BAB I PENDAHULUAN. mereka kelak. Salah satu bentuk hubungan yang paling kuat tingkat. cinta, kasih sayang, dan saling menghormati (Kertamuda, 2009).

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB I PENDAHULUAN. untuk kebahagiaan dirinya dan memikirkan wali untuk anaknya jika kelak

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya setiap manusia diciptakan secara berpasang-pasangan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Keluarga memiliki tanggung jawab terbesar dalam pengaturan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB II LANDASAN TEORI. Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB II LANDASAN TEORI. dewasa yaitu usia tahun. Sedangkan seorang gadis yang masih berusia dibawah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup

BAB I PENDAHULUAN. Pada umumnya keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak. Ayah dan

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. pasangan (suami) dan menjalankan tanggungjawabnya seperti untuk melindungi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa dewasa adalah masa awal individu dalam menyesuaikan diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB II LANDASAN TEORI. perhatian penuh kasih sayang kepada anaknya (Soetjiningsih, 1995). Peran

BAB I PENDAHULUAN. Santrock, 2000) yang menyatakan bahwa tugas perkembangan yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. kebahagiaan seperti firman Allah dalam Qur`an Surat Al- Baqarah ayat 36

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Ibu adalah sebutan untuk menghormati kodrat perempuan dan sebagai satu-satunya jenis

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena orangtua tunggal beberapa dekade terakhir ini marak terjadi di

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang disebut keluarga. Dalam keluarga yang baru terbentuk inilah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. Para individu lanjut usia atau lansia telah pensiun dari pekerjaan yang

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap manusia dalam perkembangan hidupnya akan mengalami banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang memiliki dorongan untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang masih lengkap keduanya sedangkan keluarga tidak utuh atau yang sering

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

8. Sebutkan permasalahan apa saja yang biasa muncul dalam kehidupan perkawinan Anda?...

BAB I PENDAHULUAN. istri adalah salah satu tugas perkembangan pada tahap dewasa madya, yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa

B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana karakteristik komunikasi interpersonal orang tua tunggal dalam mendidik

BAB I PENDAHULUAN. cinta, seiring dengan perkembangan dan pertumbuhan individu dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya.

BAB I PENDAHULUAN. pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berpasang-pasangan. Allah SWT telah menentukan dan memilih jodoh untuk

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

LAMPIRAN I GUIDANCE INTERVIEW Pertanyaan-pertanyaan : I. Latar Belakang Subjek a. Latar Belakang Keluarga 1. Bagaimana anda menggambarkan sosok ayah

BAB I PENDAHULUAN. tidak tinggal bersama (Long Distance Relationship) dalam satu rumah karena

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial tidak akan mungkin terjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kelompok yang disebut keluarga (Turner & Helmes dalam Sarwono & Weinarno,

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

BAB I PENDAHULUAN. Ibu memiliki lebih banyak peranan dan kesempatan dalam. mengembangkan anak-anaknya, karena lebih banyak waktu yang digunakan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

STRATEGI COPING IBU DALAM MENJALANI PERAN SEBAGAI ORANG TUA TUNGGAL SKRIPSI

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Pencapaian utama masa dewasa awal berkaitan dengan pemenuhan. intimasi tampak dalam suatu komitmen terhadap hubungan yang mungkin

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB 1 PENDAHULUAN. yang harus dijalaninya. Dalam memenuhi kodratnya untuk menikah, manusia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERBEDAAN PENYESUAIAN SOSIAL PASCA PERCERAIAN ANTARA WANITA BEKERJA DAN WANITA TIDAK BEKERJA

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan. Berdasarkan Undang Undang Perkawinan no.1 tahun 1974,

SUSI RACHMAWATI F

BAB I PENDAHULUAN. telah memiliki biaya menikah, baik mahar, nafkah maupun kesiapan

BAB I PENDAHULUAN. bernilai, penting, penerus bangsa. Pada kenyataannya, tatanan dunia dan perilaku

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. komunikasi menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Teknologi yang semakin

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang terlahir di dunia ini pasti akan mengalami pertumbuhan dan proses

BAB I PENDAHULUAN. memiliki berbagai keinginan yang diharapkan dapat diwujudkan bersama-sama,

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Dalam pertumbuhannya, anak memerlukan perlindungan, kasih sayang

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri

BAB III BEBERAPA UPAYA ORANG TUA DALAM MEMBINA EMOSI ANAK AKIBAT PERCERAIAN. A. Fenomena Perceraian di Kecamatan Bukit Batu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kualitas Perkawinan. Definisi lain menurut Wahyuningsih (2013) berdasarkan teori Fowers dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang dialaminya. Subjective well-being melibatkan evaluasi pada dua komponen, yaitu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang memiliki dorongan untuk selalu menjalin hubungan dengan orang lain. Hubungan dengan orang lain menimbulkan sikap saling ketergantungan yang akan mempengaruhi kehidupan mereka kelak. Salah satu bentuk hubungan yang paling kuat tingkat ketergantungannya adalah hubungan suami istri dalam kehidupan perkawinan. Pekawinan merupakan suatu ikatan janji setia antara suami dan istri yang di dalamnya terdapat suatu tanggung jawab dari dua belah pihak. Janji setia yang terucap merupakan suatu yang tidak mudah untuk di ucapkan. Perlu suatu keberanian besar bagi seseorang ketika memutuskan untuk menikah. Pernikahan yang dilandasi rasa cinta, kasih sayang, dan saling menghormati (Kertamuda, 2009). Kualitas perkawinan yang baik ditandai oleh komunikasi yang baik, keintiman dan kedekatan, seksualitas, kejujuran, dan kepercayaan yang semuanya itu menjadi sangat penting untuk menjalin relasi perkawinan yang memuaskan (Sadarjoen, 2005). Tugas yang paling penting bila dua orang individu bersepakat untuk menikah dan bersatu dalam kelompok perkawinan adalah bahwa mereka mampu menghubungkan tujuan individual dengan tujuan-tujuan bersama (Shaw dalam Sadarjoen, 2005). Pernikahan adalah wadah yang harus dipertahankan 1

2 kesakralannya, kemudian tetaplah memlihara keinginan untuk selalu ingin membahagiakan pasangan (Ghozally, 2011). Kehidupan perkawinan seringkali tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Banyak orang yang merasa gagal dalam menjalani perkawinannya. Pada umumnya, bayangan akan kebahagiaan yang harmonis dan mesra dalam sebuah perkawinan segera sirna di masa awal perkawinan, sering munculnya perbedaan-perbedaan dan ketidaksesuaian di antara pasangan suami istri. Cepat atau lambat, perbedaan dan proses penyesuaian ini akan menyebabkan munculnya konflik di dalam kehidupan perkawinan. Pada dasarnya, konflik yang muncul akibat proses penyesuaian di antara pasangan suami istri adalah hal yang sangat wajar. Konflik yang tidak segera di atasi dengan baik dapat menimbulkan masalah yang berbahaya bagi perkawinan (dalam Indrawati & Fauziah, 2012). Dalam keluarga semua aktivitas dimulai, keluarga merupakan suatu kesatuan sosial yang diikuti oleh hubungan darah antara satu dengan lainnya. Menurut DeGenova (2008) keluarga adalah kelompok orang yang disatukan dalam ikatan pernikahan, hubungan darah, adopsi dan hubungan seksual ekspresif lainnya dimana orang dewasa saling bekerjasama secara finansial untuk saling mendukung kebutuhan keluarga. Dalam kehidupan keluarga, ayah dan ibu memiliki peran sebagai orang tua dari anak. Pada kenyataannya di masayarakat terdapat keluarga yang salah satu orang tuanya tidak ada, baik karena perceraian ataupun meninggal dunia. Akan tetapi kondisi masyarakat saat ini, prinsip keluarga sudah tergeser fungsi keberadaanya. Semua anggota keluarga menjadi sibuk dengan aktivitas

3 pekerjaannya dengan alasan untuk menafkahi keluarga. Peran ibu dalam keluarga ialah sebagai tempat tumpuan keluh kesah anak tempat berlindungnya anak-anak. Hurlock (1980) mengatakan alasan seseorang menjadi wanita single parent adalah adanya kematian dari salah satu pasangan, yang kemudian mengharuskan pasangan yang ditinggal sendiri untuk dapat memelihara anak-anaknya. Keluarga yang hanya memiliki salah satu orang tua akibat kematian ataupun perpisahan disebut dengan single parent. Wanita yang sudah mempersiapkan dirinya secara matang, mereka lebih mandiri dalam segi finansial dan memiliki prinsip yang dipegang dalam menjalani kehidupannya sebagai single parent. Single parent terkadang suatu pilihan yang memang sebenarnya tidak diinginkan oleh seorang wanita atau pria itu sendiri. Bisa jadi karena pasangan yang menikah tetapi tiba-tiba salah satunya meninggal dunia atau bercerai (bercerai dalam kondisi terdesak). Kondisi ini yang menjadi sulit bagi pelakunya. Mengalami masalah perasaan misalnya rasa kehilangan, merasa sendiri, merasa kesepian, juga kebutuhan ekonomi untuk keluarga kecilnya dan cara ia menghadapi permasalahan yang terjadi di lingkungan sosial sekitarnya. Inilah yang menjadi beban berat yang dialami oleh seorang wanita yang menjadi seorang single parent (Baruologo dalam Suryasoemirat, 2007). Dewasa ini jumlah keluarga yang orang tua tunggal wanita di Indonesia semakin meningkat hasil Survey Sosial Ekonomi Nasional yang dilakukan oleh Biro Pusat Data Statistik Tahun 2011 sebagai berikut di perkotaan sekitar 3.644.160 jiwa wanita yang menjadi orang tua tunggal; dengan perincian 781.520 jiwa orang tua

4 tunggal karena perceraian, sisanya 2.882.640 jiwa menjadi orang tua tunggal karena suaminya lebih dulu meninggal dunia, sedangkan di perdesaan sekitar 5.270.876 jiwa wanita yang menjadi orang tua tunggal dengan perincian 1.076.883 jiwa karena perceraian dan 4.194.043 jiwa karena suaminya meninggal dunia terlebih dahulu. (http//spot.webnode.com/2011). Papalia dkk (2008) mengemukakan bahwa seorang istri kehilangan seorang yang dicintainya yaitu suami karena kematian maka individu tersebut biasanya akan merasakan sakit yang begitu dalam, duka cita mendalam, kesepian, mengalami gangguan fisik dan psikologis, rasa frustasi dan kehilangan yang mungkin baru akan hilang setelah melalui waktu yang cukup lama. Istri juga selalu merasakan kenangankenangan bersama suami dan ini akan memakan waktu yang sangat lama terlebih istri masih tetap berada dalam lingkungan yang tetap mengingatkannya akan kenangan bersama suami. Seorang single parent harus dapat selalu tabah untuk melewati masamasa sulit dalam hidupnya. Permasalahan yang dihadapi wanita single parent pada perceraian maupun ditinggal meninggal oleh pasangannya akan mengurangi kesejahretaan karena adanya gangguan orang tua dan anak, tekanan sosial adanya perebutan hak asuh dan tidak adanya dukungan suami, gagal dalam memenuhi harapan keluarga dapat membuat gejala depresi ( Lansford dkk, 2001). Dalam penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Sirait (2012) mengenai Hardiness pada single parent (mother), Wanita Single parent harus mampu berperan ganda yaitu sebagai ayah dan fungsinya mencari nafkah, dan sebagai ibu yang

5 berperan membesarkan serta mendidik anak. Sebagai orang tunggal, mereka harus dituntut untuk bisa mengatur segalanya seorang diri. Beberapa diantaranya mengatur segalanya seorang diri. Beberapa di antaranya mengatur keuangan, bekerja dan menyedihkan waktu untuk anak, terlebih dia harus berjuang berat untuk membesarkan anak. Termasuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga, sehingga wanita single parent harus bangkit dalam duka cita mendalam, kesulitan keuangan, merasakan kesepian, merasakan gangguan fisik, dan mengalami gangguan psikologi. Dalam lingkungan sosial sangat berat bagi single parent menjadi ibu merupakan yang berat. Terlebih lagi di saat-saat lingkungan tidak berpihak, terkadang seorang ibu takut jika hal tersebut dapat mempengaruhi perkembangan anak-anaknya, sehingga diperlukan sikap kuat dan tegar terhadap setiap tantangan hidupnya sebagai teladan bagi anak-anaknya. Seperti yang dialami oleh wanita yang bercerai maupun ditinggal meninggal oleh pasangannya bagi mereka masalah sosial lebih sulit diatasi dibandingkan pada seorang pria yang mengalami situasi tersebut. Wanita yang ditinggalkan oleh pasangannya karena meninggal dunia sering kali mengucilkan dirinya sendiri seakan-akan dia tidak dapat berbahagia kembali dan dia menarik diri nya dari lingkungan sosial. Bagi wanita yang kurang siap dengan kesendirian mungkin saja berat dengan kesendiriannya belum lagi kesiapan dirinya untuk pertanyaan-pertayaan anak tentang keberadaan ayah mereka jika mereka besar nanti. Banyaknya kecemasan dan kekhawatiran akan bagaimana nasibnya dan anaknya kelak membuat wanita itu

6 merasakan kesedihan dan kehilangan semangat hidup sehingga wanita single parent sering kali mengalami gangguan fisik (Sirait, 2012). Wanita single parent juga harus berupaya melindungi perasaan anak, kebanyakan dari mereka mengatakan berbagai alasan yang mengesankan bahwa ayahnya pergi hanya untuk sementara waktu ini apabila wanita yang ditinggal cerai oleh pasangannya. Sedangkan bagi wanita single parent yang ditinggal meninggal oleh pasangannya akan mengatakan bahwa ayah mereka sudah berada disisi Tuhan yang paling baik dan akan masuk surga (Sirait, 2012). Wanita single parent dalam melanjutkan kehidupannya ada yang berhasil melewati permasalahan tanpa pasangan dalam hidup, tetapi ada juga yang tidak berhasil melewati permasalahan tersebut mereka tidak sedikit dapat melangsungkan hidup setelah ditinggalkan pasangan dengan menjalaninya seperti saat bersama pasangannya. Banyak wanita yang lemah dan terlihat kurang sejahtera dan bahagia saat menjadi single parent, ditunjukkan oleh fakta bahwa mereka dinyatakan mempunyai resiko yang besar untuk mengalami gangguan metal dan fisik. Ini akibat dalam berbagai pelarian, seperti mengucilkan diri, menarik diri dari lingkungan, tidak peduli dengan dirinya lagi bahkan mengabaikan anak-anaknya. Akibat tersebut tidak semata-mata karena perasaan duka cita melainkan juga atas campur tangan lingkungan yang mempengaruhi status single parent-nya menjadi berat, misalnya saja status ekonomi yang relatif tidak mencukupi, kesepian, tidak semangat, tidak bahagia, disinilah wanita single parent yang memiliki subjective well-being mampu dengan status single parent (Sirait, 2012)

7 Gaya pengasuhan antara orang tua tunggal laki-laki dan orang tua perempuan tunggal mungkin dapat berbeda. Faktor demografik seperti pendidikan dan ekonomi mempengaruhi gaya pengasuhan (Christofferson dalam Borstein,2008). Menurut Downey (dalam Noed,dkk,1997), orang tua tunggal laki-laki lebih pada menyediakan kebutuhan ekonomi, sehingga biasanya keadaan ekonominya lebih baik dibanding orang tua tunggal perempuan. Pada orang tua tunggal perempuan lebih pada interpersonal seperti bagaimana sekolah anaknya,berteman dengan siapa dan sebagainya. Ayah mempunyai peran ganda dalam mencari nafkah, mendidik, membesarkan dan memenuhi kebutuhan anaknya dan tidak biasa dengan sikap afeksi yang kompleks. Ibu yang secara sosial budaya telah dipersiapkan menjadi ibu dan mengasuh anak (Partasari, dalam Setiawati, 2007). Shapire (2003) menegaskan ada beberapa perbedaan diantara orang tua tunggal laki-laki dan orang tua tunggal perempuan yang lebih banyak menghabiskan waktunya bersama anak-anaknya, hal ini berlaku di negara maju maupun negara berkembang. Sehingga bukanlah hal yang sulit bagi perempuann jika harus menjadi orang tua tunggal perempuan tidak memiliki keterbatasan, ia membutuhkan dukungan moral berupa dukungan emosional dan fisik. Sedangkan sistem pendukung yang tersedia bagi laki-laki, sebagai orang tua tunggal sangan sedikit. Laki-laki cenderung untuk tidak mencari dukungan meskipun dukungan tersebut tersedia. Qaimi (2003) mengatakan nilai seorang ayah akan nampak jelas saat dirinya tidak lagi mneduduki posisi apapun dalam kehidupan rumah tangga. Terlebih apabila

8 dalam keluarga tersebut terdapat anak-anak kecil maupun besar. Setelah ketiadaan suami, seorang wanita akan menduduki dua jabatan sekaligus, yaitu sebagai ibu yang merupakan jabatan alamiah dan sebagai ayah. Dalam hal itu, ia akan memiliki dua bentuk sikap, sebagai wanita atau ibu yang harus bersikap lembut terhadap anaknya, dan sebagai ayah yang bersikap jantan dan bertugas memegang kendali dan aturan tata tertib serta berperan sebagai penegak keadilan dalam kehidupan rumah tangga. Menurut Rani (2006) single parent harus mampu bertanggung jawab dalam keluarganya baik dalam penyediaan keuangan, pemenuhan kebutuhan rumah tangga dan dalam mengasuh. Selain itu wanita single parent tidak memiliki pasangan untuk bertukar pikiran dan member dukungan anak serta dapat member dukungan anak serta dapat memberinya perasaan yang nyaman. Dalam media Kompas (2011) menyatakan setiap wanita dapat membuat dirinya lebih merasakan kesejahteraan yang subjektif dan memahami dirinya dan bagaimana dia menjalani segala peran yang melekat dalam dirinya sebagai wanita single parent. Setiap peran yang dilakukannya ia mengetahui konsenkuensi hasil dari setiap keputusan yang diambil baik dalam menjalani peran menjadi wanita single parent dengan mengasuh anak, mencari nafkah keluarga sekaligus menjalani perannya sebagai bagian masyarakat. Hal ini memang tidak mudah karena dia harus bertahan untuk membentuk keluarga yang bahagia yaitu membesarkan anak hingga berhasil dan membangun sikap yang baik secara spiritual. (Fitri dalam,http://health.kompas.com./read/2011/12/22/1039291).

9 Dorongan keibuan seorang wanita yang berperan sebagai single parent dorongan keibuannya kuat, jadi apabila dikaitkan dengan single parent lebih mudah menjalani peran sebagai single parent karena memang sudah dorongan alami untuk mengasuh, merawat anak. Tetapi sebagai seorang single parent tugas seorang ibu tidak hanya mengasuh dan merawat anak melainkan juga harus membagi waktunya untuk merawat anak, mengatur keuangan, dan memikirkan masa depan anaknya seorang diri, sehingga dia kurang fokus untuk memikirkan kebahagiaan dirinya sendiri (Shapiro, 2003). Seperti halnya kutipan wawanacara ini dikemukakan oleh seorang wanita single parent yang telah di wawancarai oleh si peneliti. saya senang karena anak-anak saya tetap dapat melanjutkan pendidikan walaupun tidak ada seorang ayah, dan itu berkat jual gorengan yang kecil-kecilan ini,saya tetap bisa memenuhi kebutuhan keluarga dan biaya pendidikan anak saya, dan tetap optimis dalam menjalani hidup ini (komunikasi personal, oktober 2015). Fenomena tersebut memunculkan ketertarikan peniliti untuk mengetahui lebih jauh proses yang dijalankan oleh wanita single parent dalam kehidupannya hingga kesulitan dan permasalahan dapat dilewati. Sebagai seorang wanita single parent harus tetap bahagia dan dapat bertahan hidup untuk diri dan anak-anaknya yang dalam penyelesaiannya banyak menimbulkan kurangnya rasa percaya diri serta kehilangan suatau kesejateraan dalam diri. Keberhasilan mereka dalam menjalani kehidupan ini adalah bentuk kesejahteraan mereka yang tetap menang dari perubahan keadaan.

10 Subjective well-being dapat definisikan sebagai evaluasi kognitif dan afektif terhadap kehidupan seseorang Diener (dalam wangmuba.com 2000). Adapaun hasil evaluasi kognitif orang yang bahagia adalah adanya kepuasan hidup yang tinggi, sedangkan evaluasi afektif adalah banyaknya afeksi positif dan sedikitnya afeksi negatif yang dirasakan. Pengertian ini sesuai yang dikatakan oleh Alston dan Dudley (dalam Hurlock, 2004) menyatakan bahwa kebahgiaan merupakan kemampuan seseorang untuk menikmati pengalaman-pengalamannya, yang disertai tingkat kegembiraan. Ada beberapa esensi kebahagiaan, yaitu sikap menerima, kasih sayang, dan prestasi. Subjective Well-being yang meliputi beberapa komponen yang dilihat dari prespektif individu yang bersangkutan melalui aspek positif yaitu individu dapat mencapai keringanan, rasa suka cita, kepuasan, harga diri, mempunyai rasa kasih sayang, kebahagiaan, dan kegembiraan yang sangat (Diener 1999). Selain memiliki aspek positif afek negatif individu yang mempengaruhi level subjective wellbeing,yaitu rasa bersalah dan malu (guilt and shame), kesedihan (sadness), kecemasan dan kekhawatiran (anxiety and worry), kemarahan (anger), tekanan (stress), depresi (depression) dan kedengkian (envy) (Diener 2009). Dan terakhir ialah kepuasan hidup, beberapa kepuasan hidup individu yang mempengaruhi level subjective well-being, yaitu hasrat untuk mengubah hidup (desire to change life), kepuasan pada kehidupan saat ini (statisfaction with current life), kepuasan pada kehidupan masa lalu (statisfaction with past), kepuasan pada kehidupan masa depan nanti (statisfaction with future), dan pendapat orang-orang terdekat mengenai

11 hidupanya (significant other s views of one life). Kesejahteraan itu yang membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai Subjective Well-beimg pada Wanita single parent.. Berdasarkan uraian diatas yang telah dilakukan bahwa wanita single parent memiliki Subjective Well-being untuk mengatasi kesendiriannya juga diperhadapkan dalam permasalahan membesarkan anak dan membiayai pendidikan anak, masalah ekonomi keluarga dan relasi sosial. Peniliti sangat tertarik untuk meneliti bagaimana Subjective Well-being dapat mengahadapi problematika kehidupan. sehingga peneliti mengambil judul penelitian tentang gambaran Subjective Well-being pada wanita single parent. B. Fokus Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana Subjective well being pada wanita single parent? 2. Bagaimana komponen subjective well-being pada wanita single parent? 3. Bagaimana karakteristik subjective well-being pada wanita single parent?

12 C. Signifikasi dan Keunikan Penelitian Pada dasarnya semua tentu akan merasa sulit untuk menerima hidup sebagai wanita single parent, mengurus dan mengasuh anak sendirian sangatlah tidak mudah dikarenakan semuanya harus dikerjakan oleh wanita single parent sendiri. Jika tidak maka akan mengalami kebingungan pada menjalankan hidup. Pada penelitian ini, peneliti memberikan gambaran mengenai beberapa hasil penelitian yang dilakukan antara lain yang dilakukan oleh (Sirait,2012) penelitian ini meneliti tentang hardiness pada single parent (mother) yang terfokus pada penelitian ini dilihat dari aspek hardiness merupakan suatu perlawanan yang ada dalam diri individu sehingga dapat menerima dan mengahadapi sesuatu. Penelitian lain yang juga dilakukan oleh (Badzlina, 2015) tentang hubungan dukungan sosial dengan subjective well being pada remaja yang memiliki orang tua tunggal yang memfokuskan pada, adanya hubungan positif antara dukungan sosial dan subjective well-being. Dukungan sosial adalah perasaan kenyamanan perhatian atau bantuan yang diterima dari orang lain yang berpengaruh adanya dan subjective well-being atau hubungan positif dengan orang lain, dengan adanya hubungan yang positif maka akan adanya kedekatan emosional. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh penelitian sebelumnya, keunikan penelitian yang peneliti lakukan antara lain menjelaskan bahwa ketika wanita mengalami perubahan status yang sebelumnya memiliki pasangan hidup

13 menjadi tidak memiliki pasangan hidup, gambaran subjective well-being yang cenderung positif atau negatif. D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana subjective wellbeing pada wanita single parent. E. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pengembangan kajian di bidang psikologi, khususnya yang berhubungan dengan psikologi perkembangan. Selain itu, penelitian ini diharapkan menambah bahan referensi kepustakaan bagi peneliti yang akan datang terutama yang terkait subjective well-being pada wanita single parent. 2 Manfaat Praktis Dapat memberi masukan bagi para wanita yang berperan sebagai single parent untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapkan secara tepat, membantu para wanita tersebut memperoleh arti dari pengalaman-pengalaman hidupnya sejak menjadi single parent.