BAB I PENDAHULUAN. dalam menemukan makna hidupnya. Sedangkan berkeluarga adalah ikatan perkawinan untuk

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. segera setelah menyelesaikan pendidikan yang ditempuh. Menurut Anoraga (2009:11, dalam

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi ini, baik pria maupun wanita berusaha untuk mendapatkan pekerjaan

BAB I PENDAHULUAN. keduanya merupakan peran bagi pria, sementara bagi wanita akan menjadi

BAB I PENDAHULUAN. bertindak sebagai penopang ekonomi keluarga terpaksa menganggur. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan kemajuan jaman, saat ini banyak wanita yang mengenyam

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan berdasarkan jenis kelamin yang sangat luas di semua Negara (Anker,

BAB I PENDAHULUAN. Pekerjaan dan keluarga adalah dua area dimana manusia menggunakan

BAB V FAKTOR PEMICU KONFLIK PEKERJAAN-KELUARGA

BAB I PENDAHULUAN. wanita yang ikut dalam aktifitas bekerja. Wanita sudah mempunyai hak dan

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan dan keluarga dibagi oleh gender, dimana pria bertanggung jawab atas

BAB I PENDAHULUAN. daya saing dalam dunia usaha. Hal ini merupakan suatu proses kegiatan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. bekerja. Tanggapan individu terhadap pekerjaan berbeda-beda dengan

BAB I PENDAHULUAN. wanita dari masyarakat dan pengusaha pun semakin tinggi. Di Amerika Serikat,

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah

BAB I PENDAHULUAN. setiap individu mampu menjalankan segala aktivitas kehidupan dengan baik. Kesehatan juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan dan pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat membuat

BAB I PENDAHULUAN. memiliki jumlah penduduk terbesar di dunia. Sementara itu pada saat ini banyak

Abstrak. viii. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. yang sesuai dengan permintaan pasar. Apabila permintaan pasar mengalami

BAB I PENDAHULUAN. Saat ini Kota Bandung telah menjadi salah satu dari sekian banyak kota di

BAB I PENDAHULUAN. Dampak perubahan tersebut salah satunya terlihat pada perubahan sistem keluarga dan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional. Sejak awal tahun 70-an, isu mengenai

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi kehidupan masyarakatnya dan menyebabkan kebutuhan hidup

BAB 1 PENDAHULUAN. Pada era modern ini kedudukan wanita dan pria bukanlah sesuatu yang

BAB I PENDAHULUAN. atau organisasi. Menurut Robbins (2008) perusahaan atau organisasi ini

BAB I PENDAHULUAN. pengertian antara suami dan istri, sikap saling percaya-mempercayai dan sikap saling

BAB I PENDAHULUAN. media yang digunakan oleh manusia dalam bertukar ide dan berbagai informasi. Saat

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan akan sumber daya yang berkualitas. Setiap perusahaan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada saat ini tidak hanya suami saja yang harus bekerja untuk memenuhi

BAB VI DAMPAK DARI WORK FAMILY CONFLICT. bekerja. Dampak dari masalah work family conflict yang berasa dari faktor

BAB I PENDAHULUAN. fenomena yang menarik di banyak negara, termasuk negara-negara

BAB VII CARA MENGHADAPI MASALAH WORK FAMILY CONFLICT. Walaupun berbagai dampak yang muncul akibat dari masalah work family

BAB I PENDAHULUAN. berperan dalam mengelola urusan keluarga. Sedangkan dalam rumah tangga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perekonomian keluarga, mengisi waktu luang daripada menganggur,

BAB I PENDAHULUAN. kemungkinan bagi sumber daya wanita untuk berkarya. Khususnya di kota-kota besar dimana

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan era globalisasi saat ini semakin mendorong wanita untuk memiliki

BAB I PENDAHULUAN. dimasuki oleh kaum wanita baik sebagai dokter, guru, pedagang, buruh, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkawinan merupakan bersatunya seorang laki-laki dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan tenaga kerja hampir terjadi di seluruh kota kota besar di Indonesia,

Abstrak. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dari proses kematangan dan pengalaman dalam hidupnya. Perubahan-perubahan

HUBUNGAN ANTARA KONFLIK PERAN GANDA DENGAN STRES KERJA PADA GURU WANITA SEKOLAH DASAR DI KECAMATAN KEBONARUM KLATEN

2016 WORK FAMILY CONFLICT - KONFLIK PERAN GANDA PADA PRAMUDI BIS WANITA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan manusia seringkali terjadi konflik yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. rumah tangga dan anak-anaknya saja, kini mempunyai peran kedua yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebagai individu, bekerja merupakan salah satu aktivitas yang dilakukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang dibutuhkan oleh masyarakat. Menurut World Health Organization,

BAB II LANDASAN TEORI. Work-Family Conflict (WFC) adalah salah satu dari bentuk interrole

BAB I PENDAHULUAN. Peningkatan jumlah tenaga kerja hampir terjadi di seluruh kota kota besar di

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

Puji Hastuti F

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Saat ini banyak wanita yang ikut bekerja untuk membantu mencari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah membuat sebagian besar wanita ikut

BAB I PENDAHULUAN. diakhiri dengan buah karya yang dapat dinikmati oleh manusia yang bersangkutan

6. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. area, seperti di area pekerjaan dan keluarga. Demikian juga dengan para pegawai

BAB 1 PENDAHULUAN. masa depan keluarga menjadi fenomena yang sudah lazim terjadi pada era

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Subjective Well-Being. kebermaknaan ( contentment). Beberapa peneliti menggunakan istilah well-being

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus

#### Selamat Mengerjakan ####

2016 HUBUNGAN ANTARA WORK-FAMILY CONFLICT DENGAN KEPUASAN HIDUP PADA PERAWAT PEREMPUAN BAGIAN RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT UMUM (RSU) A KOTA CIMAHI

BAB I PENDAHULUAN. serta tanggung jawab sosial untuk pasangan (Seccombe & Warner, 2004). Pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bekerja bukanlah suatu hal yang baru di kalangan masyarakat. Berbeda dari

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu memiliki peranan dalam sistem sosial, yang ditampilkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang dapat dicapai oleh individu. Psychological well-being adalah konsep keberfungsian

BAB I PENDAHULUAN. pada bidang-bidang pekerjaan yang sebelumnya jarang diminati oleh wanita.

BAB I PENDAHULUAN. menganggap tokoh-tokoh pergerakan belum banyak membicarakan wanita.

BAB III STRUKTUR ORGANISASI DAN PENGELOLAAN

HUBUNGAN ANTARA DUKUNGAN SOSIAL DAN SIKAP TERHADAP KARAKTERISTIK PEKERJAAN DENGAN KETAKUTAN AKAN SUKSES PADA WANITA KARIR SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I. Pendahuluan. langsung akan berdampak pada adanya perubahan-perubahan di berbagai aspek

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

1. PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. Pengaruh konflik pekerjaan..., Sekar Adelina Rara, FPsi UI, 2009

Bab 2. Literature Review

BAB I PENDAHULUAN. semakin meningkat baik yang bergerak di bidang produksi barang maupun jasa.

BAB 5 KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga adalah unit sosial terkecil di masyarakat. Peran keluarga menjadi

BAB I PENDAHULUAN. peran sosial dimana dapat bekerja sesuai dengan bakat, kemampuan dan. antara tugasnya sebagai istri, ibu rumah tangga.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memberikan pengetahuan kepada anak didik (Maksum, 2016). pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar,

BAB 4 HASIL DAN ANALISIS

BAB I PENDAHULUAN. faktor, salah satu diantaranya adalah faktor ekonomi keluarga. Hal ini terlihat dari

BAB I PENDAHULUAN. berkualitas, suatu perusahaan akan memiliki peluang yang relatif kecil untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. untuk didengar. Kesejajaran kedudukan antara wanita dengan pria sudah tidak

BAB I PENDAHULUAN. dididik, dan dibesarkan sehingga seringkali anak memiliki arti penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Semakin banyaknya orang yang ingin menjaga kondisi tubuhnya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Sehubungan dengan pesatnya pembangunan dan didukung dengan

BAB I PENDAHULUAN. sama lain. Lingkungan dari keluarga dan kerja seringkali disimpulkan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. perubahan-perubahan yang terjadi di kedua domain (pekerjaan personal).

BAB I PENDAHULUAN. rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, lingkup penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kaum perempuan di sektor publik. Tampak tidak ada sektor publik yang belum

BAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat

KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR

BAB I PENDAHULUAN. peran sebagai pekerja. Menurut Undang - Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan kerja. Dengan beralihnya peran gender ini, maka seorang wanita tidak hanya

LAMPIRAN KUISIONER. akan kami gunakan untuk penelitian tentang IDENTIFIKASI KARAKTERISTIK ENTREPRENEURIAL BERDASARKAN TEORI 10 D BYGRAVE PADA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah mengentaskan anak (the launching of a child) menuju kehidupan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bekerja dan berkeluarga menjadi bagian yang akan dilalui oleh setiap individu dalam hidupnya. Bekerja adalah salah satu sarana atau jalan yang dapat dipergunakan oleh manusia dalam menemukan makna hidupnya. Sedangkan berkeluarga adalah ikatan perkawinan untuk menciptakan dan meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional, serta sosial. Dalam budaya Timur menjalani keduanya merupakan kewajiban bagi pria, sementara wanita akan menjadi seorang ibu rumah tangga ketika menikah (Sylviana, 2013). Namun, seiring dengan perkembangan jaman dan tuntutan hidup yang semakin meningkat setiap tahunnya, peranan tersebut menjadi berubah (Wicaksono, 2011). Perubahan peran yang terjadi adalah saat ini wanita tidak hanya berperan sebagai ibu rumah tangga saja, tetapi kebanyakan wanita juga berperan sebagai wanita karir yang memiliki kewajiban pekerjaan yang harus diselesaikan, yaitu tuntutan dari kantor (Sylviana, 2013). Begitu pula dengan pria, saat ini pria juga dituntut untuk lebih terlibat dalam urusan keluarga serta tidak hanya berperan sebagai pencari nafkah dan pemimpin keluarga. Pria juga mulai memegang tanggung jawab baru, di antaranya adalah mengasuh anak serta ikut mengerjakan berbagai kegiatan rumah tangga (Ema, 2015). Menurut Sylviana (2013), setiap peran yang akan dijalankan baik oleh pria maupun wanita, memiliki harapan atas peran yang dijalaninya dari lingkungan. Harapan ini muncul dari pasangan, anak, keluarga, rekan kerja, serta atasan. Harapan yang muncul atas setiap peran yang dijalankan merupakan sebuah tuntutan yang harus dipenuhi baik oleh pria maupun wanita. Setiap tuntutan yang mulai terpenuhi, akan dievaluasi oleh lingkungan. Jika tuntutan 1

2 dari lingkungan tidak dapat terpenuhi dengan baik, maka akan ada sanksi sosial yang diberikan oleh lingkungan kepada individu yang bersangkutan. Terdapat beberapa tuntutan dalam masing-masing peran yang dijalankan baik oleh pria maupun wanita yang sudah menikah, dan tuntutan tersebut akan menimbulkan kurangnya dukungan dari anggota-anggota keluarga (Greenhaus, 2002). Tuntutan dari lingkungan keluarga, seperti: kewajiban menafkahi dan mengurus keluarga, memiliki tanggung jawab utama sebagai orangtua, serta konflik interpersonal dalam unit keluarga. Sedangkan tuntutan dari lingkungan pekerjaan, seperti: tanggung jawab yang dimiliki oleh individu untuk melaksanakan tugas dalam pekerjaannya dengan baik, ikut berpartisipasi dalam kegiatan perusahaan, meluangkan waktu lebih untuk menyelesaikan pekerjaannya atau ketika perusahaan mewajibkan individu untuk bekerja lembur, dan sebagainya (Liman, 2012). Tuntutan peran di antara domain keluarga dan pekerjaan ini akan menimbulkan konflik peran pada diri individu, yang dapat mengganggu kesejahteraan hidup individu. Konflik dalam pekerjaan maupun keluarga merupakan bentuk konflik inter-role, yaitu adanya tuntutan keluarga dan tuntutan pekerjaan yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya sehingga akan membuat partisipasi individu dalam keluarga maupun perkerjaan menjadi lebih sulit dikarenakan partisipasi dalam peran yang lainnya (Liman, 2012). Hal ini dapat memunculkan masalah untuk menyeimbangkan tuntutan antara pekerjaan dan keluarga. Permasalahan yang sering muncul adalah semakin individu sukses dalam pekerjaannya, maka semakin sedikit waktu yang dimiliki individu untuk keluarganya. Para professional beranggapan bahwa menyeimbangkan antara pekerjaan dan keluarga, hanya akan menghasilkan masalah seperti tekanan waktu, konflik kerja dan keluarga, rasa bersalah, dan sebagainya (Riasnugrahani, 2011). Permasalahan ini dapat dialami oleh individu di berbagai bidang pekerjaan, salah satunya adalah wiraswastawan.

3 Wiraswastawan adalah individu yang membuka usaha dengan maksud memeroleh keuntungan, memelihara usaha itu dan membesarkannya, dalam bidang produksi maupun distribusi barang-barang ekonomi maupun jasa (Schumpeter, 1934). Seiring dengan kemajuan zaman dan meningkatnya kebutuhan akan pembangunan, permintaan akan persediaan bahan bangunan pun bertambah. Hal ini dilihat sebagai situasi yang menguntungkan oleh wiraswastawan, sehingga semakin bertambahnya wiraswastawan yang membuka usaha dalam bidang bahan bangunan. Berdasarkan keterangan dari ketua RT dan ketua RW di kecamatan X, saat ini terdapat hampir 90 toko yang bergerak dalam bidang bahan bangunan di kecamatan X di kota Bandung sehingga kecamatan X ini dijuluki sebagai pusat perdagangan bahan bangunan di kota Bandung. Para wiraswastawan dalam kesehariannya diawali dengan melakukan pekerjaan yang terbagi ke dalam tiga tahap, yaitu persiapan, pelaksanaan, dan pengecekan. Pada tahap persiapan, tugas seorang wiraswastawan adalah memastikan kebersihan tokonya dengan cara ikut membantu karyawannya untuk membersihkan toko, melakukan pengecekan stok barang yang sudah menipis, lalu memesan barang yang persediaannya sudah menipis, kemudian menata barang-barang yang baru datang dari distributor maupun yang sudah terdapat di dalam toko. Pada tahap pelaksanaan, seorang wiraswastawan bertugas melakukan pelayanan kepada konsumen, menarik konsumen untuk membeli barang ditokonya dengan cara menanyakan dan menyediakan apa yang diperlukan oleh konsumen, memantau jalannya proses jual beli dengan cara mengawasi karyawan ketika sedang melayani konsumen, serta memeriksa masuknya pendapatan ke kasir dengan cara mengecek bukti transaksi yang ada dengan pendapatan yang didapatkan pada hari itu. Pada tahap terakhir yaitu tahap pengecekan, seorang wiraswastawan bertugas untuk melakukan pencatatan barang yang terjual dan barang yang baru datang, serta mengevaluasi kinerja karyawan dengan cara memberikan feedback secara lisan atas kinerja karyawan pada hari itu.

4 Usaha yang dilakukan wiraswastawan dalam menjual barang di tokonya, tak luput dari situasi penjualan yang ramai dan situasi ketika penjualan sedang sepi. Oleh karena itu, wiraswastawan juga memiliki kewajiban untuk dapat memertahankan keberlangsungan usahanya agar tidak gulung tikar serta mencari keuntungan sebanyak mungkin untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Mereka berusaha untuk bekerja lebih keras agar konsumen yang datang tidak mudah beralih ke toko lain. Mereka juga perlu memikirkan ideide apa yang dapat digunakan untuk menarik konsumen, serta meningkatkan pelayanan konsumen dengan cara seperti memasang spanduk yang mempromosikan barang yang dijualnya di depan toko, memasang iklan mengenai tokonya di media cetak, serta memberikan diskon untuk barang-barang yang sudah lama belum terjual atau mengadakan cuci gudang. Hal ini mampu mengatasi kondisi toko yang sepi akan konsumen dan menarik konsumen untuk membeli barang-barang yang belum laku, sehingga wiraswastawan bisa mendapatkan keuntungan. Di sisi lain, wiraswastawan dalam bidang bahan bangunan di kecamatan X kota Bandung yang sudah menikah juga memiliki tuntutan peran di dalam keluarganya. Pasangan suami atau istri mereka di rumah, menuntut wiraswastawan untuk memperhatikan dan menyediakan waktu bagi keluarga. Hal ini seringkali memicu konflik dalam rumah tangga, karena pulang terlalu malam, kurangnya waktu kebersamaan dengan suami atau istri dan anak di malam hari, kurangnya perhatian terhadap keluarga, kurangnya waktu untuk berekreasi di akhir pekan, dan terbengkalainya tugas rumah tangga. Selain itu, terdapat pula tuntutan yang didapatkan dari anak, seperti waktu kebersamaan dengan anak, anak meminta untuk dijemput atau ditemani, serta anak meminta tolong ketika belajar atau mengerjakan tugas. Banyaknya tuntutan peran sekaligus tanggung jawab yang dialami oleh wiraswastawan baik di dalam pekerjaannya maupun di dalam keluarganya, membuat wiraswastawan dapat mengalami kesulitan untuk menyeimbangkan tuntutan peran tersebut sehingga mereka

5 mengalami situasi yang disebut dengan work-family conflict. Work-family conflict didefinisikan sebagai tekanan tidak kompatibel yang timbul secara bersamaan antar peran pekerjaan dengan peran keluarga (Greenhaus dan Beutell, 1985). Rantanen (2008) berpendapat bahwa pekerjaan tidak selalu mengenai tuntutan (demands) tapi adanya peningkatan skill yang didapatkan dari aktivitas bekerja yang dapat menunjang kesejahteraan psikologis individu (resources). Peningkatan skill yang didapatkan oleh wiraswastawan dalam bidang bahan bangunan, salah satunya adalah kemampuan mengelola uang. Kemampuan ini dapat membantu wiraswastawan dalam menjalani peran baik di pekerjaan, seperti mengatur jumlah uang untuk membeli persediaan barang di tokonya, mengatur pembayaran gaji karyawan, serta menentukan harga barang yang dijual. Sedangkan di keluarga, wiraswastawan mampu mengatur uang belanja, uang untuk keperluan pendidikan, atau kebutuhan yang mendadak. Adanya peningkatan skill yang dirasakan oleh wiraswastawan dalam bidang bahan bangunan ini akan menimbulkan pengalaman enhancement, yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Banyaknya tuntutan peran (demands) yang dialami oleh individu akan mengakibatkan munculnya konflik peran dalam diri individu. Sedangkan peningkatan skill (resources) yang didapatkan individu dari pekerjaannya, akan menunjang individu dalam mencapai psychological well-being dan meningkatkan performa dalam peran lainnya, atau disebut sebagai enrichment (Greenhaus and Powell, 2004). Adanya pengalaman di salah satu peran meningkatkan kualitas hidup, baik dalam kinerja maupun afek, dalam peran lainnya, disebut sebagai work-family enrichment (Greenhaus and Powell, 2004). Namun dalam penelitian yang dilakukan oleh Rantanen (2008), istilah enrichment disebut sebagai enhancement. Adanya interaksi positif antara peran individu di dalam keluarga dan di pekerjaannya ini, disebut sebagai work-life balance (Jones et al, 2006). Menurut Grzywacz dan Carlson, work-life balance didefinisikan sebagai pemenuhan ekspektasi peran (terkait), yang

6 dinegosiasikan dan diterima antara individu dengan pasangannya dalam perannya masingmasing di domain pekerjaan dan domain keluarga (Grzywacz dan Carlson, 2007:458). Rantanen (2008) menggambarkan 4 tipe individu dalam menyeimbangkan peran di dalam pekerjaan dan di keluarga berdasarkan kombinasi adanya enhancement dan konflik, diantaranya beneficial work-life balance, harmful work-life balance, active work-life balance, dan passive work-life balance. Tipe beneficial work-life balance mengacu pada dialaminya enhancement secara simultan oleh individu di pekerjaan-keluarga dan sebaliknya, serta tidak dialaminya conflict di pekerjaan-keluarga dan sebaliknya. Sedangkan tipe harmful work-life balance, mengacu pada dialaminya conflict secara simultan oleh individu di pekerjaankeluarga dan sebaliknya, serta tidak dialaminya enhancement di pekerjaan-keluarga dan sebaliknya. Tipe work-life balance selanjutnya adalah active work-life balance dan passive work-life balance. Tipe active work-life balance dalam tipologi ini mengacu pada dialaminya enhancement maupun conflict secara simultan oleh individu di pekerjaan-keluarga dan sebaliknya, yang disebabkan luasnya partisipasi individu dalam peran yang diambilnya. Sedangkan tipe passive work-life balance, mengacu pada tidak dialaminya conflict maupun enhancement secara simultan oleh individu di pekerjaan-keluarga dan sebaliknya, karena pembatasan partisipasi individu dalam peran yang diambilnya. Terdapat penelitian lain yang mendukung teori ini, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Rantanen (2008) kepada 213 karyawan di Finlandia yang berusia yang memiliki pasangan dan atau anak-anak. Dari penelitian tersebut ditemukan 48% responden paruh baya tergolong ke dalam tipe beneficial work-life balance, sedangkan hanya 9% yang tergolong tipe harmful work-life balance. Selain itu, didapat juga 26% yang tergolong passive work-life balance dan 17% yang tergolong tipe active work-life balance. Penelitian Rantanen juga dilakukan pada sampel karyawan white-collar yang memiliki pasangan dan atau anak; serta di Universitas

7 Profesional Finlandia (termasuk staf dengan minimal gelar Master atau jabatan supervisi) dengan total sampel sebanyak 1482 orang, Manajer Finnish sebanyak 1214 orang, dan Manajer Estonia sebanyak 396 orang. Sampel yang berasal dari Universitas Profesional Finlandia memeroleh hasil prevalensi dengan tipe beneficial work-life balance sebanyak 56%, tipe harmful work-life balance sebanyak 7%, tipe active work-life balance sebanyak 27%, dan tipe passive work-life balance sebanyak 10%. Sampel untuk Manager Finnish mendapatkan hasil prevalensi dengan tipe beneficial work-life balance sebanyak 57%, tipe harmful worklife balance sebanyak 5%, tipe active work-life balance sebanyak 34%, dan tipe passive worklife balance sebanyak 4%. Sampel untuk Manager Estonia mendapatkan hasil prevalensi dengan tipe beneficial work-life balance sebanyak 74%, tipe harmful work-life balance sebanyak 1,5%, tipe active work-life balance sebanyak 23%, dan tipe passive work-life balance sebanyak 1,5% (Rantanen, 2008). Berdasarkan hasil prevalensi yang telah dijabarkan, terdapat hasil yang tidak terduga antara tipe beneficial work-life balance dengan harmful work-life balance. Kedua fenomena tersebut sangat menonjol pada sampel Manager Estonia, yaitu terdapat 74% yang termasuk tipe beneficial work-life balance dan hanya 1,5% (terdiri dari 6 orang) yang termasuk harmful work-life balance. Individu yang memiliki peran ganda bisa mengalami konflik peran, yaitu terganggunya peran yang sedang dijalankan baik di pekerjaan maupun di keluarga, sehingga individu tidak dapat mengembangkan dirinya. Namun berdasarkan hasil penelitian tersebut, individu yang memiliki peran ganda, seperti peran di dalam pekerjaan dan peran di dalam keluarga tidak selalu mengalami konflik peran. Salah satu individu yang memiliki peran ganda adalah responden dalam penelitian ini, yaitu wiraswastawan dalam bidang bahan bangunan yang sudah menikah. Berdasarkan hasil survey terhadap 10 orang wiraswastawan dalam bidang bahan bangunan di kecamatan X kota Bandung yang sudah menikah mengenai penghayatan yang

8 dirasakan dari tuntutan peran dalam pekerjaan dan keluarga, didapatkan hasil sebanyak 4 orang atau 40% wiraswastawan merasa bahwa mereka terlalu banyak menghabiskan waktunya untuk mengelola tokonya, sehingga mereka kurang dapat membagi waktu antara pekerjaan dengan keluarga. Mereka merasa bahwa mengelola toko dengan baik dapat menghasilkan pendapatan yang lebih besar, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan operasional toko dan kebutuhan keluarganya. Di sisi lain, mereka merasa kurang dapat memenuhi tuntutan dalam keluarga karena telah melalaikan tugas rumah tangga seperti membereskan rumah, memasak untuk pasangan dan anak, serta mengurus keperluan pasangan dan anak. Hal ini seringkali memicu konflik, ketika mereka dianggap tidak membantu dalam mengurus rumah tangga dan anak, serta mereka merasa diabaikan dan tidak diperhatikan oleh keluarganya. Dalam upaya untuk menyeimbangkan tuntutan peran dalam pekerjaan dan keluarga ini, wiraswastawan berusaha menyelesaikan tuntutan peran dahulu di toko setelah semua selesai baru memenuhi tuntutan peran dalam keluarga, seperti menjaga toko dari pagi sampai sore lalu malamnya digunakan untuk mengerjakan tugas rumah tangga dan bercengkrama bersama keluarga. Sebanyak 3 orang atau 30% wiraswastawan merasa bahwa mereka cukup mampu menjalankan peran sebagai wiraswastawan dan kepala keluarga. Mereka merasa bahwa dirinya bisa menyelesaikan pekerjaan di toko dengan bantuan dari karyawan yang dipercayanya. Ketika mereka terpaksa meninggalkan toko karena harus menjalankan tuntutan di keluarga, ada karyawan yang dipercaya untuk mengawasi operasional toko. Misalnya ketika anak mereka minta untuk dijemput sepulang sekolah, mereka akan meninggalkan toko sebentar dan memercayakan toko kepada karyawan kepercayaannya sementara dirinya pergi menjemput anak. Kemudian mereka akan membawa anaknya ke toko dan meminta anaknya untuk beristirahat di ruangannya sementara mereka kembali mengawasi operasional toko. Mereka juga kadang meluangkan waktu untuk berjalan-jalan bersama keluarga setelah tutup

9 toko, meskipun merasa lelah tapi mereka ingin menikmati kebersamaan dengan keluarganya. Di rumah juga, mereka kadang membantu anaknya mengerjakan pekerjaan rumah atau membantu pasangannya dalam hal memasak dan mendidik anak. Sebanyak 3 orang atau 30% wiraswastawan merasa bahwa mereka mampu memenuhi tuntutan yang ada di dalam pekerjaan dan keluarga, karena adanya pengertian dari pasangan dan anak. Mereka mengatakan bahwa baik pasangan maupun anaknya selalu memberikan dukungan dan pengertian pada kesibukannya dalam mengelola toko, berupa memberikan perhatian pada mereka ketika pulang dari toko, tidak menuntut untuk pergi jalan-jalan ketika hari kerja, bersedia mendengarkan keluh kesah mereka mengenai pekerjaan di toko, serta selalu menyemangati mereka agar bekerja lebih keras. Mereka juga memiliki kesepakatan dengan pasangannya untuk membagi waktu antara keluarga dan pekerjaan, dengan cara membuka toko dari hari Senin hingga Sabtu siang, sementara Sabtu sore hingga Minggu digunakan untuk waktu bersama keluarga dan mengusahakan tidak menerima pesanan barang yang datang di akhir pekan. Hal ini dilakukan oleh wiraswastawan agar dirinya dapat memiliki waktu untuk beristirahat sekaligus mendekatkan diri dengan keluarganya, terutama anak, dengan cara pergi jalan-jalan bersama, bermain bersama di rumah, atau berolahraga bersama. Berdasarkan fenomena yang dipaparkan oleh peneliti di atas, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai tipe work-life balance yang terdapat pada wiraswastawan dalam bidang bahan bangunan di kecamatan X kota Bandung yang sudah menikah. 1.2 Identifikasi Masalah Berdasarkan penelitian ini, peneliti ingin mengetahui tipe work-life balance (tipe beneficial work-life balance, tipe harmful work-life balance, tipe active work-life balance, dan

10 tipe passive work-life balance) manakah yang paling dominan pada wiraswastawan dalam bidang bahan bangunan di kecamatan X kota Bandung yang sudah menikah. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Penelitian ini dimaksudkan untuk memeroleh gambaran mengenai work-life balance pada wiraswastawan dalam bidang bahan bangunan di kecamatan X kota Bandung yang sudah menikah. 1.3.2 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui tipe work-life balance (tipe beneficial work-life balance, tipe harmful work-life balance, tipe active work-life balance, dan tipe passive work-life balance) yang paling dominan pada wiraswastawan dalam bidang bahan bangunan di kecamatan X kota Bandung yang sudah menikah. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi ilmu pengetahuan khususnya Psikologi Industri dan Organisasi mengenai tipe work-life balance pada wiraswastawan dalam bidang bahan bangunan di kecamatan X kota Bandung yang sudah menikah. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada peneliti lain yang membutuhkan bahan acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai gambaran tipe work-life balance.

11 1.4.2 Kegunaan Praktis 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi bagi wiraswastawan dalam bidang bahan bangunan di kecamatan X kota Bandung yang sudah menikah untuk memahami konflik dan pengalaman enhancement dari peran-peran yang dijalaninya baik dalam pekerjaan maupun keluarga. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan sebagai bahan acuan untuk tindakan lebih lanjut (seperti konseling) kepada wiraswastawan dalam bidang bahan bangunan di kecamatan X kota Bandung yang sudah menikah dalam meningkatkan kesejahteraan hidup dan performa kerja. 1.5 Kerangka Pikir Wiraswastawan merupakan individu yang membuka usaha dengan maksud memeroleh keuntungan, memelihara usaha itu dan membesarkannya usahanya baik dalam bidang produksi maupun distribusi barang-barang ekonomi dan jasa (Schumpeter, 1934). Wiraswastawan berperan mencari keuntungan sebanyak mungkin untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya serta memertahankan keberlangsungan usahanya agar tidak gulung tikar. Dalam melakukan perannya, wiraswastawan membutuhkan tenaga, waktu, dan pemikiran yang dicurahkan selama bekerja di tokonya, bahkan ketika memikirkan pekerjaannya diluar jam operasional toko. Keseharian para wiraswastawan dalam bidang bahan bangunan di kecamatan X kota Bandung diawali dengan melakukan pekerjaan yang terbagi ke dalam tiga tahap, yaitu persiapan, pelaksanaan, dan pengecekan. Pada tahap persiapan, tugas seorang wiraswastawan adalah memastikan kebersihan tokonya dengan cara ikut membantu karyawannya untuk membersihkan toko, melakukan pengecekan stok barang yang sudah menipis, lalu memesan barang yang persediaannya sudah menipis, kemudian menata barang-barang yang baru datang

12 dari distributor maupun yang sudah terdapat di dalam toko. Pada tahap pelaksanaan, seorang wiraswastawan bertugas melakukan pelayanan kepada konsumen, menarik konsumen untuk membeli barang ditokonya dengan cara menanyakan dan menyediakan apa yang diperlukan oleh konsumen, memantau jalannya proses jual beli dengan cara mengawasi karyawan ketika sedang melayani konsumen, serta memeriksa masuknya pendapatan ke kasir dengan cara mengecek bukti transaksi yang ada dengan pendapatan yang didapatkan pada hari itu. Pada tahap terakhir yaitu tahap pengecekan, seorang wiraswastawan bertugas untuk melakukan pencatatan barang yang terjual dan barang yang baru datang, serta mengevaluasi kinerja karyawan dengan cara memberikan feedback secara lisan atas kinerja karyawan pada hari itu. Sementara di dalam keluarga, wiraswastawan memiliki tuntutan untuk membantu pasangan mengurus rumah, memelihara rumah, mengurus anak, mendidik anak, serta berkomunikasi dengan anak maupun pasangan. Tuntutan peran ganda sebagai wiraswastawan, pasangan maupun orangtua, tidak mudah untuk dijalankan dalam waktu yang bersamaan, sehingga dapat menyebabkan konflik peran bagi individu baik dalam pekerjaan maupun keluarga. Ketika terjadi peningkatan tuntutan peran individu di pekerjaannya yang berlawanan dengan tuntutan peran individu di keluarganya, maka individu akan mengalami ketidakseimbangan peran diantara pekerjaan dan keluarga yang mengarah kepada konflik, sehingga mereka mengalami situasi yang disebut dengan work-family conflict (Greenhaus dan Beutel dalam Zats dkk, 1996). Di sisi lain, individu juga mendapatkan peningkatan skills (resources) yang didapatkan dari suatu peran ketika beraktivitas di dalam pekerjaan maupun keluarga, yang akan menunjang individu dalam mencapai psychological well-being dan meningkatkan performa dalam peran lainnya, atau disebut sebagai enrichment (Greenhaus and Powell, 2004). Kondisi ini biasa disebut dengan work-family enrichment, yaitu ketika wiraswastawan mendapatkan manfaat (seperti kemudahan, kepuasan, diperolehnya skill baru) untuk menjalankan peran di

13 domain pekerjaan dan keluarga. Rantanen (2008) menyebut istilah enrichment sebagai enhancement di dalam penelitiannya. Pengalaman konflik maupun enhancement yang dialami wiraswastawan berhubungan dengan pencurahan waktu ketika menjalankan perannya dalam pekerjaan yang memengaruhi perannya di keluarga. Keterlibatan individu baik dalam pekerjaan maupun dalam keluarga, merujuk pada upaya psikologis dan kehadiran yang dikerahkan wiraswastawan. Sedangkan kepuasan yang dirasakan wiraswastawan, merujuk pada perasaan puas yang diekspresikan wiraswastawan secara seimbang terhadap perannya di pekerjaan dan di keluarga. Dalam hal ini, wiraswastawan memiliki jam kerja yang fleksibel tergantung seberapa banyak penghasilan yang ingin diperoleh oleh wiraswastawan. Semakin tingginya penghasilan yang ingin diperoleh, maka semakin sering pula wiraswastawan harus membuka tokonya, sehingga wiraswastawan akan mencurahkan banyak energi dalam mengoperasionalkan tokonya setiap hari dan menerima barang dari distributor saat hari libur. Hal ini menyebabkan waktu yang dimiliki wiraswastawan untuk keluarganya semakin sedikit karena wiraswastawan sudah terlalu lelah untuk bercengkrama dengan pasangan dan anaknya ketika berada di rumah sehingga wiraswastawan kurang mendapatkan kepuasan bersama pasangan dan anak. Oleh karena itu, wiraswastawan memiliki keinginan untuk dapat menyeimbangkan peran yang dijalaninya dan mengurangi konflik yang dialaminya baik dalam pekerjaan maupun dalam keluarga. Hal ini disebut dengan istilah work-life balance, yaitu pemenuhan ekspektasi peran (terkait), yang dinegosiasikan dan diterima antara individu dengan pasangannya dalam perannya masing-masing di domain pekerjaan dan domain keluarga (Grzywacz dan Carlson, 2007:458). Work-life balance ini dapat dicapai melalui kombinasi antara enhancement dan conflict, yang dihayati oleh wiraswastawan melalui perannya baik di pekerjaan maupun di keluarga. Kombinasi atas tinggi atau rendahnya derajat enhancement yang dialami individu di pekerjaan sehingga memudahkan pelaksanaan peran di keluarga dan

14 sebaliknya; dengan tinggi atau rendahnya derajat konflik yang dialami individu di keluarga sehingga menyulitkan pelaksanaan peran di pekerjaan dan sebaliknya; dan kombinasi pembatasan atau perluasan keterlibatan di berbagai peran, menghasilkan empat tipe work-life balance (Rantanen, 2008) yaitu beneficial work-life balance (high enhancement; low conflict), harmful work-life balance (low enhancement; high conflict), active work-life balance (high enhancement; high conflict), dan passive work-life balance (low enhancement; low conflict). Wiraswastawan dalam bidang bahan bangunan yang menghayati tingginya pengalaman enhancement dari peran di pekerjaan dan di keluarga, serta menghayati konflik antara pekerjaan dan keluarga yang rendah, termasuk ke dalam tipe beneficial work-life balance. Hal ini terlihat dari terciptanya relasi interpersonal antara wiraswastawan dengan karyawan baik di tokonya maupun dengan karyawan dari pihak distributor dan terciptanya relasi interpersonal antara wiraswastawan dengan pelanggan, sehingga wiraswastawan mampu mengaplikasikan pengalamannya tersebut dalam relasi interpersonal dengan anggota keluarga di rumah untuk membangun hubungan yang harmonis dengan keluarga. Dalam berelasi dengan anggota keluarga, wiraswastawan dapat memposisikan diri sebagai kepala keluarga, pasangan, dan orangtua, serta bersedia menjadi pendengar dan penasihat bagi anggota keluarganya. Ini menunjukkan bahwa wiraswastawan memiliki penghayatan terhadap pengalaman enhancement seperti pengembangan keterampilan kerja, perolehan informasi, peningkatan kepercayaan diri, serta peningkatan suasana hati yang positif, yang dapat bermanfaat bagi peran di pekerjaan maupun di keluarga. Dengan demikian, konflik yang dialami oleh wiraswastawan, yang muncul dari peran di pekerjaan dan di keluarga dapat teratasi oleh adanya penghayatan positif dari pengalaman enhancement tersebut. Sedangkan wiraswastawan dalam bidang bahan bangunan yang menghayati rendahnya pengalaman enhancement dari kegiatan di tempat kerja dan keluarga, serta menghayati

15 tingginya konflik kerja dan keluarga, termasuk ke dalam tipe harmful work-life balance. Kondisi ini muncul ketika wiraswastawan menghayati banyaknya tuntutan pekerjaan yang diterima, melebihi manfaat yang didapatkannya dari peran di pekerjaan maupun di keluarga. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa wiraswastawan kurang dapat membagi waktu antara pekerjaan dengan keluarganya. Wiraswastawan menggunakan sebagian besar waktunya untuk mengelola toko sehingga waktu yang digunakan bersama keluarga lebih sedikit, sehingga mereka merasa kurang dapat memenuhi tuntutan dalam keluarga karena telah melalaikan tugas rumah tangga seperti membereskan rumah, memasak untuk pasangan dan anak, serta mengurus keperluan pasangan dan anak. Hal ini seringkali memicu konflik, ketika mereka dianggap tidak membantu dalam mengurus rumah tangga dan anak, serta mereka merasa diabaikan dan tidak diperhatikan. Konflik yang dialami wiraswastawan secara terus menerus dengan keluarganya akan menghasilkan hubungan yang tidak harmonis dengan anggota keluarga. Hal ini membuat wiraswastawan mengalami ketidakpercayaan diri karena tidak adanya dukungan dari pihak keluarga mengenai pekerjaannya. Selain itu, wiraswastawan dalam bidang bahan bangunan yang menghayati tingginya pengalaman enhancement dan tingginya konflik yang dialami, akibat dari banyaknya peran yang dijalani baik di pekerjaan maupun di keluarga, termasuk ke dalam tipe active work-life balance. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa wiraswastawan merasa hasil kerja kerasnya di toko dapat memberikan manfaat terhadap keberlangsungan hidup keluarganya, sehingga wiraswastawan merasa tertantang dengan tuntutan pekerjaan dan tuntutan keluarga terhadap dirinya, serta merasa puas dapat memenuhi tuntutan semua peran yang dijalaninya. Wiraswastawan juga memiliki kepercayaan diri untuk melakukan ekspansi dari tokonya dengan cara membuka cabang lain. Tipe ini menitikberatkan pada penggunaan peran atau keterlibatan individu pada peran yang dijalani atau dipilihnya baik sebagai wiraswastawan maupun sebagai pasangan dan orangtua.

16 Di sisi lain, wiraswastawan dalam bidang bahan bangunan yang menghayati rendahnya pengalaman enhancement dan rendahnya konflik yang dialami, akibat dari pembatasan peran yang dijalani baik di pekerjaan maupun di keluarga, termasuk ke dalam tipe passive work-life balance. Dalam hal ini, dapat dilihat bahwa wiraswastawan merasa kurang mampu untuk terlibat dalam berbagai macam peran di pekerjaannya dan merasa ingin mencurahkan energinya untuk fokus dalam satu peran saja. Dalam keluarga, wiraswastawan merasa tidak perlu untuk terlibat dalam mengurus dan mendidik anak, karena itu merupakan tugas pasangannya. Wiraswastawan merasa bahwa tugas pokoknya adalah mencari nafkah sehingga tidak bersedia terlibat dalam kegiatan lainnya di keluarga. Berdasarkan pemaparan di atas, dapat terlihat bahwa wiraswastawan dalam bidang bahan bangunan di kecamatan X yang sudah menikah memiliki usaha yang berbeda-beda untuk menyeimbangkan dua atau lebih peran yang dimilikinya baik di tempat kerja maupun di rumah, sehingga wiraswastawan dapat dikategorikan berdasarkan tipe-tipe work-life balance.

17 Peran ganda : Wiraswasta- Beneficial work-life balance wan dalam bidang bahan Conflict Work Life Harmful worklife balance bangunan di kecamatan X Enhancement Balance Activeworklife balance kota Bandung yang sudah Passive worklife balance menikah. Bagan 1.1 Kerangka Pemikiran

18 1.6 Asumsi Penelitian Asumsi yang mendasari penelitian ini adalah : 1. Wiraswastawan dalam bidang bahan bangunan yang sudah menikah memiliki beberapa peran yang harus dijalani baik dalam pekerjaan maupun dalam keluarga. 2. Tuntutan-tuntutan dari peran yang dijalani oleh wiraswastawan dalam bidang bahan bangunan baik dalam pekerjaan maupun keluarga dapat dihayati sebagai konflik. 3. Manfaat-manfaat dari peran yang dijalani oleh wiraswastawan dalam bidang bahan bangunan baik dalam pekerjaan maupun keluarga dapat dihayati sebagai pengalaman enhancement. 4. Kombinasi dari adanya konflik dan pengalaman enhancement yang dihayati oleh wiraswastawan dalam bidang bahan bangunan baik dalam pelaksanaan peran di pekerjaan maupun di keluarga, akan menghasilkan empat (4) macam tipe work-life balance, yaitu beneficial work-life balance, harmful work-life balance, active work-life balance, dan passive work-life balance.