol memangsa berbagai macam ikan, cepalopoda (cumi-cumi), dan beberapa jenis krustase (Barros & Odell 1990; Cockroft & Ross 1990 in Ingram & Rogan 2002). Selain lumba-lumba hidung botol, lumbalumba paruh panjang juga memakan ikan-ikan mesopelagis kecil, cumi-cumi, dan udang di sekitar terumbu karang dan dasar perairan pada perairan dangkal (Perrin 1998). Tabel 1. Kondisi pasang surut air laut berdasarkan waktu kemunculan mamalia laut Tanggal Waktu Lokasi Cuaca 10 Mei 11.20 Gosong Mungu Berawan, berangin Surut Kondisi Pasang Surut Air Laut* 11 Mei 12.45 Karang Baronang Cerah Surut terendah 16 Mei 08.36 Utara Pulau Payung Cerah Surut 18 Mei 08.50 Perairan Pulau Pari Berawan, berangin Surut 19 Mei 14.04 Selatan Pulau Payung Cerah Surut 25 Mei 10.05 Pulau Semut Cerah Surut 12.00 Timur Pulau Opak Besar Cerah Mulai pasang rendah 26 Mei 15.45 Selat Karang Congkak (Goba Tipis) Cerah Pasang 27 Mei 11.11 Karang Congkak (Gusung Mengkek) Mendung Surut 23 Juni 16.17 Selatan Pulau Panggang Mendung Pasang 24 Juni 09.45 Timur Karang Lebar Cerah Surut terendah 28 Juni 10.17 Timur Karang Congkak Mendung Surut 03 Juli 09.47 Timur Karang Congkak Mendung Mulai pasang rendah Keterangan: *Konversi dari data pasang surut wilayah Tanjungpriok (Dinas Hidro-Oseaograsi 2009).

15 Gambar 3. Jenis dan lokasi perjumpaan dengan mamalia laut 15 15

16 Tabel 2. Jumlah mamalia laut berdasarkan jenis dan hari perjumpaan Tanggal Perjumpaan No. Jenis 10 Mei 11 Mei 16 Mei 18 Mei 19 Mei 25 Mei 26 Mei 27 Mei 23 Juni 24 Juni 28 Juni 03 Juli 1 Delphinus delphis 6 2 2 Pseudorca crassidens 12 3 Stenella longirostris 5 10 13 4 Tursiop truncates 5 10 3 19 8 16 10 8 5 5 Calf (tidak teridentifikasi) 1 1 4 6 Tidak teridentifikasi 3 4 Jumlah 12 18 13 14 12 25 8 16 4 10 8 5 Tabel 3. Jumlah, jenis mamalia laut, parameter fisika berdasarkan waktu dan lokasi kemunculan Tanggal Waktu Perkiraan Posisi Sudut Matahari Lokasi Dan Jenis Mamalia Laut Yang di Temukan Jumlah Jenis Cuaca Paramater Fisika Kecepatan Suhu ( 0 C) Salinitas ( 0 /00) Arus (m/s) Kecepatan Angin *Skala Beaufort (knot) 10 Mei 11.20 80 0 Gusung Mungu Berawan, berangin 31 30 0,1299 7 10 Delphinus delphis 2 Tursiops truncatus 11 Mei 12.45 78,75 0 Karang Baronang Cerah 32 32 0,0629 1-3 Stenella longirostris 2 Tursiops truncatus 16 Mei 08.36 39 0 Utara Pulau Payung Cerah 31 30 0,0207 1-3 Stenella longirostris 2 Tursiops truncatus 16 16

17 Tabel 3. (Lanjutan) 18 Mei 08.50 42,5 0 Perairan Pulau Pari Berawan, berangin 30 32 0,2098 7-10 Stenella longirostris 1 19 Mei 14.04 59 0 Selatan Pulau Payung Cerah 32 32 0,0478 1-3 Pseudorca crassidens 1 25 Mei 10.05 61,25 0 Pulau Semut Cerah 30,5 31 0,1250 4-6 12.00 90 0 Timur Pulau Opak Besar Cerah 31 31 0,1111 4-6 Delphinus delphis Tursiops truncatus 2 26 Mei 15.45 33,75 0 Goba Tipis Cerah 31 31 0,0909 7-10 Tursiops truncatus 1 27 Mei 11.11 77,75 0 Gusung Mengkek Mendung 30,5 32 0,0783 4-6 Tursiops truncatus 1 23 Juni 16.17 25,75 0 Selatan Pulau Panggang Mendung 30 32 0,0838 7-10 24 Juni 09.45 56,25 0 Timur Karang Lebar Cerah 30 31 0,0542 7-10 Tursiops truncatus 1 28 Juni 10.17 64,25 0 Timur Karang Congkak Mendung 27 31 0,0781 7-10 Tursiops truncatus 1 03 Juli 09.47 56,75 0 Timur Karang Congkak Mendung 26 32 0,0451 7-10 Tursiops truncatus 1 Keterangan: *Konversi kecepatan angin hasil pengamatan secara visual ke dalam Skala Beaufort (Beaufort 1805 in www.spc.noaa.gov ). 17 17

18 4.2. Mamalia Laut dan Karakteristik Lingkungan Kepulauan Seribu 4.2.1. Kedalaman berdasarkan kemunculan mamalia laut Kepulauan seribu merupakan daerah gugusan pulau yang memiliki tipe kedalaman yang berbeda pada tiap wilayahnya. Berdasarkan hasil pengamatan, lokasi kemunculan mamalia laut terdapat di daerah laut terbuka (offshore) dan daerah tubir terumbu karang dengan kedalaman yang berbeda. Pada kemunculan paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens) di perairan Selatan Pulau Payung yang mana perairan tersebut merupakan daerah laut terbuka dan jalur pelayaran kapal, kedalaman tempat kemunculan paus pembunuh palsu berkisar antara 62 82 m. Paus pembunuh palsu menyukai perairan hangat dengan kedalaman perairan yang berkisar antara 38 3000 m (Carwardine 1995). Peta batimetri pada lokasi kemunculan paus pembunuh palsu disajikan dalam Gambar 4. Gambar 4. Peta batimetri perairan Selatan Pulau Payung berdasarkan kemunculan paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens) Lumba-lumba hidung botol merupakan lumba-lumba yang paling sering ditemukan kemunculannya saat pengamatan. Lokasi kemunculan lumba-lumba hidung botol merupakan daerah laut terbuka dan daerah tubir terumbu karang dengan kisaran kedalaman yang berbeda-beda. Kedalaman minimum berdasarkan lokasi kemunculan lumba-lumba hidung botol adalah 2,9 m dan kedalaman maksimum

19 berdasarkan lokasi kemunculan lumba-lumba hidung botol adalah 79 m. Lumbalumba jenis ini merupakan jenis yang umum dijumpai di perairan dengan tingkat adaptasi yang berbeda-beda pada setiap lokasi kemunculan. Leatherwood & Reeves (1983) in Ingram & Rogan (2002) menyatakan bahwa dari seluruh wilayah jelajahnya, lumba-lumba hidung botol umumnya ditemukan di daerah dangkal, dan dekat dengan pantai. Lumba-lumba hidung botol mampu hidup dalam berbagai macam tipe habitat termasuk perairan antar benua (Gomez de Segura et al. 2006; Azzellino et al. 2008 in Baerzi et al. 2008), lagun dan laut dalam (Baerzi et al. 2008), dan perairan di sekitar pulau dan kepulauan (Fortuna et al. 2007 in Baerzi et al. 2008). Lumba-lumba hidung botol mampu menyelam hingga kedalaman 100-250 m. Pada kedalaman tersebut masih dapat ditemukan makanan bagi lumba-lumba (Leatherwood & Reeves 1990 in Birkun 2002). Bentuk dasar topografi dengan kemiringan curam diperkirakan menjadi tempat atau membantu lumba-lumba dalam memangsa ikan (Ballance 1992;Wilson et al. 1997 in Ingram & Rogan 2002). Peta batimetri pada lokasi kemunculan lumba-lumba hidung botol disajikan dalam Gambar 5, Gambar 6, Gambar 7, Gambar 8, Gambar 9, Gambar 10, Gambar 11, Gambar 12, Gambar 13, dan Gambar 14. Gambar 5. Peta batimetri perairan Gusung Mungu berdasarkan kemunculan lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus)

20 Gambar 6. Peta batimetri perairan Karang Baronang berdasarkan kemunculan lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) Gambar 7. Peta batimetri perairan Utara Pulau Payung berdasarkan kemunculan lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus)

21 Gambar 8. Peta batimetri perairan Pulau Semut berdasarkan kemunculan lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) Gambar 9. Peta batimetri perairan Timur Pulau Opak Besar berdasarkan kemunculan lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus)

22 Gambar 10. Peta batimetri perairan Goba Tipis berdasarkan kemunculan lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) Gambar 11. Peta batimetri perairan Gusung Mengkek berdasarkan kemunculan lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus)

23 Gambar 12. Peta batimetri perairan Timur Karang Lebar berdasarkan kemunculan lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) Gambar 13. Peta batimetri perairan Timur Karang Congkak berdasarkan kemunculan lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus)

24 Gambar 14. Peta batimetri perairan Timur Karang Congkak berdasarkan kemunculan lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) Lumba-lumba paruh panjang (Stenella longirostris) merupakan jenis mamalia laut yang umum dijumpai pada daerah perairan dangkal ataupun daerah perairan dalam. Kedalaman minimum pada lokasi kemunculan lumba-lumba paruh panjang adalah 31,8 m, dan kedalaman maksimum pada lokasi kemunculan adalah 72,8 m. Daerah kemunculan lumba-lumba paruh panjang merupakan daerah laut terbuka. Menurut Norris & Dohl (1980) in Di Sciara et al. (2009) saat siang lumba-lumba paruh panjang diketahui bergerak ke daerah perairan dangkal terutama daerah karang, dikarenakan untuk melindungi diri dan menghindari pemangsa seperti ikan hiu. Ketika berada di daerah karang, lumba-lumba paruh panjang ditemukan di daerah yang relatif dangkal (kebanyakan kurang dari 20 m) (Di Sciara et al. 2009). Peta batimetri pada lokasi kemunculan lumba-lumba paruh panjang disajikan dalam Gambar 15, Gambar 16, dan Gambar 17.

25 Gambar 15. Peta batimetri perairan Karang Baronang berdasarkan kemunculan lumba-lumba paruh panjang (Stenella longirostris) Gambar 16. Peta batimetri perairan Utara Pulau Payung berdasarkan kemunculan lumba-lumba paruh panjang (Stenella longirostris)

26 Gambar 17. Peta batimetri perairan Pulau Pari berdasarkan kemunculan lumba-lumba paruh panjang (Stenella longirostris) Lumba-lumba biasa (Delphinus delphis) memiliki wilayah sebaran yang cukup luas termasuk wilayah perairan tropis. Lumba-lumba ini ditemukan pada kedalaman yang berbeda-beda di setiap lokasi kemunculan. Berdasarkan hasil pengamatan, kedalaman minimum pada lokasi kemunculan lumba-lumba ini adalah 3,3 m dan kedalaman maksimum adalah 39,4 m. Bourreau & Gannier (2003) in www.cms.int () menyatakan bahwa lumba-lumba di laut Mediterania ditemukan pada daerah dangkal pada kemiringan perairan yang curam dengan kedalaman 480 m. Selain itu, dari hasil pengamatan lumba-lumba biasa yang ditemukan di Kepulauan Seribu berada pada daerah inshore (dekat pantai) dan offshore (laut terbuka). Di perairan laut Hitam, lumba-lumba biasa ditemukan di perairan dekat pantai sampai ke daerah laut lepas (Reyes 1991 in www.cms.int ). Pada umumnya lumba-lumba biasa dapat ditemui pada daerah offshore pada musim panas dan musim gugur (Neumann & Orams 2005). Peta batimetri pada lokasi kemunculan lumba-lumba biasa disajikan dalam Gambar 18 dan Gambar 19.

27 Gambar 18. Peta batimetri perairan Gusung Mungu berdasarkan kemunculan lumba-lumba biasa (Delphinus delphis) Gambar 19. Peta batimetri perairan Pulau Semut berdasarkan kemunculan lumba-lumba biasa (Delphinus delphis)

28 Kepulauan seribu merupakan daerah gugusan pulau yang memiliki tipe kedalaman yang berbeda pada tiap wilayahnya. Kedalaman di kawasan Kepulauan Seribu berkisar antara 5 90 m (Mihardja dan Pranowo 2001). Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa mamalia laut yang ditemukan di Kepulauan Seribu memiliki kemampuan adaptasi menurut kedalaman yang berbeda-beda di setiap lokasi kemunculan. Tingkat kedalaman dapat mempengaruhi beberapa aktivitas bagi mamalia laut. Beberapa aktivitas yang dilakukan mamalia laut pada tingkat kedalaman tertentu antara lain mencari makan, berenang di dekat permukaan, dan melakukan perkawinan. Pada kedalaman 200-300 m lumba-lumba umumnya melakukan aktivitas berupa mencari makan, dan pada kedalaman 2-7,2 m ditemukan lumba-lumba yang melakukan proses percumbuan atau kawin (Karczmarski et al. 1997). 4.2.2. Kecepatan arus permukaan dan angin berdasarkan kemunculan mamalia laut Arus yang merupakan perpindahan masa air berperan dalam membawa fitoplankton, zooplankton, dan larva ikan atau udang dari daerah perairan dangkal menuju tengah laut atau sebaliknya. Menurut Gross (1972) in Akbar (2008) arus merupakan gerakan horizontal atau vertikal dari masa air laut menuju kestabilan yang terjadi secara terus-menerus. Pada saat kemunculan paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens) kecepatan arus permukaan yang diperoleh adalah 0,0478 m/s. Sedangkan saat kemunculan lumba-lumba hidung Botol (Tursiops truncatus), lumba-lumba paruh panjang (Stenella longirostris), dan lumba-lumba biasa (Delphinus delphis) kecepatan arus permukaan yang diperoleh berkisar antara 0,0207-0,2098 m/s. Beberapa spesies lumba-lumba dijumpai berenang di depan atau samping kapal dengan memanfaatkan arus yang dihasilkan oleh kapal. Arus yang terdapat di perairan dimanfaatkan lumba-lumba untuk menghemat energi saat melakukan aktivitas renang (Andersen 1969). Arus yang terlalu kencang diduga tidak terlalu disukai oleh lumba-lumba. Hal ini diduga berkaitan dengan aktivitas lumba-lumba dalam mencari makan. Arus yang terlalu kencang akan menyulitkan lumba-lumba dalam menangkap mangsanya, dan akan mengurangi energi lumba-lumba saat melakukan pemangsaan ataupun saat berenang. Kecepatan angin yang bertiup di Kepulauan Seribu bergantung kepada jenis musim angin yang bertiup. Berdasarkan hasil pengamatan, kecepatan angin yang

29 diperoleh setelah dikonversi dengan skala Beaufort berkisar antara 1 10 knot. Pada saat kemunculan paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens) kecepatan angin permukaan yang diperoleh berkisar antara 1-3 knot. Kemunculan lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) di Kepulauan Seribu memiliki kisaran kecepatan angin permukaan antara 1-10 knot. Kecepatan angin permukaan saat kemunculan lumba-lumba paruh panjang (Stenella longirostris) berkisar antara 1-3 knot dan 7-10 knot. Untuk Kecepatan angin permukaan saat kemunculan lumba-lumba biasa (Delphinus delphis) adalah 4-6 knot dan 7-10 knot. Beaufort (1805) in www.spc.noaa.gov () mengatakan bahwa bentuk permukaan air pada kecepatan angin 1-3 knot akan membuat permukaan terlihat beriak dan tidak ada buih pada puncak gelombang. Untuk kecepatan angin 4-6 knot pada permukaan air akan terbentuk gelombang kecil, puncak gelombang mulai terlihat, dan gelombang tidak pecah. Untuk kecepatan angin 7-10 knot gelombang yang terbentuk mulai besar, puncak gelombang mulai pecah, dan mulai terbentuk buih saat pecah gelombang. Menurut Noor (2003) kecepatan angin yang bertiup di Kepulauan Seribu saat musim Barat berkisar antara 7-15 knot/jam, dan saat musim Timur berkisar antara 7-20 knot/jam. Berdasarkan hal tersebut, mamalia laut yang ditemukan di Kepulauan Seribu memiliki tingkat adaptasi terhadap kecepatan angin yang berbeda-beda. Kecepatan angin akan mempengaruhi bentuk gelombang yang terbentuk saat kemunculan. Gelombang yang terbentuk pada permukaan air diduga dapat mempengaruhi perilaku mamalia laut. Hasil pengamatan secara visual saat kemunculan mamalia laut menunjukkan bahwa pada kecepatan angin permukaan 1-3 knot mamalia laut melakukan aktivitas berenang secara bergerombol pada permukaan air (travelling) lebih lama. Sedangkan pada kecepatan angin permukaan 4-10 knot mamalia laut melakukan aktivitas berenang secara bergerombol pada permukaan air (travelling) lebih cepat. 4.2.3. Suhu permukaan berdasarkan kemunculan mamalia laut Suhu menjadi faktor yang sangat berperan dalam proses fisiologis bagi seluruh organisme, baik pada ikan maupun pada mamalia laut. Suhu juga dapat berperan dalam penyebaran organisme yang ada di perairan. Dari hasil pengamatan, diperoleh nilai suhu permukaan laut saat kemunculan paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens) adalah 32 C. Paus pembunuh palsu menyukai perairan yang hangat (Carwardine 1995). Bruyns (1971) in Kastelein et al. (2000) menyatakan bahwa paus

30 pembunuh palsu yang ada di alam liar hidup pada suhu permukaan di atas 20 0 C, dan kadang-kadang mereka juga dijumpai pada suhu 9 0 C (Stacey & Baird 1991 in Kastelein et al. (2000). Menurut Odell & McClune (1999) in Kastelein et al. (2000) diduga bahwa paus pembunuh palsu memiliki pola makan musiman yaitu pada saat musim panas. Lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) merupakan jenis mamalia laut yang mampu hidup pada kisaran suhu yang berbeda pada tiap lokasi kemunculan. Berdasarkan hasil pengamatan, kisaran suhu permukaan saat kemunculan lumbalumba hidung botol adalah 26-32 0 C. Di daerah pantai Utara Amerika, lumba-lumba paruh panjang sering dijumpai pada suhu permukaan 10-32 0 C (Wells & Scott 1999 in www.iucnredlist.org ). Lumba-lumba paruh panjang (Stenella longirostris) merupakan lumba-lumba yang mampu hidup pada beberapa jenis tipe habitat. Dari hasil pengamatan, suhu permukaan yang didapat saat kemunculan lumba-lumba paruh panjang berkisar antara 31-32 0 C. Di daerah perairan Barat Daya Samudera Atlantik, lumba-lumba paruh panjang dtemukan pada suhu permukaan yang berkisar antara 22-30 0 C (Moreno et al. 2005). Lumba-lumba biasa (Delphinus delphis) memiliki wilayah sebaran yang cukup luas termasuk wilayah perairan tropis maupun subtropis. Berdasarkan hasil pengamatan, diperoleh nilai suhu permukaan saat kemunculan lumba-lumba biasa adalah 31 0 C. Cawardine (1995) in www.cms.int () menyatakan bahwa lumbalumba biasa dapat dijumpai pada kisaran suhu permukaan antara 10-20 0 C. Selain itu, lumba-lumba biasa juga dapat hidup pada perairan hangat. Wells et al. (1999) in Burgess (2006) mengatakan suhu air laut dapat mempengaruhi suhu tubuh saat beraktivitas dan pada saat memangsa makanan. Suhu permukaan di Kepulauan Seribu pada musim Barat berkisar antara 28.5 30 C, dan pada musim Timur suhu permukaan berkisar antara 28.5-31 C (Dinas Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta 1998 in Noor 2003). Bruyns (2001) in Ali (2006) menyatakan bahwa lumba-lumba memiliki kisaran suhu yang disukai sebagai habitat hidupnya yaitu 26 31 C. Untuk kestabilan suhu, cetacea memiliki lapisan lemak dibawah kulitnya. Lemak terdapat pula di bagian lain dari tubuh, dengan jumlah sekitar 50% dari berat tubuhnya. Lapisan lemak tersebut untuk mempertahankan kondisi tubuh tetap pada suhu 36-37 C, walaupun hidup pada lingkungan dengan suhu kurang dari 25 C dan mungkin dibawah 10 0 C (Reseck 1998). Selain berfungsi

31 sebagai penahan panas tubuh, lemak pada cetacea juga digunakan sebagai bentuk adaptasi terhadap daya apung (Nybakken 1992). Berdasarkan hal tersebut, dapat diduga bahwa mamalia laut yang ditemukan dapat beradaptasi dengan suhu di Kepulauan Seribu. Pada umumnya suhu perairan sangat berpengaruh terhadap migrasi mamalia laut, baik paus maupun lumba-lumba. Suhu perairan mempengaruhi penyebaran dan ketersediaan makanan bagi mamalia laut. Selain itu, mamalia laut yang umumnya berdarah panas lebih memilih perairan tropis yang relatif hangat dan perubahan suhu perairannya relatif kecil sebagai tujuan migrasi. Adanya perubahan iklim yang berdampak terhadap peningkatan suhu permukaan laut mengakibatkan terganggunya jalur migrasi dan waktu migrasi dari lumba-lumba. Sebagian dari paus atau lumbalumba hidup pada perairan yang hangat. Migrasi yang dilakukan mamalia ke daerah ekuator dari arktik dan antartika bertujuan untuk mendapatkan makanan dan untuk beradaptasi terhadap suhu hangat (Andersen 1969). 4.2.4. Salinitas berdasarkan kemunculan mamalia laut Salinitas air laut dapat memberikan pengaruh terhadap aktivitas organisme perairan. Salinitas umumnya berpengaruh terhadap osmoregulasi organisme perairan sebagai bentuk adaptasi. Dari hasil penelitian, nilai salinitas permukaan yang diperoleh saat kemunculan paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens) adalah 32 0 / 00. Untuk kemunculan lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) nilai salinitas permukaan saat pengamatan berkisar antara 30-32 0 / 00. Pada beberapa wilayah seperti di Guayaquil, salinitas perairan mempengaruhi distribusi dari lumbalumba hidung botol. Lumba-lumba hidung botol yang hidup di wilayah ini hidup disekitar daerah muara, yang mana tingkat salinitasnya mengalami perubahan karena adanya run off dari daerah daratan atau sungai. Pada daerah ini, lumba-lumba hidung botol lebih memilih daerah yang sedikit jauh dari muara untuk menghindari perubahan salinitas yang terjadi akibat run off (Felix 1994). Nilai salinitas yang diperoleh saat kemunculan lumba-lumba paruh panjang (Stenella longirostris) berkisar antara 30-32 0 / 00. Kisaran salinitas saat kemunculan lumba-lumba biasa (Delphinus delphis) adalah 30-31 0 / 00. Salinitas permukaan Kepulauan Seribu berkisar antara 30-34 0 / 00 (Dinas Perikanan dan Kelautan DKI Jakarta 1998 in Noor 2003). Perairan Kepulauan Seribu termasuk perairan laut lepas, yang mana tingkat perubahan salinitas permukaan air laut tidak terlalu besar. Selain

32 itu, daerah Kepulauan Seribu tidak mendapatkan pengaruh run off dari daratan yang dapat merubah nilai salinitas. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa mamalia laut yang ditemukan mampu beradaptasi dengan kondisi salinitas di Kepulauan Seribu. Nilai salinitas juga dapat mempengaruhi distribusi dari lumbalumba. Distribusi lumba-lumba karena salinitas umumnya dipengaruhi oleh perbedaan tipe habitat pada lokasi kemunculan lumba-lumba di dunia. Menurut Gawarkiewicz et al. (1998) in Ali (2006) distribusi lumba-lumba dibatasi oleh gradien salinitas di permukaan laut. 4.2.5. Pasang surut berdasarkan kemunculan mamalia laut Pasang surut terjadi akibat adanya gaya gravitasi antara bulan, bumi, dan matahari. Pasang surut sangat berpengaruh terhadap kondisi biota laut yang berada di perairan dangkal atau pantai dan biota yang berada di tengah laut atau laut lepas (Jong Huat 2003 in www.o-fish.com ). Dari hasil pengamatan yang dilakukan, saat kemunculan paus pembunuh palsu (Pseudorca crassidens) kondisi perairan sedang surut. Lokasi kemunculan paus pembunuh palsu berada pada perairan laut terbuka. Untuk kemunculan lumba-lumba hidung botol (Tursiops truncatus) kondisi perairan sedang mengalami surut maupun pasang. Lokasi kemunculan lumba-lumba hidung botol saat surut berada pada daerah perairan laut terbuka, dan saat air pasang, lumba-lumba ini ditemukan dekat dengan daerah tubir terumbu karang. Air pasang memberikan pengaruh terhadap gerak renang lumba-lumba. Irvine & Wells (1972) in Harzen (1998) mengatakan bahwa Dekat Sarasota, Florida, lumba-lumba memanfaatkan arus air pasang menuju perairan dangkal dekat dengan lamun untuk mencari makan terutama memangsa ikan. Kondisi perairan saat lumba-lumba paruh panjang (Stenella longirostris) muncul adalah saat kondisi surut. Lokasi kemunculan lumba-lumba paruh panjang adalah pada perairan laut terbuka. Saat kemunculan lumba-lumba biasa (Delphinus delphis) kondisi perairan sedang surut, dan lokasi kemunculan juga berada pada perairan laut terbuka. Pada saat air surut, arus air surut akan membawa makanan bagi biota laut yang hidup di tengah laut. Arus laut saat air surut akan membawa fitoplankton, zooplankton, dan ikan-ikan kecil ke tengah laut, sehingga terjadi supply makanan di daerah tengah laut (Jong Huat 2003 in www.o-fish.com ). Pada saat kondisi air pasang, arus laut akan kembali membawa biota yang menjadi supply makanan ke

33 daerah perairan dangkal (Jong Huat 2003 in www.o-fish.com ). Paus pembunuh palsu dan lumba-lumba yang muncul pada daerah laut terbuka saat air surut memanfaatkan arus air surut untuk mendapatkan makanan yang lebih banyak di daerah perairan laut terbuka. Sedangkan lumba-lumba yang muncul pada daerah dekat tubir terumbu karang memanfaatkan arus air pasang yang membawa makanan ke daerah terumbu karang. Berdasarkan hal tersebut dapat diketahui bahwa mamalia laut yang ditemukan di Kepulauan Seribu memanfaatkan arus air saat terjadi pasang surut air laut. Keberadaan arus air saat pasang maupun surut diduga dapat membantu lumba-lumba maupun paus pembunuh palsu untuk mendapatkan makanan, sehingga mamalia laut tersebut lebih efisien untuk mengeluarkan energi saat mencari makan dan berenang dengan memanfaatkan arus air tersebut. 4.3. Kemunculan Mamalia Laut Berdasarkan Waktu dan Perkiraan Posisi Sudut Matahari Pada Tabel 1. dapat diketahui bahwa waktu kemunculan dari mamalia laut di Kepulauan Seribu paling banyak berada pada selang waktu 08.01-12.00 WIB, dan mamalia laut yang paling sedikit muncul berada pada selang waktu 12.01-17.00 WIB. Berdasarkan hal tersebut dapat diduga bahwa posisi matahari dan waktu kemunculan dapat mempengaruhi perilaku mamalia laut di perairan. Berdasarkan pengamatan perilaku secara visual, aktivitas yang dilakukan saat selang waktu 08.01-12.00 WIB adalah travelling (berenang bergerombol), resting (berenang secara perlahan), dan foraging (mencari makan). Pada Tabel 3. mempengaruhi suhu permukaan air laut. dapat diketahui bahwa posisi sudut matahari diduga dapat Selain posisi sudut matahari, nilai suhu permukaan laut juga diduga dipengaruhi kondisi cuasa saat pengamatan. Menurut hasil pengamatan, pada selang pukul 08.01-12.00 WIB suhu permukaan laut relatif lebih sejuk dan hangat dengan kisaran suhu antara 26-32 0 C. Sedangkan pada selang pukul 12.01-17.00 WIB suhu permukaan laut 32 0 C. Semakin tinggi posisi matahari sudut datang cahaya yang terbentuk akan semakin besar dan akan mempengaruhi suhu permukaan laut. Berdasarkan hal tersebut, kemunculan mamalia laut diduga dipengaruhi posisi ketinggian matahari. Mamalia laut relatif menyukai suhu permukaan yang relatif sejuk dan hangat untuk beraktivitas dan menghindari suhu permukaan laut yang panas. Menurut hasil penelitian Siahaninenia (2008) di pantai Lovina Bali, menyatakan bahwa kemunculan lumba-lumba terjadi paling banyak pada

34 pukul 09.00-11.00 WIB. Lammers et al. (2001) in Siahaninenia (2008) mengatakan bahwa perjumpaan dengan lumba-lumba paruh panjang lebih banyak terjadi pada pagi hari dibandingkan pada sore hari. Sedangkan menurut Setiawan (2004) mengatakan bahwa di perairan Taman Nasional Komodo kemunculan mamalia laut lebih sering terlihat pada pukul 15.30-18.00 WIB. Hal ini diduga karena mamalia laut menuju suatu tempat untuk istirahat setelah melakukan aktivitas pada pagi dan siang hari. 4.4. Aspek Pengelolaan Habitat satwa liar di perairan laut yang semakin terdesak oleh aktivitas manusia yang cenderung merusak, membuat kualitas habitat semakin memburuk. Pencemaran domestik ataupun pencemaran dari daerah daratan, dan penggunaan bahan peledak saat penangkapan merupakan aktivitas manusia yang merusak kondisi habitat satwa liar. Habitat merupakan rumah bagi setiap satwa liar baik satwa terestrial maupun satwa aquatic khususnya mamalia laut. Perlindungan habitat bagi mamalia laut dengan pola distribusi yang luas paling baik dilakukan melalui pendekatan Manajemen Berbasis Ekosistem, dengan membuat jaringan Sea Mammal Sanctuary atau Daerah Perlindungan Laut (DPL), dimana tetap memperhatikan kepentingan manusia seperti wisata dan penangkapan ikan. Manajemen Berbasis Ekosistem merupakan suatu kebijakan untuk mengelola ekosistem, baik dari segi pemanfaatan maupun nilainya, dengan melibatkan seluruh stakeholder untuk memelihara kesatuan ekologi walaupun dihadapkan pada ketidakpastian dan perubahan ekosistem secara alami. Pengelolaan terhadap aktivitas penangkapan ikan, polusi suara dan kimia, dan lalu lintas pelayaran dibutuhkan untuk mengurangi dampak buruk dan untuk memelihara fungsi ekosistem. Perlindungan terhadap habitat kritis melalui Manajemen Berbasis Ekosistem memberikan manfaat bagi seluruh pihak, baik untuk ekosistem maupun kepentingan manusia (Hoyt 2005). Pendekatan Manajemen Berbasis Ekosistem dapat diterapkan di kawasan Kepulauan Seribu, dimana terdapat banyak gugus karang. Terumbu karang yang menjadi produsen, tempat mencari makan, tempat memijah beberapa biota, dan tempat belindung bagi beberapa jenis ikan termasuk lumba-lumba. Pemakaian bahan beracun seperti potassium (K) yang masih dilakukan masyarakat Kepulauan Seribu di beberapa lokasi karang untuk menangkap ikan sangat membahayakan kehidupan biota yang hidup berasosiasi dengan karang. Rusaknya daerah terumbu karang, akan berpengaruh kepada penurunan stok ikan yang ada di perairan Kepulauan Seribu,

35 yang kemungkinan ikan tersebut merupakan makanan bagi lumba-lumba. Selain itu, perlu ditingkatkannya sifat kearifan lokal dari masyarakat Kepulauan Seribu untuk tidak merusak habitat satwa liar, dan tidak melakukan perburuan satwa liar seperti lumba-lumba untuk tetap menjaga kelestarian ekosistem laut.