BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengembangan wilayah memerlukan perencanaan, pelaksanaan dan pengendalian. Ketiganya merupakan satu kesatuan ruang yang apabila satu di antara ketiga hal tersebut tidak dilakukan akan mengakibatkan kesenjangan antar wilayah. Harapannya, pengembangan wilayah dilakukan agar dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di masing-masing wilayah sehingga pembangunan bisa berjalan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan pengembangan wilayah hendaknya berpedoman kepada perencanaan yang sudah dilakukan dan tetap memperhatikan kaidah-kaidah penataan ruang wilayah, juga potensi yang dimiliki wilayah tersebut. Pengembangan wilayah, disebutkan oleh Sumarmi (2012), memerlukan perencanaan tata ruang yang akan menghasilkan rencana tata ruang untuk berbagai tingkatan wilayah. Di mulai dari skala nasional sampai yang bersifat rinci (rencana tapak bangunan dan tata bangunan). Produk rencana tata ruang wilayah adalah terpadunya pemanfaatan sumber daya guna mencapai sasaran pembangunan, di antaranya peningkatan pendapatan, perluasan kesempatan kerja, pelestarian sumber daya alam dan pemenuhan kebutuhan dasar, seperti swasembada pangan. Selanjutnya, swasembada pangan dapat dijadikan tolak ukur ketahanan pangan di suatu wilayah. 1
Ketahanan pangan sangat terkait dengan kemampuan pemerintah dalam menjaga stabilitas penyediaan pangan serta daya dukung sektor pertanian. Permintaan pangan meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang diperkuat dengan penyusutan luas lahan pertanian produktif akibat konversi lahan untuk kepentingan sektor non-pertanian, kecilnya margin usaha tani yang berkonsekuensi pada rendahnya motivasi petani untuk meningkatkan produksi, serta adanya kendala dalam distribusi pangan sebagai akibat keterbatasan jangkauan jaringan sistem transportasi, ketidak tersediaan produk pangan sebagai akibat lemahnya teknologi pengawetan pangan, diperkuat lagi dengan kakunya pola konsumsi pangan sehingga menghambat upaya pencapaian ketahanan pangan. Upaya pemerintah untuk mewujudkan ketahanan pangan dituangkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan, di sebutkan bahwa penyediaan pangan diselenggarakan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan rumah tangga yang terus berkembang dari waktu ke waktu melalui: (1) pengembangan sistem pr oduksi pangan yang bertumpu pada sumber daya, kelembagaan dan budaya lokal; (2) pengembangan efisiensi sistem budaya pangan; (3) pengembangan teknologi produksi pangan; (4) pengembangan sarana dan prasarana produksi pangan; dan (5) mengembangkan dan mempertahankan lahan produktif. Sejalan dengan itu, dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan, ketahanan pangan ditujukan kepada kebutuhan rumah tangga, diasumsikan bahwa rumah tangga adalah bentuk kesatuan masyarakat terkecil sehingga persoalan pangan yang 2
dialami pada suatu wilayah hanya dapat dipahami dengan menelaah permasalahan pangan pada tingkat rumah tangga. Program Desa Mandiri Pangan merupakan kegiatan untuk mewujudkan ketahanan pangan masyarakat dengan mengembangkan pemberdayaan masyarakat di desa rawan pangan. Program Desa Mandiri Pangan ini telah diluncurkan oleh Badan Ketahanan Pangan Nasional sejak Tahun 2006 yang pelaksanaan kegiatannya dirancang dalam kurun waktu 4 tahun melalui 4 tahapan, meliputi tahap persiapan, penumbuhan, pengembangan dan kemandirian. Peluncuran program ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan masyarakat desa dalam pengembangan usaha ekonomi produktif berbasis sumber daya lokal, peningkatan ketersediaan pangan, peningkatan daya beli dan akses pangan rumah tangga sehingga dapat memenuhi kecukupan gizi rumah tangga yang akhirnya berdampak terhadap penurunan kerawanan pangan dan gizi masyarakat miskin di perdesaan. Pengembangan perdesaan perlu dilakukan dengan alasan (Badan Ketahanan Pangan Deptan RI, 2009), yaitu: (1) masih rendahnya kemampuan masyarakat dalam mengakses pangan yang disebabkan oleh keterbatasan penguasaan sumber daya lahan sehingga tidak berusaha di sektor pertanian; (2) masih adanya kemiskinan struktural sehingga meskipun telah berusaha tetapi pendapatan yang diperoleh belum memenuhi kebutuhan keluarga; (3) minimnya sarana dan prasarana (pengairan, jala n desa, sarana usaha tani, air bersih, listrik dan pasar); (4) terbatasnya pengetahuan tentang pangan beragam, bergizi, berimbang dan aman; (5) belum optimalnya fungsi kelembagaan aparat dan 3
masyarakat/kelompok tani; (6) terbatasnya akses masyarakat terhad ap lembaga permodalan; (7) rendahnya akses terhadap lembaga permodalan dan pemasaran; (8) terbatasnya akses informasi dan teknologi; (9) rendahnya tingkat pendidikan masyarakat; dan (10) terbatasnya lapangan kerja di perdesaan. Hal tersebut dapat mendorong terjadinya kerawanan pangan dan kemiskinan di perdesaan. Program Desa Mandiri Pangan sejak Tahun 2006 sampai 2014 telah dilaksanakan di 33 provinsi, 410 kabupaten/kota pada 3.280 desa (Pedoman Umum Demapan, 2014). Sementara di Kabupaten Sleman sejak Tahun 2009, Program Desa Mandiri Pangan telah dilaksanakan secara bertahap di 6 desa, yaitu Desa Sumberejo dan Mororejo di Kecamatan Tempel, Desa Wukirharjo di Kecamatan Prambanan, Desa Sendangagung di Kecamatan Minggir, Desa Margomulyo di Kecamatan Seyegan dan Desa Caturharjo di Kecamatan Sleman. Terpilihnya desa-desa tersebut sebagai lokasi pelaksanaan Program Desa Mandiri Pangan dikarenakan di desa-desa tersebut memiliki rumah tangga miskin yang beresiko rawan pangan dan gizi dengan dasar pemilihannya adalah desa rawan pangan dengan jumlah rumah tangga miskin lebih dari 30% dari jumlah KK berdasarkan hasil survei Data Dasar Rumah Tangga (DDRT). Desa Sendangagung Kecamatan Minggir Kabupaten Sleman, berdasarkan hasil analisis Sistem Kewaspadaan Pangan dan Gizi Kabupaten Sleman Tahun 2010 dan hasil survei Data Dasar Rumah Tangga (DDRT) Tahun 2011, termasuk desa rawan pangan dengan tingkat kemiskinan masyarakatnya sebesar 43%. Melihat kondisi tersebut Pemerintah Kabupaten Sleman melalui 4
kebijakan Program Desa Mandiri Pangan, segera melakukan upaya guna mengurangi angka kemiskinan dan rawan pangan. Di Desa Sendangagung telah dipilih dan dibentuk kelompok sasaran yang akan menjalankan Program Desa Mandiri Pangan. Kelompok sasaran ini merupakan rumah tangga miskin di desa tersebut. Kelompok ini dinamakan kelompok afinitas. Anggota kelompok afinitas diikat oleh rasa kesatuan dan kebersamaan berdasarkan persahabatan dan kekeluargaan untuk menjalankan program secara bersama-sama. Selain kelompok afinitas, terbentuk kelembagaan lain dalam Program Desa Mandiri Pangan, yakni lembaga yang mengelola keuangan program, yaitu Lembaga Keuangan Desa (LKD) dan lembaga yang bersifat sebagai pembinaaan, pengawasan,pendampingan dan evaluasi, yaitu Tim Pangan Desa (TPD). Di luar kelembagaan desa, sebagai fasilitator, ada seorang pendamping yang ditunjuk oleh Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan pada Dinas Pertanian, Perikanan dan Peternakan Kabupaten Sleman guna mendampingi kelompok afinitas dalam setiap tahap pelaksanaan program. Pendampingan kelompok afinitas pada pelaksanaan Program Desa Mandiri Pangan difasilitasi dalam bidang manajeman kelompok dan usaha ekonomi produktif serta teknis kegiatan, bantuan permodalan, sarana dan prasarana sekaligus teknologi tepat guna. Komponen kegiatan pelaksanaan Program Desa Mandiri Pangan dilakukan melalui pedekatan, sebagai berikut: pemberdayaan kelompok afinitas, penguatan kelembagaan, pengembangan sistem ketahanan pangan dan dukungan saranan prasarana desa melalui koordinasi lintas sektor dalam wadah Dewan 5
Ketahanan Pangan. Perencanaan di tingkat desa dilakukan secara partisipatif dengan melibatkan Tim Pangan Desa (TPD), penyuluh, kelompok kerja kabupaten dan pendamping, Kepala Desa dan Kaur Pembangunan serta tokoh masyarakat. Pemberdayaan kelompok afinitas pada Program Desa Mandiri Pangan dilakukan sebagai upaya mewujudkan ketahanan pangan masyarakat desa. Pemberdayaan kelompok ini untuk mengenali potensi dan kemampuannya, mencari alternatif peluang dan pemecahan masalah serta mampu mengambil keputusan untuk memanfaatkan sumber daya alam secara efisien dan berkelanjutan yang akhirnya dapat tercapai kemandirian pangan masyarakat desa. Kemandirian pangan pada intinya adalah pemenuhan pangan dengan memanfaatkan sumberdaya dan kearifan lokal yang dimiliki secara efisien. Penelitian ini mengambil lokasi di Kabupaten Sleman karena Kabupaten Sleman merupakan lumbung pangan bagi wilayah Provinsi D.I. Yogyakarta akan tetapi kenyataannya, masih terdapat desa-desa di wilayah kabupaten ini yang mengalami kondisi rawan pangan. Selanjutnya, pemilihan lokasi di Desa Sendangagung yang masuk ke Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, karena menurut evaluasi pelaksanaan Program Desa Mandiri Pangan di Kabupaten Sleman oleh Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksana Penyuluhan Dinas Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Sleman, pelaksanaan Program Desa Mandiri Pangan di Desa Sendangagung termasuk pada kualifikasi tinggi yang dilihat dari aspek penguatan kelembagaan dan pengembangan sistem ketahanan pangan. Capaian ini telah diperoleh pada saat tahapan pelaksanaan 6
program masih berlangsung. Keberhasilan Program Desa Mandiri Pangan ditandai dengan terbentuknya kelompok usaha ekonomi produktif; berperannya lembaga permodalan; meningkatnya usaha ekonomi produktif; meningkatnya jumlah penerima manfaat; serta meningkatnya pendapatan, daya beli, akses dan diversifikasi konsumsi pangan masyarakat desa. 1.2. Perumusan Masalah Pelaksanaan Program Desa Mandiri Pangan di Desa Sendangagung telah memasuki tahap kemandirian dengan capaian program adalah kualifikasi tinggi. Pencapaian ini berkaitan dengan peran pemerintah dan masyarakat desa. Pemerintah sebagai fasilitator dalam membuat kebijakan/program dan evaluator saat sebelum pelaksanaan sampai pelaksanaan kebijakan/program selesai, sedangkan masyarakat desa sebagai sasaran pelaksanaan kebijakan/program tersebut. Keterkaitan kedua unsur tersebut guna mewujudkan tujuan yang diharapkan, yaitu penguatan keberdayaan sumber daya dan pengembangan ketahanan pangan masyarakat. Pencapaian kualifikasi tinggi terhadap pelaksanaan Program Desa Mandiri Pangan di Desa Sendangagung yang diberikan oleh pemerintah belum tentu sejalan dengan persepsi masyarakat desa, baik masyarakat yang menjadi sasaran program maupun masyarakat yang bukan menjadi sasaran program. Hal ini disebabkan persepsi antara 1 orang dengan orang lainnya cenderung berbeda walaupun berada dalam kondisi/lingkungan yang sama. Persepsi seseorang didapatkan dari penglihatan, pendengaran, perasaan maupun penciuman. Dengan melihat, orang dapat mempersepsikan apa yang dia 7
lihat, artinya apa yang dia lihat itulah yang dipahaminya. Dengan mendengar, orangpun dapat mempersepsikan hal-hal yang dia dengar, artinya pendengaran seseorang yang diperoleh secara langsung maupun tidak langsung dapat mepengaruhi pemahaman orang tersebut. Begitu pula dengan merasakan dan mencium, orang juga dapat mempersepsikan hal-hal di sekelilingnya. Berdasarkan uraian rumusan masalah maka pertanyaan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana persepsi masyarakat terhadap capaian keberhasilan Program Desa Mandiri Pangan? 2. Faktor apa saja yang mempengaruhi keberhasilan program tersebut? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengevaluasi capaian keberhasilan Program Desa Mandiri Pangan di Desa Sendangagung, Kecamatan Minggir, Kabupaten Sleman, melalui persepsi masyarakat. 2. Mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi capaian keberhasilan program tersebut. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini, antara lain: 1. Bagi peneliti lainnya dapat dijadikan referensi maupun bahan perbandingan untuk lebih mendalami kajian serupa. 2. Bagi pemerintah untuk merencanakan kebijakan dan program terkait dengan ketahanan pangan di Kabupaten Sleman. 8
3. Bagi masyarakat sebagai tambahan pengetahuan bahwa untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional, harus dimulai dari ketahanan pangan dari rumah tangganya sendiri. 1.5 Keaslian Penelitian Penelitian mengenai Keberhasilan Program Desa Mandiri Pangan (Demapan) di Kabupaten Sleman sepanjang penelusuran penulis belum pernah dilakukan. Akan tetapi, penelitian yang berfokus kepada keberhasilan program telah banyak dilakukan dengan lokasi penelitian yang berbeda. Tabel 1.1 Keaslian Penelitian Peneliti Judul/Tahun Fokus Hasil Penelitian Buhadi Wahyu Suharto Program Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Klaten Kasus: Program Aksi Desa Mandiri Pangan di Kecamatan Bayat, Kecamatan Gantiwarno (UGM, 2011) Keberhasilan Program Pengembangan Prasarana Perdesaan (P2D) di Kabupaten Pasir Provinsi Kalimantan Timur (UGM, 2010) Efektivitas Program Aksi Desa Mandiri Pangan dalam mengurangi kemiskinan di Kabupaten Klaten Tingkat keberhasilan Program Pengembangan Prasarana Perdesaan (P2D) di Kabupaten Pasir Propinsi Kalimantan Timur. Pemberdayaan masyarakat melalui Program Aksi Desa Mandiri Pangan di Kab. Klaten telah dilaksanakan secara efektif karena output yang dicapai sesuai dengan indikator yang ditetapkan, juga memberikan dampak positif dalam menurunkan tingkat kemiskinan walaupun tidak signifikan. Program P2D di Kabupaten Pasir Propinsi Kalimantan Timur mampu dilaksanakan sesuai dengan pedoman, atau dapat dikatakan 9
Peneliti Judul/Tahun Fokus Hasil Penelitian Ahmad Abu Musyafa Puspa Eliza Berthy Kajian Tingkat Keberhasilan Program Agropolitan di Kabupaten Hulu Sungai Utara (UGM, 2011) Keberhasilan Program Desa Mandiri Pangan (Demapan) di Kabupaten Sleman (UGM, 2016) Capaian keberhasilan program agropolitan dan faktor-faktor yang mempengaruhi capaian keberhasilan program. Persepsi masyarakat terhadap capaian keberhasilan Program Desa Mandiri Pangan di Desa Sendangagung dan faktor-faktor yang mempengaruhi capaian keberhasilan program. berhasil. Indikator keberhasilan dilihat dari indikator secara fisik dan nonfisik. Program Agropolitan telah berhasil, dengan faktor-faktor yang mempengaruhi capaian keberhasilan program, yaitu: tingkat pendidikan, pekerjaan, lama usaha (bertani), sumber modal, luas lahan, kondisi sarana penunjang dan kinerja petugas. Capaian keberhasilan Program Demapan di Desa Sendangagung menurut persepsi masyarakat sasaran dirasakan di indikator output, outcome, benefit dan impact. Sedangkan persepsi masyarakat bukan sasaran, dirasakan di indikator benefit dan impact. Keberhasilan program dipengaruhi oleh faktor internal maupun eksternal. 10