1 PENDAHULUAN Latar Belakang Pemanasan global saat ini menjadi topik yang paling hangat dibicarakan dan mendapatkan perhatian sangat serius dari berbagai pihak. Pada dasarnya pemanasan global merupakan suatu fenomena yang dipicu akibat kegiatan manusia yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil dan kegiatan deforestasi/devegetasi. Kegiatan tersebut mengakibatkan terjadinya peningkatan konsentrasi GRK (gas rumah kaca) di atmosfer seperti karbondioksida (CO 2 ), metana (CH 4 ), nitrous oksida (N 2 O), Hidroflourokarbon (HFCs), Perflourokarbon (PFCs) dan Sulphur heksafluorida (SF 6 ). Gas CO 2 memiliki kontribusi terbesar terhadap terbentuknya efek rumah kaca. Jika dihitung dari konsentrasinya di atmosfer, ditambah dengan kemampuan memanaskannya, maka CO 2 memberikan sumbangan sekitar 55%, metana 17%, nitrous oksida 7% dan gas lain termasuk chlorofluocarbon dan gas-gas lain asal industri besar 21% (Arrouays et al., 2002). Gas rumah kaca memiliki sifat meneruskan radiasi gelombang pendek cahaya matahari tetapi menyerap dan memantulkan radiasi gelombang panjang atau radiasi balik yang dipancarkan bumi yang bersifat panas sehingga suhu atmosfer bumi semakin meningkat (Murdiyarso, 2003). Akibat adanya fenomena pemanasan global tersebut, maka wakil pemerintah berbagai negara membentuk panel dan melakukan suatu konvensi tingkat dunia yang lebih dikenal dengan UNFCCC (United Nations Framework Covention on Climate Change). Pada tahun 2004 Indonesia ikut meratifikasi Protokol Kyoto yang dituangkan dalam Undang-Undang RI No 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang perubahan iklim. Protokol tersebut mengatur mekanisme untuk memenuhi komitmen atau mencapai target penurunan emisi oleh negaranegara maju, diantaranya melalui mekanisme Emission Trading (ET), Joint Implementation (JI) dan Clean Development Mechanism (CDM). Salah satu kegiatan antropogenik yang diduga turut menyumbang emisi GRK adalah berasal dari sektor pertanian termasuk pada komoditas karet. Saat ini
2 Indonesia merupakan produsen karet terbesar kedua di dunia setelah Thailand. Berdasarkan data Departemen Pertanian RI (2012) luas areal kebun karet di Indonesia pada tahun 2010 seluas 3,445,121 ha dengan total produksi sebesar 2,591,935 ton. Luasan perkebunan karet tersebut terdistribusi dalam perkebunan rakyat, perkebunan besar negara dan perkebunan besar swasta yang tersebar di wilayah Indonesia. Berdasarkan distribusi tersebut, 85% kepemilikan lahan karet di Indonesia didominasi oleh perkebunan karet rakyat. Diperkirakan luasan perkebunan karet akan semakin meningkat diakibatkan peningkatan kebutuhan karet serta harga yang relatif tinggi dan stabil. Lahan gambut saat ini merupakan lahan marjinal yang potensial untuk perluasan areal pertanian (ekstensifikasi pertanian), tak terkecuali untuk pertanaman karet. Menurut Rieley et al. (1996), sebagian besar lahan gambut tropik berada di Kawasan Asia Tenggara (26,216 juta ha) dan Indonesia merupakan pemilik lahan gambut terluas. Berdasarkan data BB Litbang SDLP (2011), Indonesia memiliki lahan gambut sekitar 14.91 juta ha atau sekitar 9% dari total luas daratan Indonesia. Lahan gambut tersebut tersebar terutama di pulau-pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan dan Papua. Tidak seluruh lahan gambut tersebut layak dikembangkan menjadi areal pertanian, dari 14.91 juta ha lahan gambut yang ada hanya sekitar 6 juta ha yang layak untuk pertanian. Lahan gambut dalam keadaan hutan alami berfungsi sebagai penambat (sequester) karbon sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas rumah kaca di atmosfer, walaupun proses penembatan berjalan sangat pelan sebesar 0-3 mm gambut per tahun (Parish et al., 2007) atau setara dengan penambatan 0-5,4 t CO 2 ha -1 tahun -1 (Agus, 2009). Pengelolaan lahan gambut secara tepat akan memberikan kontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan dan ketahanan pangan nasional. Namun jika salah dalam pemanfaatan lahan gambut itu sendiri dapat menyebabkan kerusakan ekosistem dan meningkatkan emisi gas rumah kaca. Apabila hutan gambut ditebang dan didrainase, maka karbon tersimpan pada lahan gambut mudah teroksidasi menjadi gas CO 2 dan lahan gambut mudah mengalami penurunan permukaan (subsiden). Subsiden merupakan resultante dari proses oksidasi dan pemadatan (compaction) sehingga akan memacu proses dekomposisi cadangan bahan organik yang menyebabkan emisi CO 2 dan N 2 O
3 cenderung meningkat (Inubushi et al., 2003), walaupun terjadi penurunan emisi CH 4 (Klemedtssons et al., 1997). Mengingat cadangan karbon yang besar pada lahan gambut sedangkan ekosistemnya sangat rapuh maka apabila tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan kehilangan karbon yang banyak, terutama dalam bentuk gas metan (CH 4 ) dan karbondioksida (CO 2 ) ke atmosfer sehingga semakin meningkatkan emisi gas rumah kaca. Dalam rangka meminimalisir dampak dari aktivitas pengelolaan lahan gambut tropika maka perlu dilakukan tindakan nyata untuk mendorong penurunan laju kehilangan atau emisi dari lahan gambut, salah satunya adalah dengan pemberian amelioran. Oleh sebab itu penting untuk diteliti dampak pemberian amelioran terhadap emisi gas rumah kaca pada beberapa tipe penggunaan lahan.
4 Kerangka Pemikiran Peningkatan konsentrasi Gas Rumah Kaca (GRK) memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap terjadinya pemanasan global. Salah satu komponen gas rumah kaca yang paling dominan di atmosfer adalah CO 2, CH 4 dan N 2 O. Jika dibiarkan, konsentrasi gas rumah kaca tersebut dapat mengganggu pola pertanian yang dapat berdampak langsung terhadap gangguan ketahanan pangan. Meningkatnya konsentarasi GRK disebabkan sejalan dengan meningkatnya kegiatan antropogenik, tidak terkecuali kegiatan pertanian. Menurut Klemedtsson et al (1997), aktivitas pertanian menyumbang sebesar 25% dari total emisi CO 2 yang berasal dari sumber antropogenik. Aktivitas pertanian di Indonesia erat kaitannya dengan pemanfaatan lahan gambut. Saat ini lahan gambut merupakan salah satu lahan marjinal yang pemanfaatannya semakin meningkat sebagai konsekuensi semakin bertambahnya jumlah penduduk dan berkurangnya lahan pertanian produktif (mengalami penurunan luas areal, karena beralih fungsi menjadi kawasan industri, pemukiman dan sarana fisik lainnya). Gambut dapat bertindak sebagai sumber (source) dan penambat/rosot (sink) CO 2 di atmosfer. Permasalahan yang terjadi adalah apabila pengelolaan lahan gambut tersebut tidak tepat, akan dapat menyebabkan kerusakan ekosistem dan meningkatnya emisi gas rumah kaca. Apabila lahan gambut dibuka untuk kegiatan pertanian, praktek-praktek manajemen seperti drainase dan penambahan unsur hara dapat meningkatkan emisi CO 2 (Rinnan et al., 2003). Mengingat cadangan karbon yang besar pada lahan gambut sedangkan ekosistemnya sangat rapuh, maka apabila tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan kehilangan karbon yang banyak, terutama dalam bentuk gas metan (CH 4 ) dan karbon dioksida (CO 2 ) ke atmosfer sehingga semakin meningkatkan emisi gas rumah kaca. Dengan demikian, kajian mendalam tentang faktor-faktor di lapangan terutama pemberian amelioran terhadap lahan gambut pada berbagai penggunaan lahan dan kedalaman gambut sangat diperlukan untuk menentukan kebijakan dalam pengelolaan gambut.
5 Perumusan Masalah Berdasarkan uraian tersebut dapat dikemukakan beberapa permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini, yaitu: a. Bagaimana Emisi Gas Rumah Kaca yang dihasilkan pada beberapa agroekosistem kebun karet di lahan gambut? b. Bagaimana pengaruh pemberian amelioran terhadap emisi gas rumah kaca pada beberapa agroekosistem kebun karet di lahan gambut? c. Seberapa besar nilai kelayakan usahatani terhadap pemberian amelioran pada beberapa agroekosistem kebun karet di lahan gambut? Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalis emisi gas rumah kaca pada tanah gambut yang diambil dari beberapa agroekosistem kebun karet di lahan gambut. 2. Menganalisis pengaruh pemberian amelioran terhadap emisi gas rumah kaca pada tanah tersebut. 3. Menghitung kelayakan usahatani terhadap pemberian amelioran pada beberapa agroekosistem kebun karet di lahan gambut. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang emisi gas rumah kaca pada lahan gambut terkait penggunaan amelioran. Kedepannya diharapkan dapat diperoleh teknologi mitigasi gas rumah kaca pada lahan gambut dengan penggunaan amelioran yang dapat meningkatkan produksi pertanaman dan mengurangi emisi GRK dari lahan gambut. Selain itu diharapkan juga dapat memberikan informasi terhadap pelaku usaha pertanian lahan gambut mengenai nilai ekonomis akibat adanya pemberian amelioran.