BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. zaman Keraton Kartasura yang diciptakan oleh Mpu Ciwamurti. Nama Mpu

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Tujuan yang ingin dicapai adalah Perancangan Game dengan genre Side

BAB I PENDAHULUAN. mengenalnya, walaupun dengan kadar pemahaman yang berbeda-beda. Secara

BAB V PENUTUP. Penelitian ini menjawab dua persoalan yaitu bagaimana. Pertunjukan berlangsung selama dua jam sepuluh menit dan

BAB VI KESIMPULAN. Lakon Antaséna Rabi sajian Ki Anom Suroto merupakan. salah satu jenis lakon rabèn dan karangan yang mengambil satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kehidupan sosial, adat istiadat. Indonesia memiliki beragam kebudayaan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Pagelaran Wayang Ringkas

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

MITOS DRUPADI DEWI BUMI DAN KESUBURAN (Dasar-dasar Perancangan Karya Seni Pedalangan)

BAB IV PENUTUP. wayang yang digunakan, yaitu wayang kulit purwa dan wayang kulit madya.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. penerangan, dakwah, pendidikan, pemahaman filsafat, serta hiburan.

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari Tugas Akhir ini adalah membuat game bergenre rhythm bertema

berbicara dan membawa diri harus sesuai dengan tata karma. Selain itu dalam menggunakan bahasa dalam kehidupan sehari-hari, pembawaan diri dan cara

TONTONAN, TATANAN, DAN TUNTUNAN ASPEK PENTING DALAM AKSIOLOGI WAYANG

BAB I PENDAHULUAN. yang bebas mengungkapkan semua ide dan ktreatifitasnya agar pembaca dapat menangkap

BAB I PENDAHULUAN. cerdas, sehat, disiplin, dan betanggung jawab, berketrampilan serta. menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi misi dan visi

Pesan dari Anak untuk Kita

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar belakang

Cover Page. The handle holds various files of this Leiden University dissertation

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah karya seni tidak terlepas dari pembuatnya, yaitu lebih dikenal dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. manusia di jaman dahulu. Mahabharata berasal dari kata maha yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. negara yang kaya dalam berbagai hal, termasuk dalam segi kebudayaan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Kesenian wayang golek merupakan salah satu kesenian khas masyarakat

MATERI STUDI RELIGI JAWA

MATA PELAJARAN : SENI PEDALANGAN JENJANG PENDIDIKAN : SMK

BAB I PENDAHULULAN. sebenarnya ada makna yang terkandung di dalamnya yang diharapkan dimengerti oleh sasaran

pergelaran wayang golek. Dalam setiap pergelaran wayang golek, Gending Karatagan berfungsi sebagai tanda dimulainya pergelaran.

DESKRIPSI SENDRATARI KOLOSAL BIMA SWARGA

BAB I PENDAHULUAN. memprihatinkan. Norma norma dan nilai nilai yang mencerminkan jati diri

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil temuan di lapangan mengenai perkembangan seni

MUSEUM WAYANG NUSANTARA DI SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. menghawatirkan, baik dari segi penyajian, maupun kesempatan waktu dalam

PENERAPAN TLUTUR DALAM PAKELIRAN WAYANG KULIT GAYA YOGYAKARTA VERSI KI TIMBUL HADIPRAYITNA, KI SUTEDJO, KI SUGATI, DAN KI MARGIONO.

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan cerminan, gambaran atau refleksi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. 1 Kata tembang nyanyian sama fungsi dan kegunaannya dengan kidung, kakawin dan gita. Kata kakawin berasal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Sastra sebagai cabang dari seni, yang keduanya unsur integral dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menjadi orang yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Setiap manusia harus

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB IV KONSEP PERANCANGAN

BAB I PENDAHULUAN. Sastra merupakan bentuk karya seni kreatif yang menggunakan objek manusia

BAB I PENDAHULUAN. Penelitian ini berjudul Analisis Tokoh Utama pada Film Curse of the Golden

I. PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen atau majemuk, terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. Konsep diri merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang kaya kebudayaan. Kebudayaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. kesusastraan Bali adalah salah satu bagian dari karya sastra yang terdapat di

RANCANGAN PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 9 TAHUN 2012 TENTANG BAHASA, SASTRA, DAN AKSARA JAWA

BAB 2 DATA DAN ANALISA. - Buku Rupa Wayang Dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. - Buku Indonesian Heritage Performing Arts.

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan dinamika perubahan sosial budaya masyarakat. mengembangkan dan menitikberatkan kepada kemampuan pengetahuan,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

\PESAN-PESAN MORAL PADA PERTUNJUKAN WAYANG KULIT

BAB V KESIMPULAN. Penelitian ini membuktikan bahwa seniman telah memiliki. kesadaran dalam mempresentasikan karya sebagai pertunjukan.

BAB I PENDAHULUAN. Peneliti mengenal penari-penari wayang topeng di Malang, Jawa Timur sejak

commit to user BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB V PENUTUP. Peranan Panakawan dan Denawa (Buta) pada pertunjukan seni tradisi Wayang

Analisis Semiotik dalam Suluk Pakeliran Lakon Retno Sentiko Oleh Ki Seno Nugroho

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB VI KESIMPULAN. Berdasarkan hasil penelitian Lagu gedé dalam Karawitan. Sunda Sebuah Tinjauan Karawitanologi, diketahui keunggulan

BAB I PENDAHULUAN. kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia (Trisman, 2003:12). Karya sastra terdiri atas puisi, prosa, dan drama.

2015 TARI MAKALANGAN DI SANGGAR SAKATA ANTAPANI BANDUNG

RINGKASAN DISERTASI MARGINALISASI WAYANG KULIT PARWA DI KABUPATEN GIANYAR PADA ERA GLOBALISASI

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Kehidupan manusia sehari-hari tidak dapat terpisahkan dengan komunikasi

KRITERIA PENILAIAN Faslitasi Pembuatan Film Pendek dan Dokumenter 2012

PADEPOKAN DAN GEDUNG PERTUNJUKAN WAYANG ORANG DI SURAKARTA PENEKANAN DESAIN ARSITEKTUR NEO VERNAKULER

BAB I PENDAHULUAN. dengan pengertian, konsepsi bahasa yang tepat (Teeuw, 1981: 1). Artinya bahasa

BAB I PENDAHULUAN. Dengan kata lain, seorang aktor harus menampilkan atau. mempertunjukan tingkah laku yang bukan dirinya sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. Kabupaten Ciamis merupakan salah satu daerah di Jawa Barat yang memiliki

BAB II KAJIAN TEORITIK. menyangkut segala sesuatu yang baik atau buruk sebagai abstraksi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

- 1 - PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 57 TAHUN 2014 TENTANG PENGEMBANGAN, PEMBINAAN, DAN PELINDUNGAN BAHASA

2015 KESENIAN MACAPAT GRUP BUD I UTOMO PAD A ACARA SYUKURAN KELAHIRAN BAYI D I KUJANGSARI KOTA BANJAR

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia terdiri dari banyak suku yang tersebar dari Sabang sampai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rizky Nugaraha,2013

I. PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Merupakan proses desain untuk membuat mainan berupa action figure untuk media pengenalan dan pemahaman masyarakat terhadap pewayangan

BAB IV PENUTUP. kulit purwa yaitu Wisnu Ratu, Arjunasasra lahir dan Sumantri Ngenger.

BAB V PEMBAHASAN. Pada bab V ini akan disajikan pembahasan pada produk final hasil

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sastra bersumber dari kenyataan yang berupa fakta sosial bagi masyarakat sekaligus sebagai pembaca dapat

BAB I PENDAHULUAN. Karya sastra merupakan sebuah karya fiksi yang berisi imajinasi seorang

BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN. A. Simpulan. Secara keseluruhan penelitian dan pembahasan tentang novel Serat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Drama merupakan tiruan kehidupan manusia yang dipentaskan dihadapan

BAB I PENDAHULUAN. Kemasan Sisingaan Pada Grup Setia Wargi Muda Kabupaten Subang Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENELITIAN RELEVAN

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. sastra menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Drama merupakan salah satu

BAB IV PENUTUP. lakon Séta Gugur yaitu pepindhan, tembung éntar, dan tembung saroja.

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu dari sekian banyaknya kesenian di Pulau Jawa adalah kesenian wayang

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Lakon Dewa Ruci dalam sejarah pewayangan di Jawa mulai dikenal sejak zaman Keraton Kartasura yang diciptakan oleh Mpu Ciwamurti. Nama Mpu Ciwamurti dalam disertasi Dr. Pryohutama digunakan untuk menyebut nama tempat air kehidupan berada (Pryohutama 1934: 97). Induk lakon Dewa Ruci ditulis di atas daun lontar berbahasa Jawa kuno kemudian digubah menjadi beberapa versi, dua versi yang masih mendekati aslinya adalah gubahan Yasadipura I dari Surakarta dan M.ng Kramaprawira dari Yogyakarta (Sastroamidjojo 1967;64). Sumber lain memperkuat dengan pernyataannya bahwa lakon Dewa Ruci yang menjadi rujukan para dalang merujuk pada kisah yang ditulis Yasadipura I, seorang pujangga Surakarta yang hidup pada masa Pakubuwana III (1749-1788) dan Pakubuwana IV (1788-1820). Naskah tersebut kemudian berkembang menjadi naskah-naskah baru yang merupakan hasil transformasi dari naskah induk tulisan Yasadipura I. Naskah-naskah tersebut di antaranya adalah: 1. Serat Dewa Ruci cetakan pertama yang diterbitkan oleh Mas Ngabehi Krama Prawira tahun 1870, dicetak oleh Van Dorp Semarang dengan tulisan Jawa, kemudian dicetak ulang oleh Van Dorp tahun 1873 dan 1880. 1

2 2. Serat Dewa Ruci berbahasa Jawa dan juga menggunakan huruf Jawa ditulis oleh Mas Ngabehi Mangunwijaya diterbitkan oleh Tan Khoen Kediri tahun 1922. 3. Cerita Dewa Ruci yang termuat dalam majalah Belanda Djawa pada tahun 1940, Prof.Dr. RM. Ng. Poerbatjaraka menjadi kontributor naskah dengan memberikan beberapa komentar. 4. Serat Dewa Ruci Jarwa Sekar Macapat gubahan R. Ng. Yasadipura I yang tersimpan di perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UGM Yogyakarta, berhuruf Latin berbahasa Jawa, diterbitkan oleh keluarga Bratakesawa Yogyakarta. 5. Serat Dewa Ruci Kidung dari bentuk Kakawin yang diterbitkan oleh Dahara Prize Semarang tahun 1991, berbahasa Jawa dengan terjemahan bahasa Indonesia secara tekstual. Dalam buku ini nama penulis berinisial Pujangga Surakarta (Yudi 2012:20) Naskah-naskah tersebut menjadi rujukan para dalang dalam sajian pakelirannya, baik yang berupa pakeliran semalam suntuk maupun pakeliran padat. Sajian lakon Dewa Ruci berkembang menjadi sebuah struktur pertunjukan yang berbeda-beda tergantung pada tafsir dan variasi sanggit masing-masing dalang. Lakon Dewa Ruci bercerita tentang perjalanan tokoh Bratasena dalam mencari ilmu kasampurnan. Durna sebagai sosok guru memberi petunjuk kepada Bratasena tentang cara mendapatkan ilmu kasampurnan tersebut. Beraneka konflik dan dinamika dialami Bratasena dalam proses pencarian sampai

3 mendapatkan ilmu kasampurnan tersebut (Sastroamidjojo 1967:35). Dewa Ruci merupakan tokoh utama yang yang menjadi pusat dari dinamika dan konflik, bisa dikatakan lakon Dewa Ruci adalah Bratasena itu sendiri (Moertiyoso 1982:45). Dinamika yang dihadapi tokoh Bratasena dalam menemukan ilmu kasampurnan dalam lakon Dewa Ruci pakeliran padat sajian Ki Manteb Sudarsono memiliki wacana psikologi kepribadian yang dapat mempengaruhi pemikiran dan tindakan audience, oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui lebih mendalam tentang wacana psikologi kepribadian pada tokoh Bratasena. Shadow puppets narrated the quality of life as it takes to positives and negatives interactions between black and white, good and evil, joy and sorrow in their performance (Ramli and Lugiman 2012:10). Bratasena merupakan anak kedua Pandu Dewanata yang berjumlah lima orang dan biasa disebut sebagai pandawa lima yang terdiri dari Yudhistira, Bratasena, Arjuna, Nakula dan Sadewa. Bratasena lahir dari rahim Dewi Kunthi yang merupakan hasil pemujaan terhadap Bathara Bayu. Bratasena belajar di padepokan Sukolima yang diajar oleh pandita Durna. Bermula dari ajaran-ajaran tentang teknik perang sampai ilmu kasampurnan yang terbingkai dalam lakon Dewa Ruci (Kapalaye 2010:3). Lakon Dewa Ruci yang menjadi objek penelitian dikemas dalam sebuah bentuk pakeliran padat yang disajikan oleh Ki Manteb Sudarsono. Pakeliran padat merupakan salah satu bentuk tawaran baru bagi masyarakat penggemar wayang. Karena dalam era global, pesatnya perkembangan budaya masyarakat perlu diimbangi pula oleh usaha para seniman dalang guna menjawab berbagai

4 tantangan zaman. Dalam menyajikan karya pakeliran seorang dalang harus kreatif dan bertanggungjawab, bahwa karya yang disajikan harus mampu memberikan kontribusi berupa nilai-nilai yang maslahat bagi kehidupan masyarakat. Karena selain mempunyai fungsi tontonan, wayang juga menjadi tuntunan (Riyanto 2011:28). Hal ini juga diungkapkan Solomonik (1980) bahwa figur tokoh wayang menunjukkan gambaran berbagai norma etika dan estetika yang terdapat pada masyarakat Jawa. Pakeliran padat tidak terikat oleh konvensi-konvensi pakeliran tradisi yang ada. Bentuk sajiannya tidak lagi diformat berdasarkan pembagian pathet seperti lazimnya pakeliran yang selalu diawali dari bagian pathet nem, sanga, dan manyura. Pakeliran padat bisa saja diawali dengan pathet sanga, atau manyura, bisa juga diurutkan dari pathet nem, sanga, kemudian manyura. Itu semua tergantung pada kebutuhan ekspresi pakeliran. Penggunaan unsur-unsur pakeliran tidak selalu menggunakan vokabuler tradisi yang ada, tetapi juga kemungkinan membuat vokabuler baru, misalnya gending iringan adegan khusus yang tidak ditemukan dalam gending-gending tradisi yang ada yang bisa saja dibuat gending baru. Meskipun demikian, bisa saja penggarap memadukan gending-gending yang ada menjadi suatu garapan baru. Sajian gending tidak selalu utuh, bisa saja ditabrak atau diputus karena menyesuaikan suasana adegan yang sedang berlangsung. Begitu pula halnya garapan unsur-unsur lain seperti sulukan dan tembang. Bahkan sulukan tidak harus dibawakan oleh dalang sendiri, tetapi bisa dilakukan oleh orang lain, asal semua itu dalam rangka mendukung suasana pakeliran. Bentuk pakeliran ini memang benar-benar menekankan pada garapan

5 wadah dan isi yang klop, sehingga menghasilkan suatu bentuk sajian yang padat dan mantap. Selain tidak meninggalkan unsur hiburan, hal yang diutamakan dalam pakeliran padat adalah penekanan pada fungsi hayatan. Oleh sebab itu, pakeliran garap padat bukan semata-mata pakeliran yang singkat dan ringkas. Durasi yang singkat itu bukanlah tujuan utama garapan tetapi merupakan akibat dari padatnya garapan (Suyanto 2012:3) Pakeliran padat merupakan suatu bentuk pakeliran dari perpaduan yang selaras dan seimbang antara bentuk lahir dan isi yang dikandungnya. Cerita merupakan wadah bagi isi yang diungkapkan atau dapat dikatakan bahwa isi pakeliran diungkapkan lewat kesatuan bangunan cerita itu (Sudarko 1994:5) Dokumentasi pakeliran padat lakon Dewa Ruci sajian Ki Manteb Sudarsono merupakan objek dari penelitian adalah hasil kerjasama team Sena Wangi yang diproduseri oleh David Avianto. Pakeliran ini menyajikan kisah Bratasena dalam mencari ilmu kasampurnan yang dikemas dalam bentuk pakeliran padat berdurasi kemasan kurang lebih satu jam. Mekipun hanya berdurasi satu jam namun tidak mengurangi esensi cerita Dewa Ruci itu sendiri. Dokumentasi ini menjadi menarik untuk diteliti karena kemasan sajian, garap iringan, garap catur, garap sabet, maupun penyajian gambarnya belum ada yang sebaik lakon Dewa Ruci pakeliran padat sajian Ki Manteb Sudarsono. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Moertiyoso (2013) yang menyatakan bahwa: Pakeliran padat lakon Dewa Ruci itu ya Manteb, karena lakon itu sudah sangat dikuasainya dan menjadi salah satu lakon favoritnya. Dokumentasi ini juga mudah didapatkan di You tube dengan kata kunci Dewa Ruci.

6 Ki Manteb Sudarsono lahir pada hari Selasa Legi, 31 Agustus 1948 di Dukuh Jatimalang, Kelurahan Palur, Kecamantan Mojolaban, Sukoharjo, Jawa Tengah. Ki Manteb dibesarkan di tengah keluarga dalang. Kakeknya (Dalang Tus) adalah seorang dalang kondang, dan ayahnya, Ki Hardjo Brahim Hardjowijoyo juga seorang dalang yang pada masa kejayaannya cukup disegani, sedangkan ibunya adalah pesinden dan pengrawit yang berpengalaman. Tuntutan dan tantangan dari ayahnya untuk meneruskan garis dinasti dalang kondang memacu Ki Manteb muda berjuang keras dan berlatih, dibarengi dengan proses tirakat laku bathin yang dilakoninya dengan sungguh-sungguh. Pada usianya yang relatif muda (14 tahun), Ki Manteb telah mampu menguasai seluruh instrumen musik gamelan. Ia pun pernah dikenal sebagai tukang kendang cilik yang mumpuni dan sering mengiringi pertunjukan wayang yang digelar oleh dalang sepuh, Ki Warseno dari Baturetno, Wonogiri. Kesempatan itu pun ia manfaatkan untuk menimba ilmu pedalangan dari Ki Warseno. Agar lebih dapat meningkatkan keahliannya, Ki Manteb banyak belajar kepada para dalang senior. Misalnya, ia belajar dari dalang legendaris Ki Narto Sabdo yang mahir dalam seni dramatisasi pada tahun 1972, dan dari Ki Sudarman Gondodarsono yang ahli sabet (seni menggerakkan wayang) pada tahun 1974. Pada tahun 1982, berkat gemblengan dari dua dalang senior itu dan sang ayah, Ki Manteb berhasil menjuarai Pakeliran Padat se-surakarta. Ki Manteb Soedharsono mendapatkan kehormatan mewakili komunitas dalang Indonesia untuk menerima piagam penetapan UNESCO atas kesenian wayang sebagai Masterpieces of the Oral and Intangible of Heritage of Humanity

7 pada tahun 2004. Pada tahun 2010, ia mendapat pengakuan internasional berupa Nikkei Asia Prize Award 2010 di Tokyo. Berdasarkan surat pemberitahuan dari pihak Nikkei Inc menegaskan bahwa Ki Manteb telah terpilih sebagai pemenang dari Nikkei Asia Prize untuk kategori budaya karena Ki Manteb dinilai telah memberikan kontribusi besar dalam melestarikan, dan pada saat yang sama membawa angin baru bagi pembaharuan dunia wayang kulit, serta memiliki kepemimpinan yang kuat dalam menciptakan tradisi baru dalam wayang kulit (Seno Subro & Komar Abbas. 1994:38). Kredibilitas dan prestasi yang dimiliki Ki Manteb Sudarsono seperti yang telah disampaikan di muka membuat peneliti semakin yakin bahwa karya beliau berupa pakeliran padat dengan lakon Dewa Ruci sangat pantas untuk dijadikan objek penelitian. Pakeliran padat lakon Dewa Ruci sajian Ki Manteb Sudarsono akan dipersempit bidang kajiannya yaitu pada wacana psikologis personaliti tokoh Bratasena yang merupakan tokoh utama dalam lakon tersebut. Penelitian ini didasari oleh keyakinan peneliti bahwa pertunjukan wayang kulit memiliki wacana psikologis personaliti yang bisa mempengaruhi kehidupan audience pertunjukan tersebut. Pertunjukan wayang kulit merupakan ajang untuk berkontemplasi, refleksi diri serta di dalamnya terkandung makna simbolis dan filosofis. Pertunjukan wayang sarat akan nilai-nilai keutamaan yang bersifat universal dan tidak hanya berlaku dalam budaya Jawa (Soetarno 2012:98). Wayang is a very flexible art expression, either as a religious medium or artistic entertainment. Wayang embraced many forms of art such as painting, decoration,

8 dance, music, vocal art, drama, scupture,and many others. These combinations enrich performance art and visual art (Dono 1993 dalam Sunarto 2013:30) Pertunjukan lakon Dewa Ruci pakeliran padat sajian Ki Manteb Sudarsono merunurut peneliti merupakan jagad wacana yang sangat menarik untuk diungkap. Wacana menyatukan bahasa dengan praktik. Wacana memiliki pengertian yang mengacu pada produksi pengetahuan melalui bahasa dan praktik-praktik sosial (Barker 2005:60). Personaliti berasal dari bahasa Latin Persona yang berarti topeng atau pelindung muka. Menurut ahli psikologi, personaliti mencakup pemikiran, persepsi, nilai, sikap, watak, tekad, kepercayaan, kecerdasan, motivasi, kebiasaan dan sebagainya. Personaliti adalah hubungan antara pemikiran, emosi dan perasaan dengan perlakuan manusia. Personaliti menggambarkan sifat keperibadian seseorang dan dikaitkan dengan perwatakan. Personaliti seseorang boleh dikaji dengan memerhatikan tingkah laku, percakapan dan cara menyelesaikan masalah. Personaliti sebagai perwatakan yang lahir dari diri seseorang tanpa dipengaruhi oleh faktor di sekitarnya. Sigmund Freud mendefinisikan personaliti sebagai sifat-sifat yang menggambarkan diri seseorang individu yaitu tingkah laku yang dapat dilihat orang lain atau merujuk kepada perasaan-perasaan yang dialami oleh seseorang dalam dirinya sendiri. Secara umumnya, para peneliti bersepakat mengatakan bahwa personaliti merupakan ciriciri yang dinamik dan tersusun yang dimiliki oleh individu secara unik. Ciri-ciri ini akan mempengaruhi kognitif, motivasi dan tingkah laku individu tersebut dalam berbagai situasi. Wacana Psikologi kepribadian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kuasa di balik kepribadian tokoh Bratasena.

9 Wacana Psikologi kepribadian tokoh Bratasena dalam lakon Dewa Ruci pakeliran padat sajian Ki Manteb Sudarsono dianalisa dengan menggunakan teori wacana dan beberapa teori psikologi kepribadian. Komparasi antara beberapa teori psikologi kepribadian dalam menganalisa objek penelitian diharapkan dapat menjelaskan wacana psikologi kepribadian dari berbagai perspektif yang kemudian diambil satu kesimpulan sebagai hasil penelitian ini. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di muka, penelitian ini bermaksud mengungkap sejumlah permasalahan yang terdapat dalam sajian pertunjukan wayang purwa gaya Surakarta, yaitu: 1. Wacana psikologi kepribadian apa yang terdapat pada tokoh Bratasena dalam lakon Dewa Ruci pada sajian pakeliran padat Ki Manteb Sudarsono? 2. Bagaimana kemasan wacana psikologi kepribadian yang terdapat pada tokoh Bratasena dalam lakon Dewa Ruci pada sajian pakeliran padat Ki Manteb Sudarsono? 3. Bagaimana implementasi wacana psikologi kepribadian terdapat pada tokoh Bratasena dalam lakon Dewa Ruci pada sajian pakeliran padat Ki Manteb Sudarsono dalam kehidupan masyarakat penikmat pertunjukan? Tiga pemasalahan tersebut yang akan dijadikan acuan dalam setiap langkah, mulai dari survei awal, pengamatan, wawancara, klarifikasi data, analisis data, sampai dengan penarikan kesimpulan.

10 C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan wacana psikologi kepribadian tokoh Bratasena dalam lakon Dewa Ruci pakeliran padat sajian Ki Manteb Sudarsono serta implementasinya pada kehidupan sosial budaya masyarakat saat ini guna memperkaya wawasan kebudayaan dan sebagai bagian kerja keilmuan Kajian Budaya dalam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Sesuai dengan rumusan masalah di muka, maka penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui dan memahami Wacana psikologi kepribadian apa yang terdapat pada tokoh Bratasena dalam lakon Dewa Ruci pada sajiaan pakeliran padat Ki Manteb Sudarsono. 2. Mengetahui dan memahami bagaimana kemasan wacana psikologi kepribadian yang terdapat pada tokoh Bratasena dalam lakon Dewa Ruci pada sajian pakeliran padat Ki Manteb Sudarsono. 3. Mengetahui dan memahami Bagaimana implementasi Wacana psikologi kepribadian yang terdapat pada tokoh Bratasena dalam lakon Dewa Ruci pada sajian pakeliran padat Ki Manteb Sudarsono dalam kehidupan masyarakat penikmat pertunjukan. D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini mengungkap tentang wacana psikologi kepribadian tokoh Bratasena dalam lakon Dewa Ruci pada sajian pakeliran padat Ki Manteb Sudarsono. Wacana psikologi kepribadian ini merupakan contoh perilaku dalam

11 kehidupan yang bisa di aplikasikan dalam kehidupan sehari-hari dengan tujuan untuk menjadikan hidup lebih baik dan terarah seperti halnya ajaran-ajaran dalam budaya jawa. Secara teoretis penelitian ini dapat memberi sumbangan pengetahuan, khususnya bidang ilmu pedalangan, kajian budaya, sastra, psikologi, pedalangan dan bidang keilmuan lainya. Penelitian juga dapat melengkapi penelitianpenelitian sebelumnya di bidang pedalangan serta dapat digunakan sebagai acuan untuk penelitian selanjutnya yang menggunakan lakon Dewa Ruci sebagai obyek penelitianya Penelitian ini dapat menambah wawasan yang bermanfaat bagi penelitian selanjutnya yang menjadikan dunia pedalangan sebagai objeknya, khususnya bagi mahasiswa kajian budaya, psikologi, sastra, pedalangaan serta bidang-bidang pendidikan yang bisa memanfaatkan penelitian ini sebagai tambahan referensi maupun sumber data tertulis. Secara umum penelitian ini bisa menambah pemahaman tentang lakon Dewa Ruci dari sudut pandang yang wacana psikologi yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh masyarakat yang membacanya untuk mengetahui wacana psikologi apa saja yang terdapat dalam tokoh Bratasena..

12