BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Saat ini jumlah perokok di dunia hampir 20% populasi dunia. Menurut The Tobacco Atlas (2012), sejak tahun 2002 hingga tahun 2011 ada sekitar 50 juta orang telah meninggal dunia akibat rokok. Seiring dengan pertumbuhan populasi yang semakin meningkat, angka konsumsi rokok dunia juga meningkat secara signifikan, sehingga risiko penyakit akibat rokok juga meningkat. Rokok adalah penyebab banyak penyakit mematikan di dunia, termasuk penyakit kardiovaskuler, penyakit paru kronik dan kanker paru. Rokok juga merupakan penyebab atas kematian 1 dari 10 orang di dunia. Diperkirakan, pada tahun 2030 akan ada 8 juta kematian yang disebabkan oleh rokok (WHO, 2014). Prevalensi merokok pada pria usia 15 tahun ke atas meningkat dalam 15 tahun terakhir, yaitu 53,4% pada Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 1995 menjadi 65,9% pada tahun 2010 (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2010). Data menurut Susenas 1995-2004 menunjukkan bahwa prevalensinya bukan saja tinggi tetapi secara pasti mengalami kenaikan. Hal tersebut bisa dilihat dari 27% pada tahun 1995 menjadi 31,5% dan naik 34,4% pada tahun 2004. Berdasarkan Riskesdas 2007, prevalensi tersebut menurun dari 34,2% di 2007 dan meningkat kembali pada tahun 2010 menjadi 34,7%. Faktor padatnya jumlah penduduk dan tingginya prevalensi merokok, menempatkan Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok terbesar ketiga setelah Cina dan India (Thabrany & Sarnantio, 2012). Konsumsi rokok di Indonesia menurut Riskesdas 2010 dan 2013 adalah 12,3 batang per hari per orang atau setara dengan menghisap 1 bungkus rokok. Saat ini terjadi transisi pola penyakit di Indonesia, yaitu tren penyebab kematian di Indonesia pada 10 tahun lalu adalah penyakit menular berubah menjadi penyakit tidak menular (PTM). Perubahan tersebut juga diperparah dengan perilaku (prevalensi merokok) yang 1
tinggi pada masyarakat Indonesia. Angka ini diperkirakan akan terus meningkat apabila upaya pengendalian rokok tidak dilakukan secara optimal. 2
3 Menurut data Riskesdas 2013, proporsi perokok di Indonesia saat ini adalah 29,3%. Perokok terbanyak terdapat di Kepulauan Riau dengan kategori perokok setiap hari sebanyak 27,2% dan kategori perokok yang kadang-kadang merokok sebesar 3,5%. Sementara, angka tertinggi batang rokok yang dihisap dalam sehari berada di Provinsi Bangka Belitung, yakni 18 batang rokok. Berdasarkan karakteristik perokok, perokok setiap hari dengan proporsi tertinggi berada pada kelompok umur 30-34, yakni sebanyak 33,4%. Proporsi perokok setiap hari tertinggi berada pada jenis kelamin laki-laki, dengan pendidikan tamat SMA. Berdasarkan pekerjaan, proporsi tertinggi pada kategori nelayan/petani/buruh, sementara berdasarkan tempat tinggal tertinggi di daerah perdesaan. Berdasarkan hasil survei yang diadakan oleh GATS ( Global Adults Tobacco Survey) pada tahun 2011 dan Riskesdas tahun 2013 dibandingkan dengan data proporsi perokok pria dan wanita, dalam hasil dapat dilihat bahwa proporsi perokok pria adalah 67,0% pada tahun 2011 dan 64,9% pada tahun 2013, proporsi perokok wanita menurut survei GATS sebanyak 2,7% dan 2,1% (Badan Penelitian dan Pengembang Kesehatan Kementrian Kesehatan RI, 2013). Daerah dengan PTM tertinggi salah satunya adalah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), y ang menjadi salah satu daerah dengan proporsi penyakit diabetes mellitus (DM), kanker, hipertiroid, batu ginjal, stroke serta gagal jantung tertinggi di Indonesia (Badan Penelitian dan Pengembang Kesehatan Kementerian Kesehatan RI, 2013). Provinsi D.I. Yogyakarta dengan konsumsi rokok 10 batang per hari menurut Riskesdas 2013, tetapi memiliki angka PTM yang tinggi, menarik untuk diteliti. Salah satu kabupaten yang berada di DIY, yakni Sleman, adalah kabupaten dengan angka usia harapan hidup (UHH) yang tinggi. UHH Kabupaten Sleman adalah 75,6 tahun yang melampaui batas UHH nasional yang berada pada angka 70 tahun. Angka konsumsi rokok di Sleman tidak tinggi, tetapi secara pasti menunjukkan adanya kenaikan. Upaya pengendalian rokok sudah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menekan prevalensi merokok. Pada masa pemerintahan Presiden B.J. Habibie, dikeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 1999 yang memuat peraturan bahwa periklanan rokok hanya diperbolehkan pada media cetak dan di
4 luar ruangan, perusahaan rokok harus mencantumkan peringatan tertulis pada bungkus rokok. Selain itu, kadar nikotin 1,5 mg dan tar 20 mg per batang rokok yang diperbolehkan juga diatur dalam peraturan ini. Setelah terjadi pergantian kekuasaan, peraturan ini diamandemen dengan memperbolehkan iklan rokok pada televisi, tetapi iklan hanya boleh ditayangkan antara pukul 21.30 hingga pukul 05.00 waktu setempat. Namun, sponsorship rokok tidak dilarang, sehingga banyak sekali kegiatan musik dan olahraga bisa disponsori oleh perusahaan rokok. Upaya berikutnya yaitu dengan menaikkan pajak rokok, mengeluarkan aturan tentang kawasan tanpa rokok (KTR) masih belum bisa berdampak signifikan pada angka merokok di Indonesia (Thabrany & Sarnantio, 2012). Setelah berbagai upaya tersebut, akhirnya pemerintah mengeluarkan peraturan terbaru terkait dengan upaya pengendalian rokok, yakni Peraturan Nomor 109 Tahun 2012 yang di dalamnya memuat perintah bagi industri rokok untuk mencantumkan 5 gambar dalam peringatan kesehatan bergambar pada setiap kemasan/bungkus rokok. Peringatan bergambar terdiri dari 5 varian gambar yang nantinya akan menutupi 40% dari luas kemasan rokok, baik bagian depan maupun belakang bungkus rokok. Industri rokok sudah menerapkan peraturan ini terhitung 12 bulan sejak peraturan ini diberlakukan. Perusahaan rokok sudah mencantumkan peringatan bergambar pada bungkus rokok paling lambat 18 bulan setelah peraturan terbit. Penerapan peringatan bergambar pada kemasan rokok diharapkan akan efektif dalam menurunkan prevalensi merokok di Indonesia. Hal ini karena banyaknya penelitian yang membuktikan bahwa peringatan bergambar efektif dalam meningkatkan keinginan untuk berhenti merokok dan mengurangi inisiasi merokok pada non-perokok (Hammond et al., 2012) dibandingkan dengan peringatan berupa teks. Peringatan bergambar pada bungkus rokok pertama kali diterapkan di Kanada pada tahun 2001. Peringatan bergambar di Kanada menempati 50% display bungkus rokok dan ditulis dalam bahasa setempat, yakni bahasa Perancis dan Inggris. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa penerapan di Kanada efektif dalam menurunkan angka merokok di Kanada. Salah satu hasil penelitian yang dilakukan Azagba & Sharaf pada tahun 2013, pada hasil
5 akhirnya menemukan bahwa peringatan bergambar efektif dalam meningkatkan upaya berhenti merokok, dan menurunkan keinginan masyarakat dalam inisiasi merokok. Selain itu, menurut Hammond et al. (2012), peringatan bergambar adalah saluran yang tepat untuk memberi informasi seseorang akan bahaya rokok, karena seorang perokok setidaknya akan terpapar bungkus rokok 20 kali dalam sehari. Negara-negara lain yang akhirnya mengadopsi peringatan bergambar juga menyatakan bahwa hal ini efektif. Banyaknya penelitian yang membuktikan bahwa dalam upaya pengendalian rokok, pencantuman peringatan bergambar harus diimplementasikan secara bersama dengan kebijakan lain yang mendukung, seperti menaikkan pajak rokok atau dengan iklan layanan masyarakat tentang rokok, pelarangan iklan rokok, promosi dan sponsorship juga penting untuk dilakukan mengingat banyaknya ide industri rokok dalam memasarkan produknya (Azagba & Sharaf, 2013). Peringatan bergambar pada kemasan rokok pertama kali diterapkan di Indonesia per tanggal 24 Juni 2014. Terdapat 5 jenis gambar yang harus ditampilkan pada bungkus rokok. Karena penerapan yang baru saja dilakukan, masih belum banyak penelitian tentang respon masyarakat terhadap peringatan bergambar bungkus rokok di Indonesia. Mengingat saat ini penerapan peringatan bergambar di Indonesia sudah diterapkan lebih dari 12 bulan (per tanggal 24 Juni 2014), peneliti tertarik untuk melihat ada tidaknya hubungan antara peringatan bergambar pada bungkus rokok dengan intensi berhenti merokok dan intensi tetap tidak merokok pada masyarakat Kabupaten Sleman. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah : Apakah ada hubungan antara peringatan bergambar pada kemasan rokok dengan intensi berhenti merokok atau intensi tidak mulai merokok masyarakat di Kabupaten Sleman?
6 C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Untuk mengetahui hubungan antara peringatan bergambar pada kemasan rokok dengan intensi berhenti merokok atau intensi tidak mulai merokok masyarakat di Kabupaten Sleman. 2. Tujuan khusus a. Mengetahui karakteristik subjek penelitian berdasarkan status merokok, jenis kelamin, lingkungan sosial, paparan media, persepsi tentang bahaya rokok dan usia. b. Mengetahui hubungan antara peringatan bergambar, lingkungan sosial, paparan media, persepsi tentang bahaya rokok dan usia dengan intensi berhenti merokok atau intensi tidak mulai merokok. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang respon masyarakat terhadap peringatan bergambar. 2. Manfaat praktis a. Bagi peneliti, hasil penelitian dapat menambah pengetahuan dan pengalaman dalam melakukan penelitian secara baik dan benar, terutama terkait respon masyarakat terhadap peringatan bergambar. b. Bagi instansi terkait, baik Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman maupun Pemerintah Kabupaten Sleman, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi dan masukan dalam pengambilan keputusan dalam menentukan arah kebijakan program promosi kesehatan yang berkaitan dengan perilaku merokok. c. Bagi masyarakat, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi tentang pentingnya peringatan bergambar pada kemasan rokok. d. Bagi peneliti lain, dapat memberikan gambaran akan efektivitas peringatan bergambar kemasan rokok, sehingga dapat dijadikan referensi untuk penelitian selanjutnya.
7 E. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian yang serupa ataupun menjadi acuan dalam penelitian ini antara lain : Judul dan peneliti The Effect of Graphic Cigarette Warning Labels on Smoking Behavior: Evidence from The Canadian Experience Azagba & Sharaf (2013) Smokers responses toward cigarette pack warning labels in predicting quit intention, stage of change, and selfefficacy Fathelrahman et al. (2009) Reactions of Chinese adults to warning labels on cigarette packages : A survey in Jiangsu Province Qin et al. (2011) The effects of tobacco-related health- warning images on intention to quit smoking among urban Chinese smokers Wu et al. (2014) Kebaruan penelitian Tabel 1. Keaslian penelitian Hasil Peringatan bergambar mengurangi keinginan masyarakat untuk merokok dan meningkatkan keinginan masyarakat dalam upaya berhenti merokok. Hal yang membuat perokok menimbang untuk berhenti merokok adalah mengetahui risiko kesehatan yang ditimbulkan rokok. Sebagian besar responden menyatakan ingin berhenti merokok setelah melihat disain baru peringatan bergambar dibandingkan dengan desain yang lama. Desain yang baru menyediakan informasi yang jelas terkait dengan bahaya merokok. Lebih dari 50% perokok berniat untuk berhenti merokok setelah melihat peringatan bergambar. Gambar yang menimbulkan intensi berhenti merokok yang tinggi adalah gambar yang menampilkan wanita dan anak, gambar nyata paru-paru yang rusak dan gambar yang lebih Persamaan - perbedaan Persamaan : Tujuan Perbedaan : Metode penelitian dan lokasi Persamaan : Tujuan dan metode Perbedaan : Subjek, lokasi dan teori Persamaan : Metode dan sasaran penelitian Perbedaan : Tujuan penelitian dan lokasi penelitian Persamaan : Metode dan tujuan penelitian Perbedaan : Subjek dan lokasi eksplisit. Subjek penelitian adalah perokok dan nonperokok dan bertujuan untuk melihat hubungan peringatan bergambar dengan intensi berhenti merokok atau tidak merokok.