INJAUAN PUSTAKA Domba Komposit Sumatera

dokumen-dokumen yang mirip
PERTUMBUHAN NON-LINIER, PENDUGAAN HERITABILITAS DAN NILAI PEMULIAAN DOMBA KOMPOSIT SUMATERA

HASIL DAN PEMBAHASAN. Performans Bobot Lahir dan Bobot Sapih

TINJAUAN PUSTAKA. dunia dengan hidup yang sangat beragam dari yang terkecil antara 9 sampai 13 kg

PENDAHULUAN. meningkat dari tahun ke tahun diperlihatkan dengan data Badan Pusat Statistik. menjadi ekor domba pada tahun 2010.

I. PENDAHULUAN. penting di berbagai agri-ekosistem. Hal ini dikarenakan kambing memiliki

TINJAUAN PUSTAKA Kurban Ketentuan Hewan Kurban

NILAI PEMULIAAN. Bapak. Induk. Anak

TINJAUAN PUSTAKA. Pemeliharaan Sapi Pedet

PENDAHULUAN. mendorong para peternak untuk menghasilkan ternak yang berkualitas. Ternak

TINJAUAN PUSTAKA. penting diberbagai agro-ekosistem, karena memiliki kapasitas adaptasi yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi termasuk dalam genus Bos yaitu dalam Bos taurus dan Bos indicus.

KAJIAN KEPUSTAKAAN. berkuku genap dan termasuk sub-famili Caprinae dari famili Bovidae. Semua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Ettawa (asal india) dengan Kambing Kacang yang telah terjadi beberapa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Domba Ekor Gemuk yang secara turun-temurun dikembangkan masyarakat di

TINJAUAN PUSTAKA. Rataan sifat-sifat kuantitatif domba Priangan menurut hasil penelitian Heriyadi et al. (2002) terdapat pada Tabel 1.

LABORATORIUM PEMULIAAN DAN BIOMETRIKA FAKULTAS PETERNAKAN UNIVERSITAS PADJADAJARAN JATINANGOR 2009

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. selain ayam adalah itik. Itik memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan,

TINJAUAN PUSTAKA. Kambing

I PENDAHULUAN. dari generasi ke generasi di Indonesia sebagai unggas lokal hasil persilangan itik

KAJIAN KEPUSTAKAAN. (tekstil) khusus untuk domba pengahasil bulu (wol) (Cahyono, 1998).

KESIMPULAN DAN SARAN. Kesimpulan. Hasil estimasi heritabilitas calving interval dengan menggunakan korelasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sapi yang menyebar di berbagai penjuru dunia terdapat kurang lebih 795.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boer berasal dari Afrika Selatan dan telah menjadi ternak yang terregistrasi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boerawa merupakan hasil persilangan antara kambing Boer jantan

Karakteristik Pertumbuhan Domba Garut dan Persilangannya

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk Ordo Artiodactyla, Subordo

TINJAUAN PUSTAKA Domba Lokal Domba Ekor Tipis

TINJAUAN PUSTAKA Asal Usul dan Klasifikasi Domba Bangsa Domba di Indonesia

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang, kambing Peranakan Etawa (PE) dan kambing Kejobong

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peternakan adalah ternak kambing. Kambing merupakan ternak serba guna yang

BAB I PENDAHULUAN. dimanfaatkan untuk membajak sawah oleh petani ataupun digunakan sebagai

HASIL DAN PEMBAHASAN. dan pengembangan perbibitan ternak domba di Jawa Barat. Eksistensi UPTD

TINJAUAN PUSTAKA. masyarakat Indonesia. Domba merupakan ternak ruminansia kecil yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. P2 * hari hari hari

Gambar 1. Grafik Populasi Sapi Perah Nasional Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2011)

I PENDAHULUAN. Susu merupakan salah satu hasil ternak yang tidak dapat dipisahkan dari

I PENDAHULUAN. Salah satu sumber daya genetik asli Indonesia adalah domba Garut, domba

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Menurut Blakely dan Bade (1992), bangsa sapi perah mempunyai

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan mamalia yang termasuk dalam ordo artiodactyla, sub ordo

ANALISIS KURVA PERTUMBUHAN DOMBA PRIANGAN DAN PERSILANGANNYA DENGAN ST. CROIX DAN MOUTON CHAROLLAIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Persebaran Kambing Peranakan Ettawah (PE) galur lainnya dan merupakan sumber daya genetik lokal Jawa Tengah yang perlu

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Kacang merupakan kambing asli Indonesia dengan populasi yang

KAJIAN PUSTAKA. (Ovis amon) yang berasal dari Asia Tenggara, serta Urial (Ovis vignei) yang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. (Integrated Taxonomic Information System) adalah sebagai berikut :

Pendugaan Nilai Heritabilitas Bobot Lahir dan Bobot Sapih Domba Garut Tipe Laga

PENDAHULUAN. Saat ini kebutuhan manusia pada protein hewani semakin. meningkat, yang dapat dilihat dari semakin banyaknya permintaan akan

Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2005

HASIL DAN PEMBAHASAN

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Coturnix coturnix japonica yang mendapat perhatian dari para ahli. Menurut

STRATEGI PERBIBITAN KAMBING/DOMBA DI INDONESIA

TINJAUAN PUSTAKA Klasifkasi Kambing

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing Boerawa merupakan kambing hasil persilangan antara kambing Boer

II. TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Umum Kabupaten Kuantan Singingi. Pembentukan Kabupaten Kuantan Singingi didasari dengan Undang-undang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kambing merupakan salah satu jenis ternak ruminansia kecil yang telah

Gambar 1. Produksi Susu Nasional ( ) Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2011)

Respon Seleksi Domba Garut... Erwin Jatnika Priyadi RESPON SELEKSI BOBOT LAHIR DOMBA GARUT PADA INTENSITAS OPTIMUM DI UPTD BPPTD MARGAWATI GARUT

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang. Ketersediaan bibit domba yang berkualitas dalam jumlah yang

TINJAUAN PUSTAKA. yang berasal dari pulau Bali. Asal usul sapi Bali ini adalah banteng ( Bos

PEMBAHASAN UMUM. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

HASIL DAN PEMBAHASAN

KEMAJUAN GENETIK SAPI LOKAL BERDASARKAN SELEKSI DAN PERKAWINAN TERPILIH

HASIL DAN PEMBAHASAN. Gambar 4. Lokasi BBPTU-SP Baturraden, Purwokerto

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi Bali (Bos sondaicus) merupakan salah satu bangsa sapi lokal asli

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Sapi perah secara umum merupakan penghasil susu yang sangat dominan

VIII. PRODUKTIVITAS TERNAK BABI DI INDONESIA

PENAMPILAN REPRODUKSI KAMBING INDUK: BOER, KACANG DAN KACANG YANG DISILANGKAN DENGAN PEJANTAN BOER

ANALISIS PERTUMBUHAN NON-LINIER DOMBA LOKAL SUMATERA DAN PERSILANGANNYA

MAKALAH MANAJEMEN TERNAK POTONG MANAJEMEN PEMILIHAN BIBIT

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ketenangan dan akan menurunkan produksinya. Sapi Friesien Holstein pertama kali

PENDAHULUAN. pangan hewani. Sapi perah merupakan salah satu penghasil pangan hewani, yang

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Bangsa domba secara umum diklasifikasikan berdasarkan hal-hal tertentu,

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

II. TINJAUAN PUSTAKA. dibedakan dari bangsa lain meskipun masih dalam spesies. bangsa sapi memiliki keunggulan dan kekurangan yang kadang-kadang dapat

TINJAUAN PUSTAKA. Kelas: Mammalia, Order: Artiodactyla, Genus: Sus,Spesies: Sus scrofa, Sus

TINJAUAN PUSTAKA. Kingdom: Animalia, Famili: Leporidae, Subfamili: Leporine, Ordo:

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal Indonesia Domba Ekor Tipis

ANALISIS KURVA PERTUMBUHAN DOMBA PRIANGAN DAN PERSILANGANNYA DENGAN ST. CROIX DAN MOUTON CHAROLLAIS

TINJAUAN PUSTAKA. lokal adalah sapi potong yang asalnya dari luar Indonesia tetapi sudah

PENDAHULUAN. prolifik (dapat beranak lebih dari satu ekor dalam satu siklus kelahiran) dan

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Domba Domba Lokal

KARAKTERISASI MORFOLOGI DOMBA ADU

Pada kondisi padang penggembalaan yang baik, kenaikan berat badan domba bisa mencapai antara 0,9-1,3 kg seminggu per ekor. Padang penggembalaan yang

HASIL DAN PEMBAHASAN. Karkas domba Lokal Sumatera (Tabel 9) mempunyai koefisien

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Burung puyuh yang dipelihara di Amerika disebut dengan Bob White Quail,

III OBJEK DAN METODE PENELITIAN Sistem Pemeliharaan Domba di UPTD BPPTD Margawati

Pembibitan dan Budidaya ternak dapat diartikan ternak yang digunakan sebagai tetua bagi anaknya tanpa atau sedikit memperhatikan potensi genetiknya. B

HASIL DAN PEMBAHASAN. Konsumsi Bahan Kering (BK) 300, ,94 Total (g/e/hr) ± 115,13 Konsumsi BK Ransum (% BB) 450,29 ± 100,76 3,20

TINJAUAN KEPUSTAKAAN. Sumber Daya Genetik Ternak dari Jawa Barat, yaitu dari daerah Cibuluh,

HASIL DAN PEMBAHASAN

TEKNIK PEMILIHAN BIBIT KAMBING DAN DOMBA

KAJIAN KEPUSTAKAAN. Puyuh pertama kali di domestikasi di Amerika Serikat pada tahun 1980 dan

TINJAUAN PUSTAKA. yang cepat, jumlah anak per kelahiran (littersize) yang tinggi dan efisiensi

KAJIAN KEPUSTAKAAN. kebutuhan konsumsi bagi manusia. Sapi Friesien Holstein (FH) berasal dari

PUSTAKA Domba Lokal di Indonesia Sejarah

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

LAMA BUNTING, BOBOT LAHIR DAN DAYA HIDUP PRASAPIH KAMBING BOERKA-1 (50B;50K) BERDASARKAN: JENIS KELAMIN, TIPE LAHIR DAN PARITAS

PENAMPILAN REPRODUKSI DOMBA LOKAL YANG DISINKRONISASI DENGAN MEDROXY PROGESTERON ACETAT PADA KONDISI PETERNAK DI KELURAHAN JUHUT, KABUPATEN PANDEGLANG

TINJAUAN PUSTAKA Ternak Itik

HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 1. Hasil Analisis Ukuran Tubuh Domba. Ukuran Tubuh Minimal Maksimal Rata-rata Standar Koefisien

HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Hewan

Transkripsi:

INJAUAN PUSTAKA Domba Komposit Sumatera Domba Sumatera merupakan domba asli yang terdapat di daerah Sumetera Utara. Domba ini termasuk jenis domba ekor tipis dan merupakan jenis penghasil daging walaupun tidak sebaik domba pedaging dari luar negeri. Pada umumnya domba ini memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi, dengan frekuensi beranak mencapai 1.82 kali dan bobot badan saat sapih mencapai 21 kg (Iniguez et al. 1991). Pola warna domba ini biasanya putih dengan kombinasi warna bercak hitam dibagian kepala, badan dan kaki. Bercak hitam ini juga sering ditemukan di sekeliling mata serta hidung (Mason 1980). Domba Barbados blackbelly berasal dari Pulau Barbados yang beriklim tropis dan merupakan domba jenis wool. Domba ini merupakan persilangan antara domba lokal Afrika dengan domba lokal yang berasal dari daratan Eropa. Domba ini beranak pertama kali pada umur 12-13 bulan dengan frekuensi kelahiran anak kembar sebesar 56-71%, tergantung pada kondisi pakan dan lingkungan. Pola warna domba ini bervariasi dari coklat muda sampai coklat tua. Perut bagian bawahnya didominasi warna hitam serta bagian rahang bawah, dagu, kerongkongan. Bagian lain yang berwarna hitam yaitu dada, kaki bagian belakang, bagian dalam dari telinga serta bagian mata (Rastogi 1996). Domba St. Croix berasal dari kepulauan Virgin yang beriklim tropis. Domba ini juga memiliki genotip sebagai domba jenis wool. Merupakan domba persilangan antara domba Creolo dengan Wiltshire horn (Thomas dan Bradford 1990). St. Croix merupakan domba aktif dan memiliki bentuk badan yang kompak, jinak serta tidak menampakkan sorot mata yang liar. Pola warnanya dari putih polos hingga bercak hitam atau coklat sampai dengan pola tiga warna. Dengan rambut wool tumbuh sebagian kecil atau seperempat pada bagian belakang tubuh (Mason 1980). Ketiga domba ini disilangkan oleh Balai Penelitian Ternak untuk mendapatkan bangsa baru yang lebih unggul dari tetuanya. Balai ini menyilangkan antara domba lokal Sumatera dengan domba St. Croix dan Barbados blackbelly, yang lebih dikenal dengan domba Sungei Putih. Kemudian melakukan kembali persilangan antara domba lokal 3

Sumatera dengan St. Croix cross (lokal Sumatera x St. Croix) dan Barbados blackbelly cross (lokal Sumatera x Barbados blackbelly), hasil persilangan antar bangsa ini dikenal dengan domba Komposit Sumatera. Bagan pola perkawinan antar tiga bangsa domba ini dapat dilihat pada Gambar 1. St. Croix (H) (100%) Sumatera (S) (100%) Barbados blackbelly (B) (100%) Sumatera (S) (100%) St. Croix cross (HS) (50% H 50% S) St. Croix cross (HS) (50% H 50% S) Barbados cross (BC) (50% B 50% S) Barbados cross (BC) (50% B 50% S) interse mating St. Croix cross (HS) (50% H 50% S) Barbados cross (BC) (50% B 50% S) Komposit (K) (25% H 50% S 25% B) interse mating Komposit (K) (25% H 50% S 25% B) Komposit (K) (25% H 50% S 25% B) Gambar 1. Pola Perkawinan Tiga Bangsa Domba Pembentuk St. Croix Cross, Barbados Blackbelly Cross dan Komposit Sumatera (Subandriyo 1996). Domba Komposit Sumatera generasi ke-3 (K 3 ) memiliki komponen karkas yang lebih baik dibandingkan dengan domba Komposit Sumatera generasi ke-1(k 1 ), generasi ke-2 (K2) maupun Barbados blackbelly cross (BC) (Triyantini et al. 2005). Selain itu juga memiliki produktivitas yang lebih unggul dari domba ekor tipis pada kondisi lapang (Setiadi dan Subandriyo 2007). Tipe kelahiran kembar triplet dan kuarduplet hanya ditemukan pada perkawinan komposit (MxM) (Darmana 2000). 4

Pertumbuhan Domba Pertumbuhan merupakan kombinasi dari peningkatan berat total sel-sel tubuh dan diferensiasi dari sel-sel tersebut. Proses diferensiasi menyebabkan terjadinya jaringan organ ataupun bagian tubuh lainnya. Perbedaan kecepatan tumbuh dari tiap-tiap bagian tubuh berakibat pada perubahan bentuk, ukuran tubuh serta pencapaian waktu kedewasaan tubuh yang berbeda pada setiap pertumbuhan bagian-bagian tersebut (Warris 2000). Suparno (2005) menjelaskan perbedaan tentang pertumbuhan dan perkembangan. Pertumbuhan didefinisikan secara sederhana sebagai perubahan ukuran yang meliputi perubahan bobot hidup, bentuk, dimensi linier dan komposisi tubuh sedangkan perkembangan merupakan kemajuan gradual kompleksitas yang rendah menjadi lebih tinggi dan ekspansi dari ukuran tubuh. Proses perubahan dimensi tubuh pada fase pertumbuhan relatif tidak dapat berubah seiring bertambahnya umur, namun ukuran serta bobot secara fluktuatif dapat mengalami perubahan yang ditentukan oleh faktor genetik, lingkungan serta interaksi keduanya (Lawrence dan Fowler 2002). Menurut Soeparno (2005) pertumbuhan seekor ternak dipengaruhi beberapa faktor seperti jenis kelamin, hormon dan kastrasi, genotip dan komposisi kimia pakan yang dikonsumsi. Pertumbuhan paling cepat diperoleh pada saat domba berumur tiga bulan pertama, bobot tubuh dapat mencapai 50% dari bobot ketika berumur satu tahun, serta 25% lagi masing-masing pada tiga bulan selanjutnya dan saat enam bulan terakhir (Herman 2003). Lebih lanjut dinyatakan bahwa proses pertumbuhan pada ternak 75% terjadi hingga mencapai umur satu tahun dan 25% lagi pada saat ternak mencapai dewasa. Pertumbuhan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu periode sebelum lahir (prenatal) dan periode setelah lahir (postnatal). Pertumbuhan post natal ini dibagi lagi menjadi periode pertumbuhan sebelum penyapihan dan periode setelah penyapihan (Lawrence dan Fowler 2002). Pertumbuhan setelah periode sapih pada domba memiliki hubungan kuat dengan bobot sapih dan efisiensi pakan (Martojo 1992). Dalam menduga laju pertumbuhan, biasanya lebih sering dilakukan pengukuran pada bobot badan untuk dilihat pertambahannya sebab dirasakan lebih praktis dan mudah dalam pelaksanaannya. 5

Bobot Lahir Bobot lahir adalah bobot badan pada saat ternak tersebut dilahirkan. Dalam pelaksanaanya di lapangan penimbangan bobot anak setelah dilahirkan sangat sulit dilakukan, oleh sebab itu bobot lahir sering didefinisikan sebagai hasil penimbangan bobot anak dalam kurun waktu 24 jam setelah dilahirkan (Harjosubroto 1994). Bobot lahir merupakan faktor penting yang dapat mempengaruhi produktivitas ternak. Bobot lahir yang tinggi di atas rataan umumnya memiliki kemampuan hidup lebih tinggi dalam melewati masa krisis, pertumbuhannya cepat serta akan memiliki bobot sapih yang lebih tinggi pula (Devendra dan Burn 1994). Bobot lahir pada domba dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya pakan induk selama kebuntingan, tipe kelahiran anak, jenis kelamin anak dan umur induk. Rataan bobot lahir akan menurun dengan meningkatnya jumlah anak lahir per induk melahirkan (Elieser 2006). Induk yang mendapatkan protein konsentrat yang lebih tinggi pada sepertiga akhir kebuntingan dapat menghasilkan anak dengan bobot lebih besar dan daya hidup yang lebih tinggi pula (Inounu et al. 1993). Secara umum bobot lahir jantan lebih besar daripada betina, baik pada kelahiran tunggal maupun kelahiran kembar. Umur induk juga mempengaruhi bobot lahir pada anak, induk domba muda menghasilkan bobot lahir anak yang lebih ringan dibandingkan dengan induk yang lebih tua. Domba dara juga akan menghasilkan bobot lahir anak yang lebih rendah jika dibandingkan pada induk yang telah melahirkan beberapa kali (Black 1983). Bobot induk juga mempengaruhi bobot lahir anak. Induk yang memiliki bobot tinggi akan mendapatkan anak dengan bobot lahir tinggi pula, begitupun sebaliknya dengan induk berbobot rendah (Tiesnamurti 2000). Anak domba yang lahir harus memiliki bobot lahir lebih tinggi dari 1,5 kg untuk mendapatkan daya hidup yang tinggi (Inounu et al. 1993). Bobot lahir rataan anak domba Komposit (F 1 dan F 2 ) adalah 2,46±0,69 dan 2,19±0,71 kg, sedangkan Barbados cross dan St. Croix cross masing-masing sebesar 2,14±0,62 dan 2,74±0,71 kg (Subandriyo 1996). Domba jantan St. Croix memiliki rataan bobot lahir, bobot umur 30, 60 dan 90 hari berturut-turut adalah 2,72±0,48; 6,51±1,47; 9,69±2,33 dan 11,87±2,67 kg. Bobot badan yang dicapai anak domba jantan St. Croix menurun seiring dengan meningkatnya tipe kelahiran (Asmarasari 2006). Rataan bobot lahir tertinggi untuk kelahiran tunggal dan 6

kembar dua pada perkawinan domba Komposit (MxM) yaitu 3,19±0,52 dan 2,35±0,50 kg. Rataan bobot lahir keseluruhan pada perkawinan ini yaitu sebesar 2,63±0,64 kg (Darmana 2000). Bobot Sapih Penyapihan adalah waktu dimana ketika anak sudah berhenti menyusu pada induknya. Penyapihan dapat dilakukan bila anak tersebut telah memakan pakan padat. Bobot sapih menurut Harjosubroto (1994) adalah bobot anak saat mulai dipisahkan dari induknya. Bobot sapih biasanya disesuaikan dengan nilai rerata bobot sapih pada umur tertentu, pada sapi dan kerbau biasanya umur sapih disesuikan pada 105 hari sedangkan pada domba dan kambing yaitu pada umur 90 hari. Bobot sapih dipengaruhi secara nyata (P<0,05) oleh paritas induk, jenis kelamin anak dan tipe lahir-sapih anak (Tiesnamurti 2002). Hal yang berbeda dilaporkan oleh Elieser et al. (2006) dimana tidak didapati perbedaan antara bobot sapih kambing persilangan (Boerka) antara jantan dengan yang betina. Anak tunggal mempunyai peluang hidup lebih tinggi dibandingkan dengan anak kembar, hal ini disebabkan karena tidak adanya persaingan dalam hal menyusu pada induk (Tiesnamurti 2002). Bobot sapih anak jantan pada domba Priangan lebih tinggi dari pada anak betina, yaitu sebesar 11,52 vs 9,29 kg, dengan bobot rataan individu sebesar 10,62 kg (Tiesnamurti 2002). Domba jantan St. Croix memiliki rataan bobot sapih (90 hari), bobot umur 180 dan 365 hari berturut-turut adalah 11,87±2,67; 15,28±2,95; 24,61±3,52 kg dengan pertambahan bobot badan 72,67±8,20 g/ekor/hari (Asmarasari 2006). Bobot sapih domba Komposit (F 1 dan F 2 ) yaitu sebesar 12,45±3,26 kg dan 11,40±2,83 kg (Subandriyo 1998). Domba hasil persilangan (Moulton x Priangan dan Charollais x Priangan) memiliki rataan bobot sapih anak individual berkisar antara 12,14-13,17 kg sangat nyata (p<0,01) lebih tinggi dari domba periangan yaitu 11,39 kg (Nafiu 2003). Pertumbuhan Non-Linier 7

Bobot badan aktual dari suatu ternak selama hidupnya apabila dimasukkan kedalam suatu fungsi, maka akan diperoleh suatu bentuk kurva pertumbuhan. Bentuk kurva pertumbuhan ternak pada periode postnatal untuk spesies ternak adalah serupa, yaitu mengikuti pola kurva pertumbuhan sigmoidal (Lawrance dan Fowler 2002). Metode non-linier (sigmoid) digunakan untuk mamahami performa biologis dari ternak, dimana model regresi linier tidak dapat menjelaskan adanya perubahan pertumbuhan yang terjadi pada ternak lepas penyapihan. Model linier akan memberikan informasi seolah-olah pertumbuhan tersebut akan meningkat terus tanpa mengenal kapan pertumbuhan tersebut akan menurun. Berdasarkan penelitian Gunawan et al. (1992) merekomendasikan bahwa menganalisis laju pertumbuhan anak domba lepas sapih yaitu dengan menggunakan model eksponensial. Fase pertumbuhan suatu individu dapat dibagi menjadi dua, yaitu fase pertumbuhan yang dipercepat dan fase pertumbuhan yang diperlambat. Penyebab perbedaan kedua fase pertumbuhan tersebut merupakan suatu hal yang kompleks dan dipengaruhi oleh banyak faktor (Lawrance dan Fowler 2002). Titik yang merupakan batas antara kurva pertumbuhan yang dipercepat dengan kurva pertumbuhan yang diperlambat disebut dengan titik infleksi (inflection point). Titik ini diperoleh dari grafik antara bobot badan dengan umur. Titik infleksi merupakan saat dimana ternak tersebut mengalami pubertas (Brody 1945). Berikut adalah kurva pertumbuhan mahluk hidup yang dapat dilihat pada Gambar 2. 8

Gambar 2. Kurva Pertumbuhan Pada Ternak (Brody 1945) Kurva ini diperoleh dengan menggambarkan perbandingan antara pertambahan bobot badan harian dengan waktu. Pada saat lahir sampai pubertas terjadi peningkatan pertambahan bobot badan yang semakin meningkat. Pertambahan harian akan menurun mencapai titik nol setelah dicapainya pubertas. Setelah kedewasaan maka laju pertumbuhannya menjadi negatif. Ketika titik infleksi tercapai merupakan saat yang paling ekonomis dari ternak karena pada waktu tersebut tingkat mortalitasnya sedang berada pada titik paling rendah serta mengalami pertumbuhan yang paling cepat. Model pertumbuhan non-linier yang paling sering digunakan untuk ternak diantaranya model Gompertz dan Logistic. Kedua model ini memiliki keakuratan yang lebih besar dalam menjelaskan data dilapangan serta dapat menjelaskan waktu yang penting (titik infleksi) yang lebih baik dibandingkan model sebelumnya. Model Logistic dan Gompertz merupakan model yang memiliki tiga parameter yaitu A, b/m, dan k (Brown et al. 1976). Analisis kurva pertumbuhan Gompertz dan Logistic pada domba St. Croix, Sumatera, St. Croix x Sumatera, Barbados Blackbelly x Sumatera dan Komposit yang dilakukan oleh Suparyanto (1999) terhadap pendugaan umur dan bobot sapih saat domba komposit mengalami pubertas pertama, model Logistic memiliki hasil dugaaan yang lebih tinggi. Bobot pubertas dicapai dengan berat 10.93 kg pada umur di atas 4 bulan (124 hari), angka ini lebih tinggi bila dibandingkan dengan model Gompertz yaitu 10,75 kg dengan umur diatas 3 bulan (101 hari). Kedua model ini juga digunakan oleh Inounu (2007) terhadap domba Garut dan persilangannya dimana dihasilkan bahwa model Logistic merupakan model yang paling mudah dalam menjelaskan hubungan antara bobot badan dengan waktu. Model Gompertz Model Gompertz umumnya cenderung digunakan dalam berbagai pertumbuhan mahluk hidup. Model ini telah banyak digunakan untuk ternak-ternak besar terutama sapi yaitu untuk menggambarkan hubungan antara pertumbuhan dan waktu (Aranggo dan VanVleck 2002). Pertumbuhan non-linier model Gompertz ini sangat bermanfaat dalam studi pertumbuhan pada ternak yang memiliki titik infleksi tidak simetris (Ismail et al. 9

2003). Kelebihan dari model Gompertz adalah dalam pendugaaan dari nilai asimtot (bobot dewasa) dengan bias yang rendah (Aranggo dan VanVleck 2002). Vera (1991) menggunakan model Gompertz untuk menganalisis pertumbuhan sapi Brahman (heifer) mendapati bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata pada rataan bobot asimtot ternak pada berbagai kondisi pakan yang dicobakan. Kurva pertumbuhan non-linier Gompertz pada perbandingan empat generasi dari domba Komposit Sumatera kelahiran tahun 2002-2003 sudah dilakukan dengan menggunakan persamaan BW = A*exp(-exp(b kt)). Generasi pertama (K-F 1 ), kedua (K- F 2 ), ketiga (K-F 3 ) dan keempat (K-F 4 ) berturut-turut adalah BWKF 1 = 21,57*exp(- exp(0,637-0,054t)), BWKF 2 = 28,96*exp(-exp(0,803-0,035t)), BWKF 3 = 31,36*exp(- exp(0,749-0,033t)) dan BWKF 4 = 28,75*exp(-exp(0,623-0,034t)). Hasil pengujian ini tidak menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05), hal ini berarti pola pertumbuhan dari empat generasi tersebut adalah serupa (Subandriyo 2009). Model Logistic Model ini menggunakan tiga parameter yaitu A,b dan k. Parameter A adalah bobot dewasa (asimtot), b adalah konstanta integral sedangkan parameter k adalah laju pertumbuhan menuju dewasa. Melalui ketiga parameter inilah maka fungsi Logistic baru dapat diinterprestasikan, sehingga ploting data antara Y dan X akan membentuk kurva sigmoid (Myers 1990). Ptak et al. (1994) melaporkan bahwa keakuratan model Logistic berada dibawah Gompertz pada kurva pertumbuhan kelinci galur murni dan persilangannya. Inounu (2007) menyatakan bahwa model Logistic merupakan model yang paling mudah dalam proses perhitung terhadap domba Garut dan persilangannya. Heritabilitas Heritabilitas secara sederhana yaitu berhubungan dengan proporsi keragaman fenotipik yang dikontrol oleh gen. Proporsi ini dapat diwariskan pada generasi selanjutnya (Noor 2008). Warwick (1990) menjelaskan bahwa heritabilitas adalah istilah 10

yang digunakan untuk menunjukkan bagian dari keragaman total suatu sifat yang diakibatkan oleh pengaruh genetik. Lebih lanjut dijelaskan bahwa nilai heritabilitas bukanlah suatu konstanta, dan dapat berubah menurut jenis ternak, sifat yang diamati, populasi, bangsa ternak, tempat serta waktu pengamatan. Prinsip perhitungan heritabilitas yaitu bahwa ternak yang masih memiliki hubungan keluarga akan memiliki performa yang lebih mirip jika dibandingkan dengan ternak yang tidak memiliki hubungan keluarga. Ada empat cara untuk mengestimasi nilai heritabilitas yaitu data kelahiran kembar, heritabilitas nyata, metode regresi dan korelasi serta yang diperoleh dari repitabilitas. Perhitungan heritabilitas memerlukan perbandingan antara performa anak dari kelompok ternak terseleksi dengan performa tetuanya, dalam arti lain yaitu membandingkan rataan keunggulan anak dengan keunggulan tetuanya (Noor 2008). Warwick (1990) menjelaskan bahwa cara yang paling akurat untuk menentukan heritabilitas suatu sifat spesies adalah melalui pencatatan selama beberapa generasi dan menentukan kemajuan yang diperolehnya untuk kemudian dibandingkan dengan sejumlah keunggulan dari tetua terpilih pada semua generasi. Manfaat penaksiran heritabilitas dalam membuat rencana pemuliaan adalah untuk menaksir nilai pemuliaan dari suatu individu. Nilai heritabilitas (h 2 ) berkisar 0-1. Suatu sifat dengan heritabilitas nol yaitu sifat dimana semua keragaman disebabkan oleh pengaruh lingkungan. Sebaliknya heritabilitas dengan nilai satu akan menunjukkan suatu sifat kuantitatif dimana semua keragaman disebabkan oleh genetik (Warwick et al. 1990). Umumnya nilai heritabilitas digolongkan kedalam tiga kategori, yaitu rendah, sedang dan tinggi. Nilai heritabilitas suatu sifat rendah jika berada pada kisaran 0-0,20, kategori sedang pada kisaran0,2-0,4 dan tinggi untuk nilai lebih dari 0,4 (Noor 2008). Suatu sifat dengan nilai heritabilitas tinggi sering dipakai sebagai kriteria seleksi, ini berarti menerapkan seleksi individu. Jika nilai heritabilitas rendah maka seleksi fenotipik menjadi kurang efektif sehingga seleksi dilakukan dengan cara memanfaatkan informasi kerabat. Semakin besar nilai heritabilitas akan semakin besar pula diperolehnya respon seleksi dari generasi ke generasi, sehingga program seleksi yang dilaksanakan sesuai dengan tujuannya dapat memberikan hasil yang efektif. Heritabilitas bobot sapih untuk domba Priangan dengan menggunakan model direct additive genetic effect adalah sebesar 0,49±0,15. Sedangkan nilai heritabilitas (h 2 ) 11

bobot sapih dengan memperhitungkan maternal genetic effect (m 2 ) yaitu sebesar 0,13±0,08 dan 0,24±0,09. Dugaan nilai heritabilitas menurun dengan memasukkan komponen m 2, hal ini berarti bahwa nilai h 2 akan bias apabila tidak memperhitungkan maternal genetic effect dalam pendugaannya (Dudi 2003). Heritabilitas bobot lahir pada domba Priangan yaitu 0,36±0,08 lebih besar dari pada domba komposit (Moulton x Priangan (MP), St. Croix x Priangan (HP), Moulton x St. Croix x Priangan (MHP), St.Croix x Moulton x Priangan (HMP) dan gabungan domba komposit) yaitu berturutturut sebesar 0,60±0,13, 0,55±0,09, 0,55±0,09, 0,34±0,14, 0,66±0,07. Sementara itu heritabilitas bobot sapih domba Priangan yaitu sebesar 0,22±0,07 dengan nilai komposit yang beragam yaitu 0,04±0,12 untuk MP, 0,24±0,10 untuk HP, 0,58±0,12 untuk MHP, 0,74±0,13 untuk HMP, dan 0,75±0,08 untuk gabungan domba komposit (Nafiu 2003). Nilai Pemuliaan Nilai pemuliaan adalah nilai yang diturunkan, yaitu nilai individu yang dipengaruhi gen dan berpengaruh terhadap generasi selanjutnya. Menurut Harjosubroto (1994) nilai pemuliaan adalah penilaian mutu genetik ternak untuk sifat tertentu, yang diberikan secara relatif atas dasar kedudukannya didalam populasi. Kecermatan dalam pendugaan nilai pemuliaan menunjukkan keakuratan dari pendugaan tersebut. Banyak faktor yang mempengaruhi kecermatan pendugaan tersebut yaitu jumlah catatan, heritabilitas, ripitabilitas dan hubungan silsilah atau kekerabatan. Semakin tinggi nilai heritabilitas maka tingkat kecermatan pendugaan juga akan semakin meningkat, karena heritabilitas mengukur kekuatan hubungan antara nilai pemuliaan dan fenotipnya. Kecermatan pendugaan yang paling tinggi yaitu diperoleh dari penggunaan catatan individu, selanjutnya catatan progeny, dan kemudian cataan half sib (Bourdon 1997). Menurut Harjosubroto (1994) rumus dari nilai pemuliaan adalah sebagai berikut: NP = h 2 (P i P p ) + P p Keterangan: NP = Nilai pemuliaan dugaan h 2 = Heritabilitas P i = Rataan performans individu P p = Rataan performans populasi 12

Nilai pemuliaan merupakan salah satu parameter penting dalam melakukan suatu seleksi. Nilai pemuliaan dari tetua sangat menentukan nilai pemuliaan dan performans anak-anaknya kelak. Seleksi pada umumnya dilakukan dengan memilih ternak-ternak dengan nilai pemuliaan yang tinggi untuk dijadikan tetua. Jika nilai pemuliaan dari masing-masing ternak tersebut diketahui, maka penentuan peringkat berdasarkan nilai pemuliaan sesungguhnya dalam suatu populasi dapat dilakukan, sehingga program seleksipun dapat dilakukan dengan mudah (Bourdon 1997). Domba komposit (Moulton Charollais, St. Croix dan Garut) pada kelahiran tahun 1995-2002 yang di pelihara Balai Penelitian Ternak Bogor, memiliki nilai pemuliaan yang cenderung lebih tinggi dari domba Garut, meskipun terlihat adanya fluktuasi yang cukup besar. Nilai pemuliaan berada dibawah rataan populasi (0,00) pada tahun 1995 tetapi kemudian meningkat terus, kecuali pada tahun 1997 pada domba Komposit dan tahun 1999 pada domba Garut (Inounu 2007). Nilai pemuliaan pejantan sapi Peranakan Ongole (PO) kelahiran tahun 2003-2007 di daerah Pasuruan, berdasarkan berat lahir tertinggi sebesar 25,33±1,53 dan terendah 22,48±1,00. Sedangkan berdasarkan berat sapih (205 hari) tertinggi sebesar 101,02±13,85 dan terendah 73,77±4,94. Nilai pemuliaan pejantan berdasarkan berat satu tahun (365 hari) tertinggi sebesar 135,00±21,72 dan terendah 106,53±8,61 (Wahyu 2009). 13