I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

dokumen-dokumen yang mirip
PERILAKU PRODUKSI DAN KONSUMSI RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGGARA DEWI SAHARA

VI. PERILAKU PRODUKSI RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGGARA

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (ANGKA RAMALAN II TAHUN 2015)

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (ANGKA TETAP TAHUN 2015)

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (ANGKA RAMALAN III 2008)

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai potensi yang besar

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2015)

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA ( ANGKA RAMALAN II TAHUN 2013)

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PRODUKSI TANAMAN PANGAN PROVINSI PAPUA TAHUN 2015 (BERDASARKAN ANGKA SEMENTARA 2015)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Produksi, Produktivitas, dan Luas Areal Ubi Kayu di Indonesia Serta

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PRODUKSI DAN IMPOR KEDELAI DI INDONESIA. Oleh : RIKA PURNAMASARI A

I. PENDAHULUAN. Jawa Barat merupakan salah satu sentra produksi tanaman bahan makanan di

I. PENDAHULUAN. kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

BAB I PENDAHULUAN. Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia setiap tahunnya. Sektor pertanian telah

Produksi Tanaman Pangan Provinsi Papua Tahun 2015 (Berdasarkan Angka Ramalan II 2015)

PRODUKSI PADI, JAGUNG, KEDELAI, UBI KAYU DAN UBI JALAR (TAHUN 2014: ANGKA TETAP, 2015 : ARAM I)

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA (ANGKA RAMALAN III 2010)

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BERITA RESMI STATISTIK

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA ( ANGKA SEMENTARA TAHUN 2013)

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

PENDAHULUAN. Latar Belakang

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA ( ANGKA SEMENTARA TAHUN 2014)

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN DEMAK

V. GAMBARAN UMUM RUMAHTANGGA PETANI PADI DI SULAWESI TENGARA

ANGKA TETAP TAHUN 2013 DAN ANGKA RAMALAN 1 TAHUN 2014 PADI DAN PALAWIJA SULAWESI UTARA

KEBIJAKAN HARGA INPUT-OUTPUT DAN PENGARUHNYA TERHADAP KENAIKAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI

POTENSI LAHAN PERTANIAN BAGI PENGEMBANGAN PALAWIJA DI LAMPUNG

PRODUKSI PADI DAN JAGUNG KALIMANTAN BARAT ANGKA SEMENTARA TAHUN 2012

PRODUKSI PADI, JAGUNG, KEDELAI, UBI KAYU DAN UBI JALAR (TAHUN 2014: ANGKA TETAP, 2015 : ARAM II)

BADAN PUSAT STATISTIK PROVINSI ACEH

BERITA RESMI STATISTIK

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pulau Jawa merupakan wilayah pusat pertumbuhan ekonomi dan industri.

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA PROVINSI ACEH (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2015)

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA PROVINSI ACEH (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2015)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya. Sektor pertanian memiliki

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA ( ANGKA TETAP 2010 DAN ANGKA RAMALAN II 2011)

BPS PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

I. PENDAHULUAN. setengah dari penduduk Indonesia bekerja di sektor ini. Sebagai salah satu

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN DEMAK

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA ( ANGKA TETAP 2014 DAN ANGKA RAMALAN I 2015)

I. PENDAHULUAN. Perekonomian di sebagian besar negara-negara yang sedang berkembang. hal

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hal ini seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk diiringi

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA SUMATERA UTARA (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2015)

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA

I. PENDAHULUAN. berkaitan dengan sektor-sektor lain karena sektor pertanian merupakan sektor

GAMBARAN UMUM PROVINSI LAMPUNG dan SUBSIDI PUPUK ORGANIK

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I. PENDAHULUAN. Kedelai merupakan komoditas yang bernilai ekonomi tinggi dan banyak memberi

I. PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Peran terpenting sektor agribisnis saat ini adalah

Produksi Padi Tahun 2005 Mencapai Swasembada

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN DEMAK

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA PROVINSI D.I.YOGYAKARTA (ANGKA RAMALAN II 2008)

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan peningkatan ketahanan pangan nasional. Hasil Sensus Pertanian 1993

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara agraris, di mana pertanian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

PRODUKSI PADI DAN PALAWIJA PROVINSI ACEH (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2014)

II. TINJAUAN PUSTAKA

PRODUKSI PADI dan PALAWIJA (ANGKA RAMALAN III TAHUN 2011)

PRODUKSI PADI DAN JAGUNG TAHUN 2015 ANGKA TETAP TAHUN 2014 DAN ANGKA RAMALAN I TAHUN 2015

KEUNGGULAN KOMPETITIF SISTEM USAHATANI TANAMAN PANGAN DI KABUPATEN SUMBA TIMUR, NTT

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1

ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1)

1. Angka. 2. Angka Kering. beras atau. meningkat. meningkat dari 1,4. diperkirakan akan. Produksi ubi kayu 2010.

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Sektor pertanian dalam tatanan pembangunan nasional memegang peranan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, khususnya tanaman pangan bertujuan untuk meningkatkan

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

BAB I PENDAHULUAN. penduduk Indonesia. Bagi perekonomian Indonesia kacang kedelai memiliki

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Yudohusodo (2006) mengatakan bahwa Indonesia memiliki potensi produksi pertanian tropis dan potensi pasar pangan

PRODUKSI PADI, JAGUNG, KEDELAI, UBI KAYU DAN UBI JALAR (TAHUN 2013: ANGKA TETAP, 2014 : ARAM I)

BAB I. PENDAHULUAN. Tahun. Pusat Statistik 2011.htpp:// [Diakses Tanggal 9 Juli 2011]

ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Kemampuan sektor pertanian dalam

BERITA RESMI STATISTIK BPS KABUPATEN BOYOLALI

I. PENDAHULUAN. agraris seharusnya mampu memanfaatkan sumberdaya yang melimpah dengan

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

1. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

peningkatan produksi dan produktifitas melalui intensifikasi, ekstensifikasi,

BAB I. PENDAHULUAN. adalah mencukupi kebutuhan pangan nasional dengan meningkatkan. kemampuan berproduksi. Hal tersebut tertuang dalam RPJMN

ANGKA TETAP TAHUN 2015 PADI DAN PALAWIJA SULAWESI UTARA

ANGKA SEMENTARA TAHUN 2014 PADI DAN PALAWIJA SULAWESI UTARA

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Luas tanam, produksi, dan produktivitas tanaman padi dan jagung per Kecamatan di Kabupaten Lampung Selatan, Tahun 2008.

PRODUKSI PADI JAGUNG DAN KEDELAI (ANGKA SEMENTARA TAHUN 2015)

ANGKA RAMALAN 2 TAHUN 2015 PADI DAN PALAWIJA SULAWESI UTARA

Transkripsi:

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap manusia untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari guna mempertahankan hidup. Pangan juga merupakan hak dasar (basic right) bagi setiap warga negara, oleh karena itu setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pangan sesuai dengan yang dibutuhkan. Masalah pangan merupakan permasalahan yang kompleks terkait dengan kepentingan banyak individu dengan segala perbedaan yang mendasari kepentingan itu. Oleh karena itu diperlukan peran pemerintah untuk menjembatani adanya beberapa kepentingan yang dimulai dari proses produksi hingga konsumsi. Dari sisi produksi, perhatian pemerintah terhadap produksi komoditas tanaman pangan khususnya produksi padi nasional sudah lebih dari 50 tahun dengan melakukan berbagai program peningkatan produksi dimulai dengan adanya program Bimas, Insus dan Supra Insus. Pada dasarnya program tersebut merupakan program introduksi teknologi baru pada budidaya tanaman padi yang dikenal dengan istilah Panca Usahatani, yaitu penggunaan varietas unggul, pemupukan, penanaman, pemakaian obat-obatan dan pengairan yang didukung dengan pembangunan infrastruktur di pedesaan seperti jaringan irigasi, transportasi, lembaga penyuluhan dan penelitian. Keberhasilan program-program tersebut ditandai dengan dicapainya swasembada beras pada tahun 1984, namun keberhasilan program tersebut tidak dapat dipertahankan dalam jangka waktu lama yang ditandai dengan merosotnya produksi padi pada tahun-tahun berikutnya. Untuk meningkatkan produksi padi

pemerintah kembali membuat gerakan peningkatan produksi tanaman pangan melalui program Gerakan Mandiri Padi, Palawija dan Jagung (Gema Palagung) pada tahun 2001, Program Rintisan dan Akselerasi Pemasyarakatan Inovasi Teknologi Pertanian (Prima Tani) pada tahun 2006-2009 dan Sekolah Lanjutan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) yang dimulai pada tahun 2010. Walau dua program terakhir tidak dikhususkan untuk komoditas tanaman pangan namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan program Prima Tani dan SLPTT lebih banyak diimplementasikan untuk petani tanaman pangan khususnya petani padi. Pengembangan teknologi pada kedua program tersebut lebih disesuaikan dengan kondisi wilayah setempat yang dikenal dengan teknologi spesifik lokasi. Pencapaian produksi padi sawah dengan adanya program-program tersebut selama kurun waktu 2000 2008 menunjukkan peningkatan produksi sebesar 1.92 persen per tahun dan produktivitas meningkat 1.38 persen per tahun dengan perluasan lahan sebesar 0.75 persen per tahun, sedangkan produktivitas padi ladang pada kurun waktu tersebut menunjukkan peningkatan produksi lebih tinggi, yaitu 2.09 persen per tahun dengan laju produktivitas 3.29 persen per tahun dan luas areal menurun sebesar 0.81 persen per tahun (Tabel 1). Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa produktivitas padi lahan sawah irigasi lebih tinggi daripada produktivitas padi lahan sawah tadah hujan, dan peningkatan produksi padi lebih disebabkan dengan peningkatan produktivitas dibandingkan dengan perluasan areal. Inovasi teknologi dibandingkan dengan perluasan areal sehingga untuk meningkatkan produksi padi pada masa yang akan datang lebih tepat dengan perbaikan teknologi spesifik lokasi.

Tabel 1. Perkembangan Luas Lahan, Produksi dan Produktivitas Padi di Indonesia, Tahun 2000 2008 Padi Sawah Padi Ladang Tahun Luas Panen (ha) Produksi (ton) Prodv. (ku/ha) Luas Panen (ha) Produksi (ton) Prodv. (ku/ha) 2000 10 617 600 49 207 201 46.34 1 175 875 2 691 651 22.89 2001 10 419 375 47 895 512 45.97 1 080 622 2 565 270 23.74 2002 10 456 979 48 899 065 46.76 1 064 187 2 590 629 23.34 2003 10 394 516 49 378 126 47.50 1 093 518 2 759 478 25.23 2004 10 799 472 51 209 433 41.66 1 123 502 2 879 035 25.63 2005 10 733 576 51 317 758 47.81 1 105 484 2 833 339 25.63 2006 10 713 014 51 647 490 48.21 1 073 416 2 807 447 26.15 2007 11 041 225 54 199 693 49.09 1 106 412 2 957 742 26.73 2008 11 257 753 57 169 771 50.78 1 069 672 3 156 154 29.51 Rata-rata 10 726 989 51 464 606 47.12 1 089 602 2 818 637 25.43 r (%/tahun) 0.75 1.92 1.38-0.81 2.09 3.29 Sumber : Departemen Pertanian, 2010 Upaya lain yang dilakukan oleh pemerintah pada bidang produksi hingga saat ini adalah dengan intervensi harga melalui kebijakan harga output dan kebijakan harga input sejak tahun 1969. Kebijakan harga tersebut selain untuk memotivasi petani dalam berproduksi juga untuk meningkatkan pendapatan petani dengan menetapkan Harga Dasar Gabah (HDG) yang kemudian diubah menjadi Harga Dasar Pembelian Pemerintah (HDPP) pada tahun 2002 selanjutnya menjadi Harga Pembelian Pemerintah (HPP) pada tahun 2005 mencakup HPP Gabah Kering Panen (GKP), Gabah Kering Giling (GKG) dan HPP beras yang diperbaharui setiap tahun, serta masih diberlakukannya kebijakan harga pupuk bersubsidi. Perkembangan kebijakan harga dari tahun 2000 2009 ditampilkan pada Tabel 2. Walau harga yang diterima petani masih dibawah HPP, namun dampak dari perubahan HPP tersebut dapat meningkatkan harga di tingkat petani. Demikian pula terhadap kebijakan harga input melalui harga pupuk, meskipun pemerintah menaikkan subsidi harga pupuk namun harga yang dibayar petani masih di atas Harga Eceran Tertinggi (HET). Dengan fenomena yang terjadi

dapat dikatakan bahwa implementasi kebijakan harga gabah dan harga pupuk menciptakan efek samping, yaitu harga jual gabah petani lebih rendah dari HDG atau HDPP serta harga beli pupuk bersubsidi oleh petani di atas HET. Fakta tersebut menggambarkan bahwa kebijakan harga gabah dan harga pupuk belum efektif sampai di petani karena terdapat perbedaan harga antara HPP dan HET dengan harga yang diterima maupun yang dibayar oleh petani. Tabel 2. Perkembangan Kebijakan Harga Gabah dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Urea, Tahun 2000-2009 (Rp) Tahun HPP GKP Harga Gabah Petani HET Urea 2000 1 012 00950.50 1 115 1 093 2001 1 123 1 092.00 1 050 1 027 2002 1 230 1 224.25 1 050 1 357 2003 1 230 1 222,67 1 150 1 280 2004 1 250 1 211.20 1 150 1 400 2005 1 730 1 500.00 1 150 1 430 2006 1 730 2 115.33 1 200 1 450 2007 2 000 2 192.00 1 200 1 600 2008 2 240 2 438.11 1 200 1 650 2009 2 400 2 687.59 1 200 1 800 r (%/tahun) 10.59 12.88 0.89 6.21 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010a dan Departemen Pertanian, 2010 Harga Urea Petani Kajian Kariyasa dan Adnyana dalam Kariyasa (2003) bahwa harga gabah di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan yang diterima petani mendekati HPP, artinya harga di tingkat petani masih belum sesuai dengan harapan, sedangkan harga pupuk yang lebih tinggi dari HET disebabkan tidak tersedianya pupuk pada waktu yang diperlukan. Demikian pula kajian di Provinsi Jawa Timur, Sulawesi Selatan dan Sumatera Utara menunjukkan bahwa rata-rata harga gabah yang diterima petani hanya sekitar Rp 1500/kg GKP atau sekitar 86.7% dari HPP yang ditetapkan pemerintah pada tahun 2005 (Kariyasa, 2007). Namun sejak tahun 2006 terlihat bahwa harga gabah di tingkat petani sudah di

atas HPP. Hal ini disebabkan bahwa HPP bukan lagi merupakan batas harga dasar yang memerlukan pengamanan khusus agar harga pasar tidak melampaui dari HPP sehingga HPP lebih merupakan harga rujukan bagi petani dan harga yang terjadi lebih ditentukan oleh mekanisme pasar, sedangkan harga sebelum tahun 2006 merupakan peralihan dari harga dasar menjadi HPP. Kebijakan harga yang ditetapkan pemerintah digunakan sebagai faktor pendorong bagi peningkatan produksi padi, namun secara statistik HPP gabah dan HET pupuk Urea tidak mempengaruhi produksi padi, pengaruh yang nyata terhadap produksi adalah harga yang diterima petani. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan harga secara langsung tidak menjadi pemacu peningkatan produksi, akan tetapi memacu peningkatan harga di tingkat petani. Oleh karena itu, keberhasilan peningkatan produksi padi lebih ditentukan oleh harga yang diterima petani dibandingkan dengan kebijakan harga. Oleh karena itu perlu memperhatikan perubahan harga di petani dalam mengambil suatu keputusan yang berkenaan dengan proses produksi. Dari sisi konsumsi, kebutuhan beras untuk waktu mendatang diperkirakan mencapai 36.32 juta ton karena hampir semua (97.07 persen) penduduk Indonesia mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok dan terjadinya peningkatan konsumsi beras per kapita per tahun. Analisis data Susenas menunjukkan bahwa konsumsi beras penduduk Indonesia pada tahun 2004 sebesar 99.04 kg/kapita/tahun menjadi 107.80 kg/kapita/tahun pada tahun 2008, bahkan jika perhitungan konsumsi beras dengan pendekatan neraca bahan makanan agregat, yaitu kebutuhan konsumsi rumahtangga dan kebutuhan industry maka kebutuhan beras per kapita mencapai 139.15 kg/kapita/tahun (Sumaryanto, 2008).

Permintaan beras lebih tinggi dibandingkan dengan permintaan bahan pangan lainnya karena beras digunakan untuk konsumsi rumahtangga, stok beras nasional, dan berkembangnya industri makanan yang berbahan baku beras. Selain itu beras masih menjadi makanan pokok bagi masyarakat sehingga kebutuhan konsumsi beras per kapita lebih tinggi dibandingkan kebutuhan konsumsi pangan selain beras. Perkembangan permintaan beras dan permintaan pangan non beras disajikan pada Tabel 3. Tabel 3. Perkembangan Konsumsi Beras dan Non Beras, Tahun 2000-2009 Tahun Konsumsi (kg/kapita/tahun) Beras Jagung Umbi Sayur Ikan Buah 2000 120.00 46.71 17.50 31.28 18.63 39.99 2001 133.00 37.62 17.93 27.98 19.29 56.14 2002 100.70 33.78 21.26 47.5 15.40 57.40 2003 127.89 37.74 21.84 35.36 22.84 65.80 2004 099.04 37.50 19.32 37.49 23.18 69.01 2005 105.00 39.27 18.97 37.68 18.60 63.08 2006 119.00 20.17 17.41 40.37 23.08 69.78 2007 120.20 22.18 18.37 40.14 28.05 72.93 2008 107.80 20.04 10.50 41.20 21.65 50.96 2009 101.15 20.80 12.34 42.38 24.84 65.78 r (%/th) 0-0.58-6.49-1.99 05.81 05.67 07.52 Sumber : Badan Pusat Statistik, 2010b dan Departemen Pertanian, 2010 Tabel 3 memperlihatkan bahwa konsumsi beras dalam rumahtangga selama 10 tahun terakhir menurun rata-rata 0.58 persen per tahun, demikian pula dengan konsumsi jagung dan umbi-umbian. Hal ini menggambarkan bahwa konsumsi beras masyarakat Indonesia sudah mulai menurun dan kemungkinan bersubstitusi dengan makanan jadi karena permintaan beras per kapita dengan memperhitungkan industri sebesar 139 kg/kapita/tahun. Dengan demikian pemerintah masih tetap memprioritaskan pengembangan komoditas padi dibanding komoditas pangan lain yang selama ini dimanfaatkan langsung sebagai

makanan utama masyarakat Indonesia. Konsumsi pangan lainnya (ikan, sayur dan buah) menunjukkan peningkatan yang cukup tinggi menggambarkan telah membaiknya pola pangan masyarakat. Produksi padi di Indonesia dihasilkan dari lahan sawah irigasi, lahan sawah tadah hujan, lahan lebak dan rawa dengan sumbangan produksi tertinggi diperoleh dari lahan sawah irigasi diikuti dengan lahan sawah tadah hujan. Hingga saat ini usahatani padi masih menjadi usahatani dominan yang dilakukan di lahan sawah dibandingkan dengan usahatani tanaman pangan lainnya. Namun pada umumnya petani tidak hanya mengusahakan tanaman padi melainkan juga dengan tanaman pangan lainnya (multi-crop) karena usahatani padi merupakan usahatani yang rentan terhadap perubahan iklim (Sumaryanto, 2008) dan keterbatasan air irigasi. Oleh karena itu untuk menjaga risiko gagal produksi maka petani padi melakukan diversifikasi usahatani antara usahatani padi dengan usahatani tanaman yang lain. Diversifikasi usahatani telah banyak dilakukan oleh petani di berbagai wilayah di Indonesia. Di Kalimantan Selatan, kegiatan usahatani padi dilakukan hingga dua kali setahun, sedangkan usahatani sayuran diusahakan pada sebagian lahan sawah bagi petani yang mempunyai lahan cukup luas atau diusahakan pada surjan yang dibuat di areal persawahan (Zuraida dan Hamdan, 2008). Tanaman sayuran juga merupakan salah satu jenis tanaman pangan yang dipilih oleh petani padi di Sulawesi Tenggara, khususnya di Kabupaten Konawe dan Kabupaten Konawe Selatan. Walaupun harga sayur cukup berfluktuasi dan merupakan komoditas yang mudah rusak, namun petani tetap mengusahakannya baik di lahan

sawah maupun di lahan kering. Beberapa jenis sayuran yang dominan diusahakan oleh petani di Sulawesi Tenggara disajikan pada Tabel 4. Table 4. Perkembangan Luas Panen, Produksi dan Produktivitas Sayuran di Sulawesi Tenggara, Tahun 2003 2008 Jenis Tanaman Tahun %/tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 Luas panen (ha) : 1. Bayam 482 1 171 822 1 055 1 225 716 23.21 2. Kacang panjang 0 816 1 397 1 221 1 579 1 854 1 101 12.94 3. Kangkung 447 1 977 0 792 1 031 1 054 0 662 55.51 4. Ketimun 364 562 569 573 536 423 05.76 5. Terung 284 0 859 0 760 0 954 0 970 0 580 35.59 6. Cabai 696 1 544 1 338 1 644 1 419 1 038 18.17 7. Tomat 404 1 000 0 715 1 067 1 037 0 613-8.03 Produksi (ton) : 1. Bayam 794 2 942 2 119 2 243 2 687 1 715 46.41 2. Kacang panjang 2 961 7 763 5 505 6 417 7 605 3 521 22.89 3. Kangkung 1 062 3 002 4 556 5 833 6 947 2 178 42.58 4. Ketimun 1 653 2 641 2 931 2 911 2 313 1 455 02.49 5. Terung 1 796 4 805 6 379 5 371 7 616 2 560 31.98 6. Cabai 1 447 3 058 1 538 2 732 2 417 1 572 18.55 7. Tomat 1 287 5 089 3 895 5 090 5 258 2 220 49.63 Produktivitas (ku/ha) : 1. Bayam 16.50 25.10 25.80 21.26 21.93 24.00 09.98 2. Kacang panjang 36.30 55.57 45.10 41.64 41.02 32.00 00.62 3. Kangkung 23.80 35.40 57.53 56.58 65.91 32.90 15.20 4. Ketimun 45.40 46.99 51.51 50.80 43.15 34.40-4.72 5. Terung 63.24 55.94 83.93 56.30 78.52 44.14 00.25 6. Cabai 20.79 67.06 36.20 58.37 57.88 53.61 45.91 7. Tomat 25.06 50.90 54.50 47.70 50.70 36.22 37.17 Sumber : Departemen Pertanian, 2010 Produktivitas sayuran di Sulawesi Tenggara relatif masih rendah jika dibandingkan dengan produktivitas sayuran di daerah lain. Zuraida dan Hamdan (2008) mendapatkan produktivitas terung di Kalimantan Selatan sebesar 11.3 ton/ha, produktivitas kacang panjang di Samarinda sebesar 11.15 ton/ha (Wijayanti, 2006) dan produktivitas kangkung di Sumatera Utara sebesar 12.50 ton/ha (Kartika, 2007). Walaupun produktivitas sayuran belum mencapai maksimal, namun petani padi masih tetap mengusahakan karena usahatani sayuran relatif lebih mudah dan tidak memerlukan biaya produksi yang tinggi

sebagaimana usahatani padi. Hasil produksi tidak saja untuk konsumsi sehari-hari tetapi juga untuk dijual sehingga dapat menambah pendapatan rumahtangga. Pendapatan rumahtangga petani sebagian berasal dari usahatani sehingga fluktuasi produksi akan mempengaruhi keuntungan dan tingkat kesejahteraan rumahtangga petani. Oleh karena itu untuk menstabilkan dan meningkatkan pendapatan rumahtangga petani maka pemerintah telah melakukan upaya dengan memberikan kebijakan harga output (kebijakan harga gabah) dan kebijakan harga input. Bagi petani padi yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha tani, maka kebijakan tersebut akan mempengaruhi perilaku petani terhadap produksi maupun terhadap konsumsi karena rumahtangga petani padi selain berperan sebagai produsen juga berperan sebagai konsumen. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk melihat perilaku produksi dan konsumsi pada rumahtangga petani yang memiliki lebih dari satu jenis usahatani khususnya pada rumahtangga petani padi di Sulawesi Tenggara. 1.2. Perumusan Masalah Sektor pertanian di Sulawesi Tenggara masih memegang peranan yang cukup penting sebagai penyedia bahan pangan, penyumbang devisa, penyerap tenaga kerja dan sumber pendapatan bagi masyarakat tani. Kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) terbesar dibandingkan sektor lainnya, yaitu mencapai 36.44 persen (BPS. 2010). Meskipun sumbangan sub sektor tanaman pangan relatif kecil jika dilihat dari luas penggunaan tanah, namun sub sektor tanaman pangan mempunyai andil yang cukup besar bagi ketahanan pangan daerah sebagai penghasil padi dan bahan pangan lainnya.

Sebagian besar petani tanaman pangan di Sulawesi Tenggara mengusahakan padi sawah, padi ladang, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kedelai, kacang hijau dan sayuran, namun petani tidak hanya mengusahakan satu jenis komoditi tertentu melainkan beberapa komoditi yang ditanam di lahan sawah maupun di lahan kering. Dalam berusahatani petani menghadapi masalah produktivitas yang rendah, baik produktivitas padi maupun non padi. Hal ini disebabkan oleh luas kepemilikan lahan yang sempit, modal dan penggunaan input yang terbatas serta kondisi infrastruktur lahan yang kurang memadai. Modal yang terbatas merupakan kendala bagi petani untuk memperoleh produksi maksimal karena petani tidak dapat menggunakan input produksi secara optimal. Kondisi lain yang terjadi adalah kualitas sumberdaya manusia khususnya petani tanaman pangan relatif masih rendah sehingga akses terhadap informasi dan teknologi terbatas. Infrastruktur lahan seperti kesuburan tanah, ketersediaan air irigasi dan jalan usahatani yang kurang memadai tanpa disertai input produksi yang seimbang juga menjadi penyebab rendahnya produktivitas usahatani. Melihat produktivitas tanaman pangan yang masih rendah maka pemerintah telah mengambil berbagai kebijakan untuk meningkatkan produksi karena produksi hasil usahatani merupakan indikator bagi kesejahteraan rumahtangga. Produksi yang diperoleh akan dijual dan dikonsumsi dengan proporsi yang berbeda sesuai dengan kemampuan petani menyediakan pangan bagi anggota keluarga (Purwantini dan Ariani, 2008). Namun hingga saat ini produktivitas tanaman pangan masih stagnan dan pendapatan petani hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar rumahtangga.

Selama ini kebijakan pangan pemerintah lebih diarahkan pada komoditi padi, baik dari sisi teknologi maupun dari sisi ekonomi. Hal ini terlihat dari adanya program Bimas, Insus dan Supra Insus disertai dengan pembangunan jaringan irigasi, hingga program Prima Tani dan SLPTT yang lebih banyak diintroduksikan kepada petani padi, sedangkan kebijakan dari sisi ekonomi dengan menetapkan kebijakan harga baik kebijakan harga input maupun kebijakan harga output. Kebijakan harga input dengan memberikan subsidi pupuk untuk tanaman pangan dan kebijakan harga output dengan menetapkan Harga Dasar Gabah (HDG) yang sekarang menjadi HPP gabah dan HPP beras. Walaupun subsidi pupuk diberikan untuk tanaman pangan namun penggunaan pupuk bersubsidi lebih banyak untuk tanaman padi, sehingga diasumsikan subsidi pupuk untuk tanaman padi. Kebijakan pemerintah tersebut bias ke padi sehingga akan mempunyai dampak yang berbeda bagi petani yang mengusahakan padi dan tanaman lainnya dalam mengambil keputusan produksi diantara tanaman padi dan non padi. Kebijakan teknologi produksi lebih diarahkan ke lahan sawah dibandingkan lahan kering karena sebagian besar produksi padi dihasilkan dari lahan sawah. Lahan sawah di Sulawesi Tenggara seluas 96 991 ha, terbagi atas lahan sawah irigasi seluas 73 766 ha dan lahan sawah tadah hujan seluas 23 225 ha. Dengan adanya lahan sawah irigasi dan non irigasi maka petani memiliki pilihan untuk mengusahakan tanaman padi dan non padi di lahan sawah dengan teknologi dan ketersediaan air yang berbeda.

Agroekosistem lahan sawah yang berbeda menyebabkan produktivitas lahan juga berbeda. Produktivitas lahan sawah irigasi rata-rata lebih tinggi dari produktivitas lahan sawah non irigasi. Hal ini dapat dilihat dari produktivitas padi sawah irigasi sebesar 4.33 ton per hektar dibandingkan dengan 2.74 ton per hektar produktivitas padi ladang, produktivitas kedelai lahan sawah irigasi sebesar 2.80 ton per hektar dibandingkan 1.6 ton per hektar produktivitas kedelai di lahan non irigasi (Pesireron, 2010). Dengan perbedaan hasil tersebut maka pendapatan yang diperoleh petani juga berbeda sehingga petani pada kedua jenis lahan tersebut mempunyai respon yang berbeda terhadap perubahan harga output maupun harga input di dalam mengambil keputusan produksi dan konsumsi. Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana respon produksi padi dan non padi terhadap perubahan harga output dan harga input pada agroekosistem lahan yang berbeda? 2. Bagaimana respon konsumsi rumahtangga petani terhadap perubahan harga output dan harga input pada agroekosistem lahan yang berbeda? 1.3. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian bertujuan untuk mempelajari perilaku produksi dan konsumsi rumahtangga petani padi baik rumahtangga petani lahan sawah irigasi maupun rumahtangga petani lahan sawah tadah hujan. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui pengaruh harga output dan harga input terhadap efisiensi produksi dan faktor-faktor yang mempengaruhi inefisiensi pada usahatani padi dan non padi berdasarkan teknologi dan agroekosistem lahan sawah.

2. Mengkaji respon penawaran output dan permintaan input terhadap perubahan harga output dan harga input pada rumahtangga petani berdasarkan agroekosistem lahan sawah. 3. Mengkaji respon konsumsi rumahtangga petani terhadap perubahan harga dan pendapatan rumahtangga berdasarkan agroekosistem lahan sawah dan efisiensi keuntungan usahatani. 4. Membandingkan respon konsumsi rumahtangga petani sebagai konsumen murni dan respon konsumsi rumahtangga petani sebagai produsen dan konsumen berdasarkan agroekosistem lahan sawah dan efisiensi keuntungan usahatani. 1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini dilakukan di Provinsi Sulawesi Tenggara pada dua kabupaten, yaitu kabupaten Konawe sebagai sentra produksi padi lahan sawah irigasi dan Kabupaten Konawe Selatan sebagai sentra produksi padi lahan sawah tadah hujan. Ruang lingkup dan keterbatasan penelitian adalah : 1. Responden adalah petani padi yang pernah mengikuti program Prima Tani dan yang tidak mengikuti program Prima Tani. 2. Pola tanam yang diamati adalah pola tanam pada tahun 2009 dimana tidak semua petani menanam padi sebanyak dua kali sehingga untuk kepentingan analisis dibatasi pada data Musim Tanam pertama (MT I/2009). 3. Rumahtangga petani menghasilkan lebih dari satu jenis komoditi sehingga pendekatan analisis multi output didasarkan pada produksi yang dijual dan yang dikonsumsi, yaitu padi dan sayuran. Produksi tanaman lainnya (produksi

palawija dan tanaman tahunan) diperhitungkan nilainya sebagai pendapatan rumahtangga. 4. Analisis produksi dan konsumsi dengan pendekatan multi input dan multi output pada rumahtangga petani dibedakan antar jenis lahan sawah. 5. Analisis produksi menggunakan model keuntungan stokastik frontir untuk mengetahui efisiensi produksi dan model Seemingly Unrelated Regression (SUR) untuk mengetahui pangsa penawaran output dan pangsa permintaan input, sedangkan analisis konsumsi menggunakan model Almost Ideal Demand System (AIDS). 6. Data konsumsi pangan rumahtangga dilakukan dengan merecall data konsumsi selama satu minggu terakhir, sedangkan konsumsi non pangan dengan mencatat pengeluaran rumahtangga selama satu bulan. 7. Analisis produksi pada penelitian ini diduga dengan dua metode yang berbeda, yaitu dengan metode Maximum Likelihood Estimation (MLE) untuk analisis efisiensi produksi dan metode Seemingly Unrelated Regression (SUR) untuk analisis pangsa output dan pangsa input. 8. Metode MLE selanjutnya digunakan untuk mengestimasi respon konsumsi pangan dan non pangan yang diturunkan dari Model Rumahtangga Pertanian (MRP).