Lex Administratum, Vol. III/No. 8/Okt/2015

dokumen-dokumen yang mirip
UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN [LN 1999/42, TLN 3821]

TANGGUNG JAWAB HUKUM PELAKU USAHA TERHADAP KONSUMEN Oleh : Sri Murtini Dosen Fakultas Hukum Universitas Slamet Riyadi Surakarta.

3 Celina Tri Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, 4 D.Y. Witanto, Hukum Acara Mediasi (Dalam Perkara

PENYIDIKAN TERHADAP PELAKU USAHA DALAM PERKARA TINDAK PIDANA DI BIDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN 1 Oleh: Merlin M. Paat 2

BUKU SEDERHANA MEMAHAMI PRINSIP-PRINSIP PERLINDUNGAN KONSUMEN

ASPEK PERLINDUNGAN KONSUMEN TERHADAP PROMOSI BARANG DALAM PERDAGANGAN 1 Oleh: Steven Kanter Posumah 2

PERATURAN DAERAH KOTA CIMAHI KOTA

Lex Crimen Vol. VI/No. 7/Sep/2017

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN

Lex Privatum Vol. V/No. 7/Sep/2017

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi

BAB III TINJAUAN UMUM. Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam

Lex Privatum Vol. V/No. 9/Nov/2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lex et Societatis, Vol. V/No. 7/Sep/2017

HAK DAN KEWAJIBAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENERAPAN SANKSI PIDANA TERHADAP PENGAMANAN PEREDARAN MAKANAN DAN MINUMAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 18 TAHUN Oleh : Rivalno Daniel Ilat 2

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PEMERINTAH KABUPATEN PELALAWAN

5 Mei (Muhammad, 2010) Ini merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata yang berbunyi: Pembelajaran

Menimbang : Mengingat :

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PROSES PENYELESAIAN PELANGGARAN DALAM KEGIATAN PENYIARAN IKLAN NIAGA 1 Oleh : Harry Richard Umboh 2

PERLINDUNGAN KONSUMEN ASPEK HUKUM DALAM EKONOMI, ANISAH SE.,MM.

BAB III. A. Jual Beli Fashion Hijab Secara Online di Instagram #tashaproject Jual beli telah dipraktekkan oleh masyarakat primitif ketika uang

BAB III KERANGKA TEORITIS. orang yang memiliki hubungan langsung antara pelaku usaha dan konsumen.

Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN ATAS PEMAKAIAN JASA DARI PELAKU USAHA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Lex Crimen Vol. V/No. 1/Jan/2016. SANKSI PIDANA DALAM PERKARA PENYELANGGARAAN TRANSFER DANA 1 Oleh: Fani Alvionita Sapii 2

BAB III IKLAN PANCINGAN BERDASARKAN UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Perlindungan Konsumen. Akan tetapi dalam Undang-undang Republik

Lex Administratum, Vol. III/No. 6/Ags/2015

SANKSI PIDANA BAGI KORPORASI ATAS PEMALSUAN UANG RUPIAH 1 Oleh : Putri Sofiani Danial 2

Lex Administratum, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

HAK GUGAT PERWAKILAN KELOMPOK (CLASS ACTION) DALAM PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN 1 Oleh : Muh. Syahrul R. Lamsu 2

PENEYELESAIAN SENGKETA PELANGGARAN HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN Oleh: Fridolin Situngkir 2

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

WALIKOTA JAMBI PROVINSI JAMBI

UU PERLINDUNGAN KONSUMEN UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

WALIKOTA SORONG PERATURAN DAERAH KOTA SORONG NOMOR 27 TAHUN 2013 TENTANG PENGAWASAN BARANG BEREDAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SORONG,

ANALISIS KETENTUAN PIDANA DALAM UU NO. 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. Supriyanta Dosen Fak. Hukum UNISRI Surakarta

BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. memuat asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan mengandung sifat

Lex Privatum, Vol. IV/No. 5/Juni/2016

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Konsumen Dan Pelaku Usaha Menurut Undang undang

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PELABELAN. informasi verbal tentang produk atau penjualnya. 17

SANKSI PIDANA PELANGGARAN KEWAJIBAN OLEH APARATUR HUKUM DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK DI INDONESIA 1 Oleh: Wailan N. Ransun 2

AKIBAT HUKUM TERHADAP PELAKU USAHA YANG MENJUAL MAKANAN KADALUWARSA

Lex Et Societatis Vol. V/No. 9/Nov/2017

Lex Privatum, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENCANTUMAN KLAUSULA EKSONERASI DALAM PERJANJIAN JUAL BELI DIHUBUNGKAN DENGAN BUKU III BURGERLIJK

Menteri Perdagangan Republik Indonesia

BAB II. A. Hubungan Hukum antara Pelaku Usaha dan Konsumen. kemungkinan penerapan product liability dalam doktrin perbuatan melawan

SANKSI PIDANA AKIBAT DENGAN SENGAJA MELANGGAR KAWASAN TANPA ROKOK 1 Oleh : Timothy Edwin Rengkung 2

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini perkembangan era globalisasi yang semakin pesat berpengaruh

BAB III TINJAUAN TEORITIS. A. Tinjauan Umum Tentang Perlindungan Konsumen

SANKSI TERHADAP PELAKU USAHA TERKAIT DENGAN PELANGGARAN PERIKLANAN SESUAI DENGAN UNDANG- UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. Pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen memiliki

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA.

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 2/Feb/2016/Edisi Khusus

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

SANKSI PIDANA TERHADAP PEMALSUAN KETERANGAN DAN SURAT ATAU DOKUMEN KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh. Devianti Tjoanto 2

Hukum Perlindungan Konsumen yang Berfungsi sebagai Penyeimbang Kedudukan Konsumen dan Pelaku Usaha dalam Melindungi Kepentingan Bersama

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN DAN PELAKU USAHA Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

Lex Crimen Vol. VI/No. 10/Des/201. HAK-HAK KEBENDAAN YANG BERSIFAT JAMINAN DITINJAU DARI ASPEK HUKUM PERDATA 1 Oleh: Andhika Mopeng 2

BAB I PENDAHULUAN. khususnya dibidang perindustrian dan perdagangan nasional telah. Mayoritas konsumen Indonesia sendiri adalah konsumen makanan, jadi

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA MEMBERIKAN GANTI RUGI ATAS KERUSAKAN BARANG YANG MERUGIKAN KONSUMEN 1 OLEH : Yowanda P. Lumentut 2

KEPUTUSAN MENTERI PERINDUSTRIAN DAN PERDAGANGAN REPUBLIK INDONESIA. NOMOR : 634/MPP/Kep/9/2002

Lex Privatum, Vol.II/No. 1/Jan-Mar/2014. TUGAS DAN FUNGSI LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT DALAM MELINDUNGI KONSUMEN 1 Oleh : Rio Bertram Atteng 2

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA ATAS INFORMASI SUATU PRODUK MELALUI IKLAN YANG MENGELABUI KONSUMEN

Pedoman Klausula Baku Bagi Perlindungan Konsumen

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA TERHADAP PENJUALAN KOSMETIK YANG TIDAK DISERTAI DENGAN KEJELASAN LABEL PRODUK DI DENPASAR

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM PERLINDUNGAN KONSUMEN

Lex Crimen Vol. II/No. 5/September/2013. SANKSI PIDANA TERHADAP PENYALAHGUNAAN DANA BAGI PENANGANAN FAKIR MISKIN 1 Oleh : Yeremia B.

BAB II BEBERAPA ASPEK HUKUM TERKAIT DENGAN UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN. 1. Pengertian Dasar Dalam Hukum Perlindungan Konsumen

TINJAUAN YURIDIS TANGGUNGJAWAB PRODUK TERHADAP UNDANG- UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

Oleh George Edward Pangkey ABSTRAK

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB III TANGGUNG JAWAB PENYELENGGARAAN JASA MULTIMEDIA TERHADAP KONSUMEN. A. Tinjauan Umum Penyelenggaraan Jasa Multimedia

Penerapan Klausula Baku Dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen Menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan dan perkembangan perekonomian pada umumnya dan

Lex Administratum, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

BAB 1 PENDAHULUAN. Subekti dan Tjitrosudibio, Cet. 34, Edisi Revisi (Jakarta: Pradnya Paramita,1995), pasal 1233.

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

PERTANGGUNGJAWABAN PELAKU USAHA TERHADAP MIRAS TIDAK BERLABEL DI LIHAT DARI UNDANG UNDANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat.

Lex Crimen Vol. V/No. 3/Mar/2016

Lex Crimen Vol. V/No. 3/Mar/2016. Kata kunci: Penyelesaian sengketa, pelanggaran, hak cipta, pengadilan niaga

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang

BAB II PERLINDUNGAN KONSUMEN MELALUI KONTEN LABEL PRODUK ROKOK MENURUT PERATURAN PEMERINTAH NO. 109 TAHUN 2012

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA SEBAGAI PEMESAN DAN PEMBUAT IKLAN TERHADAP IKLAN YANG MERUGIKAN KONSUMEN

Lex Crimen Vol. V/No. 5/Jul/2016. SANKSI PIDANA BAGI ANGGOTA DEWAN, KOMISARIS DAN DIREKSI ATAS TINDAK PIDANA PERBANKAN 1 Oleh : Toar Y. R.

Transkripsi:

HUKUMAN TAMBAHAN SETELAH PEMBERLAKUAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU USAHA YANG MERUGIKAN KONSUMEN 1 Oleh: Carolus B. A. Tangkudung 2 Abstrak Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk perbuatan yang dilakukan oleh pelaku usaha sehingga dapat dikenakan sanksi pidana dan hukuman tambahan dan bagaimana hukuman tambahan dikenakan kepada pelaku usaha setelah pemberlakuan sanksi pidana. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. Perbuatan pelaku usaha yang dapat dikenakan sanksi pidana dan hukuman tambahan yaitu berupa tindakan yang dilakukan dengan tidak melaksanakan kewajibannya terhadap konsumen serta melanggar ketentuanketentuan mengenai larangan-larangan yang seharusnya ditaati oleh pelaku usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Pemberlakuan hukuman tambahan setelah dikenakannya sanksi pidana berupa perampasan barang tertentu; pengumuman keputusan hakim; pembayaran ganti rugi; perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau pencabutan izin usaha. Kata kunci: Hukuman tambahan, pelaku usaha, konsumen. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara material maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktivitas dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai kedua hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya. Dengan demikian 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Nontje Rimbing, SH,MH., Wilda Assa, SH,MH. 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 110711627 upaya-upaya untuk memberikan perlindungan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang penting dan mendesak untuk segera dicari solusinya, terutama di Indonesia, mengingat sedemikian kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan konsumen, lebih-lebih menyongsong era perdagangan bebas yang akan datang. 3 Perlu dipahami, bahwa hukum perlindungan konsumen timbul akibat adanya posisi konsumen yang sangat lemah, sehingga perlu mendapat perlindungan hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat. Hukum perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat asas-asas dan kaidahkaidah dan bersifat mengatur dan juga mengandung sifat melindungi kepentingan konsumen. Hukum perlindungan konsumen tidak dapat berdiri sendiri sebagai suatu sistem tetapi harus terintegrasi juga ke dalam suatu sistem perekonomian yang di dalamnya terlibat juga para pelaku usaha. 4 Dalam pergaulan masyarakat terdapat aneka macam hubungan di antara anggota masyarakat, yakni hubungan yang ditimbulkan oleh kepentingankepentingan anggota masyarakat itu, karena beraneka ragamnya hubungan itu, para anggota masyarakat memerlukan aturan-aturan yang dapat menjamin keseimbangan agar dalam hubungan-hubungan itu tidak terjadi kekacauan di dalam masyarakat. 5 Ketidakseimbangan posisi antara produsen dan konsumen sangat perlu dikompensasi dengan berbagai upaya, baik melalui gerakan perlindungan konsumen, perangkat kelembagaan dan hukum maupun berbagai upaya lain agar konsumen bisa mengonsumsi produk barang atau jasa, khususnya pangan yang diinginkan secara lebih aman. Perlindungan untuk sejumlah besar konsumen di dalam usaha produksi pangan seperti ini merupakan keharusan, karena perkembangan 3 Celina Tri Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Edisi l. Cetakan Pertama. Sinar Grafika. Jakarta, 2008, hal. 5. 4 Ibid, hal. 172. 5 Arus Akbar Silondae dan Wirawan B. Ilyas, Pokok-Pokok Hukum Bisnis, Salemba Empat, Jakarta, 2011, hal. 3. 131

ekonomi dan insdustri yang maju membawa implikasi lain yang bersifat negatif. 6 Beberapa jenis produk seperti pangan atau obat-obatan pada dasarnya bukanlah produk yang membahayakan, tetapi mudah tercemar atau mengandung racun yang apabila lalai atau tidak berhati-hati dalam pembuatannya atau bahkan memang lalai untuk tetap mengedarkan atau sengaja tidak menarik produk pangan yang sudah kadaluarsa. Kelalaian tersebut erat kaitannya dengan kemajuan di bidang industri yang menggunakan produksi dan distribusi barang dan jasa yang semakin kompleks. 7 Dengan demikian, perlindungan hukum terhadap konsumen yang diberikan negara memang haruslah segera dapat diimplementasikan dalam kerangka kehidupan ekonomi. Hal ini penting, mengingat bahwa perlindungan konsumen haruslah menjadi salah satu perhatian yang utama karena berkaitan erat dengan kesehatan dan keselamatan masyarakat sebagai konsumen. 8 Hukum perlindungan konsumen dewasa ini mendapat cukup perhatian karena menyangkut aturan-aturan guna mensejahterahkan masyarakat, bukan saja masyarakat selaku konsumen saja yang mendapat perlindungan, namun pelaku usaha juga mempunyai hak yang sama untuk mendapat perlindungan, masingmasing ada hak dan kewajiban. Pemerintah berperan mengatur, mengawasi dan mengontrol, sehingga tercipta sistem yang kondusif saling berkaitan satu dengan yang lain dengan demikian tujuan mensejahterahkan masyarakat secara luas dapat tercapai. 9 Perlu diingatkan kembali salah satu faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran akan haknya memang masih sangat rendah. Hal ini terutama disebabkan oleh kurangnya kesadaran dari pihak konsumen itu sendiri akan rendahnya pendidikan konsumen yang ada. Oleh karena itu undang-undang tentang perlindungan konsumen dimaksudkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan swadaya masyarakat untuk 6 Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Op.Cit, hal. 171. 7 Ibid, hal. 174. 8 Ibid. 9 Ibid, hal. 1. melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. 10 B. RUMUSAN MASALAH 1. Bagaimanakah bentuk-bentuk perbuatan yang dilakukan oleh pelaku usaha sehingga dapat dikenakan sanksi pidana dan hukuman tambahan? 2. Bagaimanakah hukuman tambahan dikenakan kepada pelaku usaha setelah pemberlakuan sanksi pidana? C. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penyusunan Skripsi ini, yaitu metode penelitian hukum normatif untuk mempelajari norma-norma hukum yang dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Prosedur pengumpulan bahan-bahan hukum dilakukan melalui studi kepustakaan yang mencakup bahan hukum primer, yaitu peraturan perundang-undangan, bahan hukum sekunder, yaitu literatur dan karya ilmiah hukum. Bahan hukum tersier, terdiri dari; kamus hukum. PEMBAHASAN A. BENTUK-BENTUK PERBUATAN APABILA DILAKUKAN OLEH PELAKU USAHA DAPAT DIKENAKAN SANKSI PIDANA DAN HUKUMAN TAMBAHAN Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,mengatur bentuk-bentuk perbuatan yang dilakukan oleh pelaku usaha dan/atau pengurusnya yang dapat dikenakan sanksi pidana dan hukuman tambahan. Hal ini diatur dalam Pasal 61 sampai dengan Pasal 63. Terhadap Pelaku usaha dan/atau pengurusnya. dapat dilakukan penuntutan pidana apabila melanggar ketentuan dalam: 1. Pasal 8 ayat (1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang: a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan; 10 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Cetakan Keempat. PT.Gramedia Pustaka Utama, 2008. hal. 100. 132

b. tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut; c. tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya; d. tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; e. tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut; f. tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, etiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut; g. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu; h. tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label; i. tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat; j. tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (2) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. (3) Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar. (4) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada ayat (1) dan ayat (2) dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran. 2. Pasal 9 ayat (1) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklan-kan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah : a. barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu; b. barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru; c. barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu; d. barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi; e. barang dan/atau jasa tersebut tersedia; f. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi; g. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu; h. barang tersebut berasal dari daerah tertentu; i. secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain; j. menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap; k. menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti. (2) Barang dan/atau jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang untuk diperdagangkan. (3) Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap ayat (1) dilarang melanjutkan penawaran, promosi, dan pengiklanan barang dan/atau jasa tersebut. 133

Larang; melarang; memerintahkan supaya tidak melakukan sesuatu; tidak memperbolehkan berbuat sesuatu. 11 Larangan (verbod) ialah suatu kondisi yang mengatur larangan untuk dilakukan atau dilanggar, bila tetap melakukan akan dikenakan sanksi dan sebaliknya jika tidak dilakukan pelanggaran maka ia tidak bisa dikenakan sanksi, seperti larangan untuk melakukan pencurian, larangan melewati suatu jalan, apabila larangan itu dilanggar pelakunya baru bisa dikenakan sanksi. 12 Pelanggaran; overtrading; violation; contravention, yaitu: perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana yang oleh undangundang pidana ditentukan lebih ringan pidananya daripada kejahatan. Pelanggaran undang-undang; wetschending, yaitu: perbuatan yang tidak sesuai atau bertentangan dengan ketentuan undang-undang; misalnya, orang yang melanggar larangan atau tidak 13 melakukan kewajiban hukum pidana. Pelanggaran yaitu: tindak pidana yang dilakukan karena kealpaan (culpoos) artinya bahwa tindak pidana itu dilakukan tidak dengan sengaja, melainkan terjadi karena pelakunya alpa, kurang memperhatikan keadaan atau khilaf. 14 Pelanggaran lihat wetsdelicten. 15 Wetsdelicten, perbuatan-perbuatan yang sifat melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada wet yang menentukan demikian. Di dalam istilah yang paling umum digunakan pelanggaran. 16 3. Pasal 10: Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai : a. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa; 11 Sudarsono, Kamus Hukum, Op.Cit, hal. 242. 12 Mudakir Iskandar Syah, Tuntutan Pidana dan Perdata Malpraktik, Permata Aksara, Cetakan Pertama, Jakarta, 2011, hal. 21. 13 Andi Hamzah, Op.Cit,, hal. 95. 14 Anonim, Kamus Hukum, Op.Cit, hal. 300. 15 Rocky Marbun, Deni Bram, Yuliasara Isnaeni dan Nusya A., Kamus Hukum Lengkap (Mencakup Istilah Hukum & Perundang-Undangan Terbaru, Cetakan Pertama, Visimedia, Jakarta. 2012, hal. 330. 16 Ibid, hal. 330. b. kegunaan suatu barang dan/atau jasa; c. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa; d. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan; e. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa. 4. Pasal 13 ayat (2) Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan obat, obat tradisional, suplemen makanan, alat kesehatan, dan jasa pelayanan kesehatan dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain. 5. Pasal 15: Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa dilarang melakukan dengan cara pemaksaan atau cara lain yang dapat menimbulkan gangguan baik fisik maupun psikis terhadap konsumen. 6. Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2). (1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang : a. mengelabui konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan dan harga barang dan/atau tarif jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa; b. mengelabui jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa; c. memuat informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa; dan e. mengeksploitasi kejadian dan/atau seseorang tanpa seizin yang berwenang atau persetujuan yang bersangkutan; 7. Pasal 18 ayat (1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila: a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang 134

dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran. (2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. (3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. (4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undangundang ini. 8. Pasal 11 Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan : a. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah telah memenuhi standar mutu tertentu; b. menyatakan barang dan/atau jasa tersebut seolah-olah tidak mengandung cacat tersembunyi; c. tidak berniat untuk menjual barang yang ditawarkan melainkan dengan maksud untuk menjual barang lain; d. tidak menyediakan barang dalam jumlah tertentu dan/atau jumlah yang cukup dengan maksud menjual barang yang lain; e. tidak menyediakan jasa dalam kapasitas tertentu atau dalam jumlah cukup dengan maksud menjual jasa yang lain; f. menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral. 9. Pasal 12: Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan harga atau tarif khusus dalam waktu dan jumlah tertentu, jika pelaku usaha tersebut tidak bermaksud untuk melaksanakannya sesuai dengan waktu dan jumlah yang ditawarkan, dipromosikan, atau diiklankan. 10.Pasal 13 ayat (1): Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/atau jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya. Promosi: perkenalan dalam rangka memajukan usaha dagang (reklame). 17 Promosi dagang: komunikasi untuk meningkatkan volume penjualan dengan pameran, periklanan, demostrasi dan usaha-usaha lain yang bersifat persuasif baik secara tertulis atau lainnya. 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka (6) menyatakan: Promosi adalah kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi suatu barang dan/atau jasa untuk menarik minat beli konsumen terhadap barang dan/atau jasa yang akan dan sedang diperdagangkan. Memperhatikan rumusan pengertian promosi dalam pasal ini, maka beberapa unsur yang harus ada ialah: a. Kegiatan pengenalan atau penyebarluasan promosi, b. Tentang suatu barang dan/atau jasa yang; 1) akan diperdagangkan, dan 17 Sudarsono, Kamus Hukum, 2009, Op.Cit, hal. 376. 18 Ibid, hal. 376. 135

2) sedang diperdagangkan, c. Tujuan menarik minat beli dari pihak konsumen. 19 Pengertian ini tampak bersesuaian dengan praktik dunia usaha, yang tidak saja melakukan kegiatan pengenalan atau penyebarluasan informasi atas barang dan/atau saja yang akan diperdagangkan, tetapi sekaligus kegiatan perdagangan. Dalam kegiatan pengenalan yang bertujuan menarik minat beli konsumen, maka harga yang ditawarkan bisanya lebih rendah daripada harga barang dan/atau jasa yang diperdagangkan di tempat lain. Pelaku usaha menyebut harga yang ditawarkan ini dengan istilah harga promosi. 20 Pada dasarnya konsumen pengguna tidak akan mengetahui semua jenis produk barang dan jasa sehingga masyarakat sangat memerlukan informasi produk barang dan jasa apa saja yang ada di pasaran. Untuk menyampaikan informasi tersebut digunakan iklan, baik melalui media cetak maupun elektronik. Di samping sebagai alat informasi baik melalui media cetak maupun elektronik, iklan bagi pelaku usaha adalah media yang sangat dibutuhkan untuk memasarkan produknya dan menaikkan jumlah penjualan. 21 Secara umum, informasi yang disampaikan kepada konsumen dilakukan dengan cara mempresentasikan suatu produk dengan berbagai cara dengan berbagai media, namun dalam pelaksanaannya kadang terjadi misrepresentasi. Misrepresentasi merupakan pernyataan tidak benar yang dilakukan oleh suatu pihak untuk membujuk pihak lain masuk dalam suatu perjanjian. Dengan demikian, masalah dasar dari misprepresentasi adalah dampak dari suatu pernyataan yang disampaikan sebelum terjadinya perjanjian. 22 Hak atas informasi ini sangat, penting karena tidak memadainya informasi yang di sampaikan kepada konsumen ini dapat juga merupakan salah satu bentuk cacat produk, yaitu yang dikenal dengan cacat instruksi atau cacat karena informasi yang tidak memadai. Hak atas informasi yang jelas dan benar dimaksudkan agar konsumen dapat 19 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit, hal. 14-15. 20 Ibid, hal. 15. 21 Taufik H. Simatupang, Op.Cit. hal. 9. 22 Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Op.Cit, hal. 105-106. memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk, karena dengan informasi tersebut, konsumen dapat memilih produk yang diinginkan/sesuai kebutuhannya serta terhindar dari kerugian akibat kesalahan dalam penggunaan produk. 23 Informasi yang merupakan hak konsumen tersebut di antaranya adalah mengenai manfaat kengunaan produk; efek sampaing atas penggunaan produk; efek samping atas penggunaan produk; tanggal kadaluarsa, serta indentitas produsen dari produk tersebut. Informasi tersebut dapat disampikan baik secara lisan, maupun secara tertulis, baik yang dilakukan dengan mencantumkan pada label yang melekat pada kemasan produk, maupun melalui iklan-iklan yang disampaikan oleh produsen, baik melalui media cetak maupun media elektronik. 24 Informasi ini dapat memberikan dampak yang signifikan untuk meningkatkan efisiensi dari konsumen dalam memilih produk serta meningkatkan kesetiaannya terhadap produk tertentu, sehingga akan memberikan keuntungan bagi perushaan yang yang memenuhi kebutuhannya. Dengan demikian, pemenuhan hak ini akan menguntungkan baik konsumen maupun produsen. 25 Hakikat iklan-iklan dalam kerangka perlindungan konsumen merupakan janji dari pihak yang mengumumkan. Dengan demikian, iklan dalam berbagai bentuknya mengikat pihak yang mengumumkan dengan segala akibatnya. Sebagai sumber informasi barang atau jasa yang ditawarkan. Harus dicegah penggunaan iklan menyesatkan, menipu atau mengelabui konsumen. Mengenai periklanan, rancangan undang-undang perlindungan konsumen tidak mengatur secara spesifik, karena diharapkan ketentuan periklanan dapat diatur dalam peraturan perundang-undangan tersendiri. Muatan yang akan diatur dibatasi kepada kegiatan atau perbuatan pengusaha yang menawarkan barang melalui iklan termasuk perusahaan periklanan atau media periklanan. 26 23 Ibid, hal. 41. 24 Ibid. 25 Ibid, hal. 42. 26 Nurmadjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang- Undangan tentang Perlindungan Konsumen Dalam 136

11. Pasal 14: Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dengan memberikan hadiah melalui cara undian, dilarang untuk : a. tidak melakukan penarikan hadiah setelah batas waktu yang dijanjikan; b. mengumumkan hasilnya tidak melalui media masa; c. memberikan hadiah tidak sesuai dengan yang dijanjikan; d. mengganti hadiah yang tidak setara dengan nilai hadiah yang dijanjikan. Setiap pelaku usaha harus bertanggung jawab atas produk yang dihasilkan atau diperdagangkannya. Tanggung jawab pelaku usaha ini dinamakan tanggung gugat produk sebagai terjemahan dari kata product (s) liability, Product (en) aanprakelijkheid atau produzenten-haftung. Tanggung gugat produk ini timbul dikarenakan kerugian yang dialami konsumen sebagai akibat dari produk yang cacat bisa dikarenakan kekurangcermatan dalam memproduksi, tidak sesuai dengan yang diperjanjikan/jaminan, atau kesalahan yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dengan demikian tanggung gugat produk ini bisa dikarenakan pelaku usahanya ingkar janji atau melakukan perbuatan melawan hukum. 27 12.Pasal 16: Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui pesanan dilarang untuk : a. tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai dengan yang dijanjikan; b. tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi. 13. Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f (1) Pelaku usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang : d. tidak memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa; f. melanggar etika dan/atau ketentuan peraturan perundangundangan mengenai periklanan. Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau Mengahadapi Era Perdagangan Bebas, Dalam Erman Rajagukguk dkk, Hukum Perlindungan Konsumen, (Penyunting) Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Cetakan l. CV. Mandar Maju. Bandung, 2000, hal. 19. 27 Racmadi Usman, Hukum Ekonomi Dalam Dinamika, Djambatan, Jakarta. 2000, hal. 217. kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku. Perbuatan melanggar hukum: perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan undang-undang, melainkan juga termasuk didalamnya perbuatan yang bertentangan dengan moral dan kepatutan dalam masyarakat. 28 Perbuatan melawan hukum: tiap perbuatan yang melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain. 29 B. HUKUMAN TAMBAHAN DIKENAKAN KEPADA PELAKU USAHA SETELAH PEMBERLAKUAN SANKSI PIDANA Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,mengatur mengenai sanksi pidana dan hukuman tambahan. Pasal 61: Penuntutan pidana dapat dilakukan terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya. Pasal 62: (1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). (2) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). (3) Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat tetap atau kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku. Pasal 63: Terhadap sanksi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, dapat dijatuhkan hukuman tambahan, berupa: a. perampasan barang tertentu; b. pengumuman keputusan hakim; c. pembayaran ganti rugi; d. perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; 28 Anonim, Kamus Hukum, Op.Cit, hal. 357. 29 Ibid, hal. 357. 137

e. kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau f. pencabutan izin usaha. Perizinan wujud keputusan pemerintah, maka perizinan adalah: tindakan hukum pemerintah berdasarkan kewenangan publik yang membolehkan atau memperkenankan menurut hukum bagi seseorang atau badan hukum untuk melakukan sesuatu kegiatan. Instrumen perizinan diperlukan pemerintah untuk mengkonkretkan wewenang pemerintah. Tindakan ini dilakukan melalui penerbitan keputusan tata usaha negara. 30 Izin adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan perundang-undangan dan peraturan pemerintah. Dengan demikian izin pada prinsipnya memuat larangan, persetujuan yang merupakan dasar pengecualian. Pengecualian itu harus diberikan oleh undang-undang untuk menunjukkan legalitas sebagai suatu ciri negara hukum yang demokrasi. 31 Izin ialah pernyataan mengabulkan (tiada melarang dan sebagainya) persetujuan membolehkan. 32 Hukuman tambahan hanya dapat dijatuhkan bersama-sama dengan hukuman pokok. Penjatuhan hukuman tambahan itu biasanya bersifat fakultatif. Hakim tidak diharuskan menjatuhkan hukuman tambahan. 33 PENUTUP A. KESIMPULAN 1. Perbuatan pelaku usaha yang dapat dikenakan sanksi pidana dan hukuman tambahan yaitu berupa tindakan yang dilakukan dengan tidak melaksanakan kewajibannya terhadap konsumen serta melanggar ketentuan-ketentuan mengenai larangan-larangan yang seharusnya ditaati oleh pelaku usaha sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2. Pemberlakuan hukuman tambahan setelah dikenakannya sanksi pidana berupa perampasan barang tertentu; 30 Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Cetakan Pertama, Sinar Grafika. Jakarta. 2012, hal. 28-29. 31 H. Juniarso Ridwan dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Adminsitrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Cetakan l. Nuansa. Bandung. 2010, hal. 92. 32 Sudarsono, Kamus Hukum, Op.Cit, hal. 189. 33 Leden Marpaung, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika. Cetakan Kedua, Jakarta. 2005, hal.111 pengumuman keputusan hakim; pembayaran ganti rugi; perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau pencabutan izin usaha. B. SARAN 1. Perbuatan pelaku usaha yang menimbulkan kerugian bagi konsumen harus diproses secara hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu diperlukan bagi konsumen yang dirugikan perlu melaporkan kepada aparatur hukum mengenai peristiwa yang dialami agar dapat ditindaklanjuti melalui prosedur peradilan pidana. 2. Pemberlakuan hukuman tambahan hanya dapat dijatuhkan bersama-sama dengan sanksi pidana pokok, sehingga penjatuhan hukuman tambahan itu biasanya bersifat fakultatif dan hakim tidak diharuskan untuk menjatuhkan hukuman tambahan apabila sesuai dengan pertimbangan hukum tidak diperlukan untuk dikenakan kepada pelaku usaha. Hal ini tentunya perlu dipertimbangkan dengan cerma dan teliti oleh majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara yang melibatkan pelaku usaha atas perbuatannya yang tidak melaksanakan kewajiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. DAFTAR PUSTAKA Kristiyanti Tri Celina, Hukum Perlindungan Konsumen, Edisi l. Cetakan Pertama. Sinar Grafika. Jakarta, 2008. Marbun Rocky, Deni Bram, Yuliasara Isnaeni dan Nusya A., Kamus Hukum Lengkap (Mencakup Istilah Hukum & Perundang- Undangan Terbaru, Cetakan Pertama, Visimedia, Jakarta. 2012. Marpaung Leden, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Sinar Grafika. Cetakan Kedua, Jakarta. 2005. Masriani Tiena Yulies, Pengantar Hukum Indonesia, Cetakan Kelima, Sinar Grafika, Jakarta, 2009. 138

Miru Ahmadi dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008. Mulyadi Mahmud dan Feri Antoni Surbakti, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan Korporasi, Cetakan Pertama, PT. Sofmedia, Jakarta. 2010. Nitisusastro Mulyadi H., Perilaku Konsumen Dalam Perspektif Kewirausahaan, Cetakan Kesatu. Alfabeta, Bandung, 2012. Nurmadjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-Undangan tentang Perlindungan Konsumen Dalam Mengahadapi Era Perdagangan Bebas, Dalam Erman Rajagukguk dkk, Hukum Perlindungan Konsumen, (Penyunting) Husni Syawali dan Neni Sri Imaniyati, Cetakan l. CV. Mandar Maju. Bandung, 2000. Raharjo Satjipto, Hukum dan Perubahan Sosial Suatu Tinjauan Teoretis Serta Pengalaman- Pengalaman di Indonesia, Cetakan Ketiga Genta Publishing, Yogyakarta, Oktober 2009. Ridwan Juniarso H. dan Achmad Sodik Sudrajat, Hukum Adminsitrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik, Cetakan l. Nuansa. Bandung. 2010. Salim H S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW) Cetakan Keenam. Sinar Grafika, Jakarta, 2009. Silondae Akbar Arus dan Wirawan B. Ilyas, Pokok-Pokok Hukum Bisnis, Salemba Empat, Jakarta, 2011. Simatupang Taufik, Aspek Hukum Periklanan Dalam Perspektif Perlindungan Konsumen, Cetakan ke-1. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. Subekti R. dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang- Undang Hukum Perdata, Bugerlijk Wetboek Dengan Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan, Cetakan 32, Edis Revisi, Pradnya Paramita, Jakarta, 2002. Sudarsono, Kamus Hukum, Cet. 6. Rineka Cipta, Jakarta, 2009. ----------, Pengantar Ilmu Hukum,, Cetakan Kelima, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2007. Sukadana Made I., Mediasi Peradilan (Mediasi Dalam Sistem Peradilan Perdata Indonesia Dalam Rangka Mewujudkan Proses Peradilan Yang Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan), Cetakan Pertama, PT. Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta, 2012. Sunarso Siswantoro, Penegakan Hukum Psikotropika, Dalam Kajian Sosiologi Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004 Syah Iskandar Mudakir, Tuntutan Pidana dan Perdata Malpraktik, Permata Aksara, Cetakan Pertama, Jakarta, 2011. Syawali Husni dan Neni Sri Imaniyati (Penyunting) Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan ke-1. Mandar Maju. Bandung. 2000. Tutik Triwulan Titik, Pengantar Hukum Perdata di Indonesia, Cetakan Pertama, Jakarta, 2006. Usman Racmadi, Hukum Ekonomi Dalam Dinamika, Djambatan, Jakarta. 2000. Yamin Muhammad, Tindak Pidana Khusus, Cet. 1. Pustaka Setia, Bandung, 2012. Widjaja Gunawan dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Cetakan Keempat. PT.Gramedia Pustaka Utama, 2008. Witanto D.Y., Hukum Acara Mediasi (Dalam Perkara Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama Menurut PERMA No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, Cetakan Kesatu, Alfabeta, 2011. 139