)34i'11" PENGENDALIAN BANJIR JAI(ARTA DENGAN SISTEM POLDER oleh: Koensatwanto fnpasihardj o Disampaikan pada: Worlishop Clean River Management 30-31 Oktober 1996 t [,.'i.i4,1 rri\ir,1..,, & ARSiP -.:.-i (!i.\'ll:y r rljl I U f,,?p Ef'dAs I,n..' ijr. : *Y.?.{6r ' i Ci;.:.,g :...'... fl::'^t,,'il ' BIRO PENGAIRAN DAN IRIGASI. BAPPENAS
LATAR BELAKANG Daerah Khusus lbukota (DKll Jakarta meliputl areal seluas 637 km2 dengan elevasi berkisar antara + 0,8 m di dekat pantai dan + 25 m di bagian selatan. Wilayah DKI Jakarta dialiri tidak kurang dari 13 sungai besar dan kecil yang di musim hujan sering menimbutkan bencana banjir di daerah sekitarnya. Ke-13 sungai tersebut adalah (dari timur ke barat) cakung, Jati Kramat, Buaran, sunter, cipinang, Ciliwung, Cideng, Krukut, Grogol, Sekretaris, Pesanggrahan, Angke, dan Mookervaart. Permasalahan banjir di Jakarta sudah terjadi sejak jaman kofoniaf (abad ke-17!. yang antara lain dicoba diatasi dengan pembangunan saluran banjir kanal dari Manggarai sampai Muara Angke pada tahun 1920-an. Pembangunan banjir kanal tersebut dilandasi oleh gagasan untuk "memotong" aliran banjir s.ciliwung agar tidak mengalir dan menimbulkan kerusakan di tengah kota yang padat penduduknya. Pada perkembangan selanjutnya, dengan semakin meluasnya areal perkotaan, banyak areal permukiman yang berada "di luar" areal yang dilindungi oleh saluran banjir kanal tersebut, sehingga masih sering mengalami banjir oleh luapan S.Ciliwung. Upaya penanggulangan banjir Jakarta tetap memperoteh prioritas, antara lain dengan pembentukan Komando proyek Pencegahan Banjir yang dikenal dengan KoPRo BANJIR pada tahun 1965. Pada tahun 1972, KoPRo BANJIR berubah menjadi proyek Pengendalian Banjir Jakarta Raya di bawah Departemen pekerjaan Biro Pengairan dan Irigasi
Umum/Ditjen Pengairan. Dengan bantuan dari Pemerintah Belanda, kemudian disusun Rencana Induk Penanganan Banjir Jakarta yang diselesaikan pada tahun 1973. Sejak tahun 1994/95 penanganan banjir Jakarta dilakukan oleh Proyek Pengelolaan Sumber Air dan Pengendalian Banjir Ciliwung-Cisadane. PERMASALAHAN BANJIR DI JAKARTA Pada dasarnya, banjir di Jakarta merupakan akibat dari 2 hal yaitu (i) luapan sungai; serta (ii) genangan akibat tidak memadainya prasarana drainasi. Landainya sungai-sungai yang mengalir di Jakarta, serta tingginya curah hujan (rata-rata tahunan 2,ooo mm) menyebabkan aliran sungai melebihi kapasitas atur sungai, dan meluap ke daerah sekitarnya. Di lain pihak, terbatasnya prasarana drainasi serta semakin meluasnya areal yang tidak menyerap air (semen, beton, aspal) mengakibatkan terjadinya genangangenangan. Kondisi tersebut diperparah tagi oleh kerusakan lingkungan di daerah tangkapan air bagian hulu, retatif dekatnya daerah hutu dengan dataran rendah di hilirnya, serta kurang disiplinnya masyarakat untuk tidak membuang sampah ke sungai/prasarana drainasi. Kecuali itu, beberapa penetitian mengindikasikan terjadinya penurunan tanah (land sub.sidencei di beberapa lokasi, seperti di sekitar jalan Gunung Sahari dah jalan tol Sedijatmo.
III. SISTEM PENGENDALIAN BANJIR JAKARTA Dalam rangka menangani masalah banjir kota Jakarta, pada tahun 1973 telah disusun rencana induk pengendalian banjir Jakarta. Prinsip dasar penanggulangan banjir Jakarta, baik yang diakibatkan oleh luapan sungai maupun oleh genangan, adalah sebagai berikut: 1. Memotong aliran sungai-sungai sebelum memasuki kota Jakarta dan mengalirkannya langsung ke laut. Upaya ini berupa pembangunan saluran banjir kanal barat dan banjir kanal timur; 2. Memanfaatkan bekas sungai yang terpotong sebagai prasarana drainasi utama, khususnya menampung saluran drainasi yang dialirkan secara gravitasi dari daerah-daerah yang elevasinya relatif tinggi; 3. Pada daerah yang elevasinya rendah, di mana adanya tanggul menghalangi masuknya aliran drainasi ke sungai, dikembangkan dengan sistem penampungan/potder. Dalam sistem tersebut, aliran drainasi ditampung dalam waduk untuk setanjutnya dipompa ke luar polder. Adapun rincian rencana induk pengendalian banjir Jakarta adalah sebagai berikut: o Pembangunan sistem barat, dengan menambah areal perlindungan Banjir Kanal Barat (yang dibangun tahun 192O) dengan memperpanjangsaluran Banjir Kanal Barat dari Pejompongan ke Muara Angke, sehingga dapat menampung Biro Pengairan dan Irigasi
banjir Sungai-Sungai Grogol, Sekretaris, dan Angke, yang akan melindungi daerah seluas 7.500 ha; Pembangunan sistem timur yang antara Kanal Timur (dari daerah Kebon Nanas ke akan memotong Sungai-Sungai lain terdiri atas Banjir muara S.Cakung) dan Cipinang, Sunter, Buaran/Jatikramat, dan Cakung, dan akan melindungi daerah seluas 16.500 ha; Pembangunan sistem drainasi polder pada daerah yang terletak "di dalam" sistem Banjir Kanal (barat dan timur). lv. PEMAKAIAN SISTEM POLDER DALAM PENGENDALIAN BANJIR a. Sistem Polder Yang dimaksud dengan sistem polder di sini adalah mengisolasi suatu daerah sehingga terlindung dari aliran air yang berasal dari 'luar'. Untuk mencegah aliran dari luar polder, di sekeliling polder dibuat saluran keliling yang sekaligus berfungsi sebagai saluran drainasi utama. Dengan mengisolasi daerah tersebut, maka masalah yang harus diatasi hanyalah bagaimana mengalirkan air yang berasal dari polder itu sendiri, khususnya air yang berasal dari air hujan. Dengan demikian, maka berfungsi tidaknya sistem polder akan sangat tergantung pada sistem drainasi di dalam polder itu sendiri. Oleh karenanya, kapasitas saluran drainasi harus dibuat sedemikian rupa sehingga mampu menampung debit air yang
mengalir ke dalamnya. Aliran yang terkumpul dalam saluran drainasi tersebut kemudian dialirkan ke stasiun pompa, untuk setanjutnya dipompa ke luar polder. Dalam hal kapasitas pompa yang tersedia lebih kecil dari debit aliran pada saluran drainasi, maka akan diperlukan ternpat penampungan air sementara, dalam bentuk waduk atau long storage. Di rnusim kering/kemafau, aliran langsung dialirkan ke stasiun pompa tanpa melalui waduk, sehingga dengan cepat dapat dipompa keluar. Perhitungan kapasitas waduk dan pompa didasarkan pada besarnya hujan rencana (design rainfaffl serta waktu konsentrasi (time concentrationl yang ditetapkan. Untuk kota Jakarta, hujan rencana diambil sebesar hujan 25 tahunan dengan time concentration selama 2,5 jam. Dengan asumsi tersebut, maka dapat diperoleh besarnya debit rencana, dan kemudian dapat dilakukan optimasi antara volume waduk dan kapasitas pompa yang diperlukan. Setelah diperoleh volume waduk yang optimal, kemudian dihitung fluktuasi elevasi permukaan waduk tersebut, yaitu dengan mengambil debit minimum berdasarkan hujan 2 tahunan dan debit maksimum sebesar hujan 25 tahunan. Metoda perhitungan untuk menetapkan dimensi saluran drainasi juga memakai pendekatan serupa, yaitu dengan memakai hujan 25 tahunan sebagai hujan rencana. Penetapan dimensi saturan drainasi ditetapkan dengan menganggap pada saat terjadinya hujan rencana tersebut, waduk berada datam keadaan go% penuh. Dengan asumsi tersebut, kemudian dapat diperoteh bagian-bagian polder yang perlu dipertinggi atau dilindungi dengan tanggut.
b. Sistem Polder di Jakarta Sebagaimana diketahui, pengendalian banjir di Jakarta dimaksudkan untuk mencegah luapan sungai ke daerah sekitarnya, khususnya pada daerah yang diamankan. Pada umumnya, pengendalian banjir di suatu daerah dilaksanakan melalui penyediaan saluran banjir lflood-diversion canafi, yang berfungsi kecuati mengalirkan aliran banjir yang berasal dari bagian hutu, di samping itu juga dapat memanfaatkan ruas sungai yang telah 'terpotong' oleh saluran banjir sebagai penampung sistem drainasi pada daerah yang dilindungi. sistem drainasi terdiri atas jaringan safuran pembuangan dan mengalirkannya ke saluran kolektor yang lebih besar serta selanjutnya dialirkan ke saluran drainasi utama untuk kemudian dialirkan ke laut. Bagian utara Jakarta merupakan daerah yang relatif rendah dengan topografi datar serta berpenduduk padat. Keadaan tersebut menyebabkan kesulitan dalam menyediakan saluran drainasi dengan kedalaman yang diperlukan, serta pengaliran saturan drainasi ke laut pada waktu air pasang praktis tidak mungkin dilakukan. oleh karenanya, pada daerah-daerah tersebut sistem drainasi harus dilengkapi dengan pompa-pompa untuk mengalirkan alirannya ke laut. Dalam upaya membatasi jumlah air yang harus dipompa keluar, daerah rendah tersebut harus dipisahkan dari daerah yang relatif tinggi di sekitarnya melalui pembuatan tanggul di sekelilingnya. Sistem semacam itulah yang dimaksud dengan sistem polder dalam mengendalikan banjir di daerah rendah kota Jakarta. Pada umumnya, sistem polder terdiri atas sistem mikro dan makro.
Sistem makro berupa saluran drainasi utama, waduk, serta rumah pompa, sedang mikro sistem berupa sistem pembuangan dan jaringan kolektor. Sebagaimana telah dijelaskan, untuk mengatasi banjir di daerah yang berada 'di dalam' sistem Banjir Kanal Barat {BKB) dan rencana Banjir Kanal Timur (BKT), dikembangkan sistem polder yang sesuai dengan karakter daerah tersebut. Daerah yang berada di antara BKB dan rencana BKT tersebut kemudian dibagi dalam enam sistem polder, yaitu: 1. Sistem Polder Karang (3.240 ha) Terletak di bagian hilir pintu air Karet, di antara saluran Banjir Kanal Barat dengan rencana pertuasan saturan Banjir Kanat Barat, dan mencakup antara lain daerah Tomang Timur, Tomang Barat, Jelambar, dan Muara Angke. Sebagai saluran drain utama adalah Karang drain, yang menampung aliran dari K.Krukut, K.Grogol, dan K.Sekretaris. Dalam hal air tidak dapat dialirkan ke drain utama, baik karena terjadinya banjir atau karena pengaruh air pasang, disediakan waduk penampung yaitu waduk Melati di bagian hilir dan waduk Tomang Barat di bagian hulu. Selanjutnya, air dalam waduk tersebut dialirkan ke drain utama dengan bantuan pompa-pompa. 2.Sistem Polder antara S.Cideng Hilir - S.Krukut (1.730 hal Terletak di antara saluran Banjir Kanal Barat dan S.Ciliwung-Gajah Mada, dan mencakup antara lain daerah Menteng, Cideng, dan Pluit. Di polder ini, terdapat beberapa drain kolektor, yaitu Cideng
drain, Krukut drain, Angke drain, dan Duri drain, yang kemudian mengalirkannya ke drain utama Karang drain dan Kali Besar drain. Sebagian aliran dari Kali Besar drain masuk ke waduk Pluit sebelum kemudian dipompa ke laut. Aliran yang berasal dari bagian barat polder ini juga tidak dapat dialirkan secara gravitasi ke laut, sehingga harus dialirkan ke dalam waduk Pluit terlebih dahulu. 3.Sistem Polder antara Jl. Gajah Mada - Saluran Gunung Sahari (760 hal Terletak di hilir pintu air Kapitol, dan berada di antara S.Ciliwung Gajah Mada dan S.Ciliwung Gunung Sahari. Drain utama polder ini adalah kedua S.Ciliwung yang terpecah dua, di mana sebagian mengalir ke Pasar lkan dan sebagian lagi mengalir ke Pekapuran. Pada saat ini, di Pekapuran telah dibangun pintu penahan air laut (salinity gate) yang dimaksudkan untuk mengurangi pengaruh pasang laut pada S.Ciiwung Gunung Sahari. 4. Sistem Polder yang terletak antara Ciliwung/Gn.Sahari - polder Sunter Barat (1.600 hal Terletak di antara S.Ciliwung Gunung Sahari dan saluran drainasi Sunter Barat, dan antara lain mencakup daerah sekitar lstiqlal dan bekas bandar udara Kemayoran. Aliran drainasi dari polder ini dialirkan ke saluran Ancol, yang berfungsi sebagai regulating basin, dan kemudian dialirkan ke laut metalui pintu Pekapuran - Saluran Ancol, serta metatui pelabuhan Tanjung Priok.
5. Sistem Polder antara BKT - Sunter Drain (7.750 hal Merupakan sistem polder yang membentang di bagian selatan saluran drainasi Sunter, dari aliran S.Ciliwung di bagian barat a;.1.. sampai ke rencana saluran Banjir Kanal Timur (S.Cakung) di bagian barat, dan meliputi daerah Tanah Tinggi, Utan Kayu, pulo Mas, Pulo Gadung, Klender, dan Cakung. Dalam sistem polder ini, terdapat beberapa drain kolektor antara lain Sentiong drain dan Utan Kayu drain, yang kemudian dialirkan ke laut melalui Sunter West drain dan Terusan Sunter drain. 6. Sistem Polder di wilayah Timur (7.900 hal Merupakan polder terbesar, dan membentang di bagian utara sepanjang pantai, dari Sunter West drain sampai dengan s.cakung (rencana Banjir Kanal rimur). Daerah ini kemudian dibagi lagi ke dalam 3 polder yaitu: polder sunter Barat (1.000 ha), polder Sunter Timur (3.300 ha) dan polder Marunda (3.000 ha). Karena wilayahnya yang relatif datar dengan perbedaan tinggi relatif kecil dengan laut, maka ketiga polder tersebut dilengkapi dengan waduk-waduk penampung, antara lain waduk Sunter, waduk Marunda, dan situ Rawa Kendal. sistem drainasi di ketiga polder tersebut dilayani oleh Sunter west drain, Terusan Sunter drain, Cakung drain dan S.Cakung. V. Permasalahan Yang Dihadapi Walaupun konsep penanggulangan banjir di Jakarta dapat dikatakan cukup komprehensif, namun dalam kenyataannya masih 9
mengalami kerugian akibat banjir. Masalah terbesar yang dihadapi oleh Jakarta pada saat ini adalah belum terlaksananya pembangunan Banjir Kanal Timur, sehingga di bagian timur kota Jakarta masih sering mengalami banjir yang berasal dari sungai-sungai Cipinang, Sunter, dan Cakung. Dalam kaitan dengan sistem polder yang merupakan salah satu subsistem pengendalian banjir Jakarta, terdapat beberapa permasalahan sebagai berikut: a) Sebagian besar sistem polder di Jakarta, khususnya yang berada di wilayah timur, masih belum berfungsi sebagaimana seharusnya. Hal ini disebabkan karena belum terlaksananya pembangunan saluran Banjir Kanal Timur (BKT), sehingga masih banyak aliran dari luar yang masuk ke dalam sistem polder. Keadaan tersebut mengakibatkan saluran drainasi di dalam sistem polder masih harus dipergunakan untuk mengalirkan air yang berasal dari bagian hulu, sehingga pada waktu terjadi banjir dari hulu, air yang berasal dari polder itu sendiri tidak dapat tertampung. Upaya untuk mengatasi hal ini sudah banyak dilakukan, antara lain dengan meningkatkan kapasitas serta memelihara kapasitas alirannya. Namun demikian, mengingat relatif rendahnya sistem polder tersebut dari permukaan laut yang berarti energi gravitasinya juga rendah, akan diperlukan penampang yang besar agar dapat mengalirkan air yang berasal dari hulu. b) Sebagian besar masyarakat masih belum mematuhi larangan membuang sampah di saluran-saluran yang ada, sehingga sebagian besar saluran drainasi mengalami penurunan kapasitas yang cukup besar. Karena kemiringan saluran-saluran tersebut l0
umumnya sangat kecil, maka limbah padat yang ada tidak dapat hanyut ke hulu dan menjadi tumpukan yang semakin lama semakin padat. Keadaan tersebut- mengakibatkan besarnya biaya pemeliharaan saluran agar dapat berfungsi dengan baik. Apabila tingkat kedisiplinan masyarakat dapat diting(atkan, maka biaya pemetiharaan tahunan dapat dimanfaatkan.untuk menambah prasarana pengendalian banjir yang betum dibangun. c) Sampai saat ini dirasakan masih diperlukan peningkatan koordinasi antarinstansi terkait dengan sistem pengendalian banjir di Jakarta. Sebagaimana diketahui, untuk sistem drainasi di daerah perkotaan pada saat ini ditangani oleh dua instansi, yaitu (a). Ditjen Pengairan menangani sistem drainasi makro, seperti sungai-sungai dan saluran utama, dan (b). Ditjen Cipta Karya menangani sistem drainasi mikro. Untuk memperofeh sinergi yang optimal, koordinasi kedua instansi tersebut merupakah hal yang mutlak untuk dilaksanakan. d) Di lain pihak, terbatasnya prasarana drainasi serta semakin metuasnya areal yang tidak menyerap air (semen, beton, aspal) mengakibatkan terjadinya genangan-genangan. Kondisi tersebut diperparah lagi oleh kerusakan lingkungan di daerah tangkapan air bagian hulu, relatif dekatnya daerah hulu dengan dataran rendah di hilirnya. e) Hal lain yang juga memeriukah pengkajian lebih mendatam adalah adanya indikasi terjadinya amblesan tanah Uand subsidencel di beberapa lokasi, seperti di sekitar jalan Gunung Sahari dan jalan tol Sedijatmo. Bila hal tersebut benar, maka untuk mengamankan polder-polder yang ada pertu dilakukan evatuasi ulang untuk
mengkaji kembali apakah desain serta kapasitasnya masih sesuai dengan yang direncanakan. vt. Saran Tindak Lanjut Kecuali pemecahan dengan pendekatan struktural yang memerlukan biaya refatif tinggi, kiranya saat ini sudah saatnya diintensifkan upaya-upaya yang sifatnya non-struktural, antara lain: a) Meningkatkan kampanye kepada masyarakat luas untuk tidak membuang limbah padat ke sungai dan saluran yang ada. b) Melakukan penataan di daerah hulu secara konsisten sesuai dengan peraturan yang ada. c) Meningkatkan koordinasi antarinstansi yang terkait dengan pengendalian banjir Jakarta, khususnya untuk sinkronisasi penanganan makro dan mikro drainasi di dalam pengembangan polder. L2