Prosiding SNaPP2015Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN EISSN Irawati

dokumen-dokumen yang mirip
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2012 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DI LAUT LEPAS

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

1 PENDAHULUAN. Gambar 1 Perkembangan Global Perikanan Tangkap Sejak 1974

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

4. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.14/MEN/2011 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

2 Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647); 3. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lemb

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 27 /MEN/2009 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23/PERMEN-KP/2013 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN

ASPEK LEGAL INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL IMPLEMENTASI PENGAWASAN SUMBERDAYA PERIKANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. Peta Wilayah Spawing Ground dan Migrasi Tuna Sirip Biru (Anthony Cox, Matthew Stubbs and Luke Davies, 1999)

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.05/MEN/2008 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP

SE)ARAH HUKUM laut INTERNASIONAl 1. PENGATURAN KONVENSI HUKUM laut 1982 TENTANG PERAIRAN NASIONAl DAN IMPlEMENTASINYA DI INDONESIA 17

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.12/MEN/2009 TENTANG

POLITIK HUKUM PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA DI LAUT LEPAS OLEH RFMO

1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA. 1. Manfaat politik, secara umum manfaat politik yang diperoleh suatu negara

DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN TANGKAP

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS

Code Of Conduct For Responsible Fisheries (CCRF) Tata Laksana Perikanan Yang Bertanggung Jawab

BAB III PRASARANA DAN SARANA Pasal 7

PENGATURAN PENANGKAPAN IKAN MENURUT HUKUM LAUT INTERNASIONAL DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA ARTIKEL

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR : PER.17/MEN/2006 TENTANG USAHA PERIKANAN TANGKAP MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN,

Laporan Akhir Kajian Khusus Program-Program Pemerintah Pembangunan Kelautan Perikanan 2012 I. PENDAHULUAN

DAMPAK KEGIATAN IUU-FISHING DI INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR KEP.50/MEN/2012 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

JURNAL UPAYA NEGARA INDONESIA DALAM MENANGANI MASALAH ILLEGAL FISHING DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

KOMUNIKE BERSAMA MENGENAI KERJA SAMA UNTUK MEMERANGI PERIKANAN TIDAK SAH, TIDAK DILAPORKAN DAN TIDAK DIATUR (/UU FISHING)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN WALIKOTA DUMAI NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN DI KOTA DUMAI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk bahan baku industri, kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya. 1

IMPLEMENTASI PERATURAN INTERNASIONAL TENTANG ILLEGAL UNREPORTED AND UNREGULATED FISHING OLEH INDONESIA SEBAGAI NEGARA BENDERA SHARIFA AYU RAISA MAGIS

perikanan berkelanjutan, dan keterlibatan tingkat tinggi dan kerja sama perikanan pada tingkat operasional.

BAB II PENGATURAN ILLEGAL FISHING DALAM HUKUM INTERNASIONAL. Dalam definisi internasional, kejahatan perikanan tidak hanya pencurian

BAB III PENUTUP. bahwa upaya Indonesia dalam menangani masalah illegal fishing di zona

BAB Respon Masyarakat Internasional dalam Menanggulangi Praktik Penangkapan Ikan Ilegal

GUBERNUR RIAU PERATURAN GUBERNUR RIAU NOMOR : 69 TAHUN 2012 TENTANG PENDAFTARAN DAN PENANDAAN KAPAL PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

METODE PENELITIAN 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Jenis dan Sumber Data

Oleh: Rachma Indriyani. Abstract

MASALAH DAN KEBIJAKAN PENINGKATAN PRODUK PERIKANAN UNTUK PEMENUHAN GIZI MASYARAKAT

BAB II. Aspek-Aspek Hukum Tentang VMS (Vessel Monitoring System) dan Illegal Fishing

LAMPIRAN KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN DIREKTORAT JENDERAL KELAUTAN, PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL BAHAN KULTWIT NCC CTI CFF

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang Masalah Illegal unreported and unregulated (IUU) fishing merupakan masalah global yang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

MANFAAT KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM INDIAN OCEAN TUNA COMMISSION (IOTC)

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.29/MEN/2012 TENTANG

TESIS EFEKTIVITAS KEBIJAKAN INDONESIA MENANGANI ISU PERBURUAN HIU ( ) Disusun Oleh: TIKA DIAN PRATIWI, S. I. Kom

2 Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 (Lem

BAB I PENDAHULUAN. dulu. Namun hingga sekarang masalah illegal fishing masih belum dapat

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.28/MEN/2009 TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Rekomendasi Kebijakan 2013

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN TENTANG PETUNJUK TEKNIS VERIFIKASI PENDARATAN IKAN

RANCANGAN PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG SERTIFIKASI HASIL TANGKAPAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENANGANAN PERKARA PERIKANAN

KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 107/KEPMEN-KP/2015 TENTANG RENCANA PENGELOLAAN PERIKANAN TUNA, CAKALANG DAN TONGKOL

BAB IV. A. Pengaturan Penggunaan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. VMS/(Vessel Monitoring System) dihubungkan dengan Undang-

TARGET INDIKATOR KETERANGAN

ANALISIS PERATURAN DAERAH

IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN DALAM PEMANFAATAN SUMBER DAYA PERIKANAN DI ZEE INDONESIA Ida Kurnia*

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini kerjasama internasional tentunya bukan hal yang asing lagi.

Hukum Laut Indonesia

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49/PERMEN-KP/2014 TENTANG USAHA PEMBUDIDAYAAN IKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

5 PENGATURAN WCPFC DAN IMPLIKASI BAGI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

KONDISI PERIKANAN TANGKAP DI WILAYAH PENGELOLAAN PERIKANAN (WPP) INDONESIA. Rinda Noviyanti 1 Universitas Terbuka, Jakarta. rinda@ut.ac.

2017, No Indonesia Nomor 4433), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

GERAKAN NASIONAL PENYELAMATAN SUMBER DAYA ALAM INDONESIA

LAPORAN AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH (LAKIP) DIREKTORAT PELAYANAN USAHA PENANGKAPAN IKAN TAHUN 2013

GUBERNUR NUSA TENGGARA TIMUR, PERATURAN DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR NOMOR 3 TAHUN 2011 TENTANG PENGENDALIAN USAHA PERIKANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. zona maritim yang berada di luar wilayah yuridiksi nasional suatu negara.

Journal of International Relations, Volume 1, Nomor 2, Tahun 2015, hal Online di

BAB I PENDAHULUAN. Garis pantainya mencapai kilometer persegi. 1 Dua pertiga wilayah

PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG IZIN USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU,

BAB 1 PENDAHULUAN. dijaga keamanan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran Indonesia. Wilayah negara

DAFTAR PUSTAKA. Indonesia, Undang-Undang Perjanjian Internasional UU No. 24 Tahun 2000 LN. No. 185 Tahun 2000, TLN No

Transkripsi:

Prosiding SNaPP2015Sosial, Ekonomi, dan Humaniora ISSN2089-3590 EISSN 2303-2472 IMPLIKASI KEANGGOTAAN INDONESIA DALAM RFMO TERHADAP PENGEMBANGAN HUKUM PERIKANAN NASIONAL Irawati Fakultas Hukum, Universitas Islam Bandung, Dosen Fakultas Hukum, Kandidat Doktor Ilmu Hukum UNPAR Bandung, Jl. Tamansari No. 1 Bandung 40116 e-mail: ira.wati66@gmail.com Abstrak. Berdasarkan Permen KKP No Per.06/MEN/2010 Indonesia diharapkan menjadi produser perikanan terbesar di dunia. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah Indonesia dengan menjadi anggota RFMO. Sehubungan dengan keanggotaan Indonesia dalam RFMO tersebut, bagaimanakah pengembangan konsep hukum perikanan nasional sehingga perikanan nasional semakin berkembang. Penelitian ini dilaksanakan dengan metode penelitian yuridis normatif. Implikasi keanggotaan Indonesia dalam RFMO dapat dilihal pada 2 hal yaitu dari industri perikanan nasional dan dari pengembangan hukum perikanan nasional. Indonesia sebagai anggota RFMO telah mengembangkan hukum perikanan dengan lebih memperhatikan aspek konservasi, namun belum memperhatikan aspek industri. Kata kunci: RFMO, perikanan, nasional 1. Pendahuluan Pembangunan kelautan dan perikanan Indonesia sebagaimana ditegaskan dalan Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan 2010-2014 (Permen KKP Nomor PER.06/MEN/2010) salah satu tujuannya adalah untuk membangun kelautan dan perikanan Indonesia, sehingga Indonesia menjadi penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar di dunia. Sementara itu jika kita memperhatikan kondisi perikanan nasional, masih memprihatinkan. Infrastruktur pelabuhan perikanan, termasuk jaringan transportasi darat dan laut sangat tidak memadai, rekayasa teknologi seperti teknologi penangkapan ikan, teknologi pengolahan perikanan masih rendah, realisasi investasi di sektor perikanan masih sangat rendah akibatnya armada perikanan tangkap Indonesia juga sangat terbatas. 1 Permasalahan perikanan laut Indonesia semakin penting untuk menjadi perhatian, pertama karena sumber daya ikan laut Indonesia sampai saat ini belum dapat termanfaatkan secara optimal, kedua perikanan merupakan komoditi yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi sehingga prospek perikanan laut akan sangat baik bagi perekonomian suatu negara, dan ketiga masih sering terjadi pencurian ikan di perairan Indonesia dan keempat berdasarkan Konvensi Hukum Laut 1982, Indonesia memiliki hak untuk memanfaatkan sumber daya ikan di laut lepas. Berdasarkan latar belakang tersebut maka hal yang dapat dipertanyakan bagaimanakah implikasi keanggotaan Indonesia dalam RFMO terhadap pengembangan hukum perikanan nasional. 1 Supriadi dan Alimudin, Hukum Perikanan di Indonesia, Jakarta, Sinar grafika, 2011, hlm., 13-14. Hal ini dapat dilihat antara lain 89 % kapal perikanan yang beroperasi saat ini berukuran kecil, bahkan 36 % diantaranya tanpa motor, hal ini merupakan salah satu kendala bagi Indonesia. 563

564 Irawati 2. Pembahasan 2.1 Hukum Perikanan Internasional Meskipun terdapat status hukum tertentu pada laut, namun dalam hal pengelolaan ikan harus mengacu kepada hukum perikanan internasional, terlebih lagi Indonesia sebagai anggota RFMO. Artinya ketentuan hukum perikanan internasional selain berlaku pada laut lepas juga berlaku pada wilayah yurisdiksi negara pantai. Pengaturan hukum perikanan internasional terangkum selain dalam Konvensi Hukum Laut 1982, juga diatur dalam beberapa ketentuan lain baik yang bersifat hardlaw mapun softlaw. Pasal 116 Konvensi Hukum laut 1982 memberikan hak kepada semua negara untuk mengizinkan warga negaranya melakukan penangkapan ikan di laut lepas. Hak ini dilaksanakan dengan syarat memperhatikan perjanjian yang diadakan negaranya dengan negara lain terkait dengan pemanfaatan sumber daya ikan di laut lepas. Di samping menghormati perjanjian dengan negara lain juga memperhatikan hak, kewajiban dan kepentingan negara pantai sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 63 ayat 2, pasal 64 dan 67 Konvensi. Ketentuan ini mewajibkan negara pantai dan negara penangkap ikan bekerja sama melakukan konservasi melalui organisasi internasional, namun apabila tidak ada organisasi dalam area laut lepas tersebut maka negara yang bersangkutan dapat membentuk organisasi demikian. Terkait dengan pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab, telah dibentuk The 1993 FAO Agreement To Promote Compliance With International Conservation And Management Maesures By Fishing Vessels On The High Seas. Persetujuan ini dibuat oleh karena adanya kekhawatiran terhadap menurunnya stok ikan di laut lepas sebagai akibat peningkatan IUU fishing. Perjanjian ini mencoba mengatasi masalah reflagging (pembenderaan kembali) dan flag of convenience (bendera pura-pura). 2 Ketentuan ini terkait dengan masalah kewajiban dan tanggung jawab negara bendera, maka hal ini terkait dengan kedaulatan negara. 3 Dalam konteks ini, kedaulatan negara dimaksudkan bahwa negara pemilik kedaulatan, memiliki hak, kewajiban dan kewenangan melakukan segala sesuatu sebagai negara yang merdeka dalam batas wilayahnya, termasuk atas kapal yang mengibarkan bendera suatu negara dianggap sebagai kepanjangan dari kedaulatan teritorialnya. 4 Selanjutnya sebagai penyempurnaan dari Konvensi Hukum Laut 1982 dibentuk Agreement for the Implementation of the Provision UNCLOS of Desember 1982 Relating to the conservation and Management of Straddling Fish Stock and Highly Migratory Fish Stock (UNFSA 1995) dan Port States Measures (PSM) Agreement 2009. Ketentuan ini pada intinya agar konvensi hukum Laut 1982 dapat diimplementasikan lebih efektif. Oleh karena itulah ketentuan ini menekankan tanggung jawab terhadap 3 pihak yaitu negara pantai (coastal States), negara bendera (flag States) dan negara pelabuhan (Port States). 2 Dikdik M. Sodik, M. Sodik Dikdik Post LOSC Legal Instrument and Measures To Address Illegal IUU Fishing, Asian Yearbook onf International Law Vol 15 2009, first published 2012, Routledge, London and Newyork, hlm. 143. 3 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, op.cit, hlm., 151-153. Dikatakan bahwa kedaulatan merupakan aspek yang sangat fundamental, menurut hukum internasional kedaulatan mengandung 3 aspek : Aspek eksternal, aspek internal, dan aspek teritorial. 4 Bederman David J, International Law Frameworks, second edition, New York, Foundation Press, 2006, hlm., 51 Prosiding Seminar NasionalPenelitian dan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora

Implikasi Keanggotaan Indonesia dalam RFMO terhadap Pengembangan Hukum... 565 UNFSA 1995 mengatur konservasi ikan beruraya jauh dan beruraya terbatas di perairan negara pantai, pada intinya mewajibkan negara-negara untuk melaksanakan kewajiban untuk bekerja sama, melakukakan tindakan untuk menjamin keberlanjutan persediaan dengan mengembangkan pemanfaatan secara optimum yang berdasarkan bukti ilmiah terbaik ( optimum utilzation and long term sustainability). Disamping itu juga harus dilakukan kerja sama antara negara penangkap ikan di laut lepas dengan negara pantai yang warganegaranya menangkap ikan di laut lepas maupun negara pantai yang warga negaranya tidak menangkap ikan di laut lepas pada area tertentu dan harus bekerja sama untuk menetapkan langkah-langkah konservasi. Untuk menetapkan langkah-langkah konservasi negara-negara penangkap ikan di laut lepas dan negaranegara pantai dapat melaksanakannya melalui organisasi regional maupun subregional. Ketentuan ini secara eksplisit mengamanatkan pembentukan organisasi pengelolaan perikanan yang juga merupakan amanat dari Pasal 118 Konvensi Hukum Laut 1982. Selanjutnya ketentuan softlaw yang merupakan penyempurnaan dari Konvensi Hukum laut 1982 yaitu, Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) 1995. CCRF ini merupakan instrumen hukum tidak mengikat secara hukum, yang menetapkan prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan yang mengatur kegiatan yang berlaku untuk konservasi, pengelolaan dan pengembangan semua jenis ikan. 5 Menurut Pasal 1 ayat 2 Code of Conduct for Responsible Fisheries bahwa ketentuan-ketentuan dari perangkat hukum lunak ini dirancang untuk berlaku secara global. 6 Artinya, bahwa the Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF) berlaku untuk kegiatan-kegiatan penangkapan ikan baik di perairan yang berada di dalam yurisdiksi nasional, termasuk perairan kepulauan maupun di laut lepas. Selanjutnya perlu ditegaskan bahwa CCRF dirancang untuk berlaku baik bagi negara-negara anggota maupun negara-negara bukan anggota Organisasi Pangan dan Pertanian PBB serta perusahaan-perusahaan perikanan. 7 CCRF ini juga berlaku untuk organisasi-organisasi internasional pada tingkat subregional, regional dan global (baik pemerintah atau non-pemerintah) dan semua pihak yang berkepentingan dalam upaya-upaya konservasi, pengelolaan dan pengembangan sumber-sumber daya ikan. 8 Selanjutnya ketentuan softlaw yang merupakan penyempurnaan dari Konvensi Hukum Laut 1982 yaitu, International Plan of Action to Deter, Prevent and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing (IPOA-IUU) 2001. IPOA-IUU dibentuk dengan maksud untuk mengembangkan penangkapan ikan yang bertanggung jawab juga untuk memberantas IUU-fishing. Ketentuan ini merupakan pedoman bagi negaranegara dalam melaksanakan langkah-langkah pengelolaan perikanan, baik di laut lepas maupun di perairan yang berada dalam yurisdiksi negara. 9 Ketentuan tentang tanggung 5 Lee A.Kimball, Deep-Sea Fisheries of the High Seas: The Management Impasse, The International Journal of Marine and Coastal Law, Vol 19, No.3, 2004, hlm.278. 6 Hasyim Djalal, The Emergency of the Concept of Fishing Entities, Ocean Development and International Law, Vol.37, No.2, April-June 2006, hlm.119. 7 Martin Tsamenyi, The Legal Substance and Status of Fishing Entities in International Law: A Note, Ocean Development and International Law, Vol.37, No.2, April-June 2006, hlm.129. 8 Blaise Kuemlengan, Legal Considerations for the 1995 FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries and Related International Plans of Action, (Appendix H), Report of the Workshop on the Implementation of the 1995 Code of Conduct for Responsible Fisheries in the Pacific Islands: A Call for Action, Naidi, Fiji, 27-30 October 2003, FAO Fisheries Report No.731, Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, 2004, hlm.63. 9 Meryl Williams, Will New Multilateral Arrangement help Southeast Asia States Solve Illegal Fishing, Contemporary Southeast Asia, Vo; 35, No 2, 2013, hlm 270. ISSN2089-3590,EISSN 2303-2472 Vol5, No.1, Th, 2015

566 Irawati jawab negara bendera kapal, diatur dalam Paragraf 34 yang menegaskan bahwa negara bendera kapal harus menjamin kapal perikanan yang mengibarkan benderanya tidak melakukan IUU fishing. Ketentuan tentang tanggung jawab RFMO bahwa RFMO diwajibkan untuk mengambil langkah-langkah pencegahan, pengurangan dan penghapusan IUU fishing. Langkah tersebut dapat dilakukan dengan cara penguatan kelembagaan dari RFMO yang bersangkutan, Penetapan tindakan-tindakan penaatan menurut hukum internasional, Penguatan sistem pemantauan, pengawasan dan pengendalian terhadap kapal-kapal perikanan, antara lain dengan sistem pemantauan kapal dan pemeriksaan kapal-kapal, baik inspeksi maupun investigasi10 2.2 Latar Belakang Dan Posisi Indonesia Dalam IOTC, CCSBT Dan WCPFC Indonesia telah tercatat menjadi anggota dari 3 RFMO yang melingkupi perairan Indonesia, yaitu Indian Ocean Tuna Commission (IOTC),Commission on Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT) dan Western and Central Pacific Fisheries Commission (WCPFC). Keanggotaan Indonesia pada RFMO tersebut sebagai tuntutan untuk untuk dapat berperan serta dalam pengelolaan sumber daya ikan di laut lepas sehingga tidak dinyatakan sebagai pelaku illegal fishing sebagaimana yang telah dialami Indonesia. Disamping itu keanggotaan Indonesia dalan RFMO merupakan upaya untuk mengatasi hambatan non tarif, berkenaan dengan ketentuan pemberlakuan sertifikasi hasil penangkapan ikan oleh Uni Eropa. 11 Wilayah yurisdiksi IOTC yang berdampingan dengan wilayah Indonesia di selatan, menjadikan Indonesia berkepentingan atas sumber daya ikan pada kawasan ini. Secara historis nelayan-nelayan Indonesia Timur terutama dari Nusa Tenggara, banyak yang melakukan penangkapan ikan di samudra Hindia bahkan sampai ke perairan yang berdekatan dengan Australia. 12 Dengan demikian keikutsetaan Indonesia dalam IOTC salah satunya adalah untuk mengakomodasikan kepentingan rakyat Indonesia agar dapat memanfaatkan sumber daya ikan di laut lepas pada kawasan Samudera Hindia. Indonesia juga merupakan anggota CCSBT, Organisasi ini tidak seperti RFMO lainnya memliki wilayah yurisdiksi. Organisasi ini bertujuan melaksanakan konservasi terhadap jenis ikan southern bluefin tuna(sbt) di semua samudera. Secara historis negara pelaku utama pemanfaatan jenis ikan ini adalah Jepang, Australia dan New Zealand. Keikutsetaan Indonesia dalam CCSBT ini sangat penting, karena sebagai negara yang memiliki pantai yang sangat panjang diperkirakan merupakan tempat berpijahnya ikan jenis ini terutama pada selatan Jawa. 13 Indonesia juga berkepentingan dalam WCPFC, karena Indonesia sebagai negara yang kaya dengan jenis ikan tuna. Dengan Keanggotaannya pada WCPFC, Indonesia dapat akses ke pasar internasional. 10 Gouglas Guilfoyle, Shipping Introduction and the Law of the Sea, Cambridge University Press, UK, 2009, hlm 105-107 11 Hasil wawancara 28 May 2014 dengan Direktur Hukum dan Organisasi KKPRI 12 Irawati dan Oentoeng wahjoe, Tanggung Jawab Negara Terhadap Perlindungan Nelayan Indonesia Dalam Melaksanakan hak Penangkapan ikan tradisional di Zona Perikanan Australia, Mimbar Jurnal Sosial Dan Pembangunan, Vol XXVII No 1 Juni 2011, hlm 12.. 13 KKPRI, Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Pertemuan Regional Fisheries Management Organization (RFMO) Jakarta, Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi kelautan dan Perikanan Badan penelitian Dan Pengembangan Kelautan Dan Perikanan Kementerian kelautan dan Perikanan, 2012, hlm 28 Prosiding Seminar NasionalPenelitian dan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora

Implikasi Keanggotaan Indonesia dalam RFMO terhadap Pengembangan Hukum... 567 Dewasa ini produksi ikan tuna Indonesia mencapai 30 % dari seluruh produksi ikan tuna negara anggota WCPFC. 14 2.3 Implikasi keanggotaan Indonesia sebagai Anggota RFMO Terhadap Pengembangan Hukum Perikanan Nasional Indonesia sebagai anggota organisasi harus memberikan jaminan kepada organisasi, bahwa warga negaranya dan kapal yang mengibarkan benderanya mentaati ketentuan organisasi. Untuk memberikan jaminan ditaatinya ketentuan organisasi, dengan menetapkan persyaratan dan perizinan, pencatatan kapal perikanan, pengawasan, dan lain sebagainya. Dalam menyusun peraturan perundang-undangan di bidang perikanan ini, negara pantai harus memperhatikan prinsip-prinsip dan ketentuanketentuan Hukum Internasional dan the 1995 Code of Conduct for Responsible Fisheries. Sesuai dengan kedua instrumen hukum internasional itu, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Undang-undang Perikanan No.31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, yang kemudian diubah oleh Undang-Undang No 45 Tahun 2009. Ketentuan ini merupakan dasar hukum bagi kegiatan-kegiatan perikanan di wilayah perikanan Indonesia dan kegiatan perikanan di laut lepas yang dilakukan oleh warga negara Indonesia. Untuk mendukung pengelolaan sumber daya ikan, Menteri Kelautan dan Perikanan memiliki wewenang untuk menetapkan antara lain, rencana pengelolaan perikanan,.jumlah tangkapan yang diperbolehkan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia, jenis- jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan, dan lain-lain. Terkait dengan kapal perikanan, baik yang dioperasikan di WPPRI maupun di laut lepas, harus didaftarkan terlebih dahulu sebagai kapal perikanan Indonesia. Hal ini merupakan ketentuan yang tertuang dalam pasal 36 Undang-Undang No 45 tahun 2009, sebelumnya dalam Undang-Undang no 31 Tahun 2004 hanya kapal yang beroperasi di WPPRI saja yang harus didaftarkan sebagai kapal perikanan Indonesia. Hal ini merupakan implikasi dari keikutsertaan Indonesia dalam RFMO, yang mana kapalkapal perikanan Indonesia yang beroperasi di laut lepas wajib didaftarkan ke RFMO. Peraturan Menteri No 23/Permen-KP/2013 Tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan ditetapkan sebagai pelaksanaan dari ketentuan pendaftaran dan Penandaan kapal perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 dan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 45 Tahun 2009. Permen ini merupakan implementasi dari keanggotaan Indonesia dalam RFMO terkait dengan kewajiban negara bendera. Permen ini berlaku terhadap kapal penangkap ikan, kapal pengangkut ikan dan kapal pendukung operasi penangkapan ikan. Pendaftaran kapal yaitu kegiatan pencatatan kapal perikanan yang dimuat dalam buku kapal perikanan. Penandaan kapal perikanan adalah kegiatan untuk memberi tanda atau notasi kapal perikanan. Pejabat yang berwenang melakukan penerimaan pendaftaran, yaitu Direktur Jenderal Perikanan tangkap, Gubernur dan Bupati/ Wali Kota. Kewenangan Direktur Jendral Perikanan Tangkap meliputi pendaftaran kapalkapal perikanan yang berbobot di atas 30 GT baik yang diperuntukan untuk kegiatan perikanan di laut lepas maupun di perairan Indonesia termasuk pada ZEE Indonesia, Gubernur memiliki kewenangan terhadap kapal yang berbobot 10 sampai 30 GT yang beraktivitas di dalam wilayah kewenangannya. Bupati/ Wali Kota memiliki wewenang 14 Ibid ISSN2089-3590,EISSN 2303-2472 Vol5, No.1, Th, 2015

568 Irawati terhadap kapal-kapal perikanan yang berbobot 10 GT yang beroperasi di dalam wilayah kewenangannya. Selanjutnya mengenai usaha perikanan tangkap, merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-undang No.6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dan Undang-undang No. 31 Tahun 2004 dan Undang-undang No 45 Tahun 2009 Tentang Perikanan, khususnya merupakan pelaksanaan dari Pasal 32 Undang-Undang No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan. Tentang Usaha Perikanan Tangkap diatur dalam 3 Permen yang satu sama linnya saling melengkapi. Sebelumnya tentang usaha perikanan tangkap diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 49 Tahun 2011, Permen No 14 Tahun 2011, selanjutnya diubah dengan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No 30 Tahun 2012 dan yang terbaru adalah Permen No 26 tahun 2013. Secara garis besar, peraturan menteri ini mengatur hal-hal yang harus dipenuhi oleh perusahaan perikanan di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Republik Indonesia, yaitu mengenai perizinan, pungutan pengusahaan perikanan (PPP), dan pungutan hasil perikanan (PHP). 15 Kegiatan usaha perikanan tangkap, menurut Pasal 3 Peraturan Menteri No 30 Tahun 2012 meliputi, usaha penangkapan ikan, usaha pengangkutan ikan, usaha penangkapan dan pengangkutan ikan, usaha perikanan tangkap terpadu. Yang terbaru adalah pengaturan usaha perikanan tangkap terpadu, yaitu integrasi antara kegiatan penangkapan ikan, pengangkutan ikan dengan industri pengolahan ikan. Usaha perikanan tangkap terpadu dapat dalam bentuk PMA maupun PMDN. Usaha perikanan tangkap terpadu memiliki Unit Pengolahan Ikan (UPI), yang merupakan syarat diberikannya SIUP. Setiap orang yang melakukan usaha perikanan tangkap di WPPRI, wajib memiliki izin usaha perikanan tangkap, adapun perizinan yang dimaksud yaitu, SIUP, SIPI dan SIKPI. 16 Perizinan dilakukan dalam rangka pengendalian usaha perikanan untuk menjaga kelestarian sumber daya ikan, membina usaha perikanan, dan memberi kepastian usaha perikanan. Sedangkan, pungutan perikanan dilakukan mengingat sumber daya ikan pada hakekatnya merupakan kekayaan negara yang kemudian dimanfaatkan oleh perusahaan perikanan melalui usaha ekstraktif atau usaha pembudidayaan di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Republik Indonesia. Selanjutnya yang berwenang menerbitkan SIUP, SIPI dan SIKPI adalah Direktur Jenderal Perikanan tangkap, Gubernur dan Wali kota/bupati. Berdasarkan Pasal 16 Permen No 30 tahun 2012 Untuk usaha perikanan tangkap terpadu, dapat memperoleh SIUP dengan mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal, dengan melampirkan berbagai persyaratan. Persyaratan memperoleh SIPI dibedakan untuk kapal yang berukuran di bawah 30 GT dengan di atas 30 GT. Perbedaannya yang utama adalah kapal perikanan dengan ukuran diatas 30 (tiga puluh) GT disyaratkan harus ada kesanggupan untuk memasang dan mengaktifkan transmiter Sistem. Di samping itu bagi kapal yang berukuran di atas 30 GT dan usaha perikanan tangkap yang menggunakan modal asing dan/atau tenaga kerja asing harus ada Pemantauan Kapal Perikanan (SPKP) sebelum kapal melakukan operasi penangkapan ikan. Persyaratan sebagaimana dimaksud ditambah dengan 15 Yang dimaksud dengan perusahaan perikanan, menurut Pasal 1 (7), adalah perusahaan yang melakukan usaha dan dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia. 16 Lihat Pasal 1 (20) Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.14Tahun 2011 Lihat Pasal 11 Peraturan Menteri No 30 Tahun 2012 Prosiding Seminar NasionalPenelitian dan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora

Implikasi Keanggotaan Indonesia dalam RFMO terhadap Pengembangan Hukum... 569 persyaratan khusus bagi kapal penangkap ikan dengan fasilitas PMA yaitu, berupa fotokopi pendaftaran usaha dan persetujuan di bidang penanaman modal. Selanjutnya kewajiban sebagai anggota RFMO adalah melakukan pengawasan melalui tindakan pemantauan kapal perikanan. 17 Pemantau Penangkapan Ikan dan Pengangkutan Ikan ditugaskan oleh Direktur Jenderal pada kapal penangkap ikan yang menggunakan alat penangka ikan purse seine dan long line untuk kapal yang beroperasi di laut lepas; dan kapal penangkap ikan yang beroperasi di WPP-NRI dengan menggunakan alat penangkapan ikan kelompok: pancing, jaring lingkar, jaring angkat, dan jaring insang; dan pukat tarik dan pukat hela. kapal pengangkut ikan yang beroperasi di WPPRI dan laut lepas. Sebagaimana ditegaskan Dalam Pasal 8 Peraturan menteri Perikanan No 12 tahun 2013, bahwa untuk memperoleh SIPI salah satu persyaratannya, kapal penangkap ikan yang akan beroperasi di laut lepas harus menyatakan kesanggupan menerima, membantu kelancaran tugas, serta menjaga keselamatan pemantau di atas kapal penangkap ikan (observer on board). Hal ini merupakan implementasi dari ketentuan Konvensi yang mengikat Indonesia sebagai anggota RFMO, baik pada IOTC, CCSBT maupun WCPFC. 3. Simpulan Implikasi keanggotaan Indonesia dalam RFMO dapat dilihat dari industri perikanan nasional dan dari pengembangan hukum perikanan nasional. Dari industri perikanan nasional dengan keanggotaan Indonesia dalam RFMO, ekspor ikan Indonesia semakin berkembang karena Indonesia dapat mengekspor ikan ke berbagai negara anggota RFMO. Dari pengembangan hukum perikanan nasional, hukum perikanan nasional semakin memperhatikan konservasi, namun belum cukup memperhatikan aspek industri perikanan. Daftar Pustaka Bederman David J, International Law Frameworks, second edition, New York, Foundation Press, 2006. Gouglas Guilfoyle, Shipping Introduction and the Law of the Sea, Cambridge University Press, UK, 2009. Hasyim Djalal, Perjuangan Indonesia Di Bidang Hukum Laut, Penerbit Binacipta, 1979 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum internasional Kontemporer, Jakarta, Refika Aditama, 2006 Supriadi dan Alimudin, Hukum Perikanan di Indonesia, Jakarta, Sinar grafika, 2011 William R Slomanson, 3rd editio, Fundamental Respective International Law, West Thomson learning, San Diego California, 2000. Blaise Kuemlengan, Legal Considerations for the 1995 FAO Code of Conduct for Responsible Fisheries and Related International Plans of Action, (Appendix H), Report of the Workshop on the Implementation of the 1995 Code of Conduct for Responsible Fisheries in the Pacific Islands: A Call for Action, Naidi, Fiji, 27-30 October 2003, FAO Fisheries Report No.731, Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome, 2004, 17 Lihat pasal 4 Permen No 1 tahun 2013 Tentang Pemantau Kapal Penangkap Ikan dan kapal Pengangkut Ikan ISSN2089-3590,EISSN 2303-2472 Vol5, No.1, Th, 2015

570 Irawati Dikdik M. Sodik, M. Sodik Dikdik Post LOSC Legal Instrument and Measures To Address Illegal IUU Fishing, Asian Yearbook onf International Law Vol 15 2009, first published 2012, Routledge, London and Newyork, hlm. 143. Hasyim Djalal, The Emergency of the Concept of Fishing Entities, Ocean Development and International Law, Vol.37, No.2, April-June 2006, hlm.119. Irawati dan Oentoeng wahjoe, Tanggung Jawab Negara Terhadap Perlindungan Nelayan Indonesia Dalam Melaksanakan hak Penangkapan ikan tradisional di Zona Perikanan Australia, Mimbar Jurnal Sosial Dan Pembangunan, Vol XXVII No 1 Juni 2011 KKPRI, Evaluasi Diplomasi Indonesia Pada Forum Pertemuan Regional Fisheries Management Organization (RFMO) Jakarta, Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi kelautan dan Perikanan Badan penelitian Dan Pengembangan Kelautan Dan Perikanan Kementerian kelautan dan Perikanan, 2012 Lee A.Kimball, Deep-Sea Fisheries of the High Seas: The Management Impasse, The M. Sodik Dikdik Post LOSC Legal Instrument and Measures To Address Illegal IUU Fishing, Asian Yearbook onf International Law Vol 15 2009, first published 2012, Routledge, London and Newyork Martin Tsamenyi, The Legal Substance and Status of Fishing Entities in International Law: A Note, Ocean Development and International Law, Vol.37, No.2, April-June 2006, Meryl Williams, Will New Multilateral Arrangement help Southeast Asia States Solve Illegal Fishing, Contemporary Southeast Asia, Vo; 35, No 2, 2013. Undang-Undang Perikanan No 31 Tahun 2004 Undang-Undang No 45 Tahun 2009 Tentang perubahan Terhadap Undang-Undang No 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan Konvensi Hukum Laut 1982 (UNCLOS 1982) Konvensi Jenewa 1958 Charter of United Nations Deklarasi Rio 1993 Agreement for the Implementation of the Provision UNCLOS of Desember 1982 Relating to the conservation and Management of Straddling Fish Stock and Highly Migratory Fish Stock (UNFSA 1995) Port States Measures (PSM) Agreement 2009 The 1993 FAO Agreement To Promote Compliance With International Conservation And Management Maesures By Fishing Vessels On The High Seas (FAO-CA 1993) Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 23/Permen- Kp/2013 Tentang Pendaftaran Dan Penandaan Kapal Perikanan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 26./Permen- KP/2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan No Per.30/Men/2012 Tentang Usaha Perikan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia Permen No 49 tahun 2011 Tentang Usaha Perikanan tangkap Peraturan Menteri Kelautan Dan Perikanan No 12 Tahun 2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di laut Lepas Permen No 1 Tahun 2013 Tentang Pemantauan Kapal Penangkap Ikan dan Kapal Pengangkut Ikan Permen No 10 tahun 2013 Tentang Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. Prosiding Seminar NasionalPenelitian dan PKM Sosial, Ekonomi dan Humaniora