BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang penting di dunia. Angka kesakitan dan kematian akibat pneumonia, khususnya

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pneumonia merupakan penyebab kematian tersering. pada anak di bawah usia lima tahun di dunia terutama

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang merupakan salah satu masalah kesehatan. anak yang penting di dunia karena tingginya angka

BAB I PENDAHULUAN. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang. disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di

BAB I PENDAHULUAN. Nigeria masing-masing 6 juta episode (Kemenkes RI, 2011). (15%-30%). Berdasarkan hasil penelitian Khin, dkk tahun 2003 di Myanmar

BAB 1 PENDAHULUAN. negara berkembang disebabkan oleh bakteri terutama Streptococcus pneumoniae,

BAB I PENDAHULUAN. Masa balita merupakan kelompok umur yang rawan gizi dan rawan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. seluruh dunia, yaitu sebesar 124 juta kasus kematian anak terjadi akibat pneumonia

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun, malaise,

BAB I PENDAHULUAN. akhir tahun 2011 sebanyak lima kasus diantara balita. 1

BAB 1 PENDAHULUAN. Tuberkulosis (TB) masih menjadi penyebab kesakitan dan kematian yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan kasus infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan

BAB I PENDAHULUAN. tingginya angka kematian dan kesakitan karena ISPA. Penyakit infeksi saluran

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi neonatus khususnya sepsis neonatorum sampai saat ini masih

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan parasit Plasmodium yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Mycobacterium tuberculosis. Tanggal 24 Maret 1882 Dr. Robert Koch

BAB I PENDAHULUAN. terbanyak yang diderita oleh anak-anak, baik di negara berkembang maupun di

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah penyakit batuk pilek disertai nafas sesak atau nafas cepat,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penyakit membran hialin (PMH) atau dikenal juga dengan hyaline

BAB 1 PENDAHULUAN. bedah pada anak yang paling sering ditemukan. Kurang lebih

BAB I PENDAHULUAN. Efusi pleura merupakan manifestasi penyakit pada pleura yang paling sering

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan anak merupakan suatu hal yang penting karena. mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan anak.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Asma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di. dunia dan merupakan penyakit kronis pada sistem

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan salah satunya adalah penyakit infeksi. Masa balita juga merupakan masa kritis bagi

BAB I PENDAHULUAN. balita/hari (Rahman dkk, 2014). Kematian balita sebagian besar. pneumonia sebagian besar diakibatkan oleh pneumonia berat berkisar

BAB I PENDAHULUAN. di paru-paru yang sering terjadi pada masa bayi dan anak-anak (Bindler dan

E. BATASAN OPERASIONAL

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. pada wanita dengan penyakit payudara. Insidensi benjolan payudara yang

HUBUNGAN ANTARA PENGETAHUAN DAN SIKAP IBU DENGAN UPAYA PENCEGAHAN ISPA PADA BALITA DI PUSKESMAS NGORESAN SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pneumonia merupakan salah satu masalah kesehatan dan penyebab terbesar kematian anak di seluruh dunia.

BAB I PENDAHULUAN. selama ini masih banyak permasalahan kesehatan, salah satunya seperti kematian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. sampai dengan lima tahun. Pada usia ini otak mengalami pertumbuhan yang

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

BAB I PENDAHULUAN. Amerika Selatan dan 900/ /tahun di Asia (Soedarmo, et al., 2008).

SKRIPSI. Disusun untuk Memenuhi salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S 1 Kesehatan Masyarakat. Oleh: TRI NUR IDDAYAT J

I. PENDAHULUAN. Penyakit infeksi saluran pernafasan akut saat ini merupakan masalah

7-13% kasus berat dan memerlukan perawatan rumah sakit. (2)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Sepsis merupakan salah satu masalah kesehatan utama penyebab kesakitan

BAB I PENDAHULUAN. (mordibity) dan angka kematian (mortality). ( Darmadi, 2008). Di negara

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. toksin ke dalam aliran darah dan menimbulkan berbagai respon sistemik seperti

BAB I PENDAHULUAN. (Infeksi Saluran Pernafasan Akut). Saat ini, ISPA merupakan masalah. rongga telinga tengah dan pleura. Anak-anak merupakan kelompok

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani Millenium

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia sering ditemukan pada anak balita,tetapi juga pada orang dewasa

BAB I PENDAHULUAN. disekelilingnya khususnya bagi mereka yang termasuk ke dalam kelompok rentan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan tugas sebagai seorang dokter, satu hal yang rutin dilakukan adalah menegakkan

BAB I PENDAHULUAN. 2,7% pada wanita atau 34,8% penduduk (sekitar 59,9 juta orang). 2 Hasil Riset

BAB 1 PENDAHULUAN. hidup manusia dan derajat kesehatan masyarakat dalam aspek pencegahan,

BAB I PENDAHULUAN. Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit infeksi yang disebabkan oleh

BAB IV METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Tuberkulosis (TBC) adalah penyakit menular. langsung yang disebabkan oleh Mycobacterium

Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Bab 4 Batuk dan Kesulitan Bernapas Kasus II. Catatan Fasilitator. Rangkuman Kasus:

BAB I PENDAHULUAN. Pneumonia adalah penyakit infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru

BAB 1 : PENDAHULUAN. peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kualitas hidup yang lebih baik pada

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis sebagian besar bakteri ini menyerang

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit ISPA khususnya pneumonia masih merupakan penyakit utama penyebab

MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT MODUL - 1

PEDOMAN PROGRAM P2P ISPA

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi saluran reproduksi, termasuk infeksi menular seksual masih

BAB 1 PENDAHULUAN. Influenza adalah suatu penyakit infeksi saluran pernafasan. akut yang disebabkan oleh virus influenza. Penyakit ini dapat

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan dalam masyarakat, terutama pada wanita dan usia lanjut. Walaupun penyakit ini

KERANGKA ACUAN KUNJUNGAN RUMAH ISPA PUSKESMAS DTP CIGASONG

Jika tidak terjadi komplikasi, penyembuhan memakan waktu 2 5 hari dimana pasien sembuh dalam 1 minggu.

BAB 1 PENDAHULUAN. Kesehatan yang baik atau kesejahteraan sangat diinginkan oleh setiap orang.

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit diare masih menjadi masalah kesehatan. masyarakat di Negara berkembang termasuk Indonesia dan

I. PENDAHULUAN. sikap yang biasa saja oleh penderita, oleh karena tidak memberikan keluhan

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem Kesehatan Nasional (SKN) adalah pengelolaan kesehatan bangsa

BAB I PENDAHULUAN. gizi pada ibu hamil dapat menyebabkan Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR) dan

BAB I PENDAHULUAN. oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara

INFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT

Mulyadi *, Mudatsir ** *** ABSTRACT

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Di Indonesia diare merupakan penyebab kematian utama pada bayi dan anak.

BAB I PENDAHULUAN UKDW. Hipertensi menurut World Health Organization (WHO) adalah suatu kondisi

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. Pemberantasan penyakit. berperanan penting dalam menurunkan angka kesakitan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS),

BAB 1 PENDAHULUAN. (P2ISPA) adalah bagian dari pembangunan kesehatan dan upaya pencegahan serta

Oleh : Yophi Nugraha, Inmy Rodiyatam ABSTRAK

BAB 1 PENDAHULUAN. mortalitasnya yang masih tinggi. Diare adalah penyakit yang ditandai

B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peningkatan angka kejadian, tidak hanya terjadi di Indonesia juga di berbagai

DEFINISI BRONKITIS. suatu proses inflamasi pada pipa. bronkus

BAB I PENDAHULUAN. terpenuhi. Anak sekolah yang kekurangan gizi disebabkan oleh kekurangan gizi pada

BAB I PENDAHULUAN. maka masa balita disebut juga sebagai "masa keemasan" (golden period),

GAMBARAN FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PNEUMONIA PADA BALITA DI PUSKESMAS PIYUNGAN BANTUL TAHUN 2010 NASKAH PUBLIKASI

BAB I LATAR BELAKANG

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pneumonia pada anak sampai saat ini masih merupakan masalah kesehatan yang penting di dunia. Angka kesakitan dan kematian akibat pneumonia, khususnya di Negara berkembang, masih cukup tinggi. Pneumonia merupakan penyebab kematian tertinggi pada anak usia kurang dari lima tahun sebanyak 18%, setelah prematuritas, diare, dan malaria (WHO, 2010). Setiap tahun terdapat sekitar 155 juta kasus pneumonia di seluruh dunia dengan kematian sekitar 1,8 juta anak di bawah 5 tahun, atau sekitar 20% dari seluruh kematian balita di seluruh dunia (Lodha et al., 2004). Sekitar74% kasus pneumonia terjadi di 15 negara berkembang di benua Asia dan Afrika, enam di antaranya adalah India, China, Pakistan, India, Indonesia, dan Nigeria (Gray dan Zar, 2010). Insidensi pneumonia berkisar antara 10-20 kasus/100 anak/tahun atau sekitar 10-20% anak(dowell et al., 2000). Insidensi tertinggi di Asia Selatan dengan angka kejadian 0,36 kali per anak per tahun (Gray dan Zar, 2010). Survei Kesehatan Nasional (SKN) tahun 2001 melaporkan bahwa 22,8% kematian balita dan 27,6% kematian bayi di Indonesia disebabkan karena pneumonia (Said, 2008 ). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia (DepKes RI) tahun 2007 melaporkan angka prevalensi pneumonia 1 bulan terakhir adalah 2,13% dimana prevalensi pada anak sebesar 1,00% sedangkan pada bayi sebesar 0,67%. Angka kematian akibat pneumonia pada 1

2 anak usia 1 4 tahun sebesar 15,5% dan pada bayi usia 29 hari 11 bulan sebesar 23,8% (DepKes RI, 2008). Diagnosis pneumonia pada anak ditegakkan berdasar adanya gejala batuk disertai dengan kesulitan bernapas. Sampai saat ini belum ada baku emas yang sempurna untuk penegakan diagnosis pneumonia pada anak. Lynch dkk. (2010) melakukan systematic review terhadap 25 penelitian tentang diagnosis pneumonia pada anak. Terdapat 11 pemeriksaan penunjang yang digunakan sebagai baku emas, yaitu kultur darah, Rontgen dada, Polymerase Chain Reaction (PCR), procalcitonin (PCT), latex agglutination, C Reaktif Protein (CRP), pemeriksaan hematologi, immunochromatography membrane assay, interleukin 6, kultur dari aspirasi cairan paru dan pemeriksaan fisik. Di antara baku emas tersebut, yang paling sering digunakan adalah kultur darah dan Rontgen dada. Rontgen dada memiliki rentang sensitifitas 0-75% tergantung definisi gambaran Rontgen dada yang digunakan, sedangkan spesifisitasnya berkisar antara 50 sampai 100%. Kultur darah memiliki kelemahan karena merupakan tindakan invasif dan memerlukan waktu pemeriksaan yang lama. Disamping itu, dalam era vaksin pneumococal nilai diagnostik kultur darah semakin menurun. Systematic review ini menyimpulkan bahwa sampai saat ini belum ada kesepakatan tentang baku emas yang paling baik untuk menegakkan diagnosis pneumoni pada anak (Lynch et al., 2010). Gejala dan tanda klinis pneumonia pada anak dapat berupa demam 38 C, napas cepat, tarikan dinding dada ke dalam (TDDK), dan adanya tanda konsolidasi di paru seperti palpitasi, suara redup pada perkusi, dan adanya suara paru bronkial serta

3 krepitasi pada pemeriksaan auskultasi (AMA, 2002). Dalam praktek sehari-hari, diagnosis pneumonia pada anak ditegakkan berdasarkan gejala klinis batuk dan kesulitan bernapas yang ditunjang dengan pemeriksaan Rontgen dada. Hal ini menjadi masalah untuk tata laksana pneumonia di Negara berkembang, karena tidak semua fasilitas kesehatan mempunyai peralatan untuk melakukan Rontgen dada. Untuk mengatasi masalah tersebut, WHO melalui Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), menganjurkan pendekatan tata laksana pneumonia pada anak dengan menggunakan napas cepat dan TDDK sebagai dasar klasifikasi pneumonia. Manajemen Terpadu Balita Sakit menggunakan suatu algoritme yang bertujuan untuk mengklasifikasikan penyakit dan melakukan rujukan secara tepat, melakukan penilaian status gizi dan imunisasi (Soerjono, 1997). Manajemen Terpadu Balita Sakit menggunakan sistem klasifikasi yang sama dengan sistem klasifikasi yang digunakan oleh WHO berdasarkan frekuensi napas dan ada tidaknya TDDK, dan mengklasifikasikan sebagai pneumonia berat, pneumonia, dan bukan pneumonia (Said, 2008). Anak yang datang ke fasilitas kesehatan dengan keluhan utama batuk harus dihitung laju napasnya dalam waktu satu menit dan penilaian ada tidaknya TDDK. Berdasarkan dua tanda tersebut, anak diklasifikasikan sebagai pneumonia atau bukan pneumonia. Dengan pendekatan secara sederhana ini diharapkan sebagai skrining sehingga dapat menurunkan angka kematian akibat pneumonia. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menilai akurasi laju napas dan TDDK. Salah satu kriteria napas cepat yang digunakan untuk penelitian akurasi laju napas adalah laju napas berdasarkan kelompok umur yaitu usia < 1 bulan 60

4 kali/menit, usia 1 bulan -12 bulan 50 kali/menit sedangkan untuk usia 1 5 tahun laju napas 40 kali/menit. Penelitian yang dilakukan oleh Palafox di Tlaxcala, Mexico melaporkan bahwa napas cepat mempunyai sensitivitas74% dan spesifisitas 67%; sedangkan sensitivitas TDDK adalah71% dengan spesifisitas 59% (Palafox et al., 2000a). Apabila kedua parameter digunakan bersama maka sensitivitasnya menjadi 68% dan spesifisitas menjadi 69%. Selain itu frekuensi napas 50 kali/ menit merupakan faktor prediktif terjadinya infiltrat paru pada lobar pneumonia dibandingkan dengan frekuensi napas 50 kali/menit, OR: 4,06, IK 95% 1,24 15,46, p=0,02 (Falade et al., 1995a). Rendahnya spesifisitas napas cepat dan TDDK menunjukkan tingginya angka positif palsu. Hal ini mudah dimengerti, karena batuk disertai dengan napas cepat dan TDDK dapat juga disebabkan oleh asma, bronkiolitis, kelainan jantung, atau penyebab yang lainnya. Systematic review mengenai akurasi laju napas dan TDDK telah dilakukan dengan hasil yang menunjukkan bahwa nilai diagnostik napas cepat bervariasi yaitu sensitivitas74% -77% dan spesifisitas 39% -71%, TDDK mempunyai sensitivitas 47% - 81% dengan spesifisitas 36-80%, serta gabungan napas cepat dan TDDK sensitivitas 68% dan spesifisitas : 69% (Ayieko dan English, 2007). Di Indonesia, MTBS telah diimplementasikan di hampir seluruh Puskesmas sejak tahun 1997, akan tetapi di Indonesia belum ada laporan penelitian yang dipublikasi mengenai validitas napas cepat dan TDDK dalam penegakan diagnosis pneumonia.

5 B. Perumusan Masalah Pneumonia merupakan salah satu penyebab kematian utama pada anak di dunia. Rontgen dada sebagai pemeriksaan penunjang untuk menegakkan diagnosis pneumonia tidak tersedia di semua fasilitas pelayanan kesehatan primer, seperti di Puskesmas. Oleh karena itu WHO merekomendasikan penggunaan napas cepat dan TDDK sebagai dasar klasifikasi pneumonia pada anak dengan batuk, khususnya di fasilitas kesehatan yang terbatas. Beberapa penelitian menunjukkan nilai diagnostik napas cepat bervariasi yaitu sensitivitas74% -77% dan spesifisitas 39% -71%, TDDK mempunyai sensitivitas 47% - 81% dengan spesifisitas 36-80%, serta gabungan napas cepat dan TDDK sensitivitas 68% dan spesifisitas : 69% (Ayieko dan English, 2007). Belum ada laporan penelitian yang dipublikasikan mengenai validitas napas cepat dan TDDK dalam penegakan diagnosis pneumonia pada anak di Indonesia. Pertanyaan penelitiannya adalah: Apakah napas cepat dan TDDK mempunyai nilai diagnostik yang baik untuk penegakan diagnosis pneumonia pada anak di Indonesia? C. Tujuan Penelitian Untuk mengetahui nilai diagnostik (sensitivitas, spesifisitas, nilai ramal positif, nilai ramal negatif, rasio kecenderungan positif dan rasio kecenderungan negatif) napas cepat dan TDDK untuk penegakan diagnosis pneumonia pada anak.

6 D. Manfaat Penelitian Manfaat bagi klinisi: Bila terbukti bahwa napas cepat dan TDDK mempunyai nilai diagnostik yang baik untuk penegakan pneumonia pada anak di Indonesia, hasil penelitian ini akan membantu klinisi untuk menegakkan diagnosis pneumonia pada anak dengan cara yang mudah dan murah. Manfaat bagi orang tua/pasien: Bila terbukti bahwa napas cepat dan TDDK mempunyai nilai diagnostik yang baik untuk penegakan pneumonia pada anak di Indonesia, tidak diperlukan pemeriksaan Rontgan dada pada pasien yang dicurigai menderita pneumonia. Hal ini akan mengurangi efek radiasi pada anak/pasien, dan akan mengurangi pengeluaran biaya pemeriksaan yang dikeluarkan orang tua. Manfaat bagi keilmuan: Diharapkan hasil penelitian ini dapat digunakan untuk mengembangkan penelitian lain yang berhubungan dengan tata laksana pneumonia pada anak di Indonesia. E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai uji diagnostik napas cepat dan TDDK untuk penegakan diagnosis pneumonia sudah pernah dilakukan di beberapa Negara, namun belum pernah ada publikasi laporan penelitian yang dilakukan di Indonesia. Palafox dkk melakukan penelitian tahun 2001 di Mexico, menilai apakah sensitivitas dan spesifisitas napas cepat dan TDDK berbeda bila dinilai berdasarkan umur, status gizi

7 dan lama sakit pada anak usia antara 3 hari 5 tahun dengan infeksi saluran napas akut. Diagnosis pneumonia ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan Rontgent dada dengan ditemukan adanya infiltrat dan atau konsolidasi paru. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa napas cepat mempunyai sensitifitas74% dan spesifisitas 67%, sedangkan TDDK mempunyai sensitifitas71% dan spesifisitas 59%. Apabila dikombinasi keduanya maka sensitifitasnya akan menurun menjadi 68% dan spesifisitasnya meningkat menjadi 69% (Palafox et al., 2000a). Falade et al., tahun 1992 melakukan penelitian di Gambia bertujuan untuk mengevaluasi rekomendasi WHO pada anak usia 2 59 bulan dalam tatalaksana pneumonia di Negara berkembang yang menggunakan napas cepat dan TDDK sebagai prediktor klinis. Baku emas yang digunakan pada penelitian ini dengan ditemukan adanya konsolidasi paru pada pemeriksaan Rontgen dada. Hasil penelitian menunjukkan nilai rata-rata napas cepat lebih tinggi pada anak dengan pneumonia bila dibanding dengan anak yang tidak pneumonia. Frekuensi napas pada anak dengan malnutrisi 5x/menit lebih rendah dibandingkan dengan anak gizi baik, p<0,001. Napas cepat mempunyai sensitivitas79% dan spesifisitas 65% pada kelompok gizi baik sedangkan untuk kelompok dengan malnutrisi sensitivitasnya menjadi 61% dan spesifisitas79%. Sedangkan TDDK mempunyai sensitivitas 27% pada anak dengan gizi baik, dan 17% pada anak dengan malnutrisi (Falade et al., 1995a) Di Colombia tahun 1994, dilakukan penelitian pada anak usia7 hari 36 bulan yang menilai akurasi dari beberapa manifestasi klinis dalam menegakkan diagnosis

8 pneumonia berdasarkan foto Rontgen dada atau keadaan hipoksemia pada anak-anak yang tinggal di daerah dengan ketinggian 2640 meter diatas permukaan laut. Laju napas 50 kali/menit untuk anak usia 0 11 bulan mempunyai sensitivitas76% dan spesifisitas71% pada anak dengan keadaan hipoksemia. Pada anak dengan pneumonia berdasarkan konfirmasi Rontgen dada sensitivitas napas cepat hanya70% dengan spesifisitas 58%. Untuk anak usia 12-36 bulan napas cepat mempunyai sensitivitas 37% dengan spesifisitas 67%, sedangkan pada keadaan hipoksemia frekuensi napas 50 kali/menit mempunyai sensitivitas 39% dengan sensitivitas71% (Lozano et al., 1994).

9 Tabel 1. Penelitian acuan Peneliti Lokasi Sampel Baku emas Hasil Palafox dkk (2001) Falade dkk (1995) Lozano dkk (1995) Tlaxcala, Mexico 110 anak berusia 0-59 bulan Gambia 487 anak malnutrisi dan 255 anak dengan gizi baik usia 2 59 bulan Columbia. 201 anak usia7 hari 36 bulan. Rontgent dada dengan adanya mikro dan makro nodular infiltrat dan konsolidasi di paru. Rontgent dada ditandai dengan adanya konsolidasi paru Rontgent dada terdapat dan hipoksemia denga pulseoxymeter Sensitivitas Napas cepat :74% TDDK :71% Kombinasi napas cepat dan TDDK : 68% Kelompok gizi baik : Napas cepat :79% Kelompok malnutrisi napas cepat : 61% Pneumonia konfirmasi radiologi pada anak 12-36 bulan: Laju napas 50 kali/menit : 37% TDDK : 81% Hipoksemia : 83% Spesifisitas Napas cepat : 67% TDDK : 59% Kombinasi napas cepat dan TDDK : 69%. Kelompok gizi baik : Napas cepat :65% Kelompok malnutrisi napas cepat :79% Pneumonia konfirmasi radiologi pada anak 12-36 bulan : Laju napas 50 kali/menit :67% TDDK 36% Hipoksemia73%

10 Peneliti Lokasi Sampel Baku emas Hasil March dkk (2005) Cherian dkk (1995) Rio de jainero, Brazil Vellero, India 76 anak usi 0 6 bulan,dibagi menjadi kelompok pneumonia bakterial dan viral 768 anak usia 0-71 bulan Rontgent dada, pneumonia bakterial jika terdapat konsolidasi dan efusi, pneumonia viral jika terdapat infiltrat Sensitivitas Pneumonia bakterial : Laju napas 50x/menit :76,6% Laju napas 60x/menit : 55,3 % TDDK : 46,7% Pneumonia viral : Laju napas 50x/menit : 86,2 % Laju napas 60x/menit : 69% TDDK : 44,8% Rontgent dada Napas cepat: 80% ( Normal), 83% ( gizi kurang), 82% (gizi buruk) TDDK :78% ( Normal), 82% ( gizi kurang), 93% (gizi buruk) Spesifisitas Pneumonia bakterial : Laju napas 50x/menit : 38,1% Laju napas 60x/menit : 66,7% TDDK : 80% Pneumonia viral : Laju napas 50x/menit : 38,1% Laju napas 60x/menit : 66,7% TDDK : 80% Napas cepat: 86% ( Normal),70% ( gizi kurang), 82% (gizi buruk) TDDK : 96% ( Normal), 99% ( gizi kurang), 100% (gizi buruk)