BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses yang dilaksanakan secara berkesinambungan dengan tujuan mencapai kehidupan yang lebih baik dari sebelumnya. Tujuan utama pembangunan ekonomi di negara berkembang khususnya Indonesia adalah peningkatan kesejahteraan dan taraf hidup masyarakatnya dengan cara mengidentifikasi potensi-potensi sumber daya ekonomi yang dimiliki kemudian menyusun rencana pembangunan dan melaksanakannya melalui partisipasi masyarakat. Namun pemerintah tidak selamanya menyadari potensi-potensi sumber daya ekonomi yang ada di berbagai daerah, mengingat luasnya wilayah Indonesia dengan beranekaragam karakteristik wilayah sehingga menyebabkan pembangunan menjadi tidak merata di seluruh wilayah. Kemampuan setiap daerah di Indonesia untuk membangun daerahnya masing-masing dipengaruhi oleh potensi sumber daya yang dimilikinya seperti sumberdaya manusia, sumberdaya alam, sumberdaya buatan (modal dan infrastruktur), sumberdaya sosial meliputi ekonomi, budaya, adat istiadat, jumlah dan kepadatan penduduk, letak geografis, sarana dan prasarana yang tersedia serta faktor-faktor lainnya turut berpengaruh terhadap perkembangan pembangunan yang mengakibatkan tingkat pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan yang dicapai masyarakat di masing-masing daerah tidak sama. Pada akhirnya hal tersebut dapat menimbulkan kesenjangan pendapatan regional dimana wilayah
miskin memiliki pendapatan yang lebih rendah dari wilayah yang lebih berkembang. Kebijakan pembangunan dilakukan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan memanfaatkan potensi dan sumber daya yang tersedia pada masing-masing daerah. Di negara berkembang, pendapatan per kapitanya masih rendah sehingga pemerintah memprioritaskan pertumbuhan. Kebijakan pembangunan yang lebih mengutamakan pertumbuhan mengakibatkan semakin tingginya tingkat kesenjangan yang terjadi bahkan menimbulkan ketidakmerataan pendapatan. Hipotesis Kuznets menyatakan bahwa antara pertumbuhan ekonomi dan kesenjangan ekonomi terdapat suatu trade off sehingga pertumbuhan ekonomi yang pesat akan meningkatkan kesenjangan dalam pembangunan dan hasil-hasilnya. Sementara pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya ternyata diperoleh melalui pertumbuhan ekonomi yang relatif lambat atau diturunkan. Sejak pemerintahan Orde Baru, pemerintah telah melakukan berbagai kebijakan untuk mengatasi kesenjangan pendapatan. Salah satunya adalah dibuatnya Konsep Trilogi Pembangunan yang diwujudkan pada program-program yang mengarah pada pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas di wilayah NKRI. Proses pembangunan pada masa Orde Baru yang bersifat sentralistik dimana kebijakan pembangunan diatur oleh pemerintah pusat ternyata menyebabkan terjadinya ketimpangan di Indonesia. Tabel 1 menyatakan kesenjangan pendapatan antar pulau di Indonesia. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa pulau yang perekonomiannya didominasi oleh sektor pertanian (Pulau Sumatra) mempunyai tingkat kesenjangan yang relatif kecil dibandingkan dengan pulau yang perekonomiannya didominasi oleh sektor industri (Pulau Jawa).
Tabel 1. Kesenjangan Pendapatan Antar Pulau di Indonesia Tahun Sumatra Jawa Kalimantan Sulawesi Lainnya 1984 0,2460 0,5680 0,4381 0,5220 0,3435 1985 0,2459 0,5377 0,4629 0,4080 0,3582 1986 0,2470 0,5177 0,4420 0,4230 0,3780 1987 0,2460 0,5120 0,4710 0,3900 0,3324 1988 0,2521 0,5054 0,4595 0,4900 0,4129 1989 0,2157 0,6209 0,4681 0,5080 0,4183 1990 0,1931 0,6034 0,4516 0,5150 0,4086 1991 0,1814 0,6041 0,4448 0,5800 0,4507 1992 0,1860 0,6108 0,4502 0,5910 0,4550 1993 0,1883 0,6158 0,4401 0,6320 0,4775 Sumber: Tadjoeddin (1996) Potensi serta karakteristik wilayah dan sumberdaya yang beranekaragam mengakibatkan pembangunan nasional sebaiknya tidak hanya dilaksanakan secara terpusat tetapi perlu berorientasi pada pembangunan regional. Keputusan yang diambil pemerintah pusat semakin memperbesar inefisiensi karena banyak proyek yang dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan daerah. Sehingga Konsep Trilogi Pembangunan belum berhasil secara signifikan untuk mengurangi ketimpangan. Dampak dari ketimpangan tersebut membuat beberapa daerah merasa diperlakukan tidak adil. Ketimpangan pendapatan yang semakin besar telah menimbulkan berbagai masalah seperti meningkatnya pengangguran, kurangnya sarana kesehatan dan pendidikan, perumahan, kebutuhan pokok, rasa aman dan lain-lain (Dumairy, 1996). Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu Provinsi di Pulau Jawa yang memiliki kontribusi pendapatan ketiga terbesar terhadap pendapatan Pulau Jawa setelah DKI Jakarta dan Jawa Timur. Lokasi Jawa Barat berbatasan dengan Ibukota Negara Republik Indonesia, yaitu DKI Jakarta. Hal tersebut mengakibatkan beberapa daerah di Jawa Barat menjadi penyangga Ibukota DKI Jakarta, diantaranya Bogor, Depok dan Bekasi. Keadaan ini dapat meningkatkan
pembangunan sosial-ekonomi di daerah penyangga yang selanjutnya dapat mempengaruhi kondisi sosial-ekonomi Jawa Barat secara keseluruhan. Jawa Barat merupakan salah satu provinsi yang memiliki peluang yang cukup besar dalam pembangunan ekonomi, karena selain memiliki potensi sumber daya manusia dan sumber daya alam yang besar juga ditunjang dengan tersedianya sarana dan prasarana informasi dan kelembagaan serta informasi yang relatif lengkap. Namun walapun mempunyai peluang dan potensi yang lengkap, didalam perspektif pembangunan ekonomi, terdapat beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa Jawa Barat masih sangat memerlukan upaya-upaya yang signifikan untuk mengakselerasi laju pembangunan dan pertumbuhan ekonominya. Berdasarkan Tabel 2, diketahui bahwa pada masa sebelum otonomi daerah indeks kesenjangan di Jawa Barat berada pada kesenjangan taraf rendah cenderung sedang dengan tren yang semakin menurun. Tabel 2. Kesenjangan Pembangunan di Provinsi Jawa Barat Sebelum Otonomi Daerah Tahun PDRB per Kapita (Rp) Gini Rasio 1993 1.543.733 0,301 1994 1.604.362 0,305 1995 1.718.502 0,299 1996 1.769.080 0,292 1997 1.428.230 0,289 1998 1.413.173 0,279 1999 1.558.058 0,263 2000 1.600.442 0,241 Sumber: BPS (2003) Semenjak Orde Reformasi, pemerintah dituntut untuk dapat melaksanakan pemerintahan yang adil dan merata. Oleh karena itulah lahir UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Selanjutnya kedua undang-undang tersebut diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah yang disahkan pada tanggal 15 Oktober 2004. Semenjak 1 Januari 2001 proses pembangunan yang dijalankan bersifat desentralistik. Dengan demikian setiap daerah memiliki wewenang yang luas dalam merencanakan pembangunan daerahnya masing-masing. Sehingga melahirkan program-program yang efektif dan efisien untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat daerah. Dalam perencanaan dan pelaksanaan program pembangunan di daerah, pemerintah sebaiknya lebih aktif melibatkan stake holders lokal yang ada di daerah agar pembangunan di daerah sesuai dengan keinginan masyarakat dan dapat dilaksanakan secara berkelanjutan. Masalah kesenjangan tidak hanya menimbulkan permasalahan ekonomi dan sosial namun juga dapat menyebabkan ketidakstabilan politik dan disintegrasi sehingga pemerintah menyadari bahwa masalah ini sangat penting untuk ditanggulangi. 1.2 Perumusan Masalah Penerapan otonomi daerah pada tahun 2001 mengakibatkan pemerintah daerah mempunyai kesempatan untuk mengarahkan program-programnya sehingga dapat mewujudkan pertumbuhan dan pemerataan masyarakat melalui kebijakan desentralisasi yang diwenangkan kepada pemerintah daerah. Namun, tidak semua daerah di Provinsi Jawa Barat dapat menghasilkan program-program yang efektif dan efisien untuk memacu pertumbuhan dan menciptakan pemerataan. Sasaran pembangunan yang lebih ditujukan pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan pendekatan membangun pusat-pusat pertumbuhan ternyata disisi lain telah menimbulkan masalah yang semakin kompleks. Pusat-
pusat pertumbuhan ternyata tidak tumbuh bersama-sama secara seimbang. Trickle down effect yang diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan daerah ternyata berjalan sangat lambat, sedangkan sumberdaya lokal telah terkuras untuk menjadi input penunjang kemajuan daerah pusat pertumbuhan. Pola pembangunan yang demikian menimbulkan masalah ketimpangan wilayah seperti tingkat kemajuan daerah perkotaan yang lebih cepat daripada pedesaan sehingga menghasilkan desa tertinggal. Sebanyak 32.379 desa di Indonesia masuk dalam kategori desa tertinggal. Sebagian besar dari desa tersebut berada di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur. Di Jawa Barat sendiri, daerah yang memiliki desa tertinggal lebih dari 50 persen, terdiri dari Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Garut dan Kabupaten Tasikmalaya. Sedangkan kabupaten/kota lainnya memiliki banyak jumlah desa maju yang berada di kabupaten/kota itu, diantaranya Kabupaten Bandung, Kabupaten Subang, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bekasi, Kota Bogor dan lain-lain (BPS, 2006). Konsep otonomi daerah merupakan konsep yang relevan untuk meredam laju ketimpangan karena memberikan wewenang kepada daerah untuk mengarahkan kebijakan di daerahnya sesuai dengan potensi dan sumber daya alam yang dimiliki sehingga dapat menciptakan kesejahteraan masyarakat. Namun, kebijakan otonomi daerah yang sudah berjalan selama hampir 10 tahun ternyata belum mampu menciptakan pemerataan pendapatan antar daerah di Provinsi Jawa Barat. Hal tersebut dibuktikan pada Tabel 3 yang menyatakan masih rendahnya pencapaian pembangunan manusia (dengan rendahnya
pencapaian Indeks Pembangunan Manusia sebagai indikatornya), juga tingkat kemiskinan dan jumlah pengangguran terbuka yang cukup tinggi di Jawa Barat. Tabel 3. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Menurut Provinsi IPM rank IPM rank IPM rank IPM rank IPM rank 2001 2002 2003 2004 2005 DKI 72,5 1 75,6 1 75,7 1 75,8 1 76,1 1 Jabar 64,6 16 65,8 18 67,5 15 69,1 13 69,9 13 Jateng 64,6 17 66,3 13 67,6 14 68,9 16 69,8 14 DIY 68,7 2 70,8 3 71,9 3 72,9 3 73,5 3 Jatim 61,8 26 64,1 24 65,5 22 66,8 21 68,4 21 Banten 64,6 18 66,6 11 67,3 18 67,9 19 68,8 19 Sumber: BPS (2007) Berdasarkan data penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang dikeluarkan BPS pada tahun 2008, di Jawa Barat terdapat 2,8 juta rumah tangga miskin atau 25,88 persen dari total populasi 11,196 juta rumah tangga. Penduduk miskin 2008 di Jawa Barat sebanyak 5,49 juta (13,01 % total penduduk). Angka pengangguran tahun 2008 mencapai 12,08 persen dan angka kemiskinan sebesar 13,01 persen patut menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah daerah di Provinsi Jawa Barat, baik pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten/kota. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut: 1. Berapa tingkat kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat? Bagaimana trend kesenjangan pendapatan yang terjadi? 2. Bagaimana konvergensi pendapatan antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat? Bagaimana pola pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat berdasarkan PDRB per kapita? 3. Faktor-faktor apakah yang berpengaruh terhadap PDRB kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat?
1.3 Tujuan Penelitian 1. Mengukur tingkat kesenjangan pendapatan antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat serta menganalisa trend ketimpangan pendapatan yang terjadi. 2. Menganalisis konvergensi pendapatan antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat agar dapat diketahui kecenderungan pola pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota di Provinsi Jawa barat. 3. Mengestimasi faktor-faktor yang berpengaruh terhadap PDRB kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat sehingga dapat diketahui faktor-faktor yang dapat mendorong untuk membantu peningkatan PDRB terutama bagi daerah miskin agar dapat mengejar ketertinggalan. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat: 1. Sebagai bahan masukan bagi Pemerintahan Daerah dan juga Pemerintah Provinsi dalam mengambil suatu keputusan dalam penentuan suatu kebijaksanaan, sehingga dapat meningkatkan pemerataan pembangunan di masa yang akan datang. 2. Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat berguna dan menambah perbendaharaan penelitian yang telah ada (bahan pustaka) serta dapat di jadikan sebagai bahan acuan bagi pengembangan penelitian-penelitian selanjutnya. 3. Bagi penulis, penelitian ini merupakan kesempatan untuk menerapkan teoriteori yang diperoleh dari bangku kuliah ke dalam praktek yang sesungguhnya serta di gunakan sebagai syarat selesainya jenjang S-1.
4. Bagi Universitas, sebagai tambahan bahan pustaka serta sebagai tambahan pengetahuan bagi pembaca atau mahasiswa yang memerlukan informasi mengenai kesenjangan pendapatan regional antar kabupaten/kota di Provinsi Jawa Barat periode tahun 2001-2008.