5 PEMBAHASAN 5.1 Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya

dokumen-dokumen yang mirip
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar dengan jumlah pulaunya yang

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

VI ANALISIS DPSIR DAN KAITANNYA DENGAN NILAI EKONOMI

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Terumbu karang merupakan komponen ekosistem utama pesisir dan laut

I. PENDAHULUAN pulau dengan luas laut sekitar 3,1 juta km 2. Wilayah pesisir dan. lautan Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan dan

1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang dan Masalah yang dikaji (Statement of the Problem) I.1.1. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang mencapai pulau dengan panjang pantai sekitar km 2 dan luas

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

Melestarikan habitat pesisir saat ini, untuk keuntungan di esok hari

I. PENDAHULUAN. Tabel 1 Potensi Keuntungan Bersih per Tahun per km 2 dari Terumbu Karang dalam Kondisi Baik di Asia Tenggara Penggunaan Sumberdaya

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

memiliki kemampuan untuk berpindah tempat secara cepat (motil), sehingga pelecypoda sangat mudah untuk ditangkap (Mason, 1993).

BAB I PENDAHULUAN. (Estradivari et al. 2009).

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir merupakan suatu wilayah peralihan antara daratan dan

PEMERINTAH KABUPATEN LOMBOK TIMUR

92 pulau terluar. overfishing. 12 bioekoregion 11 WPP. Ancaman kerusakan sumberdaya ISU PERMASALAHAN SECARA UMUM

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

VIII PENGELOLAAN EKOSISTEM LAMUN PULAU WAIDOBA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Lovejoy (1980). Pada awalnya istilah ini digunakan untuk menyebutkan jumlah

1. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang dua per tiga luasnya ditutupi oleh laut

I. PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Kekayaan hayati tersebut bukan hanya

I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. kompleks dan produktif (Odum dan Odum, 1955). Secara alami, terumbu karang

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 04 TAHUN 2001 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP,

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dari buah pulau (28 pulau besar dan pulau kecil) dengan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN INDRAMAYU NOMOR : 14 TAHUN 2006

BALAI TAMAN NASIONAL BALURAN

POTENSI ANCAMAN LEDAKAN POPULASI ACANTHASTERPLANCI TERHADAP KELESTARIAN TERUMBU KARANG DI WILAYAH LAUT JAKARTA DAN UPAYA PENGENDALIANNYA

Industri dan Rantai Perdagangan

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

EKOSISTEM LAUT DANGKAL EKOSISTEM LAUT DANGKAL

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

BUPATI PACITAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PACITAN NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. limbah dari pertanian dan industri, serta deforestasi ilegal logging (Nordhaus et al.,

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

BUPATI BANGKA TENGAH

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Sektor kelautan memiliki peluang yang sangat besar untuk dijadikan

BAB I PENDAHULUAN. memberikan kontribusi yang besar dalam penyediaan pangan bagi masyarakat Indonesia.

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

JAKARTA (22/5/2015)

KONDISI EKOSISTEM DAN SUMBERDAYA ALAM HAYATI PESISIR DI KABUPATEN ALOR

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Karena berada di dekat pantai, mangrove sering juga disebut hutan pantai, hutan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara dengan garis pantai terpanjang di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

I. PENDAHULUAN. negara Indonesia menyebabkan Indonesia memiliki kekayaan alam yang sangat

REHABILITASI TERUMBU KARANG TELUK AMBON SEBAGAI UPAYA UNTUK MEREDUKSI EMISI CARBON CO

KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BAHARI

I. PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas

KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR : 04 TAHUN 2001 TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

I. PENDAHULUAN. Tingginya dinamika sumberdaya ikan tidak terlepas dari kompleksitas ekosistem

1.2.1 Bagaimanakah kehidupan ekosistem terumbu karang pantai Apakah yang menyebabkan kerusakan ekosistem terumbu karang?

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan Tugas Akhir ini adalah membuat

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB IV KEMANFAATAN PEMETAAN ENTITAS ENTITAS EKOSISTEM DALAM PERSPEKTIF PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Transkripsi:

5 PEMBAHASAN 5.1 Terumbu Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya Terumbu karang merupakan ekosistem yang paling produktif dan mempunyai keankearagaman hayati yang tinggi dibandingkan ekosistem lainnya di dunia. Ekosistem terumbu karang menyediakan jasa dan pemenuhan kebutuhan bagi manusia seperti seafood, tempat rekreasi, perlindungan daerah pesisir, pemandangan dan keuntungan lainnya. Lebih dari 100 negara yang mempunyai garis pantai dengan terumbu karang. Di negara-negara tersebut, sedikitnya sepuluh juta orang menggantungkan hidupnya pada ekosistem terumbu karang sebagai bagian dari kehidupan dan pemenuhan asupan protein mereka (Salvat 1992 in Moberg & Folke 1999). Sebagai contoh, Jennings & Polunin (1996) menghitung bahwa terumbu karang dengan luasan 1 km 2 yang tumbuh secara aktif dapat mendukung lebih dari 300 orang jika tidak ada sumber protein lain yang tersedia. Saat ini, ekosistem terumbu karang banyak yang mengalami kemunduran serius (Brown 1987; Richmond 1993; Wilkinson 1993; Bryant et al. 1998). Hal ini terutama terjadi pada lokasi terumbu karang yang berada dekat dekat di daerah padat penduduk. Ekosistem tersebut mendapatkan pengaruh yang berasal dari aktivitas manusia seperti penggundulan hutan, intensifikasi pertanian, dan muatan sedimen serta nutrient dari daratan serta jenis polusi lainnya. Faktor lain yang berasal dari aktivitas manusia yang terkait terumbu karang adalah pemanfaatan biota karang yang berlebihan, metode penangkapan ikan yang merusak, pariwisata yang tidak terkendali, penyakit baru, dan kemungkinan perubahan iklim global (Johannes 1975; Grigg & Dollar 1990; Wilkinson & Buddemeier 1994; Roberts 1995; Peters 1997; Moberg & Folke 1999). Kondisi terumbu karang dan komunitas ikan karang di Pulau Biawak dan sekitarnya mengalami tekanan yang besar yang diduga diakibatkan oleh aktivitas manusia dan pencemaran minyak bumi. Persentase penutupan karang hidup mengalami penurunan serta tingginya persentase patahan karang di lokasi pengamatan khususnya pada bagian barat Pulau Biawak pada kedalaman 10 m dan bagian utara Pulau Biawak pada kedalaman 3 m yang di atas 60% serta serta

52 lokasi lainnya yang berkisar antara 20-41%, terkecuali lokasi pada bagian barat Pulau Biawak pada kedalaman 3 m dimana persentase patahan karangnya cukup kecil yaitu 4%. Penurunan persentase tutupan terumbu karang ini bisa terjadi, diduga dikarenakan cara penangkapan ikan yang merusak seperti racun dan penggunaan bom, dimana berdasarkan wawancara dengan petugas penjaga mercusuar di Pulau Biawak, nelayan setempat dan laporan DKP (2003), nelayan dari luar Indramayu sering menggunakan bom dan potassium sianida untuk mengambil ikan-ikan karang. Selain itu, penurunan kondisi terumbu karang juga diduga akibat aktivitas penambatan jangkar oleh kapal nelayan, mengingat Pulau Biawak merupakan tempat singgah sementara nelayan setelah melakukan penangkapan ikan, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (dalam hal ini pengoperasian trawl, bubu, dan jaring di daerah sekitar terumbu karang), serta terjadinya pencemaran minyak bumi yang menurut nelayan dan aktivis lingkungan setempat terjadi sampai tiga kali semenjak 2005. Pilcher (2001) mengemukakan bahwa cara-cara penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan seperti bom dan penggunaan racun memberikan dampak kerusakan yang besar terhadap ekosistem terumbu karang. Bom seberat 1 kg dapat menyebabkan kerusakan dengan diameter 4-5 m. Daya ledak bom tidak hanya menyebabkan ikan mati, namun juga menyebabkan kerusakan terumbu karang. Bekas pemboman dicirikan dengan terbentuknya kawah serta banyaknya patahan karang serta batuan karang yang tidak pada tempatnya, jungkir balik sebagai akibat dari ledakan. Ledakan juga mengubah struktur tiga dimensi dari terumbu karang dan area bekas ledakan tidak lagi dapat menyokong kehidupan, menyediakan makanan bagi hewan-hewan yang berasosiasi dan tempat perlindungan. Begitu juga dengan penggunaan racun seperti sianida. Penggunaan racun sianida yang bertujuan untuk membius ikan karang dapat menghambat pertumbuhan karang, menjadi pemicu timbulnya penyakit, menyebabkan pemutihan karang dan kematian bagi beberapa spesies karang. Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan seperti ghost fishing (alat tangkap yang hanyut, dibuang akibat tersangkut atau pun penyebab lainnnya), pengoperasian trawl dan jaring purse seine yang dioperasikan di daerah yang dekat atau berada di daerah terumbu karang. Pengoperasian trawl di sekitar

53 daerah terumbu karang dikarenakan daerah sekitar terumbu karang merupakan daerah yang berpotensi mempunyai jumlah ikan atau pun udang yang banyak, yang akhirnya menyebabkan jaring tersangkut pada struktur terumbu karang yang menyebabkan karang patah atau pun rusak. Penggunaan rantai di dasar perairan dengan tujuan untuk menyapu dasar perairan juga dapat merusak terumbu karang. Industri pengeboran minyak bumi juga menjadi sumber polusi. Minyak bumi dan turunannya, pembuangan minyak yang berasal dari ballast kapal serta cairan kimia lainnya yang digunakan dalam industri pengeboran minyak menyebabkan kerusakan yang luas pada ekosistem pesisir. Pengeboran minyak lepas pantai yang berada di daerah dimana terdapat terumbu karang dapat menyebabkan hilangnya ekosistem tersebut. Tumpahan minyak dapat meningkatkan insiden kematian dari koloni terumbu karang, telur dan larva yang terapung. Di Laut Merah, dimana telah terjadi lebih dari 20 kali peristiwa tumpahan minyak sepanjang pesisir pantai Mesir sejak tahun 1982, menyebabkan kerusakan dan meracuni terumbu karang serta organisme lainnya. Getaran seismic pada saat ekplorasi minyak bumi juga merupakan ancaman bagi terumbu karang. juga berakibat negatif terhadap ekosistem. Tumpahan minyak menghambat pertumbuhan kolonisasi karang, seperti yang terjadi di Gulf Aqaba pada tahun 1970 ketika karang Stylopora pistilata tidak dapat berkolonisasi akibat dari perairannya terkontaminasi tumpahan minyak. Pengaruh minyak tehadap individu koloni karang bervariasi, mulai dari kematian jaringan/tissue, menghambat sistem reproduksi sampai hilangnya alga yang bersimbiosis dengan terumbu karang (pemutihan karang). Terkait dengan rencana pengelolaan pengembangan ekowisata di kawasan Pulau Biawak dan sekitarnya, penurunan kondisi terumbu karang di kawasan tersebut dapat memberikan dampak negatif terhadap jumlah wisatawan yang akan berkunjung serta daya dukung kawasan untuk menopang jumlah wisatawan. Nilai rekreasi terumbu, seperti ditunjukkan oleh pendapatan dari wisata sangat besar (Cesar 1996). Nilai pariwisata di Great Barrier Reef World Heritage Area diperkirakan oleh Driml (1994) sebesar AUS $682.000.000 per tahun. Pada tahun 1990 pariwisata Karibia memperoleh US $8.900.000.000 dan mempekerjakan lebih dari 350.000 orang (Dixon et al. 1993 in Moberg & Folke

54 1999). Pengelolaan kawasan konservasi Pulau Biawak dan sekitarnya adalah suatu keharusan, terutama perlindungan terhadap ekosistemnya, apabila mau dikembangakan sebagai kawasan ekowisata. 5.2 Komunitas Ikan Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya Ekosistem terumbu karang berfungsi sebagai tempat memijah, mencari makan, daerah pengasuhan dan berlindung biota laut, termasuk bagi beragam jenis ikan karang yang berasosiasi dengannya. Keanekaragaman biologi yang tinggi pada ekosistem ini tercermin dari beragamnya jenis hewan karang dan ikan karang yang ada. Ikan merupakan organisme dengan jumlah yang terbanyak dan juga merupakan organisme besar yang mencolok serta dapat ditemui di sebuah terumbu karang (Nybakken 1997). Keanekaragaman dan kekayaan jenis dari kumpulan ikan karang adalah dihubungkan dengan banyak variabel karang seperti kompleksitas bangunan (architectural) atau tutupan karang bercabang, keanekaragaman, kekayaan jenis, kelimpahan, ukuran koloni, tutupan karang hidup, tutupan karang padat dan tutupan karang pipih merayap (Chabanet et al. 1997). Komunitas ikan merupakan salah satu komponen utama dalam ekosistem terumbu karang karena didapatkan dalam jumlah terbanyak dan mencolok. Karena jumlahnya yang besar dan mengisi seluruh daerah di terumbu, maka terlihat dengan jelas bahwa mereka merupakan penyokong hubungan yang ada di dalam ekosistem terumbu (Nybakken 1997). Hampir seluruh ikan yang hidup di terumbu karang mempunyai ketergantungan yang tinggi terhadap ekosistem karang, baik dalam hal perlindungan maupun makanan. Oleh karenanya jumlah individu, jumlah spesies dan komposisi jenisnya dipengaruhi oleh kondisi setempat. Sejumlah penelitian telah membuktikan bahwa kepadatan ikan lebih besar di kawasan lindung (Alcala 1988, Russ & Alcala 1989, Alcala & Russ 1990, Polunin & Robert 1993, Watson & Ormond 1994). Komunitas ikan karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan sekitarnya memiliki tingkat keragaman yang berkisar antara sedang sampai dengan rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa komunitas ikan karang di Pulau Biawak dan sekitarnya cukup rentan terhadap perubahan lingkungan.

55 Komunitas ikan karang di Kawasan Pulau Biawak dan sekitarnya didominasi oleh ikan mayor, persentase ikan mayor berkisar antara 81-97 %. Persentase ikan target berkisar antara 2-21 %, persentase ikan indikator berkisar antara 1-8,7 %. Rendahnya kepadatan dan biomassa kelompok ikan target (ikan yang menjadi target penangkapan umumnya dari famili Serranidae, Lutjanidae, Scaridae, dan Siganidae) mengindikasikan bahwa kawasan tersebut telah mengalami tangkap lebih. Ketiadaan data hasil tangkapan ikan di Kawasan Pulau Biawak dan sekitarnya tidak dapat memberikan kesimpulan secara meyakinkan bahwa rendahnya biomassa kelompok ikan target diakibatkan oleh tekanan dari upaya penangkapan. Namun, melihat rendahnya biomassa kelompok ikan target, diduga upaya penangkapan ikan yang berlebihan berperan dalam hal tersebut. Kerusakan ekosistem terumbu karang akibat penggunaan cara penangkapan yang merusak lingkungan, aktivitas labuh jangkar kapal dan juga pencemaran minyak bumi diduga turut berperan terhadap rendahnya kepadatan dan biomassa ikan secara keseluruhan. McAllister (1988) menyatakan bahwa efek dari penangkapan yang berlebihan, setelah kegiatan tersebut dihentikan, memerlukan waktu 10 tahun untuk mengembalikannya kepada keadaan semula. Namun jika kerusakan habitat tersebut disebabkan oleh aktivitas pemboman dan penggunaan racun sianida, proses pemulihan memerlukan waktu yang lebih lama. Data dari Kawasan Sumilon dan Apo, dua buah pulau di negara Phillippina yang mempunyai persentase tutupan karang dengan kategori sedang sampai dengan baik, upaya pemulihan akibat penangkapan yang berlebihan memerlukan waktu 6 sampai dengan 8 tahun dengan pengelolaan kawasan yang baik dan tidak adanya praktekpraktek perikanan yang merusak (White 1989). 5.3 Pengelolaan Terumbu Karang dan Ikan Karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan Sekitarnya Hixon (2009) menulis bahwa aktivitas utama manusia yang mengancam keberadaan terumbu karang dan ikan karang diantaranya termasuk upaya penangkapan yang berlebihan (terutama upaya penangkapan yang tidak ramah lingkungan dan penangkapan ikan untuk koleksi aquarium dan restoran), dan pengrusakkan habitat, yang mencakup baik di wilayah-wilayah yang dekat dengan

56 pemukiman maupun dunia secara global terkait peristiwa pemutihan karang dan kenaikan kadar keasaman air laut akibat dari meningkatnya emisi karbon dan pemanasan global. Di seluruh dunia, sekitar 31% dari populasi karang ikan dianggap terancam punah dan 24% sekarang terancam. Solusi utama untuk mencegahnya adalah dengan penentapan kawasan konservasi yang dikelola dengan baik, yang telah terbukti efektif dalam mencegah penurunan populasi ikan. Terumbu karang menyediakan sumber makanan tidak hanya kepada organisme yang berada disekitarnya, namun merupakan sumber vital bagi ketersedian makanan bagi ratusan juta manusia di dunia. Terumbu karang merupakan sumber utama bagi mata pencaharian penduduk pesisir dan pantas menerima perhatian dari seluruh dunia. Terumbu karang menutupi hampir kurang lebih 1% dari wilayah lautan, terumbu karang juga merupakan tempat hidup bagi hampir 1/3 spesies ikan laut di dunia (Rinkevich 2008), menyediakan sekitar 10% dari total konsumsi ikan oleh manusia. Di samping itu bahwa terumbu karang menjadi fokus utama dari industri pariwisata (Ahmed et al. 2007). Menurut Bengen (2005) suatu pengelolaan dikatakan berkelanjutan apabila kegiatan tersebut dapat mencapai tiga tujuan, yaitu ekologi, sosial dan ekonomi. Berkelanjutan secara ekologi mengandung arti, bahwa pengelolaan dapat mempertahankan integritas ekosistem, memelihara daya dukung lingkungan dan konservasi sumberdaya ikan termasuk keanekaragaman hayati (biodiversity), sehingga pemanfaatan dapat berkesinambungan. Berkelanjutan secara sosial mensyaratkan bahwa kegiatan pengelolaan ikan hendaknya dapat menciptakan pemerataan hasil, mobilitas sosial, kohesi sosial, partisipasi masyarakat, pemberdayaan masyarakat, identitas sosial dan pengembangan kelembagaan. Secara umum, persentase tutupan karang hidup di Pulau Biawak dan sekitarnya mengalami penurunan bila dibandingkan dengan kondisi tutupan terumbu karang sebelum kawasan tersebut ditetapkan sebagai kawasan konservasi yaitu pada tahun 2003. Penurunan ini diduga berkaitan dengan penurunan kualitas lingkungan kawasan Pulau Biawak dan sekitarnya, upaya penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan serta aktivitas penambatan jangkar kapal di kawasan tersebut, mengingat kawasan tersebut merupakan tempat singgah sementara nelayan pada saat melakukan operasi penangkapan ikan. Penurunan persentase

57 tutupan karang juga memberikan pengaruh terhadap rendahnya kepadatan dan biomassa ikan karang. Ikan mati karena dua alasan utama, yaitu: kematian karena faktor alam dan kematian akibat aktivitas penangkapan. Dalam habitat yang dilindungi, kematian karena faktor alam akan menjadi faktor utama bagi penyebab ikan mati, tapi di daerah terbuka, perikanan merupakan faktor yang harus dipertimbangkan bersama dengan kematian karena faktor alam. Dengan tidak adanya aktivitas penangkapan ikan, kepadatan dan biomassa ikan di kawasan konservasi seharusnya jauh lebih tinggi daripada di daerah terbuka untuk penangkapan ikan. Penurunan kualitas terumbu karang dan biota asosiasinya dalam hal ini ikan karang di kawasan Pulau Biawak dan sekitarnya mengindikasikan bahwa penetapan kawasan konservasi Pulau Biawak dan sekitarnya belum dapat memberikan dampak yang diharapkan bagi peningkatan kondisi ekosistem terumbu karang dan komunitas ikan karang di kawasan tersebut. Perlu upaya ke depan yang lebih baik dalam mengelola kawasan konservasi Pulau Biawak dan sekitarnya agar kualitas ekosistem terumbu karang dan biota asosiasinya dapat berangsur-angsur pulih. Disarankan perlunya monitoring kondisi ekologis Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan sekitarnya secara berkala, monitoring hasil tangkapan di kawasan perairan Pulau Biawak dan sekitarnya, berdasarkan jenis ikan yang ditangkap dan berapa jumlahnya, serta aspek pengawasan perlu digalakkan untuk melindungi kawasan terumbu karang.