BAB I PENDAHULUAN. Dasar Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3). Sebagai negara hukum tata. kehidupan bangsa dan bernegara harus sesuai dengan norma dan hukum.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dengan yang lain. Manusia selalu ingin bergaul bersama manusia lainnya dalam. tersebut manusia dikenal sebagai makhluk sosial.

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

DAFTAR PUSTAKA. Adami Chazawi, 2008, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi, Bandung, Alumni,

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

BAB I PENDAHULUAN. mencapai suatu kehidupan yang adil dan makmur bagi warganya berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

BAB I PENDAHULUAN. pemberantasan atau penindakan terjadinya pelanggaran hukum. pada hakekatnya telah diletakkan dalam Undang-Undang Nomor 48 tahun

BAB III PENUTUP. bersifat yuridis adalah pertimbangan yang didasarkan pada fakta - fakta yang

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum, hal ini telah dinyatakan dalam

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

I. PENDAHULUAN. (2) Undang-Undang Dasar 1945 yaitu sebagai berikut: Kedaulatan berada di. tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

selalu berulang seperti halnya dengan musim yang berganti-ganti dari tahun ke

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

PEMBUKTIAN DAN PUTUSAN PENGADILAN DALAM ACARA PIDANA 1 Oleh: Susanti Ante 2

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. terdapat strukur sosial yang berbentuk kelas-kelas sosial. 1 Perubahan sosial

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

DAFTAR PUSTAKA. Ali, Achmad, Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom Dan Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008).

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

I. PENDAHULUAN. jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara maupun dari segi

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

I. PENDAHULUAN ), antara lain menggariskan beberapa ciri khas dari negara hukum, yakni :

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

BAB I PENDAHULUAN. Penegakan hukum pidana merupakan sebagian dari penegakan hukum di

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini pemerintah Indonesia sedang giat-giatnya

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. sejahtera, dan merata secara materil dan spiritual berdasarkan pancasila

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang adil dan makmur, materil spiritual berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

BAB I PENDAHULUAN. menjadi tumpuan harapan unuk mencari keadilan. Oleh karena itu jalan yang terbaik untuk

I. PENDAHULUAN. Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di

BAB I PENDAHULUAN. adanya jaminan kesederajatan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

DASAR PERTIMBANGAN HAKIM MEMBERIKAN PUTUSAN BERSYARAT TERHADAP ANAK PEMAKAI NARKOTIKA DI PENGADILAN NEGERI KELAS 1A PADANG

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

BAB I PENDAHULUAN. 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia adalah negara

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

BAB I PENDAHULUAN. modern. Ini ditandai dengan kemajuan di bidang Ilmu Pengetahuan dan

PERAN DAN KEDUDUKAN AHLI PSIKIATRI FORENSIK DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

SKRIPSI PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM MENCARI BARANG BUKTI HASIL TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

DAFTAR PUSTAKA. Admasasmita Romli, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta: Kencana

PERLINDUNGAN HUKUM KORBAN KEJAHATAN PADA TAHAP PENUNTUTAN DALAM PERSPEKTIF RESTORATIVE JUSTICE. (Studi Kasus Penganiyayaan di Kota Malang)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (rechtstaat) seperti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Selanjutnya disebut KUHP), dan secara

BAB I PENDAHULUAN. yang dikemukakan oleh D.Simons Delik adalah suatu tindakan melanggar

I. PENDAHULUAN. saling mempengaruhi satu sama lain. Hukum merupakan pelindung bagi

I. PENDAHULUAN. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. berhak mendapatkan perlindungan fisik, mental dan spiritual maupun sosial

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

BAB I PENDAHULUAN. hampir pada setiap masyarakat termasuk Indonesia hal ini terutama disebabkan oleh

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB 1 PENDAHULUAN. secara konstitusional terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan hukum dan penegakkan hukum yang sah. pembuatan aturan atau ketentuan dalam bentuk perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan interaksi antara

BAB I. mengenai perlindungan terhadap HAM. Indonesia menjunjung tinggi prinsip

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

DAFTAR PUSTAKA. Adami Chazawi, 2005, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, Bayumedia Publishing, Malang.

BAB I PENDAHULUAN. diperiksa oleh hakim mengenai kasus yang dialami oleh terdakwa. Apabila

KEDUDUKAN KETERANGAN AHLI SEBAGAI ALAT BUKTI MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Hadi Alamri 2

II. TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum, berdasarkan Undangundang Dasar Tahun 1945 Pasal 1 ayat (3). Sebagai negara hukum tata kehidupan bangsa dan bernegara harus sesuai dengan norma dan hukum. Norma dan hukum harus ditegakkan oleh aparat penegak hukum untuk menciptakan keamanan dan ketentraman di masyarakat. Seiring dengan kemajuan budaya dan iptek, perilaku manusia di dalam hidup bermasyarakat dan bernegara justru semakin kompleks dan bahkan multi kompleks. Perilaku demikian apabila ditinjau dari segi hukum tentunya ada perilaku yang dapat dikategorikan sesuai dengan norma dan ada perilaku yang tidak sesuai dengan norma. Terhadap perilaku yang sesuai norma (hukum) yang berlaku, tidak menjadi masalah. Terhadap perilaku yang tidak sesuai norma biasanya dapat menimbulkan permasalahan di bidang hukum dan merugikan masyarakat. 1 Perilaku yang tidak sesuai norma atau dapat disebut sebagai penyelewengan terhadap norma yang telah disepakati ternyata menyebabkan terganggunya ketertiban dan ketentraman kehidupan manusia. Penyelewengan yang demikian, biasanya oleh masyarakat dicap sebagai suatu pelanggaran dan bahkan sebagai suatu kejahatan. 2 1 Bambang Waluyo, 2008, Pidana dan Pemidanaan, Jakarta, Sinar Grafika, hal 1 2 Ibid. 1

Eksistensi penegak hukum khususnya hakim sering mendapat sorotan publik, dikarenakan hakim merupakan corong dari undang-undang yang memberikan keadilan kepada pencari keadilan dan menentukan nasib seseorang yang berperkara di pengadilan. 3 Dalam menjatuhkan putusan, hakim harus berlaku adil dan tidak boleh membeda-bedakan kasus, dan juga tidak boleh berada di bawah tekanan dari pihak manapun. Setelah pemeriksaan sidang dinyatakan ditutup, hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk mengambil keputusan. 4 Keputusan yang diberikan hakim harus memenuhi rasa keadilan, baik bagi masyarakat pada umumnya atau para pihak (terhukum) pada khususnya dengan demikian dia akan tulus menerimanya, untuk mencapai tujuan tersebut hakim dalam menjatuhkan putusan harus berdasarkan keyakinan dan fakta-fakta hukum yang terungkap di pengadilan. Perihal putusan hakim atau putusan pengadilan merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana, 5 karena putusan hakim adalah mahkota dan puncak pencerminan nilai-nilai keadilan, kebenaran hakiki, hak asasi manusia, penguasaan hukum atau fakta secara mapan, mumpuni, dan faktual, serta visualisasi etika, mentalitas, dan moralitas dari hakim yang bersangkutan. 6 Tidak semua perkara yang masuk ke pengadilan berakhir dengan putusan pemidanaan, dikarenakan seseorang dinyatakan bersalah apabila 3 http://www.komisiyudisial.go.id/files/jurnal%20yudisial/jurnal-agustus-2012.pdf, diakses pada hari Jumat tangal 1 November 2013 pukul 14.16 Wib 4 Andi Hamzah, 2011, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika, hal 283 5 Lilik Mulyadi, 2007, Putusan Hakim dalam Hukum Acara Pidana (Teori, Praktik, Teknik Penyusunan, dan Permasalahannya), Bandung, Citra Aditya Bakti, hal 119 6 Ibid. 2

ia benar terbukti melakukan tindak pidana dan terdapat sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah. Sikap terdakwa dalam menjalani persidangan dapat mempengaruhi hakim untuk menjatuhkan putusan, baik yang berdasar pada undangundang sebagai ketentuan tertulis maupun segala ketentuan hukum yang hidup dalam masyarakat yang sebagian besar tidak tertulis seperti hukum adat dan hukum kebiasaan. Hal ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan, karena hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Mengenai putusan yang akan dijatuhkan pengadilan, hakim memutus perkara berdasakan keyakinan hakim dan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan juga berdasarkan penilaian yang mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. 7 Tidak mudah bagi hakim untuk membuat suatu putusan, apalagi secara ideal putusan harus memuat unsur keadilan (gerechtigkeit), kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zwechtmassigkeit). Hendaknya ketiga unsur tersebut dipertimbangkan, sehingga putusan dapat memenuhi harapan pencari keadilan. 8 Putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim terhadap orang yang melakukan tindak pidana mengacu kepada pasal 191 ayat (1), (2), dan pasal 193 KUHAP yaitu putusan bebas, putusan lepas dari segala tuntutan 7 M. Yahya Harahap, 2010, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP (Pemeriksaan Sidang Pengadilan,Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali), Jakarta, Sinar Grafika, hal 347 8 http://www.komisiyudisial.go.id/files/jurnal%20yudisial/jurnal-agustus-2012.pdf, Op.Cit. 3

hukum dan putusan pemidanaan, hakim menjatuhkan putusan terhadap suatu tindak pidana dilihat dari fakta-fakta hukum di persidangan dan keyakinan dari hakim itu sendiri. Hakim di dalam mengambil keputusan tidak bebas, melainkan terikat dengan hukum, undang-undang dan rasa keadilan. Dengan demikian pandangan masyarakat terhadap keputusan hakim dapat diibaratkan sebagai barometer terwujudnya keadilan dan kebenaran, serta kepastian hukum dalam negara dan masyarakat. Pengadilan wajib untuk memeriksa, mengadili, dan memutus setiap perkara yang masuk karena pengadilan dilarang menolak suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan pengadilan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya, diatur di dalam pasal 10 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Salah satu contoh perkara yang diperiksa dan diadili di pengadilan adalah perkara tindak pidana penggelapan. Masyarakat awam banyak beranggapan bahwa penggelapan dan pencurian itu sama, penggelapan diatur di dalam Pasal 372 KUHP sedangkan pencurian diatur di dalam Pasal 362 KUHP. Menurut Pasal 372 KUHP, penggelapan adalah barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan, sedangkan menurut Pasal 362 KUHP, pencurian adalah barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum. 4

Penggelapan merupakan salah satu dari jenis kejahatan terhadap harta benda manusia. Kejahatan terhadap harta benda adalah berupa penyerangan terhadap kepentingan hukum orang atas harta benda milik orang lain (bukan milik petindak). Kejahatan ini sering sekali terjadi dan dapat terjadi di segala bidang bahkan pelakunya di berbagai lapisan masyarakat, baik dari lapisan bawah sampai masyarakat lapisan ataspun dapat melakukan tindak pidana penggelapan yang merupakan kejahatan yang berawal dari adanya suatu kepercayaan pada orang lain, dan kepercayaan tersebut hilang karena lemahnya suatu kejujuran. 9 Menurut Cleiren, inti tindak pidana penggelapan adalah penyalahgunaan kepercayaan, selalu menyangkut secara melawan hukum memiliki suatu barang yang dipercayakan kepada orang yang menggelapkan itu. 10 Dengan kata lain memiliki barang orang lain yang berada di bawah kekuasaannya bukan karena kejahatan. Hal ini menyatakan bahwa tindak pidana penggelapan memiliki masalah yang berhubungan erat dengan sikap, moral, mental, kejujuran dan kepercayaan manusia sebagai individu. 11 Tindak pidana penggelapan merupakan suatu perbuatan pidana yang dilakukan dengan sengaja dan melawan hukum, mengaku sebagai 9 http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4683/skripsiaslinurul HANIPRATIWI.doc, diakses pada hari Minggu tanggal 1 November 2013 Wib 10 Andi Hamzah, 2011, Delik-delik Tertentu (Speciale Delicten) di dalam KUHP, Jakarta, Sinar Grafika, hal 107 11 http://repository.unhas.ac.id/bitstream/handle/123456789/4683/skripsiaslinurul HANIPRATIWI.doc, Op.Cit. 5

pemilik barang yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain yang ada dalam kekuasaannya, yang diperoleh bukan karena kejahatan. 12 Kasus penggelapan yang terjadi dalam tahun 2010 sampai 2013 di Indonesia telah mencapai 101 kasus 13, di Sumatera Barat kasus penggelapan dalam tahun 2010 sampai 2012 mencapai 2725 kasus 14, sedangkan di Pengadilan Negeri Padang telah mencapai 97 kasus dengan putusan yang berbeda-beda pada setiap kasusnya diantaranya 5 (lima) putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Adapun tindak pidana penggelapan yang diperiksa dan diadili di Pengadilan Negeri Klas I A Padang dengan nomor perkara 192/PID.B/2011/PN/PDG yang dilakukan oleh terdakwa yang bernama Chandler Russel Howard, 62 tahun selaku Direktur Pemasaran PT. Mentawai Surfaris Indotama. Terdakwa didakwa melanggar Pasal 372 KUHP. Sekitar bulan April tahun 2010, bertempat di rumah terdakwa, Jl. Sutan Syahrir Gang Bambu No. 268 A Kel. Mata Air Padang, terdakwa bertemu dengan Garry Edward Scott atau korban berkebangsaan Australia, yang mana pada saat itu Garry Edward Scott hanya memiliki visa holiday (visa kunjungan) dan belum memiliki KITAS (Kartu Izin Tinggal Terbatas), perihal ketertarikan korban untuk ikut dalam kepemilikan saham di PT. Mentawai Surfaris Indotama. Korban melakukan pembelian saham sebesar 30.000 Dollar Australia, untuk saham sebanyak 15% yang 12 Ibid. 13 http://www.indekshukum.org, diakses pada hari Kamis tanggal 19 Desember 2013 pukul 15.00 Wib 14 http://sumbar.bps.go.id/sumbar/publikasi/arc/27sumaterabaratdalamangkatahun2013/ files/assets/basic-html/page280.html, diakses pada hari Kamis tanggal 19 Desember 2013 pukul 15.29 Wib 6

akan ditindak lanjuti dengan membuat perjanjian di depan notaris. Akan tetapi beberapa bulan kemudian setelah korban melakukan pembelian saham terjadi permasalahan dengan aset PT. Mentawai Surfaris Indotama yaitu kapal SARANYA yang masih menggunakan bendera asing terkendala urusan dengan pihak Bea dan Cukai. Akibat hal tersebut, korban mengalami kerugian sebesar 30.000 Dollar Australia. Terdakwa dituntut 2 (dua) tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), akan tetapi hakim menjatuhkan putusn lepas dari segala tuntutan hukum terhadap terdakwa. 15 Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENGGELAPAN PASAL 372 KUHP (Studi Kasus Perkara Nomor 192/PID.B/2011/PN/PDG). B. Perumusan Masalah Sehubungan dengan latar belakang sebagaimana yang diutarakan di atas, maka penulis dapat merumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah bentuk-bentuk putusan hakim terhadap kasus tindak pidana penggelapan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2013 di Pengadilan Negeri Klas I A Padang? 15 Putusan nomor: 192/PID.B/2011/PN/PDG 7

2. Apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum terhadap tindak pidana penggelapan Pasal 372 KUHP (Studi Kasus Perkara Nomor 192/PID.B/2011/PN/PDG)? 3. Bagaimanakah pelaksanaan putusan lepas dari segala tuntutan hukum terhadap tindak pidana penggelapan Pasal 372 KUHP (Studi Kasus Perkara Nomor 192/PID.B/2011/PN/PDG)? C. Tujuan penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui bagaimana bentuk-bentuk putusan hakim terhadap kasus tindak pidana penggelapan dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2013 di Pengadilan Negeri Klas I A Padang. 2. Untuk mengetahui apa dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum terhadap tindak pidana penggelapan Pasal 372 KUHP (Studi Kasus Perkara Nomor 192/PID.B/2011/PN/PDG). 3. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan putusan lepas dari segala tuntutan hukum terhadap tindak pidana penggelapan Pasal 372 KUHP (Studi Kasus Perkara Nomor 192/PID.B/2011/PN/PDG). 8

D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang ingin penulis capai dari penelitian dan penulisan ini adalah sebagai berikut : 1. Manfaat teoritis Untuk pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum pidana, khususnya hukum acara pidana. 2. Manfaat praktis Penulisan ini diharapkan dapat membantu memberikan masukan serta sumbangan pemikiran bagi praktisi hukum dalam menyelesaikan perkara terkait. E. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis a. Teori Penegakan Hukum Penegakan hukum pada hakikatnya mengandung supremasi nilai substansial yaitu keadilan. 16 Hukum dibuat untuk dilaksanakan, hukum tidak dapat lagi disebut sebagai hukum apabila hukum tidak pernah dilaksanakan. Oleh karena itu, hukum dapat disebut konsisten dengan pengertian hukum sebagai suatu yang harus dilaksanakan. 17 Pelaksanaan hukum itulah yang kemudian disebut dengan penegakan hukum. Penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan hukum adalah pikiran- 16 Sajipto Raharjo, 2009, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Yogyakarta, Genta Publishing, hal ix 17 Ibid, hal 1 9

pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum. 18 Penegakan hukum itu sendiri membutuhkan instrumen-instrumen yang melaksanakan fungsi dan wewenang penegakan hukum dalam Sistem Peradilan Pidana menurut pendapat Mardjono Reksodipoetro 19 terbagi dalam 4 (empat) sub sistem, yaitu : Kepolisian (polisi), Kejaksaan (jaksa), Pengadilan (hakim), Lembaga Pemasyarakatan (sipir penjara), dan penasehat hukum sebagai bagian terpisah yang menyentuh tiap lapisan dari keempat sub sistem tersebut. Sedangkan menurut Muladi dilihat sebagai suatu proses kebijakan, maka penegakan hukum pada hakekatnya merupakan penegakan kebijakan melalui beberapa tahap yaitu: 20 1) Tahap formulasi yaitu tahap penegakan hukum yang in abstracto oleh badan pembuat undang-undang disebut tahap kebijakan legislatif. 2) Tahap aplikasi yaitu tahap penerapan hukum pidana oleh aparataparat penegak hukum, mulai dari kepolisian sampai pengadilan disebut tahap kebijakan yudikatif. 3) Tahap eksekusi yaitu tahap pelaksanaan hukum pidana secara konkrit oleh aparat-aparat pelaksana pidana disebut tahap kebijakan eksekutif. 18 Ibid, hal 24 19 Mardjono Reksodipoetro, 2010, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Peran Penegakan Hukum Melawan Kejahatan) dikutip dari Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta, Kencana Prenadia Group, hal 3 20 Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang, Badan penerbit Universitas diponegoro, hal 13 10

Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah : 21 1) Faktor hukum itu sendiri, yang akan dibatasi pada undang-undang saja. 2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5) Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia didalam pergaulan hidup. b. Teori Pertimbangan Hakim Pertimbangan hakim menurut Rusli Muhammad terdapat dua kategori pertimbangan hakim yaitu : 22 1) Pertimbangan yang bersifat yuridis Pertimbangan yang bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta yuridis dalam persidangan dan oleh ketentuan undang-undang harus dimuat dalam putusan hakim. Pertimbangan tersebut yaitu : a) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum ( JPU); b) Keterangan Terdakwa; c) Keterangan Saksi; d) Barang Bukti; 21 Soerjono Soekanto, 2011, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta, Raja Grafindo, hal 8 22 Rusli Muhammad, 2007, Hukum Acara Kontemporer, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, hal 212-220 11

e) Pasal-pasal Dalam Hukum Pidana. 2) Pertimbangan Non Yuridis a) Latar belakang terdakwa Latar belakang terdakwa adalah setiap keadaan penyebab timbulnya suatu keinginan serta dorongan keras pada diri terdakwa untuk melakukan tindak pidana. b) Akibat dari perbuatan terdakwa Akibat dari tindak pidana yang dilakukan terdakwa bagi korban, pihak lain dan masyarakat luas. c) Kondisi diri terdakwa Kondisi terdakwa sebelum melakukan tindak pidana baik kondisi fisik, psikologis, maupun status sosial dari terdakwa. d) Agama terdakwa Keterikatan para hakim terhadap ajaran agama tidak cukup hanya dengan kata ketuhanan yang terdapat pada kepala sebuah putusan hakim, melainkan harus menjadi ukuran penilaian dari setiap tindakan baik tindakan para hakim itu sendiri maupun dan terutama terhadap tindakan para pembuat kejahatan. 2. Kerangka Konseptual Kerangka konseptual merupakan suatu kerangka yang didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan tertentu dan juga berisikan defenisi-defenisi yang dijadikan pedoman dalam penulisan proposal ini. 12

Untuk itu penulis akan menguraikan secara ringkas tentang maksud dari pemilihan judul dalam proposal ini : a. Dasar pertimbangan hakim Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, dasar merupakan lapisan bawah, pondasi, alas. 23 Pertimbangan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai pendapat dari seseorang. 24 Menurut Pasal 1 butir (8) KUHAP, hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Sedangkan Hakim menurut Pasal 1 butir (5) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan kehakiman adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada peradilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Dasar pertimbangan hakim adalah acuan atau alasan-alasan hakim dalam mempertimbangkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan. 25 b. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum Menurut Pasal 191 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak 23 Budiono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Surabaya, Alumni, hal 59 24 Ibid, hal 231 25 http://www.damang.web.id/2011/12/defenisi-pertimbangan-hukum_17.html, diakses pada hari Senin tanggal 7 April 2014 pukul 19.33 Wib 13

merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. 26 c. Tindak Pidana Penggelapan Tindak pidana penggelapan diatur dalam Pasal 372-376 KUHP. Penggelapan yaitu barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebahagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya, bukan karena kejahatan. F. Metode Penelitian Dalam melaksanakan penelitian ini digunakan metode untuk memudahkan dalam mencari data dan informasi yang diperlukan. Metode yang digunakan dalam metode ini adalah : 1. Metode Pendekatan Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian adalah pendekatan yuridis sosiologis yaitu pendekatan melalui penelitian-penelitian hukum dengan melihat ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku dan menghubungkannya dengan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat. 2. Sifat penelitian Penelitian yang dilakukan adalah bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran mengenai dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum terhadap tindak pidana 26 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal 352 14

penggelapan Pasal 372 KUHP (Studi kasus perkara nomor 192/PID.B/2011/PN/PDG). 3. Jenis Data Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian berupa data primer dan data sekunder, yaitu : a. Data Primer Data Primer adalah data yang diperoleh langsung dari lapangan. Dalam penelitian, peneliti melakukan wawancara dengan hakim pada Pengadilan Negeri Klas I A Padang. b. Data sekunder Data Sekunder adalah data yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang terdiri dari : 1) Bahan Hukum Primer Bahan Hukum Primer yaitu semua ketentuan yang ada berkaitan dengan pokok permasalahan berupa undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penelitian, seperti : Undang-undang Nomor 1 Tahun Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Peraturan Hukum Acara Pidana, Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 2) Bahan Hukum Sekunder Bahan Hukum Sekunder yaitu karya ilmiah yang memberikan penjelasan tentang bahan hukum primer seperti buku, putusan, 15

dokumen atau kasus yang dikumpulkan oleh lembaga atau badan yang terkait yaitu Pengadilan Negeri Klas I A Padang serta bahan-bahan yang diperoleh dari tulisan-tulisan yang erat kaitannya dengan yang diteliti sepeti buku, jurnal, makalah, karya tulis, koran dan internet. 3) Bahan Hukum Tersier Bahan Hukum Tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya adalah kamus hukum dan kamus Besar Bahasa Indonesia. 4. Teknik Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data yang diperlukan maka digunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut : a. Studi Dokumen Studi dokumen merupakan suatu teknik pengumpulan data yang dilakukan melalui data tertulis dengan menggunakan konten analisis, yakni dengan cara menganalisis dokumen-dokumen yang telah penulis dapatkan di lapangan yang berhubungan dengan masalah yang diteliti 27, yaitu berupa putusan pada Pengadilan Negeri Klas I A Padang. b. Wawancara Wawancara adalah alat pengumpulan data dengan mendapatkan keterangan langsung dari responden, seperti mewawancarai Hakim 27 Soerjono Soekanto, 2006, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI-PRESS, hal 21 16

pada Pengadilan Negeri Klas I A Padang yaitu Bapak Amin Sutikno, S.H, M.H dan Bapak MS. Giri Basuki, S.H. Sifat wawancara dalam penelitian yang dilakuakan peneliti adalah semi terstruktur, artinya membuat daftar pertanyaan yang akan ditanyakan kemudian pertanyaan tersebut dikembangkan pada hal lain tetapi masih menyangkut topik yang diangkat. 5. Pengolahan dan Analisis Data a. Pengolahan data Pengolahan data dilakukan dengan metode Editing, yaitu dengan memilih kembali data yang diperoleh atau melakukan pengecekan ulang terhadap hasil penelitian sehingga data yang dipergunakan relevan dengan judul penelitian serta dapat menghasilkan suatu kesimpulan. b. Analisis data Metode yang digunakan untuk menganalisis data dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif, karena data yang diperoleh tidak berupa angka melainkan berupa kalimat yang berguna untuk menjawab permasalahan, yang dirangkai dari kata perkata menjadi kalimat dan paragraf sehingga dapat dipahami. 17