BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Umi Rahayu Fitriyanah, 2014

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

2016 HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN PRESTASI BELAJAR

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan tonggak pembangunan sebuah bangsa. Kemajuan. dan kemunduran suatu bangsa dapat diukur melalui pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Mutia Faulia, 2014

1 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian No.Daftar : 056/S/PPB/2012 Desi nur hidayati,2013

BAB I PENDAHULUAN. ataupun Madrasah Aliyah (MA) bertujuan untuk menyiapkan siswa untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak

BAB I PENDAHULUAN. memiliki keunikan dan istimewa. Anak-anak sangat membutuhkan orang tua

diri yang memahami perannya dalam masyarakat. Mengenal lingkungan lingkungan budaya dengan nilai-nilai dan norma, maupun lingkungan fisik

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN HUBUNGAN KONFORMITAS TEMAN SEBAYA DENGAN KEMANDIRIAN PERILAKU PESERTA DIDIK KELAS VIII SMP NEGERI 1 BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Hadi Wiguna Kurniawan, 2013

BAB V SIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berkualitas tinggi. Peningkatan kualitas sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Giska Nabila Archita,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Sigit Sanyata

BAB I PENDAHULUAN. Deasy Yunika Khairun, Layanan Bimbingan Karir dalam Peningkatan Kematangan Eksplorasi Karir Siswa

BAB I PENDAHULUAN. mempersiapkan dirinya salah satunya untuk suatu keahlian tingkat sarjana.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Wangi Citrawargi, 2014

Oleh: Deasy Wulandari K BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. Setiap individu memiliki kondisi internal, di mana kondisi internal tersebut

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Belajar adalah perubahan yang relatif permanen dalam perilaku atau

2015 EFEKTIVITAS BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN MENGGUNAKAN TEKNIK JOHARI WINDOW UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN DIRI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. tradisional. Pendidikan formal, informal dan non-formal merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadikan individu lebih baik karena secara aktif

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. membutuhkan orang lain untuk dapat mempertahankan hidupnya. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi yang terjadi saat ini ditandai dengan adanya

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan pada dasarnya bertujuan untuk membantu individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Para ahli pendidikan pada umumnya sepakat bahwa pendidikan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Indri Purwnti, 2015 Hubungan antara self-efficacy dan motivasi belajar dengan prestasi belajar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

I. PENDAHULUAN. kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Perkembangan pendidikan tanpa

BAB I PENDAHULUAN. Individu pada usia remaja di sekolah adalah sebagai individu yang sedang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori

BAB I PENDAHULUAN. A. Pendahuluan. Masa remaja secara psikologi merupakan masa peralihan dari masa anak

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi, dimana usianya berkisar tahun dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang disusun di bawah bimbingan seorang dosen yang memenuhi kualifikasi

BAB I PENDAHULUAN. Cipta,2008), hlm. 2.

BAB I PENDAHULUAN. itu berlangsung seumur hidup dimulai dari keluarga kemudian di teruskan dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. profesionalitas dan sistem manajemen tenaga kependidikan serta pengembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbatas pada siswa baru saja. Penyesuaian diri diperlukan remaja dalam menjalani

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai lembaga pendidikan formal, sekolah diharapkan mampu. memfasilitasi proses pembelajaran yang efektif kepada para siswa guna

BAB I PENDAHULUAN. perilaku yang diinginkan. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting

2014 IDENTIFIKASI KEBUTUHAN RUANG PUBLIK KAMPUS UPI BERDASARKAN AKTIVITAS MAHASISWA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukkan pribadi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Mutia Ramadanti Nur,2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN TEORI. Menurut Havighurst (1972) kemandirian atau autonomy merupakan sikap

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Siti Syabibah Nurul Amalina, 2013

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan fisik dan alat reproduksi menjadi sempurna. terlibat konflik dengan orang tua karena perbedaan pandangan.

BAB I PENDAHULUAN. Stres dalam belajar adalah perasaan yang dihadapi oleh seseorang ketika

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan sangat pesat dari waktu ke waktu. Sehingga saat ini. semakin maju taraf hidup dan kesejahteraan penduduknya.

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah sebagai sebuah lembaga pendidikan diharapkan dapat mencetak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Mayang Wulan Sari,2014

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Mahasiswa di Indonesia sebagian besar masih berusia remaja yaitu sekitar

`BAB I PENDAHULUAN. mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingunan ini

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, telah berdampak kepada munculnya bidang-bidang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Lia Liana Iskandar, 2013

BAB I PENDAHULUAN. individu tentang dirinya sendiri inilah yang disebut konsep diri.

Bab I Pendahuluan. dengan identitas ego (ego identity) (Bischof, 1983). Ini terjadi karena masa remaja

Materi 10 Organizing/Pengorganisasian: Manajemen Team

BAB I PENDAHULUAN. ingin dicapai dari proses pendidikan yaitu menghasilkan manusia yang terdidik

adalah Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Sekolah Menengah Kejuruan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berakhirnya suatu pendidikan formal, diharapkan seseorang dapat

golongan ekonomi menengah. Pendapatan keluarga rata-rata berada pada kisaran lima jutaan rupiah perbulan dengan sebagian besar ayah bekerja sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. daya yang terpenting adalah manusia. Sejalan dengan tuntutan dan harapan jaman

I. PENDAHULUAN. Secara hakiki, manusia merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan

BAB I PENDAHULUAN. etimologis, remaja berasal dari kata Latin adolensence yang berarti tumbuh atau

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi-potensinya agar menjadi pribadi yang bermutu. Sekolah. keterampilan khusus yang dimiliki oleh peserta didik.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan formal di Indonesia setelah lulus dari Sekolah Menengah Pertama.

Perkembangan Sepanjang Hayat

PERANAN ORANGTUA DAN PENDIDIK DALAM MENGOPTIMALKAN POTENSI ANAK BERBAKAT AKADEMIK (ABA)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Vivit Puspita Dewi, 2014

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja berhubungan dengan perubahan intelektual. Dimana cara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tita Andriani, 2013

PENGANTAR MANAJEMEN Materi 10 Organizing/Pengorganisasian: Manajemen Team Viraguna Bagoes Oka, M Finc Dharma Iswara Bagoes Oka, M Finc

BAB I PENDAHULUAN. Rentang kehidupan individu mengalami fase perkembangan mulai dari

BAB I PENDAHULUAN. Situasi global membuat kehidupan semakin kompetitif dan membuka

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Pendidikan secara garis besar terdiri dari tiga bagian penting, yaitu: administrasi dan kepemimpinan (manajemen pendidikan), intruksional dan kurikuler (berkaitan dengan pembelajaran bidang studi), serta bimbingan dan konseling. Keseluruhan bagian penting pendidikan tersebut bertujuan untuk mencapai tujuan pendidikan. Lebih jauh lagi, ketiga bagian pendidikan tersebut merupakan bagian dari pendidikan yang berkolaborasi untuk dapat mencapai perkembangan peserta didik yang optimal (dalam aspek pribadi, sosial, akademik, dan karir). Bimbingan dan konseling merupakan bagian yang terintegrasi dari pendidikan yang terkait dengan program pemberian layanan untuk membantu peserta didik dalam mengembangkan potensi dirinya dalam segala aspek kehidupannya ataupun dalam mencapai tugas-tugas perkembangannya. Peserta didik yang sedang belajar di sekolah merupakan subjek layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Peserta didik merupakan individu yang sedang berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Oleh karena itu, peserta didik diasumsikan masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan yang cukup mengenai diri dan lingkungannya serta pengalaman dalam menentukan arah hidupnya, sehingga untuk berkembang ke arah kematangan peserta didik memerlukan bantuan. Pada umumnya peserta didik di sekolah terdiri dari berbagai karakteristik usia sesuai dengan jenjang sekolah tersebut. Peserta didik di Madrasah Aliyah pada umumnya berada pada rentang usia 15 18 tahun, maka dalam hal ini peserta didik tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam fase remaja madya (pertengahan). Fase remaja merupakan sebuah fase perkembangan dalam kehidupan setiap individu, yaitu sebuah fase yang berada di antara fase anak-anak dan fase dewasa. Masa remaja menurut Salzman (Yusuf, 2009: 184) merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orang tua ke arah

2 kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, dan perhatian terhadap nilai-nilai estetika dan isu-isu moral. Dari pendapat tersebut dapat diketahui bahwa salah satu pengertian masa remaja adalah suatu masa ketika individu mengalami perkembangan sikap dari tergantung kepada orang tua menjadi lebih mandiri, perkembangan sikap tergantung menjadi mandiri ini, tentu mengalami proses yang panjang. Remaja menunjukkan sikap mandirinya dengan adanya keinginan untuk lebih bebas dari aturan-aturan yang dibuat oleh orang dewasa (orang tua), lebih senang bergaul dengan teman sebayanya, tidak ingin diawasi oleh orang tuanya, merasa mampu melakukan beberapa hal sendiri, merasa mampu memahami permasalahan-permasalahannya tanpa bantuan dari orang dewasa dan lain sebagainya. Salah satu aspek perkembangan remaja adalah aspek sosial. Perkembangan aspek sosial ini meliputi hubungan remaja dengan lingkungan sosialnya termasuk teman sebayanya. Remaja lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah bersama dengan teman-teman sebayanya. Santrock (2003: 219) mengungkapkan yang dimaksud dengan teman sebaya adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Remaja lebih banyak menghabiskan waktunya untuk berinteraksi dengan teman sebayanya. Dalam suatu penelitian disebutkan anak-anak berinteraksi dengan teman sebayanya 10% dari satu hari pada usia 2 tahun, 20% pada usia 4 tahun, dan lebih dari 40% pada usia antara 7 dan 11 tahun (Barker & Wright, 1951; Santrock, 2003). Remaja dan teman-teman sebayanya pada umumnya cenderung bergabung dalam suatu kelompok. Hal ini berawal dari pola interaksi remaja dengan teman sebaya yang intens, remaja akan mulai menemukan teman sebaya yang dapat membuatnya nyaman dan terbentuklah kelompok-kelompok pada remaja. Menurut Santrock (2003: 244) fungsi kelompok bagi remaja adalah untuk memenuhi kebutuhan pribadi remaja, memberi penghargaan kepada mereka, memberikan informasi, menaikkan harga diri mereka dan memberikan identitas. Kelompok memiliki fungsi dan peran yang besar dalam kehidupan remaja. Kelompok remaja yang ada saat ini bukan hanya kelompok-kelompok remaja

3 yang memiliki nilai-nilai yang positif dan sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat, namun tidak sedikit kelompok remaja yang memiliki nilai-nilai negatif dan cenderung tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Salah satu kelompok remaja yang memiliki nilai positif bagi remaja adalah kelompok belajar. Sesuai dengan karakteristik remaja yang sedang mencari identitas diri dan cenderung mudah terpengaruh teman dalam kelompoknya, maka kelompok belajar dianggap memberikan pengaruh terhadap belajar peserta didik khususnya dalam meningkatkan keefektifan proses ataupun hasil kegiatan belajar peserta didik yang berada dalam fase remaja. Belajar merupakan sebuah proses yang terus berlangsung dalam kehidupan manusia. Menurut Hintzman (Syah, 2010: 88), belajar adalah suatu perubahan yang terjadi dalam diri organisme (manusia atau hewan) disebabkan oleh pengalaman yang dapat mempengaruhi tingkah laku organisme. Jadi belajar merupakan perubahan tingkah laku pada diri organisme baik manusia ataupun hewan yang merupakan hasil dari pengalaman interaksi organisme tersebut dengan organisme lain. Proses belajar terjadi sejak individu dilahirkan sampai menjelang akhir hayatnya, atau yang biasa dikenal dengan konsep life-long learning. Belajar dapat ditempuh melalui jalur formal dan informal. Belajar di sekolah termasuk pembelajaran yang ditempuh melalui jalur formal. Keefektifan proses belajar di sekolah yang dilakukan oleh peserta didik tidak terlepas dari faktor-faktor yang terdapat dalam diri peserta didik (raw input) maupun dari lingkungan atau luar diri peserta didik. Yang termasuk faktor yang mempengaruhi belajar peserta didik yang berasal dari dalam diri peserta didik adalah kapasitas (IQ), minat, bakat, motivasi, kematangan atau kesiapan peserta didik dalam belajar, sikap atau kebiasaan peserta didik. Sedangkan faktor yang mempengaruhi belajar peserta didik yang berasal dari luar diri peserta didik adalah lingkungan sosial peserta didik baik dalam keluarga maupun pergaulan dengan teman sebayanya dan lingkungan sekolah. Makmun (2007: 166) secara sistematik mengungkapkan komponen perilaku belajar mengajar terdiri dari empat komponen, sebagai berikut:

4 a) the expected output, menunjukkan kepada tingkat kualifikasi ukuran baku (standard norms) akan menjadi daya penarik dan motivasi, b) karakteristik peserta didik (raw input), c) instrumental input (sarana), menunjukkan kualifikasi serta kelengkapan sarana yang diperlukan untuk dapat berlangsungnya proses belajar mengajar; d) environmental input, menunjukkan situasi dan keadaan fisik (kampus, sekolah, iklim, letak sekolah, dan sebagainya), hubungan antarinsani (human relationship) baik dengan teman mapun dengan guru dan orang-orang lainnya, hal-hal ini juga akan mungkin menjadi faktor-faktor penunjang atau penghambat (S factor). Berdasarkan komponen perilaku belajar mengajar di atas, dapat diketahui bahwa perilaku belajar mengajar di sekolah juga dipengaruhi oleh lingkungan, termasuk di dalamnya hubungan peserta didik dengan teman-temannya ataupun dengan guru serta orang-orang yang terdapat di lingkungnnya. Kelompok belajar memiliki dampak yang positif ketika keberadaannya mempengaruhi kehidupan peserta didik khususnya dalam menunjang keberhasilan belajarnya di sekolah. Keefektifan belajar di sekolah juga dapat didukung dari kenyamanan peserta didik dalam mengikuti kegiatan belajar di sekolah. Joyce, dkk (2009: 304) mengemukakan peserta didik merasa nyaman dalam model belajar pengelompokan, sebab mereka dapat meningkatkan perasaan positif terhadap diri sendiri maupun orang lain. Kelompok belajar cenderung membuat peserta didik lebih termotivasi untuk belajar. Peserta didik yang berada dalam suatu kelompok belajar akan memiliki anggapan bahwa tugas-tugas ataupun tuntutan yang ada dalam belajar bukan beban yang berat, karena bukan hanya peserta didik tersebut yang mengalaminya, tapi kelompok belajarnya pun mengalami hal yang sama. Hal ini akan menghilangkan sifat mudah menyerah dan meningkatkan tanggung jawab peserta didik dalam belajar. Seperti yang diungkapkan oleh Joyce, dkk (2009: 304) fokus untuk bekerjasama juga merupakan suatu hal yang dapat menghilangkan sifat yang cepat menyerah dan meningkatkan tanggung jawab belajar pribadi. Kelompok belajar juga dapat mempengaruhi motivasi belajar peserta didik. Kelompok belajar dapat mengubah tataran atau tingkat motivasi belajar peserta didik yang tadinya berada pada motivasi eksternal menjadi motivasi internal. Sharan dalam Joyce, dkk (2009: 309) mengatakan:

5 Pembelajaran dengan sistem pengelompokan dapat meningkatkan sebagian proses pembelajaran, sebab pengelompokan dapat menyebabkan berpindahnya motivasi dari tataran eksternal pada tataran internal. Dengan kata lain, ketika peserta didik bekerjasama dalam menyelesaikan sebuah tugas, mereka akan tertarik pada materi pembelajaran tersebut karena menyadari kepentingannya sebagai peserta didik terhadap materi tersebut. Kelompok belajar yang mempengaruhi anggota kelompoknya adalah kelompok belajar yang dapat membuat setiap anggotanya merasa nyaman berada dalam kelompok tersebut, sehingga anggota kelompok dapat menunjukkan kinerja yang baik ketika menyelesaikan tugas-tugas kelompoknya. Dalam dinamika kelompok, kenyamanan dan daya tarik menarik antaranggota kelompok ini disebut kekohesifan kelompok. Kekohesifan dapat diartikan sebagai suatu kondisi dalam kelompok ketika terdapat ketertarikan antaranggota kelompok untuk tetap berada di dalam kelompok. Menurut Chaplin (2011: 91) kekohesifan (cohesion or cohesiveness) diartikan sebagai kualitas kebergantungan satu sama lain, atau kualitas saling tarik-menarik. Istilah tersebut dapat digunakan dalam kelompok sosial, gejala perseptual (pengenalan), atau pada item-item dalam kegiatan belajar. Lot & Lott (Forsyth, 2010: 118) mengungkapkan kekohesifan dalam kelompok kecil dapat didefinisikan sebagai daya tarik antaranggota kelompok, dimana kelompok merupakan kekuatan dari sikap yang positif antaranggota. Berdasarkan pengertian kekohesifan tersebut, adanya kekohesifan dalam kelompok belajar akan menjadi daya tarik sendiri bagi setiap peserta didik untuk berada dalam kelompok belajarnya. Peserta didik dalam kelompok belajar yang kohesif akan senang mengerjakan tugas-tugas yang ada dalam kelompoknya sehingga kelompok belajar tersebut akan menjadi suatu kelompok yang memberikan banyak manfaat dalam belajar peserta didik. Kelompok belajar yang kohesif juga akan turut menunjang peserta didik untuk berprestasi dalam belajar. Sebaliknya, kelompok belajar yang tidak kohesif akan membuat anggota kelompok enggan berada di kelompok tersebut, sehingga anggota kelompok tidak dapat melakukan tugastugas kelompok dengan baik dan pada akhirnya akan berdampak pada

6 ketidakefektifan kelompok belajar. Selain itu, kelompok yang memiliki kekohesifan rendah tidak akan memberikan pengaruh positif terhadap anggota kelompoknya, dalam hal ini kelompok belajar yang tidak kohesif tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap belajar peserta didik. Lebih jauh lagi, kelompok belajar yang tidak kohesif dapat dikatakan tidak memfasilitasi peserta didik mencapai prestasi belajar baik prestasi kelompok atau prestasi secara individu. Kekohesifan kelompok belajar memiliki nilai positif dan berpengaruh terhadap belajar peserta didik di sekolah. Oleh karena itu, kekohesifan kelompok belajar perlu dikembangkan oleh peserta didik di sekolah, terutama bagi peserta didik di MAN 1 Bandung. Masa belajar di sekolah yang berlangsung sekitar kurang lebih 8 jam memungkinkan peserta didik memiliki kecenderungan kejenuhan dalam belajar. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Nopember 2012, diketahui masih terdapat klik antarkelompok di kelas, sehingga memunculkan ketidakmampuan peserta didik untuk bekerjasama dengan baik di kelas. Selain itu, hasil wawancara tidak terstruktur yang mengungkap aspek kematangan hubungan dengan teman sebaya terhadap beberapa orang peserta didik menunjukkan masih terdapat peserta didik yang tidak dapat bekerjasama dan bersosialisasi dengan peserta didik lainnya. Peserta didik juga menyatakan kenyamanan belajar di sekolah sangat ditunjang oleh adanya teman dekat sesama peserta didik serta adanya kekompakan dalam kelompok belajar. Studi pendahuluan tersebut juga didukung dengan pengukuran kekohesifan kelompok belajar peserta didik Kelas XI MAN 1 Bandung Tahun Ajaran 2013-2014 yang menunjukkan kekohesifan kelompok belajar peserta didik Kelas XI MAN 1 Bandung Tahun Ajaran 2013-2014 mayoritas berada pada kategori sedang, yaitu dari 295 peserta didik yang dijadikan sampel dalam penelitian, sebanyak 45,1 % (133 peserta didik) termasuk dalam kategori sedang. Adapun minoritas peserta didik Kelas XI MAN 1 Bandung Tahun Ajaran 2013-2014 termasuk dalam kategori sangat tinggi sebanyak 3,4% (10 peserta didik) dan sangat rendah 7,5% (22 peserta didik). Selanjutnya peserta didik yang lain

7 termasuk dalam kategori tinggi dan rendah, yaitu 20% (62 peserta didik) dan 23,1% (68 peserta didik). Berdasarkan studi pendahuluan pada peserta didik MAN 1 Bandung di atas, maka perlu adanya upaya pengembangan kekohesifan kelompok belajar peserta didik yang akan menstimulasi keefektifan belajar di sekolah. Kekohesifan kelompok belajar peserta didik merupakan kompetensi yang perlu dimiliki oleh peserta didik dalam mencapai keefektifan belajar di sekolah melalui kelompok belajar. Artinya, kelompok belajar merupakan sarana atau fasilitas dalam upaya mengembangkan kekohesifan kelompok belajar peserta didik. Pengukuran kekohesifan kelompok belajar dilakukan terhadap peserta didik sebagai individu yang menjadi bagian dari kelompok belajar. Sehingga untuk dapat meningkatkan kekohesifan suatu kelompok belajar perlu dilakukan upaya peningkatan kekohesifan kelompok yang dimiliki oleh masing-masing peserta didik yang menjadi bagian dari kelompok belajar. Bimbingan dan konseling di sekolah memegang tugas dan tanggung jawab untuk mengembangkan lingkungan perkembangan, membangun interaksi dinamis antarindividu dengan lingkungannya, membelajarkan individu untuk mengembangkan, memperbaiki, dan memperhalus perilaku. Maka, dalam hal ini peran bimbingan dan konseling berdasarkan need assessment tersebut adalah sebagai fasilitator dalam pengembangan kekohesifan kelompok belajar peserta didik sehingga dapat membantu peserta didik mencapai keefektifan dalam belajarnya di sekolah. Salah satu jenis layanan dalam bimbingan dan konseling yang dapat digunakan dalam upaya mengembangkan kekohesifan kelompok belajar adalah dengan menggunakan bimbingan kelompok. Teknik dalam bimbingan kelompok yang digunakan dalam mengembangkan kekohesifan kelompok belajar adalah melalui sosiodrama. Sosiodrama yang ditemukan dan dikembangkan oleh Moreno merupakan salah satu teknik yang telah digunakan untuk mengatasi permasalahanpermasalahan sosial serta digunakan dalam meningkatkan atau mengembangkan keterampilan-keterampilan individu yang dibutuhkan untuk menunjang

8 keefektifan interaksi dengan lingkungan sosialnya. Kellermann (2007: 15) mendefinisikan sosiodrama sebagai sebuah pengalaman kelompok sebagai prosedur untuk melakukan eksplorasi sosial dan transformasi konflik antarkelompok. Sosiodrama merupakan sebuah teknik yang digunakan untuk mencegah dan mengembangkan ataupun mengobati permasalahan-permasalahan sosial dengan cara pendramaan permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi. Sosiodrama merupakan laboratorium mini dari permasalahan sosial yang dihadapi peserta didik dalam kehidupan nyata. Sehingga dengan melakukan sosiodrama diharapkan peserta didik dapat memiliki gambaran mengenai permasalahan sosial dalam kehidupannya ataupun mengenai kompetensi yang harus dimiliki serta dikembangkan peserta didik dalam kehidupan nyata. Pada akhirnya, peserta didik diharapkan dapat memahami serta mengaplikasikan penyelesaian-penyelesaian permasalahan sosial yang didapatkannya dari sosiodrama tersebut dalam kehidupan nyatanya. Blatner (2011) mengungkapkan bahwa sosiodrama mirip dengan psikodrama, yaitu keduanya memanfaatkan dinamika kelompok, pemberlakuan, dan metode psychodramatic. Mereka berbeda dalam fokus masalah yang sedang ditangani. Sosiodrama berbeda dengan psikodrama. Perbedaan itu ditekankan pada fokus permasalahan yang akan diselesaikan. Sosiodrama berfokus kepada permasalahan sosial, sedangkan psikodrama lebih menekankan kepada permasalahan pribadi. Selanjutnya psikodrama lebih bersifat psikoterapi, sedangkan sosiodrama dapat bersifat preventif dan pengembangan. Dalam hal ini sosiodrama diartikan sebagai sebuah teknik dalam bimbingan kelompok yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kekohesifan kelompok belajar melalui dramatisasti keadaan sesuai dengan tema yang diangkat berdasarkan need assessment yang dilakukan terhadap peserta didik. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa sosiodrama efektif dalam menyelesaikan permasalahan sosial ataupun dalam mengembangkan kompetensi sosial peserta didik. Di antaranya sosiodrama dapat digunakan sebagai teknik untuk meningkatkan kemampuan interaksi sosial peserta didik. Hal ini sesuai

9 dengan penelitian yang dilakukan oleh Mustikaningrum (2011) yang menunjukkan teknik sosiodrama efektif untuk meningkatkan keterampilan sosial peserta didik SMP. Di samping itu, sosiodrama juga dapat meningkatkan kepercayaan diri peserta didik sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Djannah dan Yulita (2013) yang menyatakan bahwa sosiodrama bisa meningkatkan kepercayaan diri peserta didik di SMP Kristen 1 kelas VIII B. Berdasarkan pemaparan hasil penelitian di atas, dapat diketahui bahwa permasalahan sosial dapat diselesaikan dengan menggunakan sosiodrama. Kekohesifan kelompok merupakan salah satu keadaan yang diharapkan dapat dikembangkan dalam lingkungan, hal ini sesuai dengan fokus sosiodrama yang mengangkat permasalahan sosial untuk dapat diselesaikan ataupun kompetensi sosial yang perlu dikembangkan. Kesuksesan belajar peserta didik dapat diraih di antaranya dengan cara membentuk kelompok belajar. Kelompok belajar yang efektif adalah kelompok belajar yang berhasil mencapai tujuan kelompok (dalam hal ini prestasi belajar peserta didik baik secara kelompok ataupun individu) serta berhasil mempertahankan interaksi yang baik antaranggota kelompok. Hal-hal tersebut dapat dicapai dengan adanya kekohesifan kelompok belajar. Kekohesifan kelompok belajar berkorelasi positif dengan produktivitas kelompok. Sehingga perlu adanya pengembangan kekohesifan kelompok belajar untuk mencapai kelompok belajar yang efektif dan lebih jauh lagi berdampak kepada keberhasilan peserta didik dalam belajarnya. B. Identifikasi dan Perumusan Masalah Kekohesifan kelompok merupakan suatu keadaan dimana setiap anggota kelompok memiliki perasaan tertarik untuk berada dalam sebuah kelompok. Menurut Walgito (2010: 46) kekohesifan kelompok merupakan bagaimana para anggota kelompok saling menyukai dan saling mencintai satu sama lainnya. Kelompok belajar yang kohesif akan membuat anggota kelompoknya nyaman berada dalam kelompok belajar tersebut, memiliki keinginan untuk bekerjasama dan bertanggung jawab terhadap tugas-tugas dalam kelompok ataupun untuk

10 melakukan usaha terbaiknya demi kepentingan kelompok. Kekohesifan kelompok juga didefinisikan oleh Johnson dan Johnson (Budiharto, 2004; Trihapsari & Nashori) sebagai daya saling ketertarikan antaranggota kelompok yang menyebabkan anggota kelompok tersebut berkeinginan untuk tetap tinggal dalam kelompok tersebut, dan juga daya tarik antar individu dengan kelompok atau organisasinya. Adanya kekohesifan dalam suatu kelompok belajar merupakan hal penting. Tanpa adanya kekohesifan dalam kelompok belajar, maka kelompok belajar tersebut tidak akan efektif. Kelompok belajar dengan kekohesifan yang tinggi akan menunjang produktivitas kelompok tersebut, dalam hal ini prestasi kelompok belajar pada umumnya dan setiap anggota kelompok belajar khususnya. Terdapat beberapa penelitian yang menyatakan bahwa kelompok yang kohesif berkorelasi positif dengan hasil produktivitas kelompok. Penelitian yang dilakukan oleh Goodacre (Shaw, 1979; Walgito, 2010) serta penelitian Hemphill dan Sechrest pada tahun 1952 (Walgito, 2010: 50) yang meneliti para personel militer menunjukkan hasil bahwa ada perbedaan antara kelompok kohesi tinggi dengan kelompok kohesi rendah. Kekohesifan kelompok belajar perlu untuk dikembangkan, karena pengembangan kekohesifan kelompok belajar merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan keefektifan proses belajar peserta didik di sekolah. Sosiodrama merupakan salah satu teknik dalam bimbingan dan konseling yang diasumsikan dapat meningkatkan kekohesifan kelompok belajar. Menurut Marineau (2010) sosiodrama adalah ilmu dan seni: berfokus pada akar dan makna hubungan antarkelompok dan konflik, dan cara untuk mengubah mereka, bila diperlukan. Sosiodrama meliputi pencegahan dan pengobatan. Sosiodrama dapat digunakan untuk mengembangkan keterampilan ataupun suatu kondisi sosial dengan mengeksplor emosi dan perasaan-perasaan kelompok. Tema atau fokus dalam pelaksanaan sosiodrama disesuaikan dengan permasalahan yang akan diselesaikan ataupun keterampilan serta kondisi sosial yang akan dikembangkan. Dalam penelitian ini, maka tema dari pelaksanaan sosiodrama merupakan tema-tema

11 kelompok belajar yang diharapkan dapat mengembangkan kekohesifan kelompok belajar. Berdasarkan pemaparan di atas maka pertanyaan umum penelitian adalah teknik sosiodrama yang bagaimana yang dianggap efektif dalam meningkatkan kekohesifan kelompok belajar peserta didik Kelas XI MAN 1 Bandung. Dari pertanyaan penelitian umum tersebut, dapat diuraikan kembali dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan khusus sebagai berikut: 1. Bagaimana gambaran awal kekohesifan kelompok belajar Peserta didik Kelas XI MAN 1 Bandung Tahun Ajaran 2013-2014? 2. Bagaimana prosedur teknik sosiodrama yang digunakan dalam mengembangkan kekohesifan kelompok belajar peserta didik Kelas XI MAN 1 Bandung Tahun Ajaran 2013-2014? 3. Bagaimana keefektifan teknik sosiodrama dalam mengembangkan kekohesifan kelompok belajar peserta didik Kelas XI MAN 1 Bandung Tahun Ajaran 2013-2014? C. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian adalah untuk mengetahui keefektifan teknik sosiodrama yang digunakan sebagai salah satu teknik dalam bimbingan kelompok untuk meningkatkan kekohesifan kelompok belajar peserta didik. Tujuan khusus penelitian adalah memperoleh fakta empirik tentang: 1. Gambaran awal kekohesifan kelompok belajar peserta didik Kelas XI MAN 1 Bandung Tahun Ajaran 2013-2014; 2. Penggunaan teknik sosiodrama dalam mengembangkan kekohesifan kelompok belajar peserta didik kelas XI MAN 1 Bandung Tahun Ajaran 2013-2014; 3. Keefektifan teknik sosiodrama dalam mengembangkan kekohesifan kelompok belajar peserta didik kelas XI MAN 1 Bandung Tahun Ajaran 2013-2014.

12 D. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian terdiri dari manfaat teoretis dan praktis. 1. Manfaat Teoretis Secara teoretis hasil penelitian diharapkan dapat memperkaya pengetahuan serta keilmuan bimbingan dan konseling mengenai kekohesifan kelompok belajar sehingga dapat menjadi salah satu rujukan keilmuan mengenai kekohesifan kelompok belajar bagi peserta didik di sekolah. Selain itu, manfaat teoretis penelitian adalah memberikan sumbangan bagi pengembangan teori mengenai bimbingan kelompok dengan teknik sosiodrama dalam meningkatkan kekohesifan kelompok belajar, sehingga dapat dijadikan salah satu sumber referensi pendidikan yang dapat dikaji dalam penerapan layanan bimbingan dan konseling dalam setting sekolah. 2. Manfaat Praktis a. Guru Bimbingan dan Konseling Penelitian yang efektif mengenai teknik sosiodrama dalam mengembangkan kekohesifan kelompok belajar akan dapat dijadikan salah satu layanan bimbingan dan konseling di sekolah. Dengan penelitian ini guru bimbingan dan konseling akan lebih mudah mengembangkan kekohesifan kelompok belajar peserta didik sehingga peserta didik dapat mencapai hasil belajar yang maksimal melalui pengengembangan potensi diri yang optimal. b. Peneliti Selanjutnya Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi acuan atau sumber rujukan pada penelitian-penelitian selanjutnya pada fokus kekohesifan kelompok ataupun penelitian-penelitian yang relevan lainnya. E. Struktur Organisasi Skripsi Sistematika skripsi terdiri atas lima bab. Bab I Pendahuluan, yang memaparkan latar belakang penelitian yang terdiri dari alasan ketertarikan pengkajian permasalahan penelitian, gejala-gejalan kesenjangan yang terjadi di lapangan, dampak jika kondisi dalam penelitian tidak dikembangkan, teknik yang digunakan dalam mengembangkan kondisi dalam penelitian. Selain itu dalam Bab

13 I dipaparkan pula identifikasi dan perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penyusunan skripsi. Bab II merupakan kajian pustaka, yang berisi konsep-konsep atau teori-teori utama dalam bidang yang dikaji, penelitian terdahulu yang relevan dengan bidang yang dikaji, serta kerangka pemikiran dan hipotesis penelitian. Bab III merupakan metode penelitian, dalam bab ini dijelaskan secara rinci, lokasi dan subjek populasi atau sampel penelitian, desain serta metode yang digunakan dalam penelitian, definisi operasional, instrumen penelitian, proses pengembangan instrumen, teknik pengumpulan data serta analisis data. Bab IV merupakan hasil penelitian dan pembahasan. Bab V berisi Kesimpulan dari keseluruhan proses penelitian dan Saran.