TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Morfologi Trialeurodes vaporariorum (Westwood)

dokumen-dokumen yang mirip
WESTWOOD (HEMIPTERA: ALEYRODIDAE) PADA TANAMAN TOMAT

TINJAUAN PUSTAKA Tomato infectious chlorosis virus (TICV)

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA Serangga predator Bioekologi Menochilus sexmaculatus

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1 Imago Bemisia tabaci.

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala Parasitisasi

Hama penghisap daun Aphis craccivora

TINJAUAN PUSTAKA Tomat ( Lycopersicum esculentum Hama dan Penyakit Tomat Hama tanaman tomat Ulat buah

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Siklus Hidup B. tabaci Biotipe-B dan Non-B pada Tanaman Mentimun dan Cabai

HASIL DAN PEMBAHASAN. Ciri Morfologi Parasitoid B. lasus

HASIL DAN PEMBAHASAN

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo Sachhariphagus Boj. (Lepidoptera: Crambidae)

Identifikasi dan Klasifikasi Hama Aphid (Kutu Daun) pada tanaman Kentang

TINJAUAN PUSTAKA. Telur berwarna putih, berbentuk bulat panjang, dan diletakkan

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi Phragmatoecia castaneae Hubner. (Lepidoptera : Cossidae)

TINJAUAN PUSTAKA. Adapun morfologi tanaman tembakau adalah: Tanaman tembakau mempunyai akar tunggang terdapat pula akar-akar serabut

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Boj. (Lepioptera: Crambidae) Bentuk telur jorong dan sangat pipih, diletakkan dalam 2-3 baris tersusun

KEMENTERIAN PERTANIAN ISBN :

TINJAUAN PUSTAKA. energi pada kumunitasnya. Kedua, predator telah berulang-ulang dipilih sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA

Lampiran 1 Bagian dorsal eksuvia dan karakter morfologi yang umum digunakan pada kunci identifikasi dan deskripsi kutukebul famili Aleurodicinae

TINJAUAN PUSTAKA. miring. Sycanus betina meletakkan tiga kelompok telur selama masa hidupnya.

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi hama penggerek batang berkilat menurut Soma and Ganeshan

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo sacchariphagus Bojer (Lepidoptera: Crambidae) diletakkan secara berkelompok dalam 2-3 baris (Gambar 1). Bentuk telur jorong

II. TINJAUAN PUSTAKA. Berikut adalah taksonomi pengisap polong kedelai (EOL, 2014):

TAHAP TAHAP PERKEMBANGAN TAWON KEMIT (Ropalidia fasciata) YANG MELIBATKAN ULAT GRAYAK (Spodopteraa exigua)


BAB II TINJAUAN PUSTAKA

HASIL DAN PEMBAHASAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut pengamatan para ahli, kedelai (Gycines max L. Merril) merupakan tanaman

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Begomovirus Kisaran Inang Begomovirus

Pengenalan Penyakit yang Menyerang Pada Tanaman Kentang

TINJAUAN PUSTAKA. Tanaman Buah-buahan

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian

Metamorfosis Kecoa. 1. Stadium Telur. 2. Stadium Nimfa

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Pradewasa dan Imago

TINJAUAN PUSTAKA. Chilo saccharipaghus Bojer (Lepidoptera: Pyralidae) mengkilap. Telur berwarna putih dan akan berubah menjadi hitam sebelum

TINJAUAN PUSTAKA. Parasitoid

Gambar 1. Gejala serangan penggerek batang padi pada stadium vegetatif (sundep)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

2 TINJAUAN PUSTAKA. Interaksi Organisme Pengganggu Tanaman dan Tanaman Tomat

TINJAUAN PUSTAKA. Biologi dan siklus hiduptrichogramma spp. (Hymenoptera : Famili Trichogrammatidae merupakan parasitoid telur yang

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), Setothosea asigna di klasifikasikan sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. berkelompok (Gambar 1). Kebanyakan telur ditemukan di bawah permukaan daun,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) ulat grayak diklasifikasikan sebagai berikut:

I. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Tarigan dan Wiryanta (2003), tanaman cabai dapat diklasifikasikan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Pengaruh Jumlah Infestasi terhadap Populasi B. tabaci pada Umur Kedelai yang Berbeda

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981) Spodoptera litura F. dapat diklasifikasikan

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 17. Kandang Pemeliharaan A. atlas

HASIL DAN PEMBAHASAN Identifikasi Serangga Vektor

TINJAUAN PUSTAKA. A. Biologi dan Morfologi Rayap (Coptotermes curvignatus) Menurut (Nandika et, al.dalam Pratama 2013) C. curvignatus merupakan

1. tikus 2. penggerek batang padi 3. wereng coklat

PENGARUH LAMA PENYIMPANAN BIOPESTISIDA TERHADAP DAYA KENDALI SERANGAN HAMA KUTU PADA TANAMAN CABE RAWIT OLEH : HENDRI YANDRI, SP (WIDYAISWARA PERTAMA)

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), adapun sistematika dari hama ini adalah

TINJAUAN PUSTAKA. family : Tephritidae, genus : Bactrocera, spesies : Bactrocera sp.

BAB I PENDAHULUAN. keluarga labu-labuan yang sudah popular di seluruh dunia, dimanfaatkan untuk

TEKNIK BUDIDAYA TOMAT

MENGENAL ORGANISME PENGGANGGU TUMBUHAN (OPT) BAWANG MERAH DAN MUSUH ALAMINYA PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN HORTIKULTURA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Vektor dalam arti luas adalah pembawa atau pengangkut. Vektor dapat berupa

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus Hidup dan Morfologi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Daphnia sp. digolongkan ke dalam Filum Arthropoda, Kelas Crustacea, Subkelas

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Seperti yang dijelaskan Sudaryanto dan Swastika (2007), bahwa

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2 Partikel TICV berbentuk seperti benang, memanjang (filamentous) dan lentur (flexuous) (Liu et al. 2000)

PENDAHULUAN. Eli Korlina PENDEKATAN PHT

TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 1. Telur P. castanae Hubner. Bentuk telur oval dan dapat menghasilkan telur sebanyak butir perbetina.

Kutu Kebul Bemisia tabaci Gennadius (Hemiptera: Aleyrodidae) Penyebar Penyakit Virus Mosaik Kuning pada Tanaman Terung

TINJAUAN PUSTAKA. tahun 1889, di Yunani (Hirano et al., 2007). B. tabaci juga mampu membentuk

HAMA Cricula trifenestrata PADA JAMBU METE DAN TEKNIK PENGENDALIANNYA

PEMBAHASAN UMUM Karakterisasi Genotipe Cabai

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Chilo sacchariphagus Bojer. (Lepidoptera: Crambidae) Imago betina meletakkan telur secara berkelompok pada dua baris secara

TINJAUAN PUSTAKA. Thrips termasuk ke dalam ordo Thysanoptera yang memiliki ciri khusus, yaitu

TINJAUAN PUSTAKA. Berbentuk oval sampai bulat, pada permukaan atasnya agak datar. Jumlah telur

II. TELAAH PUSTAKA. Gambar 2.1 Morfologi nyamuk Aedes spp. (Wikipedia, 2013)

BAB I PENDAHULUAN. Semua ilmu pengetahuan sesungguhnya bersumber dari Al Qur an, karena

Status Ulat Grayak (Spodoptera litura F.) Sebagai Hama

II. TINJAUAN PUSTAKA. Symphylid memiliki bentuk yang menyerupai kelabang, namun lebih kecil,

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Kalshoven (1981), klasifikasi S. inferens adalah sebagai berikut:

TINJAUAN PUSTAKA. antara telur dan tertutup dengan selaput. Telur mempunyai ukuran

HASIL DAN PEMBAHASAN Perkembangan Populasi Kepinding Tanah ( S. coarctata

TINJAUAN PUSTAKA. Telur serangga ini berwarna putih, bentuknya mula-mula oval, kemudian

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. Mentimun (Cucumis sativus L.) merupakan salah satu tanaman yang. termasuk dalam family Cucurbitaceae (tanaman labu-labuan),

Hama Kedelai dan Kacang Hijau

Musca domestica ( Lalat rumah)

TINJAUAN PUSTAKA. kerusakan daun kelapa sawit. Namun demikian, penggunaan insektisida kimia

untuk meneliti tingkat predasi cecopet terhadap larva dan imago Semoga penelitian ini nantinya dapat bermanfaat bagi pihak pihak yang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Kedelai adalah salah satu tanaman polong-polongan yang menjadi bahan dasar

TINJAUAN PUSTAKA Ulat Sutra ( Bombyx mori L. Ras Ulat Sutera

TINJAUAN PUSTAKA. Siklus hidup S. litura berkisar antara hari (lama stadium telur 2 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Patogen serangga adalah mikroorganisme infeksius yang membuat luka atau

Pengorok Daun Manggis

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Biologi Sitophilus oryzae L. (Coleoptera: Curculionidae)

TINJAUAN PUSTAKA. (Ostrinia furnacalis) diklasifikasikan sebagai berikut:

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi dan Morfologi Trialeurodes vaporariorum (Westwood) Kutukebul T. vaporariorum merupakan hama utama pada berbagai tanaman hortikultura dan tanaman hias. Kutukebul ini bersifat polifag. Tanaman inang T. vaporariorum meliputi beberapa tanaman seperti tomat, cabai, terung, buncis, timunsuri, paria, kacang hijau, ubi jalar, stroberi, tembakau, dan bahkan mawar. Secara taksonomi, T. vaporariorum termasuk dalam ordo Hemiptera, subordo Sternorrhyncha, superfamili Aleyrodoidea, famili Aleyrodidae, dan sub famili Alerodicinae (Martin 1987). Kutukebul T. vaporariorum ini secara umum dikenal sebagai greenhouse whitefly atau kutukebul rumah kaca yang habitatnya di daerah beriklim sedang di dunia (Kessing & Mau 2009). Siklus hidup kutukebul terdiri dari empat fase perkembangan, yaitu telur, nimfa, pupa, dan imago. Kutukebul dapat bereproduksi secara seksual maupun partenogenesis. Imago betina yang sudah dibuahi imago jantan biasanya akan memilih salah satu tempat di permukaan bawah daun dan diam di tempat tersebut sampai ia meletakkan telurnya. Menurut Roermund & Lenteren (1992), ciri morfologi T. vaporariorum adalah sebagai berikut: telur berbentuk bulat panjang (± 0,25 mm), permukaannya licin dengan tangkai yang pendek pada salah satu ujungnya. Posisi telur pada umumnya tegak lurus atau vertikal, diletakkan dalam kumpulan lilin putih berpola melingkar dengan tangkai telur menempel pada daun inangnya. Telur yang baru dikeluarkan imago betina berwarna putih pucat agak krem, kemudian setelah 24 jam berubah warnanya menjadi kekuningan. Warna telur yang berumur lebih tua akan semakin gelap dan akhirnya kehitaman menjelang keluarnya nimfa instar satu sekitar hari ke-8 (Nielsen 2000).

1 2 (a) Gambar 1 Kutukebul T. vaporariorum. (a) Tahapan perkembangan T. vaporariorum: A= imago, B= telur, C= nimfa i.1, D= nimfa i.2, E= nimfa i.3, F= pupa, dan (b) telur T. vaporariorum: 1= telur berumur 1-2 hari yang berwarna kuning pucat, 2= Telur yang berumur lebih tua, berwarna lebih hitam (Nielsen 2000). Nimfa instar 1 berbentuk bulat panjang, berwarna krem cerah dengan panjang tubuh 0,30 mm. Nimfa ini bergerak secara aktif dan disebut crawler, biasanya selama 1-2 hari. Nimfa menghisap sap atau cairan daun tanaman yang mengandung protein dan ekstrak nutrisi lainnya. Nimfa instar 2 berwarna krem lebih gelap daripada instar satu dengan antena sangat pendek dan tungkai yang tereduksi. Nimfa instar 3 berwarna krem dengan ukuran yang lebih besar daripada instar 2, dengan segera tinggal dan masuk fase istirahat (immobile). Nimfa instar 2 dan 3 tidak bergerak dan menetap di permukaan bawah daun. Tahap perkembangan nimfa akhir terdiri dari nimfa instar 4, prapupa, dan pupa, namun biasanya ketiga tahap ini disebut dengan fase pupa saja. Pupa berbentuk bulat panjang, dibagian toraks agak melebar dan cembung dengan abdomen yang tampak jelas. Pupa berukuran 0,73-0,75 mm, lebih tebal daripada nimfa instar sebelumnya dan berwarna keputihan. Pupa memiliki semacam rambut panjang yang keluar pada bagian dorsal dan margin tubuhnya. Susunan mata dan jaringan tubuh di dalam pupa menjadi jelas terlihat selama fase ini (Roermund & Lenteren 1992). Lama stadium pupa berkisar antara 3-7 hari. Ciri khas pupa T. vaporariorum ditandai pada bagian-bagian seperti lingual, vasiform orifice, dan papila submargin. (b)

T. vaporariorum memiliki lingual yang membulat, barisan papila pada submarginnya, serta basal tungkai tengah dan belakang mempunyai seta yang halus dan kecil (Martin 1987). Setelah imago keluar, maka kulit/ kantung pupa yang berwarna transparan akan ditinggalkan. Antena imago biasanya panjang dan berbentuk moniliform, dengan 3-7 ruas. Mata majemuk berkembang baik. Imago kutukebul ini panjangnya 1-2 mm dengan warna tubuh kekuningan dan memiliki empat sayap berlapis lilin yang hampir sejajar dengan permukaan daun. Sayap imago baik jantan maupun betina bentuknya menyerupai tenda segitiga dan menutupi hampir seluruh tubuhnya (Smith 2009). Kutukebul T. vaporariorum yang memasuki stadium imago pada umumnya menetap pada daun-daun muda dekat titik tumbuh tanaman dan bertelur di tempat tersebut. Kutukebul rumah kaca ini reproduksinya relatif lambat, yakni satu generasi tiap 30 sampai 45 hari. Akan tetapi seekor imago betina mampu bertelur sampai 250 butir. Lama perkembangan serangga tergantung temperatur dan jenis tanaman inang. Temperatur perkembangan optimum berkisar antara 21-24 ºC. Pada tanaman tomat, durasi perkembangan T. vaporariorum pada stadium telur adalah sekitar 8 hari, nimfa instar 1 sekitar 6 hari, nimfa instar 2 selama 2 hari, nimfa instar 3 sekitar 3 hari, stadium pupa sekitar 9 hari, dan imago rata-rata sekitar 7-8 hari (Roermund & Lenteren 1992). Tahapan perkembangan T. vaporariorum merupakan peralihan antara paurometabola dan holometabola, karena nimfa instar akhir hanya diam dan seperti pupa. Imago T. vaporariorum baik jantan maupun betina dapat terbang dengan baik karena keduanya mempunyai dua pasang sayap yang berselaput tipis. Sepasang sayap depan mempunyai sifat yang seragam seluruhnya, demikian pula halnya dengan sepasang sayap belakang. Warna sayapnya keruh, keputihan, dan tertutup dengan serbuk yang putih, sayap-sayap belakang hampir sama besarnya dengan sayap depan, dan tidak ada kornikelnya. Pada waktu serangga sedang istirahat sayap-sayapnya diletakkan seperti atap di atas tubuh. Kutukebul T. vaporariorum dan anggota Aleyrodidae lainnya memiliki bentuk alat mulut menusuk-menghisap yang terdiri dari empat struktur tubular yang disebut stilet. Dua stilet mandibulata melakukan aktivitas mekanik dan perpindahan secara bebas pada tiap-tiap penetrasi melalui ruang interseluler. Dua

stilet maksila menghubungkan dua bentuk pembuluh utama, saluran makanan, dan kelenjar ludah (Forbes 1969). Kutukebul dapat mengeluarkan lapisan lilin berwarna putih dari kelenjar khusus yang ada pada bagian abdomen. Lapisan lilin ini bervariasi bentuknya pada masing-masing spesies, baik pada stadium nimfa maupun imago, sehingga dapat dijadikan dasar identifikasi (Botha et al. 2000). Stadium nimfa instar 1, instar 2, instar 3, dan imago menyebabkan kerusakan tanaman dengan cara memasukkan stiletnya ke dalam tulang daun dan mengekstrak sap floem untuk memperoleh makanannya (Wintermantel 2004). Cara makan nimfa yaitu dengan menghisap ekstrak protein dan nutrisi dari sap tanaman serta mengekskresikan kelebihan gula. Cairan gula ini merupakan limbah pencernaan yang dikenal dengan istilah embun madu. Pada populasi yang tinggi, jumlah embun madu pun melimpah dan menyebabkan tanaman atau buah-buahan menjadi lengket. Bila embun madu ini ditumbuhi cendawan embun jelaga Capnodium sp., maka akan menyebabkan terbatasnya sistem fotosintesis. Selain nimfa, stadium yang potensinya lebih berbahaya yaitu imago, karena imago dapat menularkan virus tanaman. Musuh alami kutukebul T. vaporariorum di alam adalah parasitoid Encarsia formosa (Hymenoptera: Aphelinidae). Imago betina parasitoid ini meletakkan telurnya pada larva T. vaporariorum, sehingga pada saatnya telur parasitoid akan menetas di dalam tubuh inang dan mengambil nutrisi dari larva T. vaporariorum (parasit larva). Akibatnya larva T. vaporariorum lama-kelamaan akan mati karena kekurangan nutrisi dan infeksi (Roermund & Lenteren 1992). Musuh alami lainnya yaitu Eretmocerus eremicus (Hymenoptera: Aphelinidae), Macrolophus caliginosus (Hemiptera: Miridae), dan Amblyseius swirskii (Mesostigmata: Phytoseiidae). Pengaruh Ketinggian dan Suhu terhadap Serangga Variasi ukuran pada serangga dapat dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, ataupun interaksi antara keduanya (Zera 2004). Variasi morfologi serangga juga dipengaruhi oleh posisi dan ketinggian tempat. Serangga yang berada pada posisi yang lebih tinggi berukuran lebih besar, lebih berat, dan berwarna lebih gelap daripada posisi yang lebih rendah. Kutukebul T. vaporariorum dapat ditemukan pada ketinggian 950 1500 mdpl (Nurrohman 2003). Kecenderungan

peningkatan bobot tubuh, lebar kapsul kepala, dan panjang sayap yang berada pada ketinggian tempat yang lebih tinggi terjadi pada serangga Dalbulus maydis (Hemiptera: Cicadellidae) (Oliveira et al. 2004). Populasi serangga Lycaena sp. (Lepidoptera: Lycaenidae) yang berada pada tempat yang lebih tinggi menunjukkan peningkatan ukuran telur dan panjang sayap (Fischer & Karl 2010). Tinggi atau rendahnya suatu tempat di permukaan bumi berpengaruh terhadap suhu udaranya. Suhu di negara tropis seperti Indonesia menunjukkan adanya penurunan seiring dengan makin tingginya tempat. Namun kenyataannya, terdapat faktor lainnya yang juga mempengaruhi fluktuasi suhu harian, misalnya kelembapan udara. Kelembapan udara menyatakan banyaknya uap air dalam udara. Uap air ini mempunyai sifat menyerap radiasi bumi sehingga menentukan cepatnya kehilangan panas dari bumi dan dengan sendirinya juga ikut mengatur suhu (Wisnubroto et al. 1986). Suhu mempengaruhi ukuran tubuh kutu daun dan ukuran tubuh beberapa serangga lainnya. Serangga-serangga tersebut akan berukuran lebih kecil ketika berkembang pada suhu yang lebih tinggi (Dixon 1985). Hal tersebut dibuktikan oleh Blackman (1994) pada spesies Myzus persicae (Hemiptera: Aphididae) yang mengalami penurunan ukuran tubuh pada pertumbuhan di suhu yang lebih tinggi. Menurut Digby (1954), suhu dan tingkat radiasi mempengaruhi aktivitas dan ukuran panjang tubuh beberapa spesies lalat. Murai & Toda (2001) juga menyatakan bahwa individu Thrips tabaci (Thysanoptera: Thripidae) yang hidup pada suhu yang lebih rendah mempunyai warna tubuh yang lebih gelap dan ukuran tubuh yang lebih besar daripada suhu yang lebih tinggi. Semua stadium T. vaporariorum memiliki kemampuan beradaptasi di suhu dingin dibandingkan B. tabaci (Xie et al. 2006). Menurut Roermund & Lenteren (1992), suhu mempengaruhi parameter kehidupan T. vaporariorum, seperti tingkat perkembangan nimfa, kematian nimfa, seks rasio, lama hidup, periode preoviposisi, fekunditas, frekuensi oviposisi, serta peningkatan periode oviposisi harian. Smith (2009) menyatakan bahwa imago T. vaporariorum mampu hidup normal pada suhu antara 22 C sampai 25 C, sedangkan pada suhu di atas 30 C imago tidak mampu berkembang dan pada suhu 35 C imago akan mati.

Tomato infectious chlorosis virus (TICV) TICV merupakan virus dengan partikel berukuran sekitar 650 nm, berbentuk batang lentur. Virus ini berkembang hanya pada bagian jaringan floem saja (Duffus et al. 1996). TICV termasuk kelompok genom bipartite RNA untai tunggal (ssrna), dengan panjang genom RNA1 7,8 kb dan RNA2 7,4 kb (Liu et al. 2000). TICV merupakan anggota famili Closteroviridae dan genus Crinivirus (Hull 2002, Martelli et al. 1999 di dalam Liu et al. 2000). Keberadaan TICV telah dilaporkan di beberapa wilayah penghasil tomat dunia seperti di California (Duffus et al. 1994), North Carolina (Vaira et al. 2002), Spanyol (Font et al. 2002), Yunani (Dovas et al. 2002), dan Perancis (Dalmon et al. 2005). TICV adalah masalah tomat yang penting dalam pertanian dunia. Bahkan, TICV telah menyebabkan kerugian sekitar $ 2 juta di Orange County pada tahun 1993 (Wisler et al. 1997). Di belahan Asia, TICV terdeteksi pertama kalinya pada tanaman tomat di Indonesia dan Jepang (Verhoeven et al. 2003; Hartono et al. 2003), serta Yordania (Anfoka & Abhary 2007). Gejala TICV pada daun tomat umumnya tampak jelas pada daun yang lebih tua di bagian bawah tanaman (Wisler et al. 1998). Gejala awal muncul berupa jaringan di antara tulang daun menguning (Duffus et al. 1996; Hirota et al. 2010), adanya bintik nekrotik kecil (Wintermantel & Wisler 2006), namun pertumbuhan baru terus berlangsung. Gejala kuning terlihat jelas pada seluruh daun (Anfoka & Abhary 2007), namun mulai muncul dari daun bagian bawah tanaman dan berlanjut ke bagian atas tanaman tomat. Gejala lanjutan berupa warna merah-keunguan pada daun tua (Wisler et al. 1998), daun menggulung ke bawah, daun mengering dan rapuh yang diikuti dengan kehilangan hasil yang banyak. Kehilangan hasil ini disebabkan karena area fotosintesis pada daun yang berkurang. Selain itu kualitas buah tomat yang dihasilkan rendah mutunya, karena pada umumnya buah masak sebelum waktunya dan berukuran lebih kecil. Kesenjangan kualitas inilah yang menjadi faktor pembatas bagi petani tomat. Sayangnya terkadang gejala disalahartikan sebagai penuaan alami, kekurangan nutrisi, gangguan fisiologis, atau bahkan fitotoksisitas dari pestisida. TICV dilaporkan hanya dapat ditularkan oleh T. vaporariorum dan tidak oleh spesies kutukebul lainnya (Duffus et al 1996). Virus ini juga tidak dapat

ditularkan melalui benih maupun perasan tanaman sakit, sehingga T. vaporariorum berperan sangat penting dalam penyebaran patogen TICV. TICV merupakan patogen penyebab penyakit klorosis pada tanaman tomat. Kehadiran patogen ini tentunya mengancam produksi tomat di Indonesia maupun di seluruh dunia. Hubungan Virus dengan Serangga Vektor serta Periode Retensi Penggolongan virus yang ditularkan oleh kutukebul berdasarkan lamanya vektor mempertahankan virus dalam tubuhnya. Penggolongan ini berupa nonpersisten, semipersisten, dan persisten. Virus dianggap golongan non-persisten bila kemampuan vektor menularkan virus hilang dalam beberapa menit atau beberapa jam saja. Bila kemampuan vektor menularkan virus hilang setelah beberapa jam, maka digolongkan ke dalam semipersisten. Bila kemampuan vektor untuk menularkan virus tersimpan dalam kurun waktu beberapa hari atau selama hidupnya, maka digolongkan ke dalam persisten (Watson & Robers 1939; Sylvester 1956). TICV ditularkan oleh serangga vektor T. vaporariorum secara semipersisten. Periode retensi adalah selang waktu vektor masih dapat menularkan patogen sampai serangga tersebut tidak dapat menimbulkan gejala atau menularkan virus lagi. Lama periode retensi ini tergantung spesies kutukebul serta jenis virus yang ditularkannya.