BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam hubungan antar manusia pada setiap masyarakat, di mana pun dan

dokumen-dokumen yang mirip
Hukum adat-2- PENGERTIAN DASAR DAN GUNA MEMPELAJARI HUKUM ADAT

TINJAUAN HUKUM PENYELESAIAN PERKARA PEMBATALAN AKTA HIBAH. (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Surakarta)

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan peraturan perundang-undagan dalam sistem dan prinsip Negara

BAB I PENDAHULUAN. bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, sejalan dengan ketentuan

BAB I PENDAHULUAN. hidup atau sudah meninggal, sedang hakim menetapkan kematiannya. Kajian

BAB I PENDAHULUAN. hidup dalam masyarakat dan saling membutuhkan satu sama lain. 2 Firman

KAJIAN YURIDIS HAK LANGGEH (SYUF AH) DALAM ADAT MASYARAKAT ACEH DI KOTA LANGSA AULIA RAHMAN ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. Perolehan dan peralihan hak atas tanah dapat terjadi antara lain melalui: jual

BAB I PENDAHULUAN. sebagai makhluk sosial dan merupakan kelompok masyarakat terkecil yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

Berdasarkan uraian diatas, maka yang dimaksud dalam judul skripsi ini adalah sebuah kajian yang akan fokus mengenai

BAB 1 PENDAHULUAN. mengatur hubungan manusia dan pencipta (hablu min allah) dan hubungan

BAB I PENDAHULUAN. maupun waktu dalam menjalin bekerja sama. Transaksi-transaksi perdagangan

BAB V PENUTUP. 1. Pendapat ulama Muhammadiyah dan Nahd atul Ulama (NU) di kota. Banjarmasin tentang harta bersama.

BAB I PENDAHULUAN. yang berlaku dalam masyarakat. Dapat pula dikatakan hukum merupakan

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang digunakan adalan penelitian normatif empiris. Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. seseorang dilahirkan, maka ia dalam hidupnya akan mengemban hak dan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan sehari-hari, dan dalam hukum Islam jual beli ini sangat dianjurkan

BAB I PENDAHULUAN. hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

BAB I PENDAHULUAN. dan keadaan, mengangkat dan menghilangkan segala beban umat. Hukum

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP AKAD PENAMBANGAN BATU DI DESA SENDANG KECAMATAN WONOGIRI KABUPATEN WONOGIRI

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan sarana dan prasarana lainnya. akan lahan/tanah juga menjadi semakin tinggi. Untuk mendapatkan tanah

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Perseroan Terbatas Nomor 40 Tahun 2007 dapat diartikan. dalam undang-undang serta peraturan pelaksanaannya.

KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA WARIS ATAS TANAH HAK MILIK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA DAN PENGADILAN AGAMA SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Bank menurut pengertian umum dapat diartikan sebagai tempat untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya setiap orang yang hidup di dunia dalam memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. Pasal 25A Undang - Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa wilayah

BAB I PENDAHULUAN. suatu kelompok dan kemampuan manusia dalam hidup berkelompok ini dinamakan zoon

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup

PROSES PERALIHAN HAK ATAS TANAH WAKAF (Studi kasus di KUA Kecamatan Sukoharjo, Kabupaten Sukoharjo)

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. yaitu saat di lahirkan dan meninggal dunia, dimana peristiwa tersebut akan

BAB I PENDAHULUAN. seluruh alam, dimana didalamnya telah di tetapkan ajaran-ajaran yang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. gamelan, maka dapat membeli dengan pengrajin atau penjual. gamelan tersebut dan kedua belah pihak sepakat untuk membuat surat

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya, matipun manusia masih memerlukan tanah. berbagai persoalan dibidang pertanahan khususnya dalam hal kepemilikan

Sistem Hukum. Nur Rois, S.H.,M.H.

BAB I PENDAHULUAN. Islam bukan keluarga besar (extended family, marga) bukan pula keluarga inti

BAB IV DASAR PERTIMBANGAN MAHKAMAH AGUNG TERHADAP PUTUSAN WARIS BEDA AGAMA DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Article Review. : Jurnal Ilmiah Islam Futura, Pascasarjana UIN Ar-Raniry :

BAB I PENDAHULUAN. seluruh aspek kehidupan masyarakat diatur oleh hukum termasuk mengenai

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

BAB I PENDAHULUAN. Abdurrahman, Masalah Perwakafan Tanah Milik dan Tanah Wakaf di Negara Kita, Alumni, Bandung, 2000, hlm. 2. 2

BAB I PENDAHULUAN. hidupnya salah satu kebutuhan manusia adalah perkawinan. Berdasarkan Pasal 28B ayat (1) Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.

TINJAUAN MENGENAI ASPEK HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KUHPERDATA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Jepara)

BAB I PENDAHULUAN. Sebelum melangkah pada pembahasan selanjutnya, terlebih dahulu akan

BAB I PENDAHULUAN. dan meninggal dunia di dalam masyarakat. Dalam hidup bermasyarakat yang

KEDUDUKAN AHLI WARIS PENGGANTI DALAM HUKUM WARIS ISLAM (STUDI KASUS DI PENGADILAN AGAMA SURAKARTA) TESIS

BAB I. Tuhan telah menciptakan manusia yang terdiri dari dua jenis yang berbedabeda

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Kegiatan ekonomi merupakan suatu hal yang tidak bisa terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat senantiasa mengalami perubahan dan yang menjadi pembeda

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama

PENGANGKATAN ANAK BERDASARKAN PENETAPAN PENGADILAN SERTA PERLINDUNGANNYA MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002 (Studi Kasus di Pengadilan Negeri Pacitan)

BAB I PENDAHULUAN. harus terjadi perselisihan atau sengketa dalam proses pembagian harta warisan

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhannya telah mampu merombak tatanan atau sistem kewarisan yang

BAB I PENDAHULUAN. aktifitasnya yang berupa tanah. Tanah dapat berfungsi tidak saja sebagai lahan

BAB II LANDASAN TEORI. Secara etimologi, al mal berasal dari kata mala yang berarti condong atau

BAB I PENDAHULUAN. Allah Swt. menciptakan makhluk-nya tidak hanya wujudnya saja, tetapi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia merupakan makhluk Allah SWT yang sempurna, setiap orang yang

PANDANGAN HAKIM TERHADAP KEDUDUKAN MAQÂSHID AL-SYARÎ AH DALAM UPAYA RECHTVINDING DI PENGADILAN AGAMA KAB. MALANG

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperlancar roda pembangunan, dan sebagai dinamisator hukum

BAB III ANALISIS PASAL 209 KHI TENTANG WASIAT WAJIBAH DALAM KAJIAN NORMATIF YURIDIS

BAB I PENDAHULUAN. sebut tanah, selain memberikan manfaat namun juga melahirkan masalah lintas sektoral

BAB I PENDAHULUAN. Dalam setiap kematian erat kaitannya dengan harta peninggalan. Setiap

BAB I PENDAHULUAN. dalam judul skripsi makelar mobil dalam perspektif hukum islam (Studi di

BAB I PENDAHULUAN. Tanah merupakan bagian dari permukaan bumi dengan batas-batas tertentu

BAB I PENDAHULUAN. - Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat. cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang.

BAB III PROSES IJMA MENURUT ABDUL WAHAB KHALLAF DAN PROSES PENETAPAN HUKUM DALAM KOMISI FATWA MUI

BAB I PENDAHULUAN. Qur anul Karim dan Sunnah Rosullulloh saw. Dalam kehidupan didunia ini, Firman Allah dalam Q.S. Adz-Dzaariyat : 49, yang artinya :

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia termasuk negara dengan penduduk yang mayoritas beragama

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

JAMINAN KEPASTIAN DAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PERJANJIAN GADAI TANAH MENURUT HUKUM ADAT ( ESTI NINGRUM, SH, MHum) Dosen FH Unwiku PWT A.

RINGKASAN Bagi umat Islam yang mentaati dan melaksanakan ketentuan pembagian warisan sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah swt.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. ini, semakin meningkat pula kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia akan

18.05 Wib. 5 Wawancara dengan Penanggung Jawab Pertambangan, Bpk. Syamsul Hidayat, tanggal 24 september 2014, pukul.

BAB I PENDAHULUAN. piutang. Debitor tersebut dapat berupa orang perorangan (natural person) dan. terhadap kreditor tak dapat terselesaikan.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG HARTA DALAM PERKAWINAN ISLAM. harta kerabat yang dikuasai, maupun harta perorangan yang berasal dari harta

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupannya. Apabila ada peristiwa meninggalnya seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan tanah hak kepada pihak lain untuk selama-lamanya (hak atas tanah

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidup yang beraneka ragam. Dalam menjalani kehidupan, manusia

Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang 2010

BAB I PENDAHULUAN. di dalamnya juga mencakup berbagai aspek kehidupan, bahkan cakupannya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan merupakan sunnah Rasul yang dilakukan oleh kaum muslim

BAB I PENDAHULUAN. ajaran yang sangat sempurna dan memuat berbagai aspek-aspek kehidupan

: EMMA MARDIASTA PUTRI NIM : C.

BAB I PENDAHULUAN. (Jakarta : Balai Pustaka, 1990) h Bulan Bintang, 1957) h Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,

PELAKSANAAN AKAD WADI AH DI LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH (Studi di BMT HIRA Gabugan, Tanon, Sragen)

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM TERHADAP PELAKSANAAN KEWARISAN TUNGGU TUBANG ADAT SEMENDE DI DESA MUTAR ALAM, SUKANANTI DAN SUKARAJA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, Edisi Kedua, Balai Pustaka 1997,Hlm Bintang, cet VII, jakarta, 1995,h.10

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam hubungan antar manusia pada setiap masyarakat, di mana pun dan kapan pun, selalu ada peraturan. Ada naluri dalam setiap pemikiran anggota masyarakat untuk menata hubungan antara sesama agar tidak terjadi kekacauan, ada perlindungan terhadap kepentingannya, ada jaminan masa depan terhadap harapannya untuk hidup. Pemikiran-pemikiran dan harapan-harapan tentang itu semua diikrarkan menjadi pedoman perilaku bersama. Karena itu, setiap peraturan betapapun bentuknya merupakan manifestasi dari suara hati masyarakat, suara hati kolektif. 1 Kehidupan di zaman modern dan global sekarang telah jauh berbeda dengan kehidupan di zaman Rasulullah SAW. Perubahan sosial dalam berbagai aspek selalu melahirkan tuntutan agar perangkat hukum yang menata masyarakat haruslah ikut berkembang bersamanya. 2 Di Indonesia kita mengenal adanya hukum tertulis dan hukum yang tidak tertulis, boleh dikatakan sebenarnya hukum yang tidak tertulis lebih banyak dan lebih kompleks aturan-aturan didalamnya yang mengatur tentang masyarakat dibandingkan dengan hukum yang telah terkodifikasi. Hukum tidak tertulis tersebut termasuk pula hukum adat yang sebagian besar peraturan-peraturan dikalangan masyarakat hukum adatnya tidak terkodifikasi. Karena sifatnya yang tidak 1 Nico Ngani, Perkembangan Hukum Adat Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2012), hal. 1 2 M.Hasballah Thaib, Tajdid, Reaktualisasi dan Elastisitas Hukum Islam, Konsentrasi Hukum Islam (Medan : Pasca Sarjana USU, 2002), hal. 5 1

2 terkodifikasi itu, maka hukum adat bersifat dinamis, artinya mudah berubah-ubah menurut waktu (tijd), tempat (ruimte), dan keadaan (omstandigheid). 3 Pada umumnya hukum adat bercorak tradisional, artinya bersifat turun temurun, dari zaman nenek moyang hingga ke anak cucu sekarang ini yang keadaannya masih tetap berlaku dan dipertahankan oleh masyarakat adat yang bersangkutan. 4 Istilah hukum adat yang mengandung arti aturan kebiasaan ini sudah lama dikenal di Indonesia seperti di Aceh Darussalam pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636) istilah hukum adat ini telah dipergunakan, ini ditemukan dalam kitab hukum yang diberi nama Makuta Alam kemudian di dalam kitab hukum Safinatul Hukkam Fi Takhlisil Khassam yang ditulis oleh Jalalauddin bin Syeh Muhammad Kamaludin anak Kadhi Baginda Khatib Negeri Trussan atas perintah Sultan Alaidin Johan Syah (1781-1895). Di dalam mukadimah kitab hukum acara tersebut dikatakan bahwa dalam memeriksa perkara seorang Hakim haruslah memperhatikan Hukum Syara, Hukum Adat, serta Adat dan Resam. 5 Provinsi Aceh merupakan salah satu daerah di Indonesia yang masih menjunjung tinggi hukum adat dan kebudayaannya, hal ini tersirat dalam adagium Adat bak Poe Teu Meureuhôm, Hukôm bak Syiah Kuala, Qanun bak Putroe Phang, Reusam bak Lakseumana. Hadih maja tersebut menyebutkan bahwa persoalan adatistiadat, sistem pemerintahan, hendaklah disesuaikan dengan konvensi para raja dan 3 Ibid, hal. 2 4 Dewi Wulansari, Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2012), hal. 15 5 H. Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia (Bandung: Mandar Maju 1992), hal. 9

3 diserahkan sepenuhnya pada raja, Po Teu Meureuhôm. Namun, Persoalan hukum diatur oleh ulama Syiah Kuala. Karenanya, tidak berlebihan kalau para raja (masa lalu ataupun saat ini) berusaha sekuat tenaga untuk mempertahankan, menghidupkan kembali, dan takut sekali melanggar hukum adat. Sikap ini merupakan pengejawantahan pemikiran bahwa adat-istiadat yang ada dalam masyarakat idealnya dipertahankan, tidak diubah, sesuai dengan maksud hadih maja, Boh malairi ie paseueng surôt, adat datôk nini beutaturôt yang berarti buah malairi air pasang surut, adat nenek moyang hendaklah diikuti. Masyarakat Aceh sangat kental dengan Islam, dengan berlatar belakang sejarah sehingga kini disebut serambi Mekah, Aceh yang merupakan sebagian besar penduduknya beragama Islam banyak menggunakan hukum Islam untuk diadopsi sebagai hukum adatnya. Dasar hukum Syariat Islam di Aceh tertuang dalam Peraturan Daerah Istimewa Aceh Nomor 5 Tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syariat Islam, yang merupakan cita-cita masyarakat Aceh untuk melaksanakan Syariat Islam secara kaffah di Aceh. Hubungan yang harmonis antara seluruh umat Islam adalah idaman setiap muslim. Dengan hubungan yang harmonis, persatuan dan kesatuan umat dapat dibangun. Guna mewujudkan hal ini, Islam mensyari atkan berbagai hal agar diindahkan oleh setiap muslim. Berbagai syari at ini bila diterapkan dengan benar, niscaya idaman ini menjadi kenyataan dan keretakan dapat dihindarkan. 6 6 Majalah Al-furqon Edisi 7 Tahun Keduabelas, hal. 45.

4 Syariat Islam digunakan untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan, menyingkirkan keburukan dan kemudharatan, Syariat Islam mempunyai aturan yang lurus dan hukum-hukum yang adil demi tujuan yang terpuji dan maksud-maksud yang mulia. Pengaturannya didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan dan sesuai dengan hikmah dan kebenaran. Sebelum diperkenalkan istilah Adat-Recht yang kemudian diterjemahkan menjadi hukum adat oleh Christian Snouck Hurgroje dan Cornelis van Vollenhoven, berbagai istilah yang mencoba menjelaskan tentang hukum adat telah dipergunakan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Hal ini dapat ditemukan dalam Peraturan Perundang-undangan Pemerintah Hindia Belanda di bawah ini: 7 1. Dalam A.B. (Algemene Bepalingen van Wetgeving/Ketentuan-ketentuan Umum Perundang-undangan) Pasal 11 digunakan istilah Godsdienstige Wetten, Volks Instellingen En Gebruiken (Peraturan-peraturan keagamaan, Lembaga-lembaga Rakyat dan Kebiasaan-kebiasaan). 2. Dalam R.R. (Regerings Reglement) 1854 Pasal 75 ayat (3) redaksi lama R.R. 1854, digunakan istilah Godsdienstige Wetten, Instelingen en Gebruiken (Peraturan-peraturan Keagamaan, Lembaga-lembaga dan kebiasaankebiasaan). 3. Dalam I.S. (Indische Staatsregeling = Peraturan Hukum Negara Belanda semacam Undang-Undang Dasar bagi Pemerintah Hindia Belanda) Pasal 7 Iman Sudiyat, Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar, (Yogyakarta: Liberty 1982), hal. 1-2; Bushar Muhammad, Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengantar, (Jakarta: Pradnja Paramita 1984), hal. 9-10

5 128 ayat (4) sebelumnya, Pasal 71 ayat (2) sub b redaksi baru R.R 1854 yang mengganti Pasal 75 ayat (3) redaksi lama R.R 1854 dipergunakan istilah Instellingen des Volks (Lembaga-lembaga dari rakyat). 4. Dalam I.S. Pasal 131 ayat (2), sub b digunakan istilah Met Hunne Godsdiensten en Gewoonten Samenhangen de Rechts Regelen (Aturanaturan Hukum yang berhubungan dengan Agama-agama dan Kebiasaankebiasaan mereka). 5. Dalam R.R. 1854 Pasal 78 ayat (2), digunakan istilah Godsdienstige Wetten en Oude Herkomsten (Peraturan-peraturan Keagamaan dan Kebiasaankebiasaan Lama/Kuno). Godsdienstige Wetten en Oude Herkomsten ini oleh Ind. Stbl. 1929 nr jo nr 487 diganti dengan istilah Adat-Rect. Dari beberapa litelatur di atas dapat dianalisis bahwa hukum Adat yang berkembang di Indonesia khususnya di Aceh dengan mayoritas penduduknya yang memeluk agama Islam banyak memasukkan hukum Islam ke dalam sumber hukum adatnya. Hal ini sepadan dengan apa yang ditengahkan oleh Mr. L.W.C Van Den Berg seorang sarjana hukum yang pernah menjabat pelbagai jabatan penting seperti Penasehat bahasa-bahasa Timur dan Hukum Islam pada Pemerintahan kolonial Belanda, sebagai Guru Besar di Delft, sebagai pensaehat Departemen Jajahan di negeri Belanda, dengan teori receptio in complexu. Inti dari pada isi teori ini adalah sebagai berikut: Selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut ajaran ini

6 hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti hukum-hukum agama itu dengan setia. 8 Adat ngon hukom (agama), lagei zat ngon sifeut. Secara harfiah, peribahasa Aceh ini mengungkapkan, adat dengan hukum seperti sesuatu zat yang tidak dapat dipisahkan. Karenanya, keseluruhan hukum adat yang berlaku di Aceh bersumber dari agama Islam. Aturan adat dan lembaga pelaksanaan aturan adat yang ada di Aceh diatur dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2009 Tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat dan Qanun Aceh Nomor 10 tahun 2009 Tentang Lembaga Adat. Peraturan tersebut yang menjadi wadah sebagai tempat untuk menjalankan hukum adat yang berlaku di Aceh. Hukum adat di Aceh banyak mengatur tentang berbagai macam hal pola hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Salah satu yang diatur dalam hukum adat Aceh adalah tentang muamalah yang telah menjadi hukum positif dengan di undangkannya Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam. Dalam qanun tersebut dijelaskan bahwa Mahkamah Syar iyah mempunyai kewenangan dan kekuasaan mengadili salah satunya dalam hal muamalah. Seperti apa yang tertera didalam Pasal 49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam yaitu Mahkamah Syar'iyah bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara pada tingkat pertama, dalam bidang 9 : a. Ahwal al syakhshiyah; 8 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: CV. Haji Masagung 1988), hal. 29 9 Pasal 49, Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam.

7 b. Mu'amalah; c. Jinayah Pada penjelasan Pasal 49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kewenangan dalam bidang muamalah meliputi hukum kebendaan dan perikatan seperti: Jual beli, hutang piutang, Qiradh (Permodalan), Musaqah, muzaraah, mukhabarah (bagi hasil pertanian), Wakilah (kuasa), Syirkah (perkongsian), Ariyah (pinjam meminjam), hajru (penyitaan harta), syuf ah (Hak Langgeh), rahnun (Gadai), Ihyaul mawat (pembukaan lahan), ma'din (tambang), luqathah (barang temuan), Perbankan, ijarah (sewa menyewa), takaful, Perburuhan, Harta rampasan, Waqaf, hibah, shadaqah, dan hadiah. Salah satu yang dijelaskan dalam Pasal 49 Qanun Nomor 10 Tahun 2002 Tentang Peradilan Syariat Islam tersebut adalah hak langgeh (syuf ah) yang masuk dalam bahagian muamalah. Apa yang disebut dengan hak langgeh (syuf ah) tersebut sangat erat kaitannya dengan transaksi tanah. Transaksi tanah adalah suatu persetujuan jual beli (dalam perdagangan antara dua pihak yang dalam bidang hukum adat sering berlaku berkaitan dengan tanah. Jadi transaksi tanah yaitu sejenis perjanjian timbal balik yang bersifat nyata di lapangan hukum kekayaan sebagai salah satu bentuk perbuatan tunai yang berobjek tanah. 10 10 Badruzzaman Ismail, Asas-asas Hukum Adat Sebagai Pengantar, (Banda Aceh: Majelis Adat Aceh, 2009) hal. 147

8 Hak langgeh (syuf ah) merupakan persyaratan yang harus di laksanakan sebelum seseorang/badan hukum melaksanakan proses transaksi jual beli tanah selain persyaratan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Hal tersebut dikarenakan hak langgeh (syuf ah) tersebut telah hidup dan berkembang didalam hukum adat masyarakat Aceh. Namun pada prakteknya banyak masyarakat di Kota Langsa tidak memperdulikan adanya norma tentang hak langgeh (syuf ah) tersebut sehingga seringnya terjadi sengketa dalam hal jual beli tanah dan menimbulkan kerugian bagi penjual, pembeli maupun Pejabat Pembuat Akta Tanah sekalipun. 11 Dalam kehidupan manusia selaku makhluk sosial, keberadaan tanah tidak akan terlepas dari segala perilaku manusia itu sendiri, sebab tanah dapat dijadikan lahan bagi manusia untuk menjalani dan melanjutkan proses kehidupannya. Oleh karena itu, tanah sangat dibutuhkan oleh setiap anggota masyarakat bukan hanya sebagai lahan untuk kehidupan tetapi lebih dari pada itu manfaatnya yaitu sebagai tempat mempertahankan hidup dan melambangkan marwah (martabat) bagi masyarakat Aceh, sehingga sering terjadi sengketa di antara sesama masyarakat, terutama yang menyangkut tanah. Terlebih dalam kaitannya dengan muamalah terutama dalam hal transaksi jual beli, untuk itulah diperlukan kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antara satu pribadi dengan yang lainnya. 12 11 Wawancara dengan T. Khairul Azhar (Geuchik Gampong Blang, Kecamatan Langsa Kota) pada tanggal 17 Januari 2014. 12 Wawancara dengan Drs. H. Ibrahim Daud (Ketua Majelis Adat Aceh, Kota Langsa), pada tanggal 16 Desember 2013.

9 Sengketa tentang transaksi tanah yang berkaitan tentang hak langgeh (syuf ah) rawan menyebabkan terjadinya konflik antara pemilik tanah tetangga, keluarga dan teman sekongsi, karena biasanya dari ketiga unsur pembeli tersebut mereka juga ingin memiliki tanah yang akan dijual guna untuk menggabungkan tanah yang berbatasan maupun dengan alasan lain. Maka untuk menyelesaikan kasus yang akan terjadi masyarakat bisa memilih untuk beracara pada peradilan adat gampong, maupun Mahkamah Syar iah Kota Langsa. Apabila berbicara tentang jual beli maka didalamnya juga pasti menyinggung tentang apa yang disebut dengan akad. Akad yaitu perikatan, perjanjian dan pemufakatan. Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan kabul (pernyataan menerima ikatan), sesuai dengan kehendak syari at yang berpengaruh pada obyek perikatan. 13 Berdasarkan uraian tersebut dapat di ketahui bahwa akad merupakan sesuatu yang wajib dan harus dilaksanakan pada saat seseorang atau suatu badan hukum akan melaksanakan transaksi jual beli tanah dan bangunan mereka, tetapi masyarakat di Kota Langsa belum sepenuhnya melaksanakan hak langgeh (syuf ah) sebelum mereka melakukan transaksi jual beli tanah dan bangunannya tersebut padahal hak langgeh (syuf ah) ini bertujuan untuk mencegah kemudharatan diantara pihak yang akan bertransaksi. 13 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqh Muamalat), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), hal. 101

10 Kehidupan masyarakat di Aceh sangat kaya akan adat dan kebudayaan yang hingga kini masih dan terus dijunjung tinggi dalam interaksi hubungan kehidupan masyarakatnya. Hal tersebut tercermin dalam sebuah ungkapan Aceh, yang menyebutkan tentang sumber atau unsur penghidupan, yaitu : ie, apui, angen, tanoh (air, api, angin, tanah). Demikian, pentingnya tanah bagi kehidupan manusia maka timbullah berbagai hak dan kewajiban atas tanah. Hak Langgeh menurut putusan Mahkamah Agung tanggal 31 Maret 1977 nomor 298 K/Sip./1973 adalah hak dalam hukum adat yang memberikan prioritas / hak didahulukan dari orang lain untuk membeli tanah, hak mana diberikan kepada tiga unsur masyarakat yaitu sanak saudara, sesama anggota masyarakat dan pemilik tanah tetangga. Dalam lingkungan hukum adat Aceh, apabila peralihan hak tidak dilakukan menurut tata urutan penawaran berdasarkan hak terdahulu maka pihak yang dirugikan dapat menggugat pembatalan keabsahan jual beli tersebut kepada Peradilan Gampong dan Mukim dan atau Pengadilan. Hak menuntut keabsahan jual beli karena melanggar hak terdahulu disebut hak langgeh (hak menyanggah). 14 Hukum Islam juga mengenal apa yang di atur seperti hak langgeh tersebut, yaitu hak syuf ah. Asy-Syuf ah berasal dari kata Asy-Syaf u yang berarti Adh- Dhammu (menggabungkan), hal ini dikenal di kalangan orang-orang Arab. Pada zaman jahiliyah, seseorang yang akan menjual rumah atau kebun didatangi oleh tetangga, partner (mitra usaha) dan sahabat untuk meminta Syuf ah (penggabungan) dari apa yang dijual. Kemudian ia menjualkannya, dengan memprioritaskan yang lebih dekat hubungannya daripada yang lebih jauh. Pemohonnya disebut sebagai Syafi. 15 14 Ilyas Ismail, Konsepsi Hak Garap Atas Tanah, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2011), hal. 107 15 Sayyid Sabiq, fiqh al-sunnah, (Kairo: Dar al-fiqr, 1997), hal. 45

11 Sedangkan menurut syara Syuf ah adalah, pemilikan barang Syuf ah oleh Syafi sebagai pengganti dari pembeli dengan membayar harga barang kepada pemiliknya, sesuai dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain. 16 Berbeda dengan para ulama menafsirkan al-syuf ah adalah sebagai berikut : 1. Menurut Syaikh Ibrahim al-bajuri 17 bahwa yang dimaksud dengan al-syuf ah ialah : Hak memiliki sesuatu secara paksa ditetapkan untuk syarik terdahulu atas syarik yang baru disebabkan adanya syirkah dengan penggantian (i wadh) yang dimilikinya, disyariatkan untuk mencegah kemudharatan. 2. Menurut Sayyid sabiq, al-syuf ah ialah pemilikan benda-benda syuf ah oleh syafi i sebagai pengganti dan pembeli dengan membayar harga barang kepada pemiliknya sesuai dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain. 18 3. Menurut Idris ahmad, 19 Al-syuf ah ialah hak yang tetap secara paksa bagi syarikat lama atas syarikat baru dengan jalan ganti kerugian pada benda yang menjadi milik bersama. Setelah diketahui ta rif-ta rif (definisi-definisi) yang dikemukakan oleh para ulama beserta contohnya, kiranya dapat dipahami bahwa al-syuf ah ialah pemilikan oleh seorang syar iq dan dua orang atau pihak yang berserikat dengan paksaan terhadap benda syirkah. 16 Ibid. hal. 45 17 Syaikh Ibrahim al-bajuri, al-bajuri, (Usaha Keluarga: Semarang), hal.15 18 Ibid. hal. 15 19 Idris Ahmad, fiqh al- Syafiiyah, (Karya Indah: Jakarta, 1986), hal. 121

12 Dari doktrin para ulama-ulama tersebut dapat di analisis bahwa as-syuf ah adalah penggabungan secara paksa atas suatu hak yang sudah dijual ke pihak lain supaya dijual kembali kepada pihak yang lebih berhak, yakni anggota perserikatan (syarikah). Dalam kerangka inilah, syuf ah berarti pemilikan barang yang diperkongsikan (al masyfu ) oleh pihak yang bergabung pada suatu persekutuan milik secara paksa dari pihak yang membeli dengan cara mengganti nilai harga jual yang sudah dilakukan. 20 Selaras dengan hadits yang diriwayatkan oleh Ashab al-sunnah dari Jabir ra bahwa Nabi SAW bersabda, yang artrinya: Tetangga adalah yang paling berhak mendapatkan Syuf ah milik tetangganya, ia boleh menunggu tetangganya jika ia tidak ada di tempat, apabila memang jalannya (di mana milik mereka berada) satu. 21 Menurut penelitian khususnya di daerah penelitian tesis ini, berdasarkan sampel hampir seluruh masyarakat di Kota Langsa paham akan adanya norma tentang hak langgeh (syuf ah) tersebut, namun mereka kurang atau hampir tidak menerapkan hak langgeh (syuf ah) tersebut karena menurut mereka hak langgeh (syuf ah) merupakan sekedar sesuatu hal yang tidak mempunyai kekuatan hukum padahal hak langgeh (syuf ah) diatur dan telah menjadi kebiasaan dalam hukum adat Aceh, yang aturannya menganut seperti azas yang terdapat dalam hukum adat pada umumnya. Aturan tersebut tidak tertulis dan di wariskan secara turun temurun dari nenek moyang hingga sekarang. Penyelesaian sengketa hak langgeh (syuf ah) juga telah diatur dan merupakan wewenang mengadili Mahkamah Syar iah. 20 Helmi Karim, Fiqh Muamalah, Rajawali Press, 1993, hal. 96 21 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 165

13 Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, perlu suatu penelitian lebih lanjut mengenai bagaimana eksistensi hak langgeh (syuf ah) dalam adat masyarakat Aceh, yang akan dituangkan dalam judul tesis KAJIAN YURIDIS HAK LANGGEH (SYUF AH) DALAM ADAT MASYARAKAT ACEH DI KOTA LANGSA. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana keberadaan hak langgeh (syuf ah) dalam masyarakat Aceh di Kota Langsa? 2. Bagaimana menyelesaikan sengketa hak langgeh (syuf ah) masyarakat Aceh di Kota Langsa? 3. Bagaimana efektivitas penyelesaian sengketa hak langgeh (syuf ah) dengan cara adat pada masyarakat Aceh di Kota Langsa? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukan di atas, adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui keberadaan hak langgeh (syuf ah) dalam masyarakat Aceh di Kota Langsa. 2. Untuk mengetahui penyelesaian sengketa hak langgeh (syuf ah) masyarakat Aceh di Kota Langsa. 3. Untuk mengetahui keefektifan penyelesaian terhadap sengketa hak langgeh (syuf ah) dengan cara adat pada masyarakat Aceh di Kota Langsa.

14 D. Manfaat Penelitian Tujuan penelitian dan manfaat penelitian merupakan satu rangkaian yang hendak dicapai bersama, Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara teoritis dan praktis, yaitu : 1. Manfaat Teoritis a. Sebagai bahan informasi bagi akademisi dan untuk pengembangan wawasan dan kajian tentang hak langgeh untuk dapat menjadi bahan perbandingan bagi penelitian lanjutan. b. Memperkaya khasanah perpustakaan hukum khususnya di bidang Hukum Adat berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. 2. Manfaat Praktis Hasil dari penelitian ini dapat bermanfaat memberikan masukan bagi para praktisi maupun memberikan pengetahuan hukum kepada masyarakat mengenai pemahaman dan penerapan hak langgeh (syuf ah) dalam adat masyarakat Aceh khususnya. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi yang ada dan penelusuran kepustakaan yang ada di lingkungan, khususnya di Program Magister Kenotariatan dan Magister Ilmu Hukum Medan, belum ada penelitian sebelumnya yang berjudul tentang Kajian Yuridis Hak Langgeh (Syuf ah) Dalam Adat Masyarakat Aceh Di Kota Langsa, dan tidak ada satu pun penelitian yang membahas mengenai hak langgeh (syuf ah) tersebut.

15 Oleh karenanya maka penulis berkeyakinan bahwa penelitian yang penulis lakukan ini jelas dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, karena senantiasa memperhatikan ketentuan-ketentuan atau etika penelitian yang harus dijunjung tinggi baik peneliti atau akademis. F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Teori diartikan sebagai suatu sistem yang berisikan proposisi-proposisi yang telah diuji kebenarannya, berpedoman pada teori maka akan dapat menjelaskan, aneka macam gejala sosial yang dihadapi, walau hal ini tidak selalu berarti adanya pemecahan terhadap masalah yang dihadapi, suatu teori juga mungkin memberikan pengarahan pada aktivitas penelitian yang dijalankan dan memberikan taraf pemahaman tertentu. 22 Dalam dunia ilmu, teori menempati kedudukan yang penting karena memberikan sarana kepada kita untuk bisa merangkum serta memahami masalah yang kita bicarakan secara lebih baik. 23 Teori adalah untuk menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu terjadi, dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya. 24 22 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia (UI-Press), hal. 6 23 Satjipto Rahardjo, SH, Ilmu Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2006,hal. 259 24 J.J.J.M.Wuisman, penyunting M.Hisyam, Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Asasasas,(Jakarta:FE UI, 1996), hal.203

16 Menurut J.J.H Bruggink, Teori merupakan keseluruhan pernyataan yang saling berkaitan, yang dikemukakan untuk menjelaskan tentang adanya sesuatu, maka teori hukum dapat ditentukan dengan lebih lanjut sebagai suatu keseluruhan pernyataan-pernyataan yang saling berkaitan dan berkenaan dengan hukum, dengan itu harus cukup mengurai tentang apa yang diartikan dengan unsur teori dan harus mengarahkan diri kepada unsur hukum. 25 Tolak ukur menganalisis permasalahan yang akan diteliti karena suatu teori atau kerangka teori harus mempunyai kegunaan paling sedikit mencakup hal-hal sebagai berikut: 26 a. Teori tersebut berguna untuk lebih mempertajam atau lebih mengkhususkan fakta yang hendak diselidiki atau diuji kebenarannya. b. Teori sangat berguna di dalam mengembangkan konsep-konsep. c. Teori biasanya merupakan suatu ikhtisar dari pada hal-hal yang telah diketahui serta diuji kebenarannya yang menyangkut objek yang telah diteliti. d. Teori memberikan kemungkinan pada prediksi fakta mendatang, oleh karena telah diketahui sebab-sebab terjadinya fakta tersebut dan mungkin faktorfaktor tersebut akan timbul lagi pada masa-masa mendatang. e. Teori memberikan petunjuk-petunjuk terhadap kekurangan-kekurangan pada pengetahuan penelitian. 25 J.J.H Bruggink, Refleksi tentang hukum, Alih Bahasa Arief Sidharta, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 2 26 J. Satrio, Hukum Perikatan, Perikatan pada Umumnya, (Bandung: Alumni, 1993), hal. 254

17 Sedangkan kerangka teori adalah kerangka pemikiran atau butir-butir, pendapat, teori, tesis, mengenai suatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan perbandingan pegangan teoritis, yang mungkin ia setujui ataupun tidak disetujuinya. 27 Sedangkan tujuan dari kerangka teori menyajikan cara-cara untuk bagaimana mengorganisasikan dan menginterprestasikan hasil-hasil penelitian dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang terdahulu. 28 Teori menguraikan jalan pikiran menurut kerangka yang logis artinya mendudukkan masalah penelitian yang telah dirumuskan di dalam kerangka teoritis yang relevan, yang mampu menerangkan masalah tersebut. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah merujuk pada 2 (dua) teori yaitu : Teori Uruf dan Teori Maqashid Al-Syari ah yang akan digunakan sebagai pisau analisis dalam pembahasan penelitian ini. 1) Teori Uruf Kata uruf, yang sering diartikan ke dalam bahasa Indonesia dengan arti adat, diambil dari akar kata yang sama dengan makruf lawan mungkar, karena itu uruf berarti sesuatu yang baik. 29 Secara terminologi, kata uruf ini didefinisikan dengan kebiasaan mayoritas ummat dalam penilaian suatu perkataan atau perbuatan. Uruf ini merupakan salah satu dalil dalam menetapkan hukum syarak. 30 27 M.Solly Lubis, Filsafat Imu Dan Penelitian, (Medan: PT.Sofmedia, 2012), hal. 129 28 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rineka Cipta, 1996), hal.19 29 Zamakhsyari, Teori-Teori Hukum Islam Dalam Fiqih dan Ushul Fiqih, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2013), hal. 117. 30 Ibid. hal. 117

18 Dengan demikian, adat dalam pengertian umum ialah segala sesuatu yang dibiasakan oleh rakyat umum atau golongan. Adat kebiasaan memainkan peran penting dalam sejarah perkembangan dan kebangkitan manusia, baik dalam kehiduan sosial maupun dalam aspek-aspek kebudayaan lainnya. Peranannya di dalam hal tersebut banyak dipengaruhi oleh faktor sebab yang pokok, yaitu faktor iklim dan semangat kebangsaan. 31 perantaraan tradisionil 32 Kebiasaan semakin tambah kuat kedudukannya dengan yang mengopernya sampai menjadi kepastian di dalam kehidupan bangsa. Berdasarkan pengertian di atas, Mustafa Ahmad al-zarqa, Ahli Fiqih di Universitas Amman Jordania, mengatakan bahwa uruf merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari uruf. Suatu uruf menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan pada pribadi atau kelompok tertentu dan uruf muncul dari suatu pemikiran dan pengalaman, seperti kebiasaan mayoritas masyarakat pada daerah tertentu dalam menetapkan keperluan rumah tangga yang diambilkan dari mahar yang diberikan suami, atau penentuan ukuran tertentu dalam penjualan makanan. 33 Adat dan kebiasaan dapat dikatakan memiliki arti yang sama, Menurut definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Naja di dalam syarh al-mughni adalah suatu 31 Kitab Montesqoieu De L Esprit des lois, v. 1, kitab 14; Kitab Curs usder Instionen, 1893, Leipzig (dalam bagian muqaddimah) karangan puchta, dan Kitab savign system des heutegen Romischen Rechts. Dinukil dari; Subhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam islam, (Bandung: PT Ma arif, 1981), hal. 191 32 Lihat: kitab Les Lois de L imitation, karangan Tarde. Dinukil dari; Subhi Mahmassani, Filsafat Hukum Dalam islam, (Bandung: PT Ma arif, 1981), hal. 191 33 M. Al-Zarqa, Ushul al-fiqh, (Damaskus: Damaskus Univ., 1997), hal. 35

19 pengertian dari yang ada dalam jiwa orang-orang berupa perkara yang berulang-ulang kali terjadi yang dapat diterima oleh tabiat yang waras. 34 Dalil untuk berlakunya hukum adat ini didalam perkara-perkara Syari ah adalah Ijmak ahli-ahli Fiqih yang diambil dari yurisprudensi Peradilan Islam. Tentang masalah ini ada ungkapan yaitu : apa yang menurut pendapat umat islam baik, maka baik pula sisi Allah SWT & Syuraih Al-Qadhi pada zaman Umar Bin Khattab pernah berkata kepada tukang-tukang pintal yaitu : kebiasaanmu sekalian diantara kamu. 35 2) Teori Maqashid Al-Syari ah Maqashid al-syari ah terdiri dari dua suku kata, maqashid yang merupakan bentuk jamak dari kata maqshad yang berarti tujuan 36, dan kata al-syari ah yang sering dipahami dalam arti hukum Islam. Jadi istilah Maqashid al-syari ah berarti tujuan-tujuan syari at. 37 Teori ini dikemukakan dan dikembangkan oleh Abu Ishaq al-syatibi, yaitu tujuan utama hukum adalah Maslahah atau kebaikan dan kesejahteraan manusia, tidak satupun hukum Allah yang tidak mempunyai tujuan hukum, yang tidak mempunyai tujuan sama dengan membebankan suatu yang tidak dapat dilaksanakan, Hukumhukum Allah dalam Al Qur an mengandung kemaslahatan. 38 Hukum bergantung hal. 37 34 Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah wa An-Nazha ir, (Beirut: Daar al-turats al-islami, 2001), 35 Ibid. hal. 124 36 Al-Fayyumi, Al-Mishbah al-muniir, (Kairo: Muassasah al-mukhtar, 2008), hal. 374. 37 Al-Ghazali, Al-Mushtashfa, (Beirut: Daar Ihya Turats al-arabi, 1997), jilid 2 hal. 481. 38 Asfari Jaya Bakri, Konsep Maqasid Al-Syari ah, (Jakarta: Disertasi Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, 1994), hal. 96

20 kepada kemaslahatan, dimana ada kemaslahatan disitu ada hukum, dan kemaslahatan umum lebih utama dari kemaslahatan kelompok atau individu. Dalam ilmu ushul fiqih, bahasan maqashid al-syari ah bertujuan untuk mengetahui tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh perumusnya dalam mensyari atkan hukum. Tujuan hukum ini merupakan salah satu faktor penting dalam menatap hukum Islam yang ditetapkan melalui ijtihad. 39 Ulama ushul Fiqih sepakat menyatakan bahwa pada setiap hukum itu terkandung kemaslahatan bagi hamba Allah s.w.t., baik kemaslahatan itu bersifat duniawi maupun ukhrawi. 40 Ada beberapa alasan yang dikemukakan ulama ushul Fiqh dalam menetapkan bahwa di setiap hukum Islam itu terdapat tujuan yang hendak dicapai oleh syarak, yaitu kemaslahatan umat manusia. Firman Allah yang artinya: Mereka rasul-rasul Kami utus selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah setelah diutusnya rasul-rasul (QS. An-Nisa : 165). Kandungan ayat ini menurut ulama ushul Fiqh, menunjukkan bahwa Allah SWT. dalam menentukan hukum-hukum Nya senantiasa menghendaki sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, sehingga apabila hal tersebut tidak diusahakan manusia, maka ia akan merugi. Inilah makna yang terkandung di balik diutusnya para Rasul bagi manusia. 39 Al-Youbi, Maqashid al-syari ah w alaqatuha bi al-adillah al-syar iyyah, (Riyadh: Daar Ibn al-jauzi, 2008), hal. 44 40 Al-Syatibi, Al-Muwafaqaat Fi Ushul al-syari ah, (Beirut: Daar al-kutub al-ilmiyyah, 2007, jilid 4 hal. 15

21 2. Konsepsi Konsepsi adalah pemahaman yang terbangun dalam akal dan pikiran peneliti untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstraksi dan kenyataan. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal-hal yang khusus yang disebut definisi operasional. 41 Oleh karena itu, untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini haruslah didefinisikan beberapa konsep dasar, agar secara operasional diperoleh hasil dalam penelitian ini yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan. Konsep merupakan alat yang dipakai oleh hukum disamping yang lainnya, seperti asas dan standar. Oleh sebab itu kebutuhan untuk membentuk konsep merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum. Konsep diartikan sebagai kata yang menyatakan abstraksi yang digeneralisasikan dari hal yang berbentuk khusus. 42 Konsepsi adalah salah satu bagian terpenting dari teori, peranan konsep dalam penelitian adalah untuk menghubungkan antara teori dan observasi, antara abstraksi dengan realitas. 43 Pemakaian konsep terhadap istilah yang digunakn terutama dalam judul penelitian, bukanlah untuk keperluan mengkomunikasikannya semata-mata dengan pihak lain. Sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, tetapi juga demi menuntun peneliti sendiri didalam menangani proses penelitian dimaksud. 44 41 Samadi Suryabrata, Metodelogi Penelitian, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1998), hal. 3 42 Ibid. Hal. 4 43 Masri Singaribun dkk, Metode Penelitian Survey, (Jakarta: LP3ES, 1989), hal. 34 44 Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, (Jakarta: PT.RajaGrafindo Persada,1999), hal. 107-108

22 Konsepsi ini bertujuan untuk menghindari salah pengertian atau penafsiran terhadap istilah-istilah yag digunakan dalam penelitian ini. Oleh karena itu dalam penelitian ini didefinisikan beberapa konsep dasar atau istilah, agar di dalam pelaksanaannya diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu : 1. Kajian Yuridis adalah penyelidikan, penjabaran sekaligus pemecahan secara hukum terhadap suatu peristiwa atau permasalahan yang timbul untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya. 2. Hak Langgeh adalah hak dalam hukum adat yang memberikan prioritas / hak didahulukan dari orang lain untuk membeli tanah, hak mana diberikan kepada tiga unsur masyarakat yaitu sanak saudara, sesama anggota masyarakat dan pemilik tanah tetangga. 45 3. Syuf ah adalah penggabungan, yakni penggabungan secara paksa atas suatu hak yang sudah dijual ke pihak lain supaya dijual kembali kepada pihak yang lebih berhak, yakni anggota perserikatan (syarikah). Dalam kerangka inilah, syuf ah berarti pemilikan barang yang diperkongsikan (al masyfu ) oleh pihak yang bergabung pada suatu persekutuan milik secara paksa dari pihak yang membeli dengan cara mengganti nilai harga jual yang sudah dilakukan. 46 45 Putusan Mahkamah Agung tanggal 31 Maret 1977 nomor 298K/Sip./1973 46 Sayyid Sabiq, Fiqh al Sunnah, jilid III (Beirut: Dar al Fikr, 1983), hal. 219.

23 4. Adat adalah merupakan pencerminan daripada kepribadian sesuatu bangsa, merupakan salah satu penjelmaan daripada jiwa bangsa yang bersangkutan dari abad ke abad. 47 5. Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang anggotanya berasal dari suku Aceh di Kota Langsa. G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji mengatakan penelitian dalam pelaksanaannya diperlukan dan ditentukan alat-alatnya, jangka waktu, cara-cara yang dapat ditempuh apabila mendapat kesulitan dalam proses penelitian. Penelitian dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten. Metodologis yang dimaksud berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu, sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, dan konsisten berarti tidak adanya hal-hal yang bertentangan dengan suatu kerangka tertentu. 48 Dalam setiap penelitian pada hakikatnya mempunyai metode penelitian masing-masing dan metode penelitian tersebut ditetapkan berdasarkan tujuan penelitian. 49 Kata metode berasal dari bahasa Yunani Methodos yang berarti cara 47 Soerojo Wignjodipoero, Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat, (Jakarta: CV. Haji Masagung 1988), hal. 13 48 Soerjono Soekanto dan Sri Mahmudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Radja Grafindo Persada, 2001), hal. 42. 49 Jujun Suria Sumantri, Filsafat Hukum Suatu Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 328

24 atau jalan sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. 50 a. Sifat Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah bersifat deskriptif analitis yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran yang menyeluruh, lengkap dan sistematis. Penelitian ini berusaha memberikan gambaran secara menyeluruh, mendalam tentang suatu keadaan atau gejala yang diteliti. Suatu penelitian deskriptif menekankan pada penemuan fakta-fakta yang digambarkan sebagaimana keadaan yang sebenarnya, dan selanjutnya data maupun fakta diolah dan ditafsirkan. Penelitian deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang objek yang diteliti, keadaan, atau gejala-gejala lainnya. Penelitian ini bersifat deskriptif karena dengan penelitian ini diharapkan akan diperoleh suatu gambaran yang bersifat menyeluruh dan sistematis, kemudian dilakukan suatu analisis terhadap data yang diperoleh dan pada akhirnya didapat pemecahan masalah. b. Metode Pendekatan Pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan yuridis empiris yaitu suatu penelitian yang meneliti peraturan-peraturan hukum yang kemudian dihubungkan dengan data dan perilaku yang hidup dan berkembang di tengah- 1997), hal. 16 50 Koentjaningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

25 tengah masyarakat. Data atau materi pokok dalam penelitian ini diperoleh langsung dari para responden melalui penelitian lapangan (field research) yaitu masyarakat Aceh di Kota Langsa. 2. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Kota Langsa, Provinsi Aceh. Dikarenakan luasnya wilayah di Kota Langsa tersebut maka dipilihlah 3 (tiga) kecamatan sebagai sampel yaitu: a. Kecamatan Langsa Kota b. Kecamatan Langsa Barat c. Kecamatan Langsa Lama Adapun alasan dipilihnya 3 (tiga) kecamatan ini menurut pengamatan sementara di ketiga kecamatan tersebut masyarakatnya ada yang menggunakan hak langgeh (hak syuf ah) dalam praktek jual beli tanahnya. 3. Populasi dan Sampel Penelitian Populasi dalam melakukan penelitian ini yaitu kepala keluarga di Kota Langsa yang pernah melakukan praktek jual beli tanah, baik sebagai penjual maupun sebagai pembeli. Maka dalam penelitian ini diambil 3 (tiga) kecamatan yang masing-masing kecamatan diambil 10 (sepuluh) orang, jadi jumlah semua adalah 30 (tiga puluh) orang sebagai sampel, dengan syarat orang-orang yang dipilih sebagai sampel adalah orang-orang yang telah atau sudah pernah melakukan praktek jual beli tanah.

26 Untuk Kelengkapan data dalam penelitian ini, maka dilakukan juga wawancara dengan narasumber/informan lainnya sebagai tambahan data yaitu: a. Majelis Adat Aceh (MAA) b. Satu orang Hakim Mahkamah Syar iah Kota Langsa c. Dinas Syariat Islam Kota Langsa d. Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Kota Langsa e. Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Kota Langsa f. Tiga orang Geuchik g. Satu orang Tuha Peuet 4. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data primer dan data sekunder adalah sebagai berikut : a. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari penelitian lapangan (field research). Penelitian lapangan ini dilakukan dengan cara mengajukan pertanyaan langsung kepada responden. Sifat interview adalah bebas terpimpin. Dalam melakukan penelitian dimungkinkan tidak hanya menggunakan pertanyaan yang disediakan secara tertulis dalam bentuk daftar pertayaan, tetapi dapat dilakukan pengembangan pertanyaan sepanjang tidak menyimpang dari permasalahan. b. Data sekunder yaitu data yang diperoleh berdasarkan studi kepustakaan dimaksudkan untuk membandingkan anatar teori dan kenyataan yang terjadi

27 dilapangan. Melalui studi kepustakaan ini diusahakan pengumpulan data melalui mempelajari buku-buku, majalah, surat kabar, artikel dan internet serta referensi lain yang berkaitan dan berhubungan dengan penelitian ini. Data sekunder dalam penelitian ini mencakup : 1) Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum mengikat berupa peraturan perundang-undangan yang antara lain dari : a. Hadist; b. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh; c. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah; d. Qanun yang terkait; e. Ijma Para Ulama; f. Yurisprudensi; g. Fatwa Ulama dan Pengetua Adat; 2) Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, misalnya hasil penelitian, hasil karya ilmiah para sarjana, artikel-artikel, internet, buku-buku yang berhubungan erat dengan pokok permasalahan yang akan diteliti. 3) Bahan Hukum Tersier yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contonya adalah Kamus

28 Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, Kamus Bahasa Belanda, Kamus Bahasa Arab dan Ensiklopedi Hukum Islam. 5. Alat Pengumpulan Data Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenarannya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini diperoleh melalui alat pengumpulan data yang dilakukan dengan menggunakan cara sebagai berikut: Studi dokumen, digunakan untuk memperoleh data sekunder dengan membaca, mempelajari, meneliti, mengidentifikasi dan menganalisis data sekunder yang berkaitan dengan materi penelitian. Sehingga untuk mengumpulkan data sekunder guna dipelajari kaitannya dengan permasalahan yang diajukan. Data ini diperoleh dengan mempelajari buku-buku, hasil penelitian dan dokumen-dokumen perundang-undangan yang ada kaitannya dengan hak langgeh (syuf ah) menurut hukum adat. Wawancara, dilakukan dengan pedoman wawancara kepada informan dan responden yang telah ditetapkan dengan memilih model wawancara langsung (tatap muka), yang terlebih dahulu dibuat pedoman wawancara dengan sistematis, tujuannya agar mendapatkan data yang mendalam dan lebih lengkap dan punya kebenaran yang konkrit baik secara hukum maupun kenyataan yang ada di lapangan. 6. Analisis Data Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti. Analisis data

29 merupakan penelaahan dan penguraian data, sehingga data tersebut dapat diberi arti dan makna yang berguna dalam memecahkan masalah dalam penelitian. Data sekunder yang diperoleh kemudian disusun secara urut dan sistematis, untuk selanjutnya dianalisis menggunakan metode kualitatif yaitu dengan penguraian deskriptis analitis dan preskriptif 51, yang dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan dengan menggunakan metode berfikir deduktif, yakni cara berfikir yang dimulai dari hal umum, untuk selanjutnya menarik hal-hal yang khusus sebagai kesimpulan dan disajikan dalam bentuk preskriptif. Kegiatan analisis dimulai dengan dilakukan pemeriksaan terhadap data yang terkumpul baik inventarisasi karya ilmiah, peraturan perundang-undangan, informasi media cetak, dan laporan-laporan hasil penelitian lainnya yang berkaitan dengan judul penelitian untuk mendukung studi kepustakaan. Kemudian data sekunder dianalisis dengan penelitian secara kualitatif. Sehingga dengan demikian diharapkan dapat menjawab segala permasalahan hukum dalam penelitian tesis ini. Hal ini tentu saja bertujuan agar lebih memahami secara lebih mendalam mengenai masalah yang akan dibahas pada penulisan ini. 51 Soerjono Soekanto, Pengertian Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1986), hal. 1