BAB II LANDASAN TEORITIS

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 154/PMK.03/2010 Tanggal 31 Agustus 2010

Pajak Penghasilan. Andi Wijayanto

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 154/PMK.03/2010 TENTANG

154/PMK.03/2010 PEMUNGUTAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 22 SEHUBUNGAN DENGAN PEMBAYARAN ATAS PENYERAHAN B

Pajak Penghasilan Pasal 21

1 of 5 21/12/ :45

2 Pertambahan Nilai, perlu melakukan penyesuaian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a; c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

SALINAN PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 146/PMK.011/2013 TENTANG

BAB II KAJIAN PUSTAKA. negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib. membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (Undang-Undang)

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

Definisi PPh Pasal 22 PAJAK PENGHASILAN PASAL 22. Perbedaan Antara Pemungutan dan Pemotongan

SE-13/PJ.43/2001 PENGANTAR KEPUTUSAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 254/KMK.03/2001 TANGGAL 30 APRIL 2001 TE

J : DPP di dapatkan dari harga kontrak yang telah di setujui oleh kedua pihak akan tetapi DPP tersebut tidak termasuk PPN.

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengapdiaan peran aktif

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB II URAIAN TEORITIS

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 15/PJ/2011 TENTANG

PERBEDAAN ANTARA PEMUNGUTAN DAN PEMOTONGAN

UU 10/1994, PERUBAHAN ATAS UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN SEBAGAIMANA TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1991

BAB II KAJIAN PUSTAKAN DAN RUMUSAN HIPOTESIS. Rochmat Soemitro (Mardiasmo 2011:1), Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PAJAK PENGHASILAN (PPh)

Amir Hidayatulloh, S.E., M.Sc Prodi Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Ahmad Dahlan

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PAJAK PENGHASILAN PASAL 22. Amanita Novi Yushita, M.Si

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

MATERI PENYULUHAN PAJAK DI SMKN PENGASIH KULON PROGO

PPh Pasal 22. Bendaharawan Pemerintah

BAB III TINJAUAN TEORI DAN PRAKTIK PEMOTONGAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PADA ANGGOTA KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI. diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Yang dimaksud dengan tahun

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107/PMK.010/2015 TENTANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA,

2015, No Mengingat c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta dalam rangka melaksanakan ketentuan P

Kelompok 3. Karina Elminingtias Ni Putu Ayu A.W M. Syaiful Mizan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16/PMK.010/2016 TENTANG

2015, No Mengingat memberikan kepastian hukum pelaksanaan pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22, perlu melakukan penyesuaian terhadap ketentuan

BAB II TINJAUAN TEORITIS. merupakan hal yang paling penting dalam meningkatkan pembangunan nasional dan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

BAB II LANDASAN TEORI. Pemahaman akan pengertian pajak merupakan hal penting untuk dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Definisi Pajak menurut undang-undang No.16 tahun 2009 tentang. perubahan keempat atas undang undang No. 6 tahun 1983 tentang

BAB II LANDASAN TEORI. serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara. langsung, untuk memeliahara negara secara umum.

BAB II KAJIAN PUSTAKA tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan adalah. badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang dengan tidak

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK LAMPIRAN I PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-26/PJ/2013 TENTANG

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian Pajak sesuai dengan Undang-Undang Ketentuan Umum

PAJAK PENGHASILAN PASAL 22

PAJAK PAJAK DEPARTEMEN IKK - IPB

SUSUNAN DALAM SATU NASKAH UNDANG-UNDANG PAJAK INDONESIA TENTANG PAJAK PENGHASILAN BAB I KETENTUAN UMUM

BAB II KAJIAN PUSTAKA. rakyat ke kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PETUNJUK PENGISIAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PETUNJUK UMUM

DAFTAR PUSTAKA. Anastasia Diana dan Lilis Setiawati Perpajakan Indonesia, Andi, Yogyakarta.

Penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak dan tidak dikenakan Pajak penghasilan, diatur dalam Psl 4 ayat (3) UU No. 36 Tahun 2008, yaitu :

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 1994 TENTANG

DASAR-DASAR PERPAJAKAN

I. PENDAHULUAN MAKSUD DAN TUJUAN

DATA IDENTITAS WAJIB PAJAK DATA IDENTITAS WAJIB PAJAK

PAJAK PENGHASILAN. Tujuan Instruksional :

Pajak Penghasilan Pasal 22 PAJAK PENGHASILAN PASAL 22

Karakteristik. Tujuan : Kesederhanaan dan Kemudahan pengenaan pajak agar tepat waktu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2000 TENTANG PERUBAHAN KETIGA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

KONSEP PENDAPATAN DALAM PAJAK

Modul ke: PPh Pasal 22. Fransisca Hanita Rusgowanto S.Kom, M.Ak. Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Program Studi S1.Akuntansi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

PAJAK PENGHASILAN PASAL 22

Buku Panduan Perpajakan Bendahara Pemerintah BAB I BENDAHARA DAN KEWAJIBAN PAJAKNYA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II BAHAN RUJUKAN

I. KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (KUP)

BAB II LANDASAN TEORI Pengertian Pajak Menurut Undang Undang Pasal 1 angka 1 Ketentuan Umum

Pertemuan 2 PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 (G + B)

2017, No ketentuan tarif pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 atas barang kiriman dengan tarif bea masuk untuk barang kiriman, perlu mengganti

MINGGU KE DUA PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 GAJI DAN BONUS

Repositori STIE Ekuitas

BAB II LANDASAN TEORI. pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian, kewajiban dan peran serta

PER - 31/PJ/2015 PERUBAHAN KETIGA ATAS PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER-57/PJ/2010 TENTAN

BAB II BAHAN RUJUKAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 1985 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG PAJAK PENGHASILAN 1984 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II LANDASAN TEORI. tentang pajak, diantaranya pengertian pajak menurut Santoso (1991)

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2012 TENTANG

Makalah Tentang Pajak Penghasilan Karyawan Pasal 21 / PPh21

SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI. YANG DIKENAKAN PPh FINAL DAN/ATAU BERSIFAT FINAL

BAB III PENYEBAB BEDA AKUNTANSI PAJAK DAN KOMERSIAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEEMPAT ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 7 TAHUN 1983 TENTANG PAJAK PENGHASILAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORITIS A. Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) 1. Hak dan Kewajiban Pemotong Pajak Menurut Siti Resmi (2011:167) hak-hak pemotong Pajak Penghasilan Pasal 21 antara lain : a. Pemotong pajak berhak atas kelebihan jumlah penyetoran PPh Pasal 21 yang terjadi karena jumlah PPh Pasal 21 yang terutang dalam 1 (satu) tahun takwim lebih kecil daripada jumlah PPh Pasal 21 yang telah disetor, untuk kemudian diperhitungkan dengan PPh Pasal 21 yang terutang atas gaji untuk bulan pada waktu dilakukan perhitungan tahunan, dan jika masih ada sisa kelebihan, diperhitungkan untuk bulan-bulan lainnya dalam tahun berikutnya. b. Pemotong Pajak berhak mengajukan permohonan untuk memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) PPh Pasal 21. Permohonan diajukan secara tertulis elambatlambatnya tanggal 31 Maret tahun takwim berikutnya dengan menggunakan formulir yang telah ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak disertai surat pernyataan mengenai perhitungan sementara PPh Pasal 21 yang terutang dan bukti pelunasan kekurangan pembayaran PPh Pasal 21 yang terutang untuk tahun takwim yang bersangkutan. 5

c. Pemotong Pajak dapat mengajukan keberatan kepada Direktur Jenderal Pajak dan permohonan banding kepada Badan Peradilan Pajak. Kewajiban Pemotong Pajak Kewajiban pemotong PPh Pasal 21 adalah : a. Setiap Pemotong Pajak wajib mendaftarkan diri ke Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat. b. Pemotong Pajak mengambil sendiri formulir-formulir yang diperlukan dalam rangka pemenuhan kewajiban perpajakannya pada Kantor Pelayanan Pajak atau Kantor Penyuluhan Pajak setempat. c. Pemotong Pajak wajib menghitung, memotong, dan menyetorkan PPh Pasal 21 yang terutang untuk setiap akhir bulan takwim dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) ke Kantor Pos atau Bank BUMN atau BUMD atau bank-bank lain yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Anggaran selambat-lambatnya tanggal 10 bulan takwim berikutnya. d. Pemotong Pajak wajib melaporkan penyetoran PPh Pasal 21 tersebut sekalipun nihil dengan menggunakan Surat Pemberitahuan (SPT) Masa ke KPP setempat, selambat-lambatnya pada tanggal 20 (dua puluh) bulan takwim berikutnya. e. Pemotong Pajak wajib memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 baik diminta maupun tidak pada saat dilakukannya pemotongan pajak kepada orang pribadi bukan sebagai pegawai tetap, penerima uang 6

tebusan pensiun, penerima JHT, penerima uang pesangon, dan penerima dana pensiun. f. Pemotong pajak wajib memberikan bukti pemotongan PPh Pasal 21 kepada pegawai tetap, dengan menggunakan formulir yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dalam waktu 2 (dua) bulan setelah tahun pajak berakhir. 2. Surat Setoran Pajak (SSP) dan Surat Pemberitahuan (SPT) a. Pengertian SSP dan Fungsi SSP Surat Setoran Pajak (SSP) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang terutang ke Kas Negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara atau Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Fungsi SSP : a. Sebagai sarana untuk membayar pajak b. Sebagai bukti dan laporan pembayaran pajak Batas Waktu Penyetoran : Batas waktu penyetoran dengan SSP paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya. b. Pengertian SPT dan Fungsi SPT 7

Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan pembayaran pajak yang terhutang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Fungsi SPT : Fungsi SPT bagi Wajib Pajak PPh : a. Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terhitung. b. Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan atau melalui pemotongan pajak atau pemungutan pajak lain dalam satu Tahun Pajak atau bagian Tahun Pajak. c. Untuk melaporkan pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau pemungutan pajak Orang Pribadi atau badan lain dalam satu Masa Pajak, yang ditentukan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku. Fungsi SPT bagi Pengusaha Kena Pajak : a. Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan perhitungan jumlah Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang sebenarnya terhutang. b. Untuk melaporkan pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran. 8

c. Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan oleh Pengusaha Kena Pajak dan atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Fungsi SPT bagi Pemotong dan Pemungut Pajak : Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung jawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetor Batas Waktu Pelaporan SPT : a. Batas waktu pelaporan dengan SPT Masa paling lambat 20 bulan berikutnya. b. Batas waktu pelaporan dengan SPT Tahunan selambat-lambatnya 31 Maret tahun takwim berikutnya. B. Pajak Penghasilan 1. Pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1994 yang kemudian untuk ketiga kalinya diubah dengan Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 dan diubah untuk yang keempat kalinya dengan Undangundang No. 36 Tahun 2008 yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 2009 digunakan sebagai dasar hukum pemungutan pajak penghasilan. 9

Menurut Yustinus Prastowo (2010 : 28) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan penghasilan adalah : Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi, atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Jadi, pengertian pajak penghasilan menurut Erly Suandy (2002 :75) adalah pajak yang subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak untuk kepentingan Negara dan masyarakat dalam hidup berbangsa dan bernegara sebagai suatu kewajiban yang harus dilaksanakan. 2. Subjek Pajak Penghasilan Pajak Penghasilan termasuk dalam kategori pajak subjektif. Artinya, pajak dikenakan karena ada subjeknya. Menurut Djoko Mulyono (2009:2) yang dapat menjadi subjek pajak yaitu : a. Orang Pribadi Orang Pribadi adalah mereka yang bertempat tinggal (domisili) atau berada di Indonesia (residensi) ataupun di luar Indonesia. b. Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan menggantikan yang berhak Warisan merupakan subjek pengganti mereka yang berhak yaitu ahli Waris. Selain itu menggantikan yang berhak sampai dengan adanya kejelasan hukum, subjek pajak warisan juga 10

dapat menggantikan pemenuhan kewajiban dan penunjukan yang mewariskan (almarhum). c. Badan Yaitu sekumpulan orang dan atau modal yang merupaka kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, Dana Pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk reksa dana. d. Bentuk Usaha Tetap (BUT) Bentuk usaha tetap ditentukan sebagai subjek pajak tersendiri, terpisah dari badan. Oleh karena itu, walaupun perlakuan perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan untuk pengenaan pajak penghasilan, namun bentuk usaha tetap mempunyai eksistensi sendiri dan tidak termasuk dalam pengertian badan. 3. Pengecualian Subjek Pajak Penghasilan Menurut Mardiasmo (2011 : 171) yang tidak termasuk subjek sebagaimana dimaksud sebagai mana maksud dalam pasal 3 adalah : 11

a. Badan Perwakilan Negara Asing ; b. Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka, dengan syarat bukan Warga Negara Indonesia dan Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain diluar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik; c. Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, dengan syarat : 1) Indonesia menjadi organisasi tersebut ; 2) Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia selain pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para anggota ; d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan Warga Negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. 12

4. Objek Pajak Penghasilan Menurut Rudy Suhartono (2009 : 22) yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik berasal yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untu konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk : a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini; b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan; c. Laba usaha; d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta; e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya; f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang 13

g. Dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil koperasi; h. Royalti; i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta; j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala k. Keuntungan karena pembebasan utang; l. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing; m. Selisih lebih karena penerimaan kembali aktiva; n. Premi asuransi o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dan anggotanya terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas; p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak Objek Pajak yang dikenakan pajak final Atas penghasilan berupa bunga deposito dari tabungantabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan Peraturan Pemerintah. 14

5. Pengecualian Objek Pajak Penghasilan Sesuai ketentuan Pasal 4 ayat (3) UU PPh yang tidak termasuk objek pajak adalah: a. 1) bantuan sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerinth dan para penerima zakat yang berhak; 2) Harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan; sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; b. warisan c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) hurub b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal; d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau pemerintah; 15

e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa; f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di indonesia; g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja atau pegawai; h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g, dalam bidang-bidang yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan; i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas sahamsaham, persekutuan, perkumpulan firma, dan kongsi; j. bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian izin usaha; k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di indonesia. 16

C. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 1. Pengertian PPh Pasal 21 Menurut Anastasia Diana (2010:409) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 adalah pajak yang dipotong oleh pihak lain atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang dalam negeri. 2. Pemotong PPh Pasal 21 Pihak yang wajib melakukan pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 21 adalah pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, badan, bentuk usaha tetap, yayasan, perusahaan, dan penyelenggara kegiatan, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa, serta dana pensiun, badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja, dan badan-badan lain yang membayar uang pensiun dan Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua. Dikecualikan sebagai pemungut pajak adalah, organisasi internasional yang tercantum dalam Lampiran Keputusan Menteri Keuangan Nomor 649/KMK.04/1994 jo. Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-13/pj.4/1995, sehingga tidak berkewajiban memotong yang PPh Pasal 21. Dengan demikian, bagi Wajib Pajak Orang Pribadi dalam 17

negeri yang menerima atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan pada organisasi internasional tersebut wajib membayar sendiri pajak yang terutang dalam tahun berjalan dan melaporkan penghasilan dengan mengisi SPT Tahunan PPh Orang Pribadi apabila seluruh penghasilannya melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). 3. Subjek Pajak dan Bukan Subjek Pajak PPh Pasal 21 Ketentuan Pasal 21 Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur tentang pembayaran pajak dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan. Yang menjadi Wajib Pajak PPh Pasal 21 terdiri dari : a. Pegawai Tetap Pegawai tetap adalah orang pribadi yang melakukan pekerjaan berdasarkan suatu perjanjian kerja baik tertulis ataupun tidak tertulis yang menerima atau memperoleh gaji secara berkala, termasuk dalam pengertian pegawai adalah orang pribadi yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau badan usaha milik negara atau daerah, termasuk pula anggota dewan komisaris dan anggota dewan pengawas yang secara teratur ikut serta melaksanakan kegiatan perusahaan. b. Pegawai tidak tetap 18

Pegawai tidak tetap adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja dan hanya menerima upah apabila orang pribadi bersangkutan bekerja. c. Penerima honorarium Penerima honorarium adalah orang pribadi atau persekutuan orang pribadi yang memberikan jasa menerima atau memperoleh imbalan tertentu sesuai jasa tersebut. d. Penerima upah Penerima upah adalah orang pribadi yang menerima upah baik berupa upah harian, upah borongan, maupun upah satuan. Bukan Subyek Pajak Penghasilan Pasal 21 Yang tidak termasuk penerima penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah : a. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka dengan syarat ; bukan Warga Negara Indonesia, tidak menerima atau memperoleh penghasilan diluar jabatannya di Indonesia, dan Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik. b. Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 19

611/KMK.04/1994 sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 314/KMK.04/1998 sepanjang ; bukan Warga Negara Indonesia, tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan atas pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia. 4. Obyek Pajak dan Bukan Obyek Pajak PPh Pasal 21 Secara umum objek dari Pajak Penghasilan adalah penghasilan, sedangkan objek PPh Pasal 21 secara spesifik antara lain : a. Penghasilan yang diterima atau diperoleh secara teratur berupa gaji, upah, uang pensiun bulanan, honorarium, premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan jabatan, tunjangan kemahalan, tunjangan khusus, tunjangan transport, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, bea siswa, hadiah, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun. b. Penghasilan yang diterima secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan, dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak teratur dan biasanya dibayarkan sekali dalam setahun. c. Upah harian, upah mingguan, upah satuan dan upah borongan 20

d. Uang tebusan pensiun, uang tabungan hari tua, tunjangan hari tua, uang pesangon dan pembayaran sejenis lainnya. e. Honorarium uang saku, hadiah dalam bentuk apapun, komisi, beasiswa, dan pembayaran lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa dan kegiatan yang dilakukan Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri. f. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama dan bentuk apapun yang diberikan oleh bukan (yang dikecualikan sebagai) Wajib Pajak. Bukan objek Pajak Penghasilan Pasal 21 Meskipun setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diperoleh oleh Wajib Pajak merupakan objek pajak, tetapi ada beberapa tambahan kemampuan ekonomis yang merupaka bukan objek pajak sehingga tidak dipungut pajak penghasilan. Tidak termasuk dalam pengertian penghasilan yang dipotong PPh Pasal 21 adalah : a. Pembayaran asuransi dari perusahan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa. b. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan kecuali diberikan oleh bukan Wajib Pajak. c. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendirian telah disahkan oleh Menteri Keuangan serta iuran 21

Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua kepada badan penyelenggara jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja. d. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh pemerintah. e. Kenikmatan berupa pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja. f. Pembayaran THT-Taspen dan THT-Asabri dari PT. Taspen dan PT. Asabri kepada para pensiunan yang berhak menerimanya. g. Zakat yang diterima oleh pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah. h. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh lembaga atau badan nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan atau penelitian dan pengembangan yang ditanamkan kembali paling lama jangka waktu 4 (empat) tahun tidak dikenai pajak. i. Beasiswa yang diterima atau diperoleh oleh penerima beasiswa tidak dikenai pajak. j. Bantuan atau santunan yang diterima dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial tidak dikenai pajak. 5. Pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas Penghasilan yang diterima oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil, Anggota TNI/POLRI dan Pensiunannya 22

a. Pemotongan PPh Pasal 21 atas penghasilan yang bersifat rutin (teratur) Berdasarkan Peraturan Pemerintah No 80 Tahun 2010 dan Peraturan Menteri Keuangan No. 262/PMK.03/2010 bahwa PPh Pasal 21 yang terutang atas penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD ditanggung oleh Pemerintah atas beban APBN atau APBD dan dihitung menurut tarif pajak penghasilan pasal 17 Undang-Undang Pajak Penghasilan. Penghasilan tetap dan teratur setiap bulan yang menjadi beban APBN atau APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penghasilan tetap dan teratur bagi: a. Pejabat Negara, untuk: 1) gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan; atau 2) imbalan tetap sejenisnya, yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; b. PNS, Anggota TNI, dan Anggota POLRI, untuk gaji dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan c. Pensiunan, untuk uang pensiun dan tunjangan lain yang sifatnya tetap dan teratur setiap bulan yang ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. 23

b. Pemotongan PPh Pasal 21 atas Honorarium atau imbalan lain sejenis Penghasilan Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI/POLRI dan pensiunannya berupa honorarium, uang sidang, uang hadir uang lembur, Imbalan Prestasi kerja dan imbalan lain dengan nama apapun yang sumber dananya berasal dari APBN/APBD, maka tata caranya adalah sebagaimana juga diatur dalam PP 80 Tahun 2010. Apabila penerima penghasilan tersebut Non Pejabat Negara/PNS/TNI/POLRI, maka tata cara pemotongan/ pemungutan adalah tata cara yang berlaku umum Perdirjen Pajak No. 31/PJ/2009 sebagaimana diubah dalam Perdirjen Pajak No 5/PJ/2009. Dalam hal Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI/POLRI dan Pensiunannya yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak dikenai tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 lebih tinggi sebesar 20% (dua puluh persen) daripada tarif yang diterapkan terhadap Pejabat Negara, PNS, Anggota TNI, Anggota POLRI, dan Pensiunannya yang memiliki Nomor Pokok wajib Pajak. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 yang terutang atas penghasilan berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban APBN/APBD bersifat final dengan tarif sebagai berikut : 24

Penerima Penghasilan Tarif PNS Golongan I dan II dan pensiunannya 0% PNS Golongan III dan pensiunannya 5% Pejabat Negara, PNS Golongan IV dan pensiunannya 15% 6. Perhitungan PPh Pasal 21 Atas Penghasilan a. Pengertian Penghasilan Bruto Penghasilan bruto adalah gaji pokok ditambah dengan semua tunjangan yang diterima secara tetap serta premi asuransi kematian dan premi asuransi kecelakaan kerja yang ditanggung oleh pemberi kerja. b. Perhitungan Penghasilan Neto Untuk menentukan besarnya penghasilan neto pegawai tetap ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi dengan : a. Biaya jabatan, yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan sebesar 5 % dari penghasilan bruto, dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp. 6.000.000,00 setahun atau Rp. 500.000,00 sebulan; b. Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara THT/JHT yang 25

dipersamakan dengan dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. c. Perhitungan Penghasilan Kena Pajak (PKP) Besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP) dihitung sebagai berikut : a. Bagi pegawai tetap dan penerima pensiun adalah penghasilan neto dikurangi dengan PTKP. b. Bagi pegawai tidak tetap, pemagang dan calon pegawai adalah penghasilan bruto dikurangi PTKP. c. Bagi distributor perusahaan MLM dan kegiatan sejenis lainnya adalah penghasilan bruto setiap bulan dikurangi dengan PTKP per bulan. d. Tarif Pajak Penghasilan Pasal 21 Dasar pengenaannya untuk pajak penghasilan pungutan ditetapkan tarif progresif yaitu tarif pajak yang persetasenya semakin besar penghasilan semakin besar pula persentasenya sesuai dengan Undangundang Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008, yaitu dengan lapisan pengenaan pajak penghasilan sebagai berikut : Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Sampai dengan Rp. 50.000.000,00 5% Di atas Rp. 50.000.000 s.d Rp. 250.000.000 15% 26

Di atas Rp. 250.000.000 s.d Rp. 500.000.000 25% Di atas Rp. 500.000.000 30% e. Perhitungan PPh Pasal 21 atas Pegawai Tetap Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang No. 36 Tahun 2008 Perhitungan PPh Pasal 21 atas penghasilan teratur pegawai tetap adalah sebagai berikut : 1. Terlebih dahulu ditotalkan penghasilan bruto sebulan, dihitung dari gaji pokok ditambah dengan semua tunjangan yang diterima secara tetap serta premi asuransi kematian dan premi asuransi kecelakaan kerja yang ditanggung pemberi kerja kemudian menghitung penghasilan neto yaitu penghasilan bruto dikurangi biaya jabatan, iuran pensiun, iuran Jaminan Hari Tua yang dibayar oleh pegawai, kemudian disetahunkan. Untuk biaya jabatan dihitung sebesar 5 % dari penghasilan bruto, dengan jumlah maksimum adalah Rp. 6.000.000 atau Rp. 500.000 perbulan. 2. Penghasilan neto tersebut selanjutnya dikurangi PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) untuk memperoleh Penghasilan Kena Pajak (PKP). Besarnya PTKP setahun sebagai berikut : 27

Rp. 15.840.000 untuk diri Wajib Pajak orang pribadi. Rp. 1.320.000 tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin. Rp. 15.840.000 tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami. Rp. 1.320.000 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 (tiga) orang untuk setiap keluarga. 3. Atas dasar Penghasilan Kena Pajak tersebut kemudian dihitung PPh Pasal 21 setahun yang dihitung dengan mengalikan Penghasilan Kena Pajak dengan tarif sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang No.36 Tahun 2008. Untuk keperluan penerapan tarif penghasilan kena pajak dibulatkan kebawah hingga ribuan rupiah. Untuk memperoleh jumlah PPh Pasal 21 sebulan, jumlah PPh Pasal 21 setahun atas penghasilan dibagi dengan 12. Sedangkan bila tidak sampai satu tahun, maka untuk mendapatkan jumlah PPh 21 setahunnya adalah dengan membaginya dengan banyaknya bulan pegawai bersangkutan bekerja. 28

D. Pajak Penghasilan Pasal 22 1. Pengertian PPh Pasal 22 Pajak Penghasilan Pasal 22 merupakan pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lain, berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang; dan badanbadan tertentu baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lain. 2. Pemungut PPh Pasal 22 Berdasarkan peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/PMK.03/2010, Pemungut PPh Pasal 22 adalah : 1. Bank Devisa dan Direktorat Bea Cukai, atas impor barang; 2. Bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerinta Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi atau lembaga pemerintah dan lembagalembaga negara lainnya berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang; 3. Bendahara pengeluaran untuk pembayaran yang dilakukan dengan mekanisme Uang Persediaan (UP); 4. Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh KPA untuk pembayaran kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS); 29

5. Badan Usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri; 6. Produsen, atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan bahan bakar minyak, gas dan pelumas; 7. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak atas pembelian bahan bakar untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul. 3. Objek Pemungutan PPh Pasal 22 Pemungutan PPh Pasal 22 dibedakan berdasarkan jenis kegiatan yang dilakukan. Kegiatan yang dikenakan PPh Pasal 22 adalah : 1. Impor barang; 2. Pembayaran atas pembelian barang yang dilakukan oleh bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai pemungut pajak pemerintah pusat, pemerintah daerah, instansi, atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga Negara lainnya; 3. Pembayaran yang dilakukan dengan mekanisme Uang Persediaan (UP) oleh bendahara pengeluaran; 30

4. Pembayaran kepada pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS) oleh KPA atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh KPA; 5. Penjualan hasil industri dalam negeri oleh Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri baja, dan industri otomotif yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak; 6. Penjualan bahan bakar minyak, gas dan pelumas oleh produsen atau importir bahan bakar minyak, gas dan pelumas; 7. Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor dari pedagang pengumpul oleh industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan, pertanian dan perikanan yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak. 4. Pengecualian Objek PPh Pasal 22 Pemungutan PPh Pasal 22 dibedakan berdasarkan jenis kegiatan yang dilakukan. Kegiatan yang tidak dikenakan PPh Pasal 22 adalah : 1. Impor barang dan atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan.; 2. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan atau pajak pertambahan nilai; 31

a. Barang perwakilan Negara asing beserta para pejabat yang bertugas di Indonesia atas asas timbal balik; b. Barang untuk keperluan Badan Internasional beserta pejabatnya yang bertugas di Indonesia dan tidak memegang paspor Indonesia yang diakui dan terdaftar peraturan Menteri Keuangan yang mengatur tentang Tata Cara Pemberian Pembebasan bea masuk dan cukai atas impor barang untuk keperluan Badan Internasional beserta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia; c. Barang kiriman hadiah untuk keperluan ibadah umum, amal, sosial, kebudayaan atau untuk kepentingan penanggulangan bencana; d. Barang untuk keperluan museum, kebun binatang, konservasi alam dan tempat lain semacam itu yang terbuka untuk umum; e. Barang untuk keperluan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan; f. Barang untuk keperluan khusus kaum tunanetra dan penyandang cacat lain; g. Peti atau kemasan lain yang berisi jenazah atau abu jenazah; h. Barang pindahan; i. Barang pribadi penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman sampai batas jumlah tertentu sampai dengan ketentuang perundang-undangan kepabeanan; 32

j. Barang yang diimpor oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang ditujukan untuk kepentingan umum; k. Persenjataan, amunisi, dan perlengkapan militer, termasuk suku cadang yang diperuntukkan bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara; l. Barang dan bahan yang dipergunakan untuk menghasilkan barang bagi keperluan pertahanan dan keamanan negara; m. Vaksin polio dalam rangka pelaksanaan program Pekan Imunisasi Nasional; n. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama; o. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau, kapal angkutan penyeberangan,kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang alat keselamatan pelayaran atau alat keselamatan manusia yang diimpor dan digunakan oleh perusahaan Pelayaran Niaga Nasional atau perusahaan penangkapan nasional; p. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan yang diimpor dan digunakan oleh perusahaan Angkatan Udara Nasional 33

q. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana yang diimpor dan digunakan oleh PT. Kereta Api Indonesia; r. Peralatan yang digunakan untuk penyediaan data batas dan foto udara wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia; dan atau s. Barang untuk kegiatan hulu minyak gas dan Minyak Bumi yang importasi nya dilakukan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama. 3. Impor sementara, jika pada waktu impor nyata-nyata dimaksudkan untuk ekspor kembali; 4. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang barang yang telah diekpor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai; 5. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak sebagaimana dimaksud dalam nomor 2, 3, dan 4 bagian pemungut pajak dalam Bab ini berkenaan dengan: a. Pembayaran yang jumlah nya paling banyak Rp. 2.000.000 (dua juta rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah; 34

b. Pembayaran untuk pembelian bahan bakar minyak, listrik, gas, pelumas, air minum/pdam dan benda-benda pos. 6. Pembayaran untuk pembelian gabah dan atau beras oleh Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (BULOG); 7. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor; 8. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Pengecualian dari pemungutan PPh Pasal 22 atas barang impor sebagaimana dimaksud pada nomor 2 tetap berlaku dalam hal impor tersebut dikenakan tarif bea masuk sebesar 0% (nol persen). Pengecualian sebagaimana dimaksud pada nomor 7 dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Pengecualian sebagaimana dimaksud pada nomor 4,5,6, dan 8 dilakukan tanpa Surat Keterangan Bebas (SKB). 5. Tarif Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 Keterangan Tarif Pengenaan Impor menggunakan API 2.5 % Impor kedelai, gandum, dan tepung terigu yang menggunakan API 0.5% 35

Impor tidak menggunakan API 7.5% Impor yang tidak dikuasai 7.5% Pembelian barang yang dilakukan oleh bendahara pemerintah, bendahara pengeluaran, KAP, pejabat penerbit SPM Penjualan bahan bakar minyak kepada SPBU Pertamina 1.5% 0.25% Penjualan bahan bakar minyak kepada SPBU non Pertamina dan Non SPBU Penjualan bahan bakar gas 0.3% 0.3% Penjualan Pelumas 0.3% Penjualan Kertas hasil produksi dalam negeri 0.1% dari DPP PPn Penjualan semen produksi dalam negeri 0.25% dari DPP PPn Penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih hasil produksi dalam negeri 0.45% dari DPP PPn Penjualan baja hasil produksi dalam negeri 0.3% dari DPP PPn Pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam 0.25% sektor kehutanan, perkebunan, pertanian, dan perikanan 36