BAB I PENDAHULUAN. Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dalam melakukan segala aktifitas di berbagai bidang. Sesuai dengan UUD 1945

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

MANAJEMEN PENDIDIKAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) (Studi Multi Situs Di SMPN 9 dan SMPN 10 Metro) Oleh

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 157 TAHUN 2014 TENTANG KURIKULUM PENDIDIKAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. tidak terkecuali bagi anak luar biasa atau anak berkebutuhan khusus. Dalam

BUPATI CIAMIS PROVISI JAWA BARAT PERATURAN BUPATI CIAMIS NOMOR 29 TAHUN 2015 TENTANG. PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF Dl KABUPATEN CIAMIS

jtä ~Éàt gtá ~ÅtÄtçt

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR Oleh AGUNG HASTOMO

BUPATI GARUT PERATURAN BUPATI GARUT NOMOR 735 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. yang terjadi diantara umat manusia itu sendiri (UNESCO. Guidelines for

INOVASI MODEL PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) DI SEKOLAH DASAR OLEH AGUNG HASTOMO

BAB I PENDAHULUAN. harus dapat merasakan upaya pemerintah ini, dengan tidak memandang

WALIKOTA PADANG PERATURAN WALIKOTA PADANG NOMOR 19 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN KHUSUS DAN LAYANAN KHUSUS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA PROBOLINGGO

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam kehidupan bernegara, ada yang namanya hak dan kewajiban warga

PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 70 TAHUN 2009

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan dasar bertujuan untuk memberikan bekal kemampuan. dasar kepada peserta didik untuk mengembangkan kehidupannya sebagai

WALIKOTA BATU PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 24 TAHUN

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF PROVINSI JAWA TIMUR

I. PENDAHULUAN. dan berjalan sepanjang perjalanan umat manusia. Hal ini mengambarkan bahwa

BUPATI TRENGGALEK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 15 TAHUN 2015 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

PENDIDIKAN INKLUSIF BAGI PESERTA DIDIK YANG MEMILIKI KELAINAN DAN MEMILIKI POTENSI KECERDASAN DAN/ATAU BAKAT ISTIMEWA

GUBERNUR ACEH TENTANG PERATURAN GUBERNURACEH NOMOR 92 TAHUN 2012 PENYELENGGARAANPENDIDIKAN INKLUSIF DENGAN RAHMAT ALLAHYANG MARA KUASA

WALIKOTA PAREPARE PERATURAN WALIKOTA PAREPARE NOMOR 47 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI KOTA PAREPARE

BAB I PENDAHULUAN. rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN REKOMENDASI

BUPATI BADUNG PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 5 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. untuk suatu profesi, tetapi mampu menyelesaikan masalah-masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. menjamin keberlangsungan hidupnya agar lebih bermartabat, karena itu

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN. pembelajaran dengan menggunakan perangkat pembelajaran yang telah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan memegang peranan penting dalam meningkatkan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. untuk semua (Education For All) yang berarti pendidikan tanpa memandang batas

SOSIALISASI PROGRAM PENDIDIKAN INKLUSIF NUFA (Nurul Falah) Bekasi, 22 Juni PSG Bekasi

BAB I PENDAHULUAN. mendapatkan pelayanan pendidikan di sekolah terdekat.

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk mampu mengemban tugas yang dibebankan padanya, karena

2017, No Tahun 2014 Nomor 16, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5500); 3. Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2015 tentang Kement

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 68 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF KABUPATEN BANYUWANGI

PERATURAN GUBERNUR KALIMANTAN SELATAN NOMOR 065 TAHUN T 9 TAHUN 2006 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan mempunyai peranan sangat strategis dalam pembangunan suatu

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARANGASEM NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG

D S A A S R A R & & FU F N U G N S G I S PE P N E D N I D DI D KA K N A N NA N S A I S ON O A N L A

TINJAUAN MATA KULIAH...

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Salah satu tujuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam pembukaan

BUPATI BANJAR PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN BUPATI BANJAR NOMOR 59 TAHUN 2014 TENTANG URAIAN TUGAS UNIT PELAKSANA TEKNIS SEKOLAH

Seminar Tugas Akhir BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dengan kata lain tujuan membentuk Negara ialah. mengarahkan hidup perjalanan hidup suatu masyarakat.

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO


PERATURAN MENTERI PENDIDIKAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2007 TENTANG STANDAR PENGELOLAAN PENDIDIKAN OLEH PEMERINTAH DAERAH

penyelenggaraan pendidikan khusus, pendidikan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1967 tentang Pembentukan Provinsi Bengkulu (Lembaran Negara

BUPATI TRENGGALEK SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TRENGGALEK NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

WALIKOTA BENGKULU PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 03 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2011 TENTANG SISTEM PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Saat ini permasalahan pendidikan di Indonesia sangatlah penting dan ini

BAB I PENDAHULUAN. dengan jalan merubah cara pandang dalam memahami dan menyadari. memperoleh perlakuan yang layak dalam kehidupan.

PERATURAN GUBERNUR JAMBI NOMOR 21 TAHUN 2009

2013, No.71 2 Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 T

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu ;

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Abdul Majid (2011:78) menjelaskan sabda Rasulullah SAW.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Bentuk, Bidang, dan Perkembangan Usaha. merespon perubahan perubahan yang terkait secara cepat, tepat

BAB 1 PENDAHULUAN. merealisasikan hak-hak asasi manusia lainnya. Pendidikan mempunyai peranan

BAB I PENDAHULUAN. Menengah Pertama Negeri (SMPN) inklusif di Kota Yogyakarta, tema ini penting

UNDANG UNDANG NO. 20 TH.2003 Tentang SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL

PELAKSANAAN PENDIDIKAN INKLUSI DI KABUPATEN PELALAWAN PROVINSI RIAU TAHUN Oleh

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

PERATURAN GUBERNUR BANTEN NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSIF DI PROVINSI BANTEN

GUBERNUR JAWA BARAT PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 16 TAHUN TENTANG

BERITA DAERAH PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT NOMOR TAHUN 2016

PENDIDIKAN KHUSUS LANDASAN YURIDIS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG NOMOR 3 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN DAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN BATANG

BAB I PENDAHULUAN. berkebutuhan khusus. Permasalahan pendidikan sebenarnya sudah lama

BAB I PENDAHULUAN. inklusif menjamin akses dan kualitas. Satu tujuan utama inklusif adalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PEMERINTAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan adalah hak asasi setiap warga negara. Oleh karena itu, pemerintah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SUMIYATUN SDN Ketami 1 Kec. Pesantren Kota Kediri

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

SISTEM JARINGAN PENGIMBAS TERIMBAS DALAM MENGOPTIMALKAN PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN INKLUSI TAHUN 2016

AHMAD NAWAWI JURUSAN PENDIDIKAN LUAR BIASA FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UPI BANDUNG 2010

GUBERNUR KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

BAB I PENDAHULUAN. SMP/MTs/SMPLB/Paket B, SMA/MA/SMALB/Paket C, SMK/MAK, atau

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Penelitian tentang indeks inklusi ini berdasarkan pada kajian aspek

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rizki Panji Ramadana, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENDIDIKAN KHUSUS PUSAT KURIKULUM BALITBANG DIKNAS

BUPATI SINJAI PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN SINJAI NOMOR 13 TAHUN 2014 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 22 TAHUN 2012 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN,

BAB I PENDAHULUAN. kuat, dalam bentuk landasar filosofis, landasan yuridis dan landasan empiris.

BAB I PENDAHULUAN. bukan hanya berfungsi sebagai alat dalam menyampaikan kebudayaan untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah hak semua anak, tanpa terkecuali. Baik yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan di Indonesia merupakan suatu hal yang wajib ditempuh oleh semua warga negara.

Implementasi Pendidikan Segregasi

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DASAR GRATIS

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT NOMOR 2 TAHUN 2008 TENTANG PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DASAR GRATIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. istilah ini dikenal Cerdas Istimewa adalah bentuk alternatif pelayanan pendidikan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Anak-anak berkebutuhan khusus (ABK) membutuhkan fasilitas tumbuh kembang khusus agar memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan atas integritas mental dan fisik berdasarkan kesamaan dengan orang lain. Pemenuhan hak anak berkebutuhan khusus merupakan tanggung jawab bersama yang harus dilakukan oleh negara, pemerintah dan masyarakat. Pendidikan inklusif saat ini diharapkan dapat menjadi salah satu upaya untuk meningkatkan partisipasi anak bersekolah atau dalam upaya pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan dalam waktu yang bersamaan dapat meningkatkan mutu pendidikan. Pendidikan inklusif juga diharapkan dapat menjawab kesenjangan yang terjadi di masyarakat berkaitan dengan pemenuhan hak-hak semua warga negara dalam bidang pendidikan. Dengan diselenggarakannya pendidikan khusus secara inklusif di sekolah umum dan sekolah kejuruan, hal ini akan berpengaruh pada manajemen sekolah sehingga di sekolah perlu adanya kesamaan konsep dan cara pandang serta penyesuaianpenyesuaian dalam penyelenggaraan pendidikan inklusif. Para pendidik dan tenaga kependidikan serta stakeholder lainnya harus memiliki kesadaran bahwa pendidikan inklusif adalah sebuah visi bukan sebuah ilusi.

2 Implementasi berbagai kebijakan terkait hak anak berkebutuhan khusus yang telah dirumuskan hendaknya ditindaklanjuti secara serius oleh pemerintah, agar anakanak Indonesia yang berkebutuhan khusus memperoleh hak-hak mereka. Berdasarkan Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kota Metro Nomor 213/KPTS/D.3/2011 ditetapkan bahwa menetapkan SD, SMP, SMA Negeri Kota Metro yang tercantum pada lampiran Surat Keputusan ini, sebagai Pelaksana Sekolah Inklusi. Tabel 1.1 Daftar Sekolah Pelaksana Pendidikan Inklusi Kota Metro NO NAMA SEKOLAH 1. SD Negeri 2 Metro Selatan 2. SMP Negeri 10 Metro 3. SMP Negeri 9 Metro 4. SMP Negeri 10 Metro 5. SMA Negeri 2 Metro 6. SMA Negeri 4 Metro Sumber: SK Kepala Dinas Pendidikan Kota Metro No. 213/KPTS/D.3/2011 Pada observasi awal yang dilakukan di SMPN 9 dan SMPN 10 Metro, semakin jelas meskipun anak-anak berkebutuhan khusus dapat bersekolah dan menerima pendidikan formal, terlihat masih banyak aspek yang harus dibenahi. Anak berkebutuhan khusus (ABK) di SMPN 9 dan SMPN 10 Metro tergolong anak yang lamban belajar dan selalu tertinggal dari teman-teman lainnya dalam memahami materi yang disampaikan oleh guru. Saat ini peserta didik/abk tersebut diberi pembelajaran tambahan agar dapat memahami materi yang diajarkan. Pembelajaran tambahan juga diberikan agar peserta didik/abk lamban belajar dapat memahami materi yang disampaikan oleh guru. Peserta didik/abk

3 yang lamban belajarnya merupakan salah satu kondisi siswa yang berkerkebutuhan khusus dalam hal tertentu berbeda dengan anak lain pada umumnya. Salah satu upaya membantu mengatasi masalah tersebut, perlu diadakan pendidikan inklusi berorientasi pada masalah kesulitan belajar siswa diklasifikasi menurut tingkat kesulitannya. Pendidikan inklusi di SMPN 9 dan SMPN 10 Metro bertujuan untuk mengatasi kesulitan belajar siswa yang berkebutuhan khusus, dapat belajar bersama anak lain atau normal sepanjang hari di kelas reguler. Penyelenggaraan pendidikan kelas inklusi boleh jadi merupakan terobosan baru untuk mengatasi masalah pendidikan bagi anak yang memiliki kelainan atau kecerdasan luar biasa tanpa harus ada pemisahan dengan anak normal lainnya. Pentingnya untuk diketahui bahwa keberadaan kelas inklusi dapat menciptakan suatu sistem pendidikan moral bagi siswa, agar mampu mengkondisikan diri terhadap lingkungan yang kompleks, dimana keberagaman karakteristik siswa bisa membawa ke arah pendidikan budaya baru yang lebih modern. Pelaksanaan sistem pendidikan inklusi di SMPN 9 dan SMPN 10 Metro dimana anak-anak berkebutuhan khusus bergabung dengan anak-anak pada umumnya yang sebaya, perlu dikembangkan manajemen pendidikan inklusi yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pendidikan bagi anak yang memerlukan layanan khusus. Selama ini pendidikan inklusi baru diselenggarakan untuk anak berkebutuhan pendidikan khusus namun belum dilakukan sebagaimana yang diharapkan. Agar pengembangan pendidikan inklusi dapat dilaksanakan secara efisien dan efektif dan tetap mengutamakan peningkatan

mutu pendidikan, maka diperlukan suatu manajemen pendidikan inklusi yang baik. 4 Penjelasan Pasal 15 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusi atau berupa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan menengah. Kemudian pada Pasal 41 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menyebutkan bahwa setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusi harus memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan kebutuhan khusus. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan mengatur kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dalam menyelenggarakan pendidikan khusus yang intinya bahwa pendidikan khusus melalui satuan pendidikan khusus diselenggarakan oleh pemerintah provinsi dan pendidikan khusus melalui satuan pendidikan umum dan satuan pendidikan kejuruan diselenggarakan oleh pemerintah kabupaten/kota. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusi bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa adalah upaya nyata dari Pemerintah dalam bentuk regulasi untuk menjadi acuan semua pihak yang terkait dalam menyelenggarakan pendidikan inklusi. Pada peraturan tersebut dijelaskan

5 mekanisme dan tugas-tugas pemerintah kabupaten/kota dan sekolah yang mempunyai kewenangan dalam penyelenggaraan pendidikan inklusi. Kemudian dijelaskan pula tugas fasilitasi dari pemerintah dan pemerintah provinsi, pengelolaan dan teknis penyelenggaraan serta sistem dukungan dalam menyelenggarakan pendidikan inklusi. Pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusi bagi Peserta Didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa, pemerintah kabupaten/kota mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut: 1. Menunjuk paling sedikit 1 (satu) sekolah dasar, dan 1 (satu) sekolah menengah pertama pada setiap kecamatan dan 1 (satu) satuan pendidikan menengah untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif yang wajib menerima peserta didik. 2. Menjamin terselenggaranya pendidikan inklusif sesuai dengan kebutuhan peserta didik. 3. Menjamin tersedianya sumber daya pendidikan inklusif pada satuan pendidikan yang ditunjuk. 4. Wajib menyediakan paling sedikit 1 (satu) orang guru pembimbing khusus pada satuan pendidikan yang ditunjuk untuk menyelenggarakan pendidikan inklusif. 5. Wajib meningkatkan kompetensi di bidang pendidikan khusus bagi pendidik dan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan penyelenggaraan pendidikan inklusif. 6. Memberikan bantuan profesional kepada satuan pendidikan penyelenggaraan pendidikan inklusif. 7. Melakukan pembinaan dan pengawasan pendidikan inklusif sesuai dengan kewenangannya. Berbagai pertimbangan juga, yang menentukan jumlah maksimal di bawah standar maksimal pada rombongan belajar satuan pendidikan khusus, yaitu untuk SD/MI di bawah 5 peserta didik yang memiliki kelainan dan untuk SMP/MTs dan SMA/SMK/MA/MAK di bawah 8 peserta didik yang memiliki kelainan. (Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 01 Tahun 2008 tentang Standar

6 Proses Pendidikan untuk Tunanetra, Tunarungu, Tunagrahita, Tunadaksa dan Tunalaras). Atau ada juga yang menetapkan maksimal 10% dari setiap rombongan belajar, sehingga jumlah maksimal di SD/MI ada yang menetapkan 3 peserta didik berkebutuhan khusus dan di SMA/SMK/MA/MAK ada yang menetapkan 5 peserta didik berkebutuhan khusus. Anak berkebutuhan khusus menurut Heward (1989:210) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Melaksanakan pendidikan inklusi di setiap Kabupaten/Kota, Dinas Pendidikan Kebudayaan Pemuda dan Olahraga kota Metro menunjuk SMPN 9 dan SMPN 10 Metro sebagai penyelenggaraan pendidikan inklusi untuk menerima anak berkebutuhan khusus agar dapat belajar bersama anak-anak normal lainnya. Anak berkebutuhan khusus memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka. Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. Pengembangan kurikulum dilakukan dengan mengacu pada standar nasional pendidikan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Pengembangan kurikulum secara berdiversifikasi dimaksudkan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan pada satuan pendidikan dengan kondisi dan kekhasan potensi yang ada di daerah. Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan, dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan

7 bernegara. Pada bidang pendidikan, prinsip-prinsip tersebut akan memberikan dampak yang mendasar pada kandungan, proses, dan manajemen sistem pendidikan. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat dan memunculkan tuntutan baru dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pendidikan. Tuntutan tersebut menyangkut pembaharuan sistem pendidikan, di antaranya pembaharuan kurikulum, yaitu diversifikasi kurikulum untuk melayani peserta didik dan potensi daerah yang beragam, diversifikasi jenis pendidikan yang dilakukan secara profesional, penyusunan standar kompetensi tamatan yang berlaku secara nasional dan daerah menyesuaikan dengan kondisi setempat; penyusunan standar kualifikasi pendidik yang sesuai dengan tuntutan pelaksanaan tugas secara profesional; penyusunan standar pendanaan pendidikan untuk setiap satuan pendidikan sesuai prinsip-prinsip pemerataan dan keadilan; pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi; serta penyelenggaraan pendidikan dengan sistem terbuka dan multi makna. Pembaharuan sistem pendidikan juga meliputi penghapusan diskriminasi antara pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat, serta pembedaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus. Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik,

emosional, mental, sosial, dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa yang diselenggarakan secara inklusi. 8 Menurut Joyce dan Weil (2000:13) mengemukakan maksud dari model pembelajaran adalah suatu perencanaan atau suatu pola yang digunakan sebagai pedoman dalam merencanakan pembelajaran di kelas atau pembelajaran dalam tutorial dan untuk menentukan perangkat-perangkat pembelajaran. Selanjutnya, Joyce menyatakan bahwa model pembelajaran mengarahkan kita ke dalam perancangan pembelajaran untuk membantu peserta didik sedemikian rupa sehingga tujuan pembelajaran itu tercapai. Berdasarkan observasi awal yang dilakukan di sekolah tersebut, pendidikan inklusi belum berjalan secara optimal, masalah yang dihadapi baik dari internal sekolah, orang tua, siswa maupun masyarakat. Pendidikan inklusi antara lain belum dilakukan identifikasi dan asesmen terhadap siswa baru berkebutuhan khusus, hal ini sangat penting untuk merancang program pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus. Para guru di SMPN 9 dan SMPN 10 Metro belum menguasai bagaimana merancang program pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus, dari perancangan kurikulum, proses pembelajaran, dan penilaian dalam setting pendidikan inklusi. Kurangnya Guru Pembimbing Khusus (GPK), guru reguler yang ada belum pernah mendapat pelatihan menangani siswa berkebutuhan khusus, dan pemahaman pihak sekolah pada tingkat penyelenggaraan pendidikan inklusi belum sepenuhnya diketahui. Sedangkan peran Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda, dan Olahraga masih sebatas perantara antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan satuan pendidikan

dalam hal pendanaan atau program, belum ada upaya untuk mengembangkan sendiri implementasi pendidikan inklusi di tingkat kota. 9 Semua unsur-unsur untuk mendukung terlaksananya pendidikan inklusi sangat diperlukan agar sistem dapat berjalan dengan baik. Unsur-unsur penunjang pendidikan inklusi antara lain adalah pendanaan yang memadai untuk mendukung proses pendidikan inklusi, sarana dan prasarana seperti aksesibilitas bagi anak berkebutuhan khusus dan media pembelajaran yang tepat, serta dukungan orangtua siswa baik orang anak normal maupun orangtua anak-anak berkebutuhan khusus. Tetapi guru maupun kepala sekolah menyadari masih banyak hal-hal yang harus ditingkatkan dan diperbaiki pelaksanaan program pendidikan inklusi dapat berjalan dengan efektif. Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis tertarik melakukan penelitian untuk melakukan manajemen pendidikan anak berkebutuhan khusus (studi multi situs di SMPN 9 dan SMPN 10 Metro). 1.2 Fokus Penelitian Berdasarkan latar belakang maka fokus penelitian adalah manajemen pendidikan anak berkebutuhan khusus (ABK) di SMPN 9 dan SMPN 10 Metro. Sub fokus sebagai berikut: 1.2.1 Perencanaan pendidikan anak berkebutuhan khusus di SMPN 9 dan SMPN 10 Metro. 1.2.2 Pelaksanaan pendidikan anak berkebutuhan khusus di SMPN 9 dan SMPN 10 Metro.

1.2.3 Evaluasi pendidikan anak berkebutuhan khusus di SMPN 9 dan SMPN 10 Metro. 10 1.2.4 Faktor-faktor pendukung dan penghambat pendidikan pada anak berkebutuhan khusus di SMPN 9 dan SMPN 10 Metro. 1.3 Pertanyaan Penelitian Merujuk pada sub fokus maka pertanyaan penelitian adalah bagaimana manajemen pendidikan anak berkebutuhan khusus (ABK) di SMPN 9 dan SMPN 10 Metro, yang dapat dirinci sebagai berikut: 1.3.1 Bagaimanakah perencanaan pendidikan anak berkebutuhan khusus di SMPN 9 dan SMPN 10 Metro? 1.3.2 Bagaimanakah pelaksanaaan pendidikan anak berkebutuhan khusus di SMPN 9 dan SMPN 10 Metro? 1.3.3 Bagaimanakah evaluasi pendidikan anak berkebutuhan khusus di SMPN 9 dan SMPN 10 Metro? 1.3.4 Apakah faktor-faktor pendukung dan penghambat pendidikan pada anak berkebutuhan khusus di SMPN 9 dan SMPN 10 Metro? 1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan fokus penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menganalisis: 1.4.1 Perencanaan pendidikan anak berkebutuhan khusus di SMPN 9 dan SMPN 10 Metro.

1.4.2 Pelaksanaaan pendidikan anak berkebutuhan khusus di SMPN 9 dan SMPN 10 Metro. 11 1.4.3 Evaluasi pendidikan anak berkebutuhan khusus di SMPN 9 dan SMPN 10 Metro. 1.4.4 Faktor-faktor pendukung dan penghambat pendidikan pada anak berkebutuhan khusus di SMPN 9 dan SMPN 10 Metro. 1.5 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian dapat dibedakan menjadi manfaat secara teoritis dan manfaat secara praktis bagi penyusun dan Dinas Pendidikan, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kota Metro. 1.5.1 Manfaat Secara Teoritis Sebagai referensi ilmiah untuk memperoleh manfaat dan pengembangan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh selama menempuh pendidikan dan menerapkan untuk kasus nyata yang terjadi di lapangan. 1.5.2 Manfaat Secara Praktis Untuk memperoleh inspirasi, persepsi dan kreativitas dalam menggali dan mengekspresikan pengetahuan melalui penulisan ilmiah, memberi dorongan dan motivasi untuk belajar lebih banyak serta mendapatkan pengalaman yang intensif berkaitan dengan sumber daya manusia. Di samping itu untuk memberikan masukan kepada:

12 1.5.2.1 Dinas Pendidikan Kebudayaan Pemuda dan Olahraga dalam rangka pembinaan Kepala Sekolah berkaitan dengan penerapan manajemen pembelajaran yang sesuai untuk anak berkebutuhan khusus secara lebih seksama. 1.5.2.2 Sekolah Menengah Pertama yang berada di lingkungan SMPN 9 dan SMPN 10 Metro, yang memiliki siswa berkelainan agar dapat diikutkan pada pendidikan inklusi yang berada di SMPN 9 dan SMPN 10 Metro. 1.5.2.3 Peneliti lain yang meneliti tentang anak berkebutuhan khusus, sebagai acuan untuk mengadakan penelitian yang berkaitan dengan penerapan manajemen pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus. 1.6 Definisi Istilah Untuk memberikan kejelasan pengertian yang digunakan dalam penelitian ini, maka dikemukan beberapa pengertian istilah yang terkandung dalam kalimat judul. Adapun istilah tersebut adalah sebagai berikut: 1.6.1 Fungsi POAC adalah proses untuk mencapai tujuan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengkontrolan dengan memanfaatkan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya yang dilakukan bersama oleh individu atau kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. 1.6.2 Manajemen pendidikan adalah suatu penataan bidang garapan pendidikan yang dilakukan melalui aktivitas perencanaan, pengorganisasian, penyusunan staf, pembinaan, pengkoordinasian, pengkomunikasian, pemotivasian, penganggaran, pengendalian, pengawasan, penilaian dan

13 pelaporan secara sistematis untuk mencapai tujuan pendidikan secara berkualitas. 1.6.3 Manajemen pembelajaran adalah upaya yang dapat dilakukan oleh guru untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas pembelajaran dengan cara memilih strategi pembelajaran yang tepat dan sesuai dengan karakteristik siswa. 1.6.4 Pendidikan inklusi merupakan sistem penempatan layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus di sekolah reguler yang ada di lingkungan mereka dan sekolah tersebut dilengkapi dengan layanan pendukung serta pendidikan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak. 1.6.5 Anak berkebutuhan khusus (ABK) merupakan anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukkan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. 1.6.6 Sekolah reguler merupakan satuan pendidikan formal dalam bentuk TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat. 1.6.7 SMPN 9 dan SMPN 10 Metro merupakan sekolah reguler yang ditunjuk sebagai penyelenggara pendidikan inklusi yang merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, sosial dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. 1.6.8 Perencanaan pada hakikatnya adalah proses pengambilan keputusan atas sejumlah alternatif (pilihan) mengenai sasaran dan cara-cara yang akan dilaksanakan di masa yang akan datang guna mencapai tujuan yang akan

14 dikehendaki serta pemantauan dan penilaian atas hasil pelaksanaannya, yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan (Usman. H, 2009: 61). 1.6.9 Pelaksanaan bertumpu pada proses penugasan tanggung jawab dan pendelegasian wewenang yang diperlukan disiplin kerja dari masing-masing individu, agar tercapai prestasi kerja yang maksimal. 1.6.10 Pemantauan dan penilaian di lingkungan pendidikan sering disebut monev, yaitu singkatan dari monitoring dan evaluasi dalam hal prestasi kerja. Ketika melakukan pengorganisasian maka pengorganisasian yang dilakukan harus sesuai dengan perencanaan, termasuk mengorganisasikan pelaksanaan dan pengendaliannya.