II. TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
KAJIAN PROSES PEMURNIAN MINYAK NYAMPLUNG SEBAGAI BAHAN BAKAR NABATI SKRIPSI SYELLY FATHIYAH F

TINJAUAN PUSTAKA Motor Bakar Diesel

RANCANG BANGUN ELEMEN PEMANAS BAHAN BAKAR MINYAK NYAMPLUNG UNTUK MOTOR BAKAR DIESEL DENGAN MEMANFAATKAN PANAS GAS BUANG SKRIPSI

I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. nabati lebih dari 5 %. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)

II. TINJAUAN PUSTAKA II. 1. TANAMAN NYAMPLUNG

PEMURNIAN MINYAK NYAMPLUNG DAN APLIKASINYA SEBAGAI BAHAN BAKAR NABATI REFINING OF CALOPHYLLUM OIL AND ITS APPLICATION AS BIOFUEL ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. MOTOR BAKAR Pengertian Umum

II. TINJAUAN PUSTAKA. sawit kasar (CPO), sedangkan minyak yang diperoleh dari biji buah disebut

PEMBUATAN BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG MENGGUNAKAN PEMANASAN GELOMBANG MIKRO

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HASIL HUTAN (P3HH) TELAH MELAKSANALKAN PENELITIAN PEMBUATAN BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG

OPTIMASI KEBUTUHAN H 3 PO 4 PADA PEMBUATAN PPO NYAMPLUNG UNTUK BIOFUEL

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

4 Pembahasan Degumming

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Lemak dan minyak adalah golongan dari lipida (latin yaitu lipos yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Karakterisasi Minyak Jarak. B. Pembuatan Faktis Gelap

: Muhibbuddin Abbas Pembimbing I: Ir. Endang Purwanti S., MT

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Penelitian Pendahuluan (Pembuatan Biodiesel)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH STIR WASHING, BUBBLE WASHING, DAN DRY WASHING TERHADAP KADAR METIL ESTER DALAM BIODIESEL DARI BIJI NYAMPLUNG (Calophyllum inophyllum)

Memiliki bau amis (fish flavor) akibat terbentuknya trimetil amin dari lesitin.

Jurnal Flywheel, Volume 3, Nomor 1, Juni 2010 ISSN :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Rekayasa Proses Produksi Biodiesel

II. TINJAUAN PUSTAKA. minyak yang disebut minyak sawit. Minyak sawit terdiri dari dua jenis minyak

Proses Pembuatan Biodiesel (Proses Trans-Esterifikasi)

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. satu yang termasuk dalam famili palmae. Nama genus Elaeis berasal dari bahasa

II. TINJAUAN PUSTAKA

MANFAAT DARI BEBERAPA JENIS BLEACHING EARTH TERHADAP WARNA CPO (CRUDE PALM OIL)

BAB VI HASIL DAN PEMBAHASAN

PROSES TRANSESTERIFIKASI MINYAK BIJI KAPUK SEBAGAI BAHAN DASAR BIODIESEL YANG RAMAH LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. Isu kelangkaan dan pencemaran lingkungan pada penggunakan bahan

PEMBUATAN BIODIESEL DARI ASAM LEMAK JENUH MINYAK BIJI KARET

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dan Ca-Bentonit. Na-bentonit memiliki kandungan Na +

III. METODOLOGI PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

METODOLOGI PENELITIAN

Bab IV Hasil dan Pembahasan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penggolongan minyak. Minyak mineral Minyak yang bisa dimakan Minyak atsiri

II. DESKRIPSI PROSES

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. minyak ikan paus, dan lain-lain (Wikipedia 2013).

I. PENDAHULUAN. menurun. Penurunan produksi BBM ini akibat bahan bakunya yaitu minyak

BAB I PENDAHULUAN. Studi komparansi kinerja..., Askha Kusuma Putra, FT UI, 2008

PROSES PEMBUATAN BIODIESEL MINYAK JARAK PAGAR (Jatropha curcas L.) DENGAN TRANSESTERIFIKASI SATU DAN DUA TAHAP. Oleh ARIZA BUDI TUNJUNG SARI F

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini dunia sedang menghadapi kenyataan bahwa persediaan minyak. bumi sebagai salah satu tulang punggung produksi energi semakin

PENGEMBANGAN TANAMAN NYAMPLUNG (CALOPHYLLUM INOPHYLLUM L) Oleh H. Marthias Dawi

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pangan yang digunakan untuk menghasilkan minyak goreng, shortening,

BAB I PENDAHULUAN. tropis seperti di pesisir pantai dan dataran tinggi seperti lereng gunung.

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

KEMIRI SUNAN. (Aleurites trisperma BLANCO) Kemiri sunan (Aleurites trisperma Blanco) atau kemiri China atau jarak Bandung (Sumedang)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Lemak dan minyak merupakan sumber energi yang efektif dibandingkan dengan karbohidrat dan protein Satu gram lemak atau minyak dapat menghasilkan 9

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan energi dunia saat ini telah bergeser dari sisi penawaran ke sisi

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. METODOLOGI F. ALAT DAN BAHAN

Oleh : PABRIK BIODIESEL DARI MINYAK NYAMPLUNG DENGAN PROSES TRANSESTERIFIKASI (METODE FOOLPROOF)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang dan Permasalahan Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

2 Tinjauan Pustaka. Berikut merupakan taksonomi tanaman nyamplung

PENDAHULUAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PENGARUH STIR WASHING

BAB I PENDAHULUAN. Krisis energi yang terjadi di berbagai negara di belahan dunia saat ini

BAB I PENDAHULUAN. bahan dasar seperti kelapa sawit, kelapa, kedelai, jagung, dan lain-lain. Meski

BAB 11 TINJAUAN PUSTAKA. yang jika disentuh dengan ujung-ujung jari akan terasa berlemak. Ciri khusus dari

: Dr. Rr. Sri Poernomo Sari ST., MT.

PENGARUH PENAMBAHAN ASAM PADA PROSES PEMURNIAN MINYAK JARAK PAGAR KASAR

II. TINJAUAN PUSTAKA. dan banyak tumbuh di Indonesia, diantaranya di Pulau Jawa, Madura, Sulawesi,

III. METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Potensi PKO di Indonesia sangat menunjang bagi perkembangan industri kelapa

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

I. PENDAHULUAN. Metil ester sulfonat (MES) merupakan golongan surfaktan anionik yang dibuat

I. PENDAHULUAN. Kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq) merupakan salah satu tanaman perkebunan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

ISOLASI BAHAN ALAM. 2. Isolasi Secara Kimia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Biomassa adalah segala material yang berasal dari tumbuhan atau hewan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ANALISIS KADAR BIOETANOL DAN GLUKOSA PADA FERMENTASI TEPUNG KETELA KARET (Monihot glaziovii Muell) DENGAN PENAMBAHAN H 2 SO 4

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TANAMAN NYAMPLUNG Tanaman nyamplung (Gambar 1) dapat ditemukan di Madagaskar, Afrika Timur, Asia Selatan dan Tenggara, Kepulauan Pasifik, Hindia Barat, dan Amerika Selatan. Tumbuhan ini memiliki nama yang berbeda di setiap daerah, seperti bintangor di Malaysia, hitaulo di Maluku, nyamplung di Jawa, bintangur di Sumatera, poon di India, dan di Inggris dikenal dengan nama Alexandrian lzaurel, tamanu, pannay tree, serta sweet scented calophyllum (Dweek dan Meadows, 2002). Taksonomi tanaman nyamplung menururt Hyene (1987) adalah sebagai berikut : Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledone Bangsa : Guttiferales Suku : Guttiferae Marga : Calophyllum Jenis : Calophyllum inophyllum L. Nama umum : Nyamplung Gambar 1. Tanaman nyamplung Di Indonesia, nyamplung dapat ditemui hampir di seluruh daerah, terutama di daerah pesisir pantai, antara lain : Taman Nasional Alas Purwo, Taman Nasional Kepulauan Seribu, Taman Nasional Baluran, Taman Nasional Ujung kulon, Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Kawasan Wisata Batu Karas, Pantai Carita Banten, Pulau Yapen Jayapura, Biak, Nabire, Manokwari, Sorong, Fakfak (wilayah Papua), Halmahera dan Ternate (Maluku Utara), dan Taman Nasional Berbak (Pantai Barat Sumatera). Luas areal tegakan tanaman nyamplung mencapai 255,35 ribu ha yang tersebar dari Sumatera sampai Papua (Balitbang Kehutanan, 2008). Daerah penyebaran nyamplung diantaranya adalah Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi, Maluku dan NTT (Tabel 1).

Tabel 1. Potensi tegakan alami nyamplung di Indonesia Luasan Lahan Potensial Budidaya Nyamplung (ha) No. Wilayah Bertegakan Nyamplung Tanah Kosong dan Belukar Total 1 Sumatera 7 400 16 800 24 200 2 Jawa 2 200 3 400 5 600 3 Bali dan Nusa Tenggara 15 700 4 700 20 400 4 Kalimantan 10 100 19 200 29 300 5 Sulawesi 3 100 5 900 9 000 6 Maluku 8 400 9 700 18 100 7 Irian Jaya Barat 28 000 34 900 62 900 8 Papua 79 800 16 400 96 200 9 Seluruh Wilayah 177 100 107 100 284 200 Total 549 900 (Sumber : Balitbang Kehutanan, 2008) Hutan nyamplung dikelola secara profesional oleh Perum Perhutani Unit I KPH Kedu Selatan Jawa Tengah dengan luas mencapai 196 ha. Nyamplung juga dikembangkan oleh masyarakat Cilacap khususnya di sekitar kecamatan Patimuan dan daerah Gunung Selok kecamatan Kroya/Adipala. Mereka memanfaatkan kayu nyamplung untuk pembuatan perahu nelayan. Sejak tahun 2007, Dinas Kehutanan Perkebunan Kabupaten Cilacap telah menanam 135 ha di lahan TNI Angkatan Darat sepanjang pantai laut selatan, dan pada tahun 2008 direncanakan menanam tanaman nyamplung seluas 300 ha. A B Gambar 2. Buah (A) dan biji (B) nyamplung Buah nyamplung (Gambar 2) memiliki biji yang berpotensi menghasilkan minyak nyamplung, terutama biji yang sudah tua. Kandungan minyaknya mencapai 50-70% (basis kering) dan mempunyai daya kerja dua kali lipat lebih lama dibandingkan minyak tanah. Tabel 2. Kandungan biji nyamplung Kandungan Nilai (%) Minyak 50-70 Abu 1,7 Protein kasar 6,2 Pati 0,34 Air 10,8 Hemiselulosa 19,4 Selulosa 6,1 (Sumber : Kilham, 2003)

2.2 MANFAAT NYAMPLUNG Tanaman nyamplung berbuah sepanjang tahun terutama pada bulan September-November. Produktivitas biji keringnya tinggi, yaitu ± 10 ton dari jarak tanam 5 x 10 m. Kadar minyak yang dihasilkan dari biji nyamplung cukup tinggi, berkisar antara 50-70% dari kapasitas total minyak yang diekstrak. Selain itu cangkang bijinya dapat digunakan untuk membuat briket arang dan arang aktif. Selain minyak, kayu pohon nyamplung telah lama menjadi kayu komersial, terutama sebagai bahan baku pembuatan kapal, furniture, dan material pembuatan rumah, karena kayu ini memiliki ketahanan yang tinggi terhadap organisme penggerek kayu di laut serta rayap (Balitbang Kehutanan, 2008). Minyak nyamplung banyak mengandung resin dan senyawa lain yang dapat dijadikan produk samping seperti coumarine, calanolide-a dan calanolide-b yang berkhasiat sebagai obat HIV/AIDS, soulattrolide yang berperan sebagai anti HIV, calanon sebagai antitumor dan antibakteri, dan xanthone yang memiliki antiproliferasi yang kuat untuk menghambat pertumbuhan sel kanker dan bersifat apoptosis atau mendukung penghancuran sel kanker (Hartati, 2001). 2.3 MINYAK NYAMPLUNG Minyak nyamplung merupakan minyak kental, berwarna coklat kehijauan, beraroma menyengat seperti karamel dan beracun. Minyak nyamplung dihasilkan dari buah yang telah matang dan mempunyai fungsi penyembuhan untuk jaringan terbakar (Kilham, 2003). Minyak nyamplung mempunyai kandungan asam lemak tidak jenuh yang cukup tinggi seperti asam oleat serta komponen komponen tak tersabunkan diantaranya alkohol lemak, sterol, xanton, turunan koumarin, kalofilat, isokalofilat, isoptalat, dan kapelierat yang dapat dimanfaatkan sebagai obat. Menurut Debaut et al. (2005), karakterisasi asam lemak penyusun minyak nyamplung dapat dilihat pada Tabel 3. Kandungan minyak nyamplung (Gambar 3) tergolong tinggi dibandingkan tanaman lainnya, seperti jarak pagar (40-60%) dan sawit (46-54%). Menurut Heyne (1987), minyak nyamplung digunakan sebagai obat oles dengan nama ndilo-olie. Minyak nyamplung di beberapa daerah digunakan untuk penerangan (Dweek dan Meadows, 2002; Lele, 2005). A B Gambar 3. Minyak nyamplung kasar (A) dan minyak yang telah dimurnikan (B)

Tabel 3. Karakteristik minyak nyamplung Karakterisasi Komposisi Warna Hijau Kondisi cairan Kental Bilangan Iod (mg Iod/ g minyak) 100 115 Berat jenis pada suhu 20 o C (g/cm 3 ) 0,920 0,940 Indeks Refrasi 1,4750 1,4820 Bilangan Peroksida (meq/kg) < 20,0 Fraksi lipid 98 99,5% Jenis asam lemak (%) : Asam Palmitat (C16 : 0) 15 17 Asam Palmitoleat (C16 : 1) 0,5 1 Asam Stearat (C18 : 0) 8 16 Asam Oleat (C18 : 1) 30 50 Asam Linoleat (C18 : 2) 25 40 Asam Arakhidat (C20 : 0) 0,5 1 Asam Gadoleat (C20 : 1) 0,5 1 Komponen tidak tersabunkan (unsaponifiable) : Fatty alkohol, sterol, xanton, turunan koumarin, kalofilat, 0,5 2% isokalofilat, isoptalat, dan kapelierat (Sumber : Debaut et al., 2005) 2.4 PEMURNIAN MINYAK Pure Plant Oil (PPO) atau biofuel adalah minyak nabati yang telah melalui proses pemurnian seperti proses degumming (penghilang gum) dan netralisasi. Pada proses pembuatan PPO tidak diperlukan proses bleaching (pemucatan) dan deodorisasi (penghilang bau) (Prihandana et al., 2006). 2.4.1 Degumming Salah satu perlakuan yang umum dilakukan terhadap minyak yang akan dimurnikan dikenal dengan proses pemisahan gum (degumming). Tujuan proses degumming adalah untuk memisahkan minyak dari getah atau lendir yang terdiri dari fosfatida, protein, karbohidrat, residu, air dan resin. Kotoran-kotoran yang tersuspensi tersebut sukar dipisahkan bila berada dalam kondisi anhydrous, sehingga dapat diendapkan dengan cara hidrasi. Hidrasi dapat dilakukan dengan menggunakan uap, penambahan air, atau dengan penambahan larutan asam lemah (Dijkstra dan Van Opstal, 1990). Proses degumming dilakukan dengan menambahkan asam fosfat untuk mengikat senyawa fosfatida yang mudah terpisah dari minyak. Kemudian senyawa tersebut dipisahkan berdasarkan pemisahan berat jenis yaitu senyawa fosfatida berada di bagian bawah dari minyak tersebut. Hasil dari degumming akan memperlihatkan perbedaan yang sangat jelas dari minyak asalnya, yaitu berwarna jernih. Proses degumming juga bertujuan untuk mengurangi pemakaian tanah pemucat (clay) atau campuran tanah pemucat dengan arang aktif pada proses pemucatan. Melalui tahapan

ini upaya mengurangi senyawa fosfolipida dan sejumlah zat-zat pewarna lain akan dapat dicapai (Ketaren, 1986). Asam fosfat merupakan cairan yang tidak berwarna dan tidak berbau. Asam fosfat lebih disukai penggunaannya oleh refiner minyak sawit di Malaysia karena biayanya yang lebih murah dan penanganannya lebih mudah (Morad et al., 2006). Penambahan asam fosfat sebelum netralisasi ke dalam minyak yang mengandung fosfatida yang bersifat nonhydratable umum dipraktekkan untuk menjamin bahwa semua gum telah hilang selama deasidifikasi. Hidrasi dilakukan untuk membuat fosfatida yang larut dalam minyak (tidak larut dalam air) menjadi tidak larut dalam minyak (larut air) dengan penambahan senyawa asam (Basiron, 2005). Menurut Dijkstra dan Van Opstal (1990) asam yang biasa digunakan adalah asam fosfat. Proses degumming dilakukan dengan memanaskan minyak pada suhu 70-80 o C setelah ditambahkan asam fosfat (H 3 PO 4 ) 0,3-0,4% (b/b) dengan konsentrasi 20-60% (b/b). Sementara menurut Akoh dan Min (2002) sebelum netralisasi minyak diberi perlakuan dengan 0,02-0,5% asam fosfat pada suhu 60-90 o C selama 15-30 menit, membuat fosfatida yang kurang larut dalam minyak menjadi lebih mudah dihilangkan. Proses pemisahan gum atau degumming menurut Ketaren (1986) perlu dilakukan sebelum proses netralisasi, dengan alasan : 1. Sabun yang terbentuk dari hasil reaksi antara asam lemak bebas dengan kaustik soda pada proses netralisasi akan menyerap gum (getah dan lendir) sehingga menghambat proses pemisahan sabun (soap stock) dari minyak. 2. Netralisasi minyak yang masih mengandung gum akan menambah partikel emulsi dalam minyak, sehingga mengurangi rendemen trigliserida. Menurut Basiron (2005) perlakuan pendahuluan pemurnian minyak diawali dengan degumming dengan asam fosfat. Konsentrasi asam fosfat yang digunakan adalah 80-85% dengan jumlah 0,05 0,2%, dipanaskan sampai 90-110 o C dalam waktu 15-30 menit. Tujuan penambahan asam fosfat adalah untuk mengendapkan fosfatida yang bersifat nonhydratable menjadi hydratable sehingga dapat dipisahkan dari minyak melalui proses pencucian. Sedangkan menurut O`Brien (2004) asam yang biasanya digunakan adalah asam fosfat 85%, didispersikan dalam minyak pada suhu 80-100 o C sebanyak 0,05-1,2% berat minyak. 2.4.2 Netralisasi Deasidifikasi secara kimia dilakukan dengan cara netralisasi dengan mereaksikan asam lemak bebas dengan basa sehingga membentuk sabun (soapstock). Alkali yang biasa digunakan adalah NaOH. Proses ini dikenal dengan istilah caustic deacidification (Bhosle dan Subramanian, 2005). Basa yang dipilih untuk digunakan dalam percobaan ini adalah NaOH karena NaOH memiliki reaktifitas yang lebih baik (Yang, 2003). Di samping itu, secara ekonomis harganya lebih murah dan mudah didapat di Indonesia. (Paryanto, 2007). a. Netralisasi dengan Kaustik Soda Netralisasi melalui proses kimia dengan alkali, saat ini yang paling umum digunakan adalah dengan kaustik soda. Sabun yang terbentuk dapat membantu pemisahan kotoran seperti fosfatida dan protein dengan cara membentuk emulsi, dan dapat dipisahkan dari minyak dengan cara sentrifugasi (Andersen, 1962). Sabun yang terbentuk dapat membantu pemisahan zat warna dan kotoran seperti fosfatida dan protein, dengan cara membentuk emulsi, dan dapat dipisahkan dari

minyak dengan cara sentrifugasi. Dengan cara hidrasi dan dibantu dengan proses pemisahan sabun secara mekanis, maka netralisasi dengan menggunakan kaustik soda dapat menghilangkan fosfatida, protein, resin, dan suspensi dalam minyak yang tidak dapat dihilangkan dengan proses pemisahan gum. Komponen minor dalam minyak yang berupa sterol, klorofil, vitamin E dan karotenoid hanya sebagian kecil dapat dikurangi dengan proses netralisasi ini (Ketaren, 1986). Efisiensi netralisasi dinyatakan dalam Refining Factor (RF), yaitu Kehilangan total (%) Refining Factor (RF) = Kadar asam lemak bebas dalam minyak (%) Makin kecil nilai RF, maka efisiensi netralisasi makin tinggi. Pemakaian kaustik soda dengan konsentrasi yang terlalu tinggi akan bereaksi sebagian dengan trigliserida sehingga mengurangi rendemen minyak dan menambah jumlah sabun yang terbentuk. Oleh karena itu harus dipilih konsentrasi dan jumlah kaustik soda yang tepat untuk menyabunkan asam lemak bebas dalam minyak. Dengan demikian penyabunan trigliserida dan terbentuknya emulsi dalam minyak dapat dikurangi, sehingga dihasilkan minyak netral dengan rendemen yang lebih besar dan mutu minyak yang lebih baik. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam memilih konsentrasi larutan alkali yang digunakan dalam netralisasi, antara lain kadar asam lemak bebas dari minyak kasar. Makin besar jumlah asam lemak bebas, maka makin besar pula konsentrasi alkali yang digunakan. Selain itu jumlah minyak netral (trigliserida) yang tersabunkan diusahakan serendah mungkin dengan menggunakan larutan alkali secara tepat, karena makin besar konsentrasi larutan alkali yang digunakan, maka kemungkinan sebagian trigliserida yang tersabunkan semakin besar pula sehingga angka RF bartambah besar. Namun semakin encer larutan kaustik soda, semakin besar tendensi larutan sabun untuk membentuk emulsi dengan trigliserida yang menyebabkan kehilangan minyak juga semakin tinggi. Begitupun suhu netralisasi yang dipilih sedemikian rupa, sehingga sabun yang terbentuk dalam minyak dapat mengendap dengan kompak dan cepat. Karena pengendapan yang lambat akan memperbesar kehilangan minyak (sebagian minyak diserap oleh sabun) (Ketaren, 1986). b. Tahap Netralisasi Minyak dimasukkan ke dalam tangki kemudian dipanaskan hingga mencapai suhu 70 o C dan dicampur dengan kaustik soda (konsentrasinya tergantung kadar asam lemak bebas dalam minyak mentah) pada suhu 70-80 o C selama 10-15 menit. Selanjutnya campuran disentrifugasi untuk memisahkan sabun kemudian dicuci dengan air untuk menghilangkan sisa-sisa sabun (Ayorinde et al., 1995). Penambahan alkali dengan jumlah berlebih (excess) bertujuan untuk mengurangi kesalahan perhitungan kebutuhan alkali, sehingga penambahan alkali (kaustik soda) pada netralisasi lebih tepat dan sesuai. Untuk minyak dengan kandungan asam lemak bebas yang rendah dengan kadar asam lemak bebas < 5%, lebih baik dinetralkan dengan alkali encer (konsentrasi lebih kecil dari 0,15 N atau 5 o Be), sedangkan asam lemak bebas dengan kadar asam lemak bebas tinggi, lebih baik dinetralkan dengan larutan alkali 10-24 o Be (Basiron, 2005). Suhu dan waktu yang digunakan dalam proses netralisasi minyak harus dipertimbangkan dengan baik dan dipilih sedemikian rupa sehingga sabun yang

terbentuk dalam minyak mengendap dengan kompak dan cepat. Proses pengendapan yang lambat akan memperbesar kehilangan minyak, sebab sebagian minyak akan diserap oleh sabun. Suhu proses yang tinggi serta waktu proses yang lama dapat merusak pigmen alami minyak (Ketaren, 2005). Pengadukan dilakukan dengan menggunakan agitator, yang dilengkapi dengan lengan penyapu yang masing-masing terdiri dari paddle. Alat ini berfungsi untuk mendorong cairan ke arah atas selama pengadukan. Kecepatan pengadukan yang digunakan pada agitator sebesar 8-10 rpm sampai dengan 30-35 rpm. Pemecahan emulsi dapat terjadi pada suhu sekitar 60 o C dan sabun terpisah dari minyak jernih dengan membentuk flokulan kecil (O`Brien, 2004). Reaksi antara asam lemak bebas dengan NaOH dapat dilihat pada Gambar 4. O O R C OH + NaOH R C ONa + H 2 O Asam Lemak Bebas Basa Sabun Air Gambar 4. Reaksi netralisasi asam lemak bebas Kotoran yang terpisah pada proses netralisasi adalah asam lemak bebas, fosfatida, zat warna, karbohidrat, protein, ion logam, zat padat, dan hasil samping oksidasi (Hendrix, 1990). Netralisasi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu cara kering dan cara basah. Cara kering dilakukan dengan mereaksikan basa tanpa pencucian. Sedangkan cara basah dilakukan pada suhu 60-65 o C, dengan larutan basa encer dan dilanjutkan dengan pencucian. Jumlah NaOH yang digunakan merupakan jumlah stoikhiometri ditambah ekses sebanyak 0,1-0,5% tergantung pada minyak yang akan dinetralkan (Bernardini, 1983). Menurut Sonntag (1982), untuk minyak nabati dan lemak hewan dengan kandungan gum dan pigmen rendah dapat digunakan ekses 0,1 0,2% b/b minyak. Satuan konsentrasi NaOH dalam larutan adalah derajat Baume ( o Be). 2.5 BAHAN BAKAR NABATI (BBN) Bahan Bakar Nabati (BBN) merupakan bahan bakar minyak yang berasal dari tanaman, antara lain berupa biokerosin, bioetanol, biodiesel, biogas, dan biofuel. Biofuel adalah minyak nabati yang telah melalui proses pemurnian seperti proses degumming dan netralisasi. Proses pembuatan biofuel dibuat melalui tahapan ekstraksi minyak yang dilanjutkan dengan pemurnian, dibandingkan dengan biodiesel yang melalui tahap reaksi kimia sebelum pemurniannya (Prihandana dan Hendroko, 2008). Menurut Wahyuni (2006), BBN adalah minyak yang dapat diekstrak dari tumbuhtumbuhan dan limbah biomassa, misalnya tebu, jagung, dan ketela yang mampu menghasilkan bahan bakar sekelas premium (bioetanol), sedangkan minyak jarak, kelapa, nimba dan nyamplung sebagai pengganti minyak tanah dan solar. Biofuel merupakan bahan bakar alternatif bagi bahan bakar fosil, yang diproduksi dari bahan baku yang bersumber dari tanaman.

Beberapa batasan sifat sifat minyak diesel (solar), baik sifat fisika maupun sifat kimia yang harus dipenuhi di dalam penggunaannya adalah : 1. Mesin mudah hidup dalam keadaan dingin. 2. Tidak menimbulkan knocking. 3. Mempunyai kemampuan pengkabutan yang sempurna. 4. Tidak menyebabkan pembentukan kerak (forming deposits). 5. Tidak menimbulkan polusi udara. Tabel 4. Karakteristik solar, bensin, dan kerosin Karakterisasi Solar Bensin Kerosin Sumber Berat Jenis (g/cm 3 ) 0,82-0,87 0,72-0,78 Pertamina, 2005 Angka Setana 45-48 Pertamina, 2005 Nilai Kalor (cal/g) 9355 8250 10124 ASTM : 1991 Titik Tuang ( o C) 65 40 Pertamina, 2003 Titik Didih ( o C) 288-338 205 ASTM : 1991 Kadar Belerang (% berat) < 0,05 0,1 0,2 Pertamina, 2005 Viskositas (cst) 1,6-5,8 Pertamina, 2005 Ramsbottom Residu (% berat) 0,15-0,35 < 2,0 ASTM : 1991 Kadar Air (%) < 0,05 Pertamina, 2005 Kadar Abu (%) < 0,01 ASTM : 1991 Air dan Sedimen (%) 0,05-0,15 ASTM : 1991 Menurut Goering dan Hansen (2004) serta Liljedahl (1989), bahan bakar solar mempunyai sifat sifat yang dapat mempengaruhi kinerja, yaitu tingkat penguapan, viskositas, abu, air dan sedimen, residu karbon, belerang, titik nyala, titik pengembunan, serta bilangan setana.