BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

dokumen-dokumen yang mirip
Hubungan antara Coping Strategy dengan Adaptational Outcomes pada Mahasiswa yang Mengalami Stress Pasca Putus Cinta

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terhadap orang lain, khususnya terhadap lawan jenis. Perasaan saling mencintai,

COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH

BAB V HASIL PENELITIAN

Hubungan antara Dukungan Sosial dengan Adaptational Outcomes pada Remaja di SMA X Ciamis yang Mengalami Stres Pasca Aborsi

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa remaja.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dukungan sosial merupakan keberadaan, kesediaan, keperdulian dari

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak menuju dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

BAB 1 PENDAHULUAN. dari Tuhan. Selain itu, orang tua juga menginginkan yang terbaik bagi anaknya,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk hidup yang lebih sempurna dari

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. dibicarakan di tingkat individu maupun menjadi isu nasional.

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki masa pensiun merupakan salah satu peristiwa di kehidupan

BAB V PENUTUP. menjadi tidak teratur atau terasa lebih menyakitkan. kebutuhan untuk menjadi orang tua dan menolak gaya hidup childfree dan juga

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dihadapi nanti (Rini, 2008). Masa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak menuju masa

STRATEGI COPING UNTUK MEMPERTAHANKAN PERKAWINAN PADA WANITA YANG SUAMINYA MENGALAMI DISFUNGSI SEKSUAL

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Konteks Penelitian (Latar Belakang Masalah) Perkawinan merupakan salah satu titik permulaan dari misteri

BAB II LANDASAN TEORITIS. reaksi fisik yang disebabkan karena persepsi seseorang terhadap kehilangan (loss).

BAB I PENDAHULUAN. perih, mengiris dan melukai hati disebut unforgiveness. Seseorang yang

BAB I PENDAHULUAN. harus dilakukan sesuai dengan tahapan perkembangannya. Salah satu tugas

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dipandang mampu menjadi jembatan menuju kemajuan, dan

Konsep Krisis danangsetyobudibaskoro.wordpress.com

BAB I PENDAHULUAN. oleh individu. Siapapun bisa terkena stres baik anak-anak, remaja, maupun

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari usia anak-anak ke usia dewasa.

PENDAHULUAN. sebagai subjek yang menuntut ilmu di perguruan tinggi dituntut untuk mampu

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN. antara suami istri saja melainkan juga melibatkan anak. retardasi mental termasuk salah satu dari kategori tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. Mahasiswa adalah individu yang menempuh perkuliahan di Perguruan Tinggi

BAB 1 PENDAHULUAN. sebenarnya ada dibalik semua itu, yang jelas hal hal seperti itu. remaja yang sedang berkembang.

BAB I PENDAHULUAN. kalanya masalah tersebut berbuntut pada stress. Dalam kamus psikologi (Chaplin,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang memiliki dorongan untuk

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

BAB I PENDAHULUAN. mencapai kebahagiaan seperti misalnya dalam keluarga tersebut terjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberadaan manusia sebagai makhluk sosial tidak lepas dari hubungan

BAB I. Indonesia terdiri dari beberapa pulau yang tersebar begitu luas dimana

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Coping Stress pada Perempuan Berstatus Cerai dengan memiliki Anak

Komunikasi Antar Pribadi Pada Pasangan Romantis Pasca Perselingkuhan

BAB I PENDAHULUAN. memiliki keinginan untuk mencintai dan dicintai oleh lawan jenis. menurut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang terbebas dari

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Meninggalnya seseorang merupakan salah satu perpisahan alami dimana

PEDOMAN WAWANCARA. Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyesuaian dengan

o Ketika hasil pekerjaan saya yang saya harapkan tidak tercapai, saya malas untuk berusaha lebih keras lagi

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat membuat

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN. ini adalah bagian dari jenjang atau hierarki kebutuhan hidup dari Abraham Maslow, yang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Pada perjalanan kehidupan, manusia berada dititik- titik yang berbeda dalam

BABI PENDAHULUAN. Setiap individu memiliki tugas-tugas perkembangan yang menyertai dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan suami, ibu dan ayah, anak perempuan dan anak laki-laki, saudara perempuan

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. Sumber daya manusia merupakan elemen utama organisasi dibandingkan

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DENGAN KESTABILAN EMOSI PADA REMAJA PASCA PUTUS CINTA

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS ORANG TUA DAN KEMANDIRIAN DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN MASALAH PADA REMAJA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan adalah suatu bentuk organisasi yang didirikan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan kemajuan teknologi di bidang otomotif, setiap perusahaan

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berdasarkan agama dan kepercayaan masing-masing untuk menjalani hidup bersama.

BAB I PENDAHULUAN. Hampir semua penduduk di dunia ini hidup dalam unit-unit keluarga. Setiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan mental adalah keadaan dimana seseorang mampu menyadari

BAB I PENDAHULUAN. Stres merupakan kata yang sering muncul dalam pembicaraan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Pada dasarnya, pengertian kejahatan dan kekerasan memiliki banyak definisi

BAB III PSIKOLOGIS SUAMI YANG DITINGGAL ISTRI SEBAGAI TENAGA KERJA WANITA (TKW) DI DESA TEMBONG

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah mengentaskan anak (the launching of a child) menuju kehidupan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

2016 HUBUNGAN SENSE OF HUMOR DENGAN RESILIENSI PADA REMAJA PERTENGAHAN PASCA PUTUS CINTA DI SMAN 20 BANDUNG

I. PENDAHULUAN. istilah remaja atau adolenscence, berasal dari bahasa latin adolescere yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. (UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dalam Libertus, 2008). Keputusan

BAB II LANDASAN TEORI. Lazarus menyebut pengatasan masalah dengan istilah coping. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

BAB 1 PENDAHULUAN. terbatas berinteraksi dengan orang-orang seusia dengannya, tetapi lebih tua,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan mengalami masa transisi peran sosial, individu dewasa awal akan menindaklanjuti hubungan dengan pasangannya dengan menikah dan membentuk keluarga yang baru (Hurlock, 2004). Oleh karena itu setiap orang tentu memiliki keinginan untuk memperoleh cinta dari pasangannya dan kemudian dengan cinta itu diharapkan akan terciptanya suatu hubungan yang lekat diantara pribadi dan pasangannya (intimate relationship). Intimate relationship terbina diantara individu-individu dengan melibatkan emosi yang mendalam. Relasi ini ditandai dengan tingginya derajat saling mempercayai dan kesediaan saling mencurahkan perasaan terdalam (Bastaman, 1996). Setiap individu yang menginginkan hubungan akrab (intimate relationship) harus siap mengembangkan upaya-upaya yang dibutuhkan untuk memenuhi komitmen dengan pasangan (Hall & Linzey, 1993). Dalam hubungan percintaan jarang yang berlangsung tanpa konflik bahkan hampir seluruh pasangan pasti memiliki konflik di setiap hubungan yang dijalaninya. Koflik-konflik dalam hubungan seperti, kesulitan-kesulitan dalam mempertahankan hubungan, dan juga penyelesaian konflik yang tidak baik secara nyata dapat menyebabkan ketidakbahagiaan dalam menjalani hubungan percintaan, ketidaksetiaan (affair), perbedaan yang tidak dapat disatukan, ketidakpuasan dalam menjalani hubungan percintaanadalah hal-hal yang sering dijadikan alasan untuk mengakhiri suatu hubungan percintaan (Regan; 2003,

Beckers; 1992). Akhir yang menyakitkan dari hubungan percintaan adalah ketika dari satu pihak ingin mengakhiri tetapi pihak yang lain ingin tetap mempertahankan hubungan percintaannya. Putus cinta (break up) biasanya menjadi faktor kehilangan yang dialami dalam hubungan percintaan, dan jika hal ini terjadi, putus cinta terasa mengerikan dan tidak tertanggungkan (Beckers, 1992), tentulah keadaan ini membuat individu akan merasakan penderitaan. Penderitaan adalah ketakutan akan kehampaan eksistensi manusia. Penderitaan merupakan kondisi yang mendasar, mendalam, dan universal pada eksistensi manusia (Lavine, 2003). Penderitaan akibat putus cinta adalah suatu bentuk penderitan yang tidak dapat dihindari oleh siapa pun juga. Jika seseorang sangat mencintai pasangannya, tapi ternyata pasanganya tidak memiliki rasa sayang dan cinta lagi, atau kemudian memutuskan hubungan percintaannya, maka siapa pun yang mengalami ini akan sangat menderita. Putusnya hubungan percintaan dapat menyebabkan penderitaan, karena yang terpenting dari suatu hubungan percintaan adalah bukan cinta itu sendiri, melainkan timbal-balik dari cinta. Hal ini senada dengan yang diutarakan oleh Baumeister (1992) yang menyatakan bahwa bukan cinta itu sendiri yang membawa pemenuhan, melainkan timbal baliknya cinta yang membawa kepada kebahagiaan. Gagal dalam cinta tentu saja mempengaruhi kehidupan sehari-hari, bahkan beberapa penelitian menyebutkan bahwa putus cinta dapat merusak fungsi individu dalam kehidupan sosial. Sakit hati karena putus cinta tentu saja dirasakan oleh pria dan wanita, namun wanita dikenal lebih emosional dibanding laki-laki. Alasan dibalik putus cinta juga ikut berperngaruh terhadap rasa atau tingkat sakit

hati seseorang, karena beberapa fakta di masyarakat menunjukkan bahwa individu yang diputuskan secara mendadak dikatakan memiliki tingkat sakit hati yang lebih tinggi dibanding individu yang tidak mengalami hal serupa. Bahkan, individu yang putus cinta karena dikhianati dikatakan memiliki tingkat sakit hati hampir menyamai tingkat sakit secara fisik. Rasa sakit hati karena putus cinta menyebabkan banyak orang terkadang kehilangan kontrol dirinya, sehingga mampu melakukan hal-hal yang bisa menyakiti dan juga membahayakan nyawanya, contohnya adalah aksi bunuh diri. Lebih banyak wanita melakukan aksi bunuh diri saat putus cinta daripada pria. (putuscinta.com/tentang-putus-cinta/lebih-banyak-wanita-melakukan-aksi-bunuhdiri-saat-putus-cinta). Hasil survey yang dilakukan oleh Haryadi (2012) terhadap 1.329 diketahui bahwa sebanyak 85% responden mengaku sulit untuk menghadapi masa setelah putus cinta (merasakan kesedihan), sedangkan 15% responden lainnya justru mengaku mudah dalam menghadapi masa setelah putus cinta (tidak merasakan kesedihan). Putus cinta jika sering diingat akan semakin memburuk, bahkan ada kasus bunuh diri karena putus cinta dan rela mengakhiri hidupnya karena cinta. Sudah banyak orang yang melukai dirinya karena putus cinta, terutama pada wanita yang bisa saja melakukan hal-hal yang di luar logika karena berakhirnya hubungan dengan pasangannya. Untuk jangka panjangnya efek buruk ini bisa menimbulkan trauma bahkan sampai takut untuk menjalin hubungan asmara lagi hilangnya rasa percaya terhadap lawan jenis, ketakutan akan disakiti.

Merasa stres dan marah merupakan hal yang wajar ketika ditimpa masalah putus cinta, tetapi apabila kadarnya sudah berlebihan seperti sedih yang berlarutlarut selama beberapa bulan atau penyesalan yang tak kunjung hilang serta stres yang hingga mengganggu konsentrasi belajar dan bekerja, tentu dapat menjadi sebuahmasalah besar bagi seseorang. Sehingga dirinya membutuhkan strategi untuk menghadapi dan menyelesaikan masalahnya sendiri dengan baik. Salah satu periode perkembangan yang sangat penting adalah masa dewasa. Pada masa ini, individu dewasa dihadapkan pada berbagai tugas perkembangan yang harus diaksanakan, diantaranya yaitu mencari dan menemukan calon pasangan hidup, membina kehidupan rumah tangga, meniti karier dll (Turner dan Helms, 1995). Kegagalan individu dalam memenuhi tugas perkembangan sebelumnya akan mempengaruhi tugas perkembangan pada tahapan berikutnya. Berdasarkan hasil wawancara terhadap 16 subjek yang mengalami putus cinta dengan usia pacaran yang berbeda-beda, ada yang menjalin hubungan selama tiga tahun, enam tahun, tujuh tahun, bahkan delapan tahun, diperoleh beberapa alasan yang menjadi penyebab pasangannya memutuskan hubungan mereka. Alasan-alasan tersebut diantaranyaadalah pasangan lelaki mendadak memutuskan hubungan kemudian memberitakan bahwa akan segera menikah dengan wanita lain. Ada juga yang beralasan karena hubungan mereka yang sudah cukup lama tidak kunjung mendapat restu dari orang tua, sedangkan pasangan lelakinya ingin segera menikah sehingga pasangan lelaki tersebut memutuskan untuk menikah dengan wanita lain yang sudah lebih siap untuk menikah dengan restu dari kedua orangtua. Alasan lain putusnya hubungan subjek dengan pasangannya yang sudah dijalin selama tiga tahun adalah alasan moril, yaitu

pasangan lelakinya meminta untuk melakukan hubungan suami istri namun subjek menolak untuk melakukan hal tersebut, sehingga pasangannya pun memilih untuk mengakhiri hubungan mereka. Subjek yang lain juga mengatakan bahwa saat itu ia hendak melangsungkan pernikahan dengan pasangannya, namun tiga bulan menjelang hari pernikahannya, kekasihnya secara mendadak membatalkan rencana pernikahan dengan alasan bahwa ia memiliki pasangan lain. Setelah putus cinta, terdapat subjek yang hanya mengurung diri di kamar selama beberapa hari, subjek terus menangis dan nafsu makannya berkurang, hal ini dirasakan kurang lebih selama satu bulan setelah putus. Subjek lainnya juga merasakan hal yang sama, menurunnya nafsu makan, setiap kali hendak tidur malam subjek biasanya mengalami kesulitan tidur, subjek terus teringat dengan mantan kekasihnya dan peristiwa saat masih bersama sehingga subjek pun mentangis sepanjang malam, hal ini dirasakan subjek selama berbulan-bulan. Pada beberapa subjek lain, kenyataan bahwa pasangannya akan menikah dengan wanita lain membuat mereka merasa terhambat dalam proses perkuliahan yang sedang dijalani, subjek merasa tidak fokus saat mengikuti perkuliahan. Peristiwa putus cinta yang dialami oleh para subjek tersebut meninggalkan beberapa dampak tersendiri bagi masing-masing subjek. Berbagai dampak yang dirasakan oleh para subjek antara lain, subjek merasa kehilangan kepercayaan terhadap lawan jenis, adanya ketakutan akan rasa sakit yang ditimbulkan akibat putus cinta, adanya ketakutan menjalin relasi dengan lawan jenis, adanya ketakutan untuk menjalin hubungan yang lebih serius hingga menutup diri untuk menjalin relasi dengan lawan jenis.

Dari hasil wawancara juga diperoleh data bahwa selain dampak negatif yang dialami oleh para wanita yang putus cinta, ternyata ada juga beberapa wanita yang putus cinta ditinggal menikah oleh mantan kekasih justru menunjukkan dampak positif. Setelah kurang lebih tiga bulan mengalami putus cinta dan ditinggal menikah oleh mantan kekasih, subjek mengikuti sebuah pesantren selama kurang lebih satu bulan, subjek mengakui dengan mengikuti pesantren tersebut membuat hatinya menjadi lebih tenang dan juga menjadi lebih ikhlas menerima kenyataan tentang akhir hubungan tersebut. Peristiwa putus cinta initerkadang membuat para subjek merasakan penurunan kepercayaan diri, baik kepercayaan diri untuk menjalin relasi dengan lawan jenis maupun kepercayaan diri untuk bersosialisasi di masyarakat seperti sebelum kejadian putus tersebut. Selain apa yang dirasakan di atas, para subjek penelitian juga menunjukkan gejala-gejala stress setelah peristiwa putus tersebut, yaitu gejala mental/psikis. Gejala mental/psikis yang dirasakan para subjek pada awal peristiwa putus, yaitu: berkurangnya konsentrasi dan daya ingat, bingung, pikiran penuh atau kosong, dankehilangan rasa humor. Seorang subjek menyatakan bahwa peristiwa putus tersebut mengakibatkan subjek bolos dalam proses perkuliahan. Dua orang subjek merasakan cemas (pada berbagai situasi), depresi, putus asa, mudah marah, ketakutan, tiba-tiba menangis, rendah diri, merasa tak berdaya, menarik diri dari pergaulan, dan menghindari kegiatan yang sebelumnya disenangi. Artinya secara keseluruhan, semua subjek merasakan gejala emosi yang sama, namun hanya pada dua orang subjek yang paling sering merasakan gejala emosi hingga merasa frustasi. Lingkungan dirasakan oleh para subjek sebagaistressor, baik lingkungan keluarga maupun di luar lingkungan

keluarga. Para subjek mengaku bahwa pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh orang-orang yang ada di sekelilingnya membuat subjek merasa tertekan dan sulit untuk keluar dari permasalahan yang terjadi. Pertanyaan-pertanyaan tersebut seperti, apa yang melatarbelakangi peristiwa putus tersebut, mengapa sang mantan kekasih justru menikah dengan wanita lain, apakah subjek telah memiliki pasangan baru, dll. Individu yang memiliki pandangan negatif mengenai kondisi dirinya, maka akan menghayati situasi yang dihadapinya sebagai ancaman atau merasakan adanya hambatan atau keterbatasan dalam dirinya untuk menghadapi tuntutan atau situasi tersebut (Lazarus & Folkman, 1984). Setelah kejadian putus cinta tersebut dan mengetahui pasangannya akan segera menikah dan bahkan ada yang benar-benar telah menikah, para subjek penelitian ini baik secara sadar dan tak sadar melakukan berbagai strategi untuk keluar dari permasalahan putus cinta ini dan tidak berlarut-larut terjebak dalam perasaan sakitnya.strategi-strategi yang dilakukan oleh para subjek penelitian ini disebut sebagai strategi coping. Strategi coping adalah upaya mengelola keadaan dan mendorong usaha untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan seseorang, dan mencari cara untuk menguasai atau mengurangi stres (King, 2010). Berbagai usaha yang dilakukan oleh para subjek penelitian ini adalah sebagai upaya dalam memenuhi tuntutan, baik tuntutan yang bersifat iternal maupun yang berifat eksternal. Penyesuaian terhadap tuntutan lingkungan dianggap sebagai beban tersendiri bagi para subjek, salah satu tuntutan yaitu berasal dari lingkungan keluarga, dimana subjek dituntut untuk segera menemukan pasangan baru dan membentuk sebuah keluarga. Peristiwa putus cinta ini dirasakan oleh beberapa subjek sebagai hal yang sangat menyakitkan,

sehingga tidak mudah bagi para subjek untuk menerima keadaan tersebut dan memutuskan untuk menjalin sautu hubungan yang baru dengan lawan jenis. Sebagai mahasiswa, para subjek merasakan hambatan dalam proses perkuliahan sebagai akibat putus cinta ini. Beberapa subjek mengakui bahwa perkuliahan merupakan salah satu lingkungan yang cukup memberikan tekanan, peristiwa putus cinta membuat subjek mengalami gangguan dalam konsentrasi belajar saat perkuliahan, bahkan beberapa subjek lainnya mengaku mereka lebih memilih untuk bolos perkuliahan. Status sebagai mahasiswa menuntut para subjek untuk menyelesaikan tugasnya yang berkaitan dengan perkuliahan. Hal ini mengharuskan subjek melakukan penyesuaian terhadap tuntutan tersebut. Meskipun dengan adanya berbagai masalah akibat peristiwa putus cinta ini yang mempengaruhi penyesuaian diri yang harus mereka lakukan, namun para subjek merasa bahwa dirinya akan tetap bisa menjalankan aktivitas kesehariannya seperti sedia kala. Mereka harus tetap kuliah dan menyelesaikan tugas-tugas sebagai seorang mahasiswa dan hal ini juga dilakukan sebagi tanggung jawab seorang anak yang mendapat tuntutan dari orangtua agar mampu menjalankan studinya dengan baik. Hasil wawancara terhadap beberapa subjek penelitian, peneliti memperoleh data bahwa, dibalik perasaan sakit yang dirasakan oleh para subjek akibat peristiwa putus cinta tersebut, subjek pun melakukan hal-hal tertentu sebagai pemenuhan tuntutan dari lingkungan, yaitu ada subjek yang berusaha menjalankan kewajibannya sebagai seorang mahasiswa seperti sedia kala, berusaha menerima peristiwa yang telah terjadi dan menfokuskan konsentrasinya saat belajar di kelas. Hal ini menurut Lazarus dan Folkman (1984) dikenal dengan istilah

adaptational outcomes(keberhasilan adaptasi). Adaptational outcomes didefinisikan sebagai kualitas hidup yang biasa disebut kesehatan fisik dan mental yang terkait dengan bagaimana seorang individu mengevaluasi dan melakukan coping ketika berada dalam kondisi stres dalam kehidupan. Strategi coping yang dilakukan oleh subjek penelitian dapat menentukan apakah mau menerima dan berusaha mengembangkan potensi yang dimilikinya atau justru memilih untuk mengatasi tekanan emosi namun tidak mengatasi permasalahan yang dialami. Penanggulangan yang dilakukan subjek dapat menentukan keberhasilan dalam mengatasi stres dan berhasil melakukan adaptasi terhadap kondisi yang menimbulkan stres. Berdasarkan fenomena di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai coping strategy dan adaptational outcomes pada mahasiswa yang mengalami stress pasca putus cinta. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah, maka dapat diangkat dua variabel penelitian, yaitu coping strategy dan adaptional outcomes (keberhasilan beradaptasi). Coping Strategy menurut Lazarus dan Folkman (1998), didefinisikan sebagai usaha-usaha untuk merubah kognitif dan behavioral yang berlangsung secara terus menerus untuk mengatasi tuntutan-tuntutan spesifik yang bersifat eksternal maupun internal, dimana kapasitasnya dianggap sebagai beban dan melebihi sumber daya yang dimiliki individu (Lazarus RS. & Folkman S, 1988). Fungsi utama coping yang dikemukakan olehlazarus dan Folkman, meliputi

strategi penanggulangan yang berpusat pada emosi (emotional focused coping) dan strategi penanggulangan yang berpusat pada masalah (problem focused coping). Setiap individu akan memberikan reaksi yang berbeda-beda dalam menghadapi sebuah situasi yang sama. Individu yang berhasil melakukan penanggulangan (coping), pada akhirnya mereka juga mampu beradaptasi dengan masalahnya (adaptional outcomes). Adaptional outcomes (keberhasilan beradaptasi) adalah kualitas hidup yang biasa disebut kesehatan fisik dan mental yang terkait dengan bagaimana cara seorang individu mengevaluasi dan melakukan coping ketika berada dalam kondisi stres kehidupannya (Lazarus RS. & Folkman S, 1984). Adaptional outcomes memiliki 3 fungsi, yaitu social function (cara individu untuk memenuhi berbagai peran untuk mencapai relasi interpersonal yang memuaskan ), morale (perasaan individu mengenai dirinya dan kondisi kehidupannya), dan somatic health (kesehatan fisik). Adaptional outcomes dalam penelitian ini adalah kemampuan dan keberhasilan individu dalam mengatasi segala permasalahan yang dialami sebagai akibat putus cinta dan ditinggal menikah oleh mantan kekasih. Ketika seorang individu dihadapkan pada situasi yang dihayati dapat menimbulkan ancaman dan dapat menimbulkan kondisi stres bagi dirinya, maka ia akan melakukan suatu usaha untuk menanggulangi stres tersebut. Setiap pasangan mengharapkan sebuah hubungan dapat terjalin sampai ke pernikahan namun jika hubungan tersebut harus berakhir tentulah memberikan dampak tersendiri bagi setiap pasangan yang menjalaninya. Terlebih jika hubungan tersebut diakhiri hanya oleh satu pihak, hal ini akan mengakibatkan

pasangan yang ditinggalkan merasa kehilangan. Kehilangan seseorang yang dicintai dalam hidup tentunya membawa dampak tersendiri dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Kondisi seperti iniakan dihayati oleh individu sebagai kondisi atau situasi yang dapat menimbulkan ancaman dan dapat menimbulkan kondisi stres bagi dirinya. Dalam kondisi seperti ini, seorang individu (khususnya dalam penelitian ini seorang wanita) akan melakukan suatu usaha atau upaya yang dianggap efektif baginya. Hal ini dilakukan agar individu dapat mengatasi tuntutan-tuntutan yang dinilai sebagai beban yang dapat menimbulkan stres, sehingga mereka mampu menyesuaikan diri dengan permasalahan-permasalahan yang timbul sebagai akibat dari peristiwa putus cinta tersebut. Berdasarkan uraian tersebut peneliti ingin mengetahui seberapa erat hubungan antara coping strategy dengan adaptational outcomes pada mahasiswa yang mengalami stress pasca putus cinta? 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian a. Maksud Penelitian Untuk mengetahui keeeratanhubungan antara coping strategy dengan adaptational outcomes pada mahasiswa yang mengalami stress pasca putus cinta. b. Tujuan Penelitian Untuk memperoleh data empirik mengenai keeratan hubungan antara coping strategy dengan adaptational outcomes pada mahasiswa yang mengalami stress pasca putus cinta.

1.4 Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis Penelitian ini berguna sebagai sarana untuk memberikan informasi mengenai hubungan antara coping strategy dengan adaptational outcomes pada mahasiswa yang mengalami stress pasca putus cinta. Selain itu untuk menambah referensi bagi peneliti lain yang ingin mengambil topik permasalahan yang serupa. b. Kegunaan Praktis Penelitian ini berguna untuk mengetahui efektifitas penggunaan coping strategy. Sehingga dapat menjadi bahan masukan bagi wanita yang putus cinta dalam menanggulangi stressserta membantu subjek yang mengalami putus cinta agar dapat beradaptasi dengan kondisi diri dan lingkungan agar dapat menjalankan perannya sebagai seorang wanita dewasa dan sebagai seorang mahasiswa.