BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. coba setelah pemberian polisakarida krestin (PSK) dari jamur Coriolus versicolor

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. yang meliputi persentase hepatosit normal, pembengkakan hepatosit, hidropik,

BAB I PENDAHULUAN. (Wasser, 2002). Polisakarida mempunyai kemampuan untuk meningkatkan sistem

BAB I PENDAHULUAN. untuk menelitinya lebih jauh adalah Coriolus versicolor.

ADLN Perpustakaan Universitas Airlangga BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

UJI TOKSISITAS SUBKRONIK POLISAKARIDA KRESTIN DARI EKSTRAK

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. Airlangga digunakan sebagai tempat pembuatan ekstraksi jamur C. versicolor,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN (Sari, 2007). Parasetamol digunakan secara luas di berbagai negara termasuk

BAB I PENDAHULUAN. meningkat, terlebih dengan adanya isu back to nature serta krisis berkepanjangan

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. coco. Berikut data mortalitas uji pendahuluan: Jumlah Ikan (ekor)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 4.1 Rata-rata peningkatan jumlah eritrosit. Jumlah eritrosit darah (juta/ mm 3 ) ulangan ke

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Bahan pewarna saat ini memang sudah tidak bisa dipisahkan dari

BAB I PENDAHULUAN. berkhasiat obat ini adalah Kersen. Di beberapa daerah, seperti di Jakarta, buah ini

TOKSISITAS MERKURI (Hg) TERHADAP TINGKAT KELANGSUNGAN HIDUP, PERTUMBUHAN, GAMBARAN DARAH DAN KERUSAKAN PADA IKAN NILA Oreochromis niloticus

BAB I PENDAHULUAN. juga disertai dengan kemunduran kemampuan psikis, fisik dan sosial.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. rutin, dengan waktu dan cara yang tepat. 2 Kebiasaan menyikat gigi, terutama

BAB I PENDAHULUAN. yang dilakukan oleh Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Pada penelitian ini digunakan sampel 52 orang yang terbagi menjadi 2

BAB III METODE PENELITIAN. Sains dan Teknologi Universitas Airlangga sebagai tempat pemeliharaan dan

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. HASIL DAN PEMBAHASAN. Tabel 2 Rataan bobot badan ayam (gram) yang diberikan ekstrak tanaman obat dari minggu ke-1 sampai dengan minggu ke-4

BAB I PENDAHULUAN. Obat-obat modern walaupun telah mendominasi dalam pelayanan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. 4.1 Hasil Penelitian Pengaruh ekstrak jahe terhadap jumlah spermatozoa mencit yang terpapar 2-ME

I. PENDAHULUAN. tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat

Tanaman Putri malu (Mimosa pudica L.) merupakan gulma yang sering dapat ditemukan di sekitar rumah, keberadaannya sebagai gulma 1

BAB I PENDAHULUAN. banyak digunakan karena bahan ini paling ekonomis, mudah diperoleh dipasaran.

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan, hewan, mineral, sediaan sarian (galenika) atau campuran dari bahanbahan

BAB I PENDAHULUAN. terdiri dari kolesterol total, trigliserida (TG), Low Density Lipoprotein (LDL) dan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh ekstrak etanol biji labu kuning terhadap jumlah spermatozoa mencit yang diberi 2-ME

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Ekstrak memberikan rendemen sebesar 27,13% (Tabel 3).

BAB I PENDAHULUAN. budaya di dalam masyarakat Indonesia. Sebab, obat-obatan tradisional lebih

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

1 Universitas Kristen Maranatha

EFEK TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL KULIT BATANG SINTOK PADA TIKUS PUTIH GALUR WISTAR* Intisari

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. Rata-rata penurunan jumlah glomerulus ginjal pada mencit jantan (Mus

BAB I PENDAHULUAN. Allah SWT berfirman dalam Al-qur an yang berbunyi:

EFEK EKSTRAK TANDUK RUSA SAMBAR (CERVUS UNICOLOR) TERHADAP KADAR UREUM DAN KREATININ TIKUS PUTIH (RATTUS NOVERGICUS)

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai usaha dilakukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Misalnya

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Rhodamine B merupakan zat warna golongan xanthenes dyes. Pewarna

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia banyak sekali masyarakat yang mengkonsumsi produk

BAB I PENDAHULUAN. Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 033 tahun 2012 tentang Bahan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. Hasil penelitian tentang pengaruh pemberian tomat (Solanum

BAB I PENDAHULUAN. dibuktikan manfaatnya (Sudewo, 2004; Tjokronegoro, 1992). zingiberaceae, yaitu Curcuma mangga (Temu Mangga). Senyawa fenolik pada

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat bervariasi dan begitu populer di kalangan masyarakat. Kafein

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. bertingkat dengan empat dosis tidak didapatkan kematian pada

BAB I PENDAHULUAN. dengan menggunakan merkuri (Hg) (Widodo, 2008). Merkuri (Hg) merupakan

Pengertian farmakokinetik Proses farmakokinetik Absorpsi (Bioavaibilitas) Distribusi Metabolisme (Biotransformasi) Ekskresi

BAB I PEDAHULUAN. banyak terdapat ternak sapi adalah di TPA Suwung Denpasar. Sekitar 300 ekor sapi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kesehatan bahkan menyebabkan kematian.

BAB 1 PENDAHULUAN. Manusia dapat terpapar logam berat di lingkungan kehidupannya seharihari.

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Antibiotik adalah obat yang digunakan sebagai obat anti infeksi,

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Hewan Coba

Pengamatan Histopatologi Analisis Statistik HASIL DAN PEMBAHASAN Bobot Badan dan Kondisi Fisik Hewan Coba

EFEK TOKSISITAS SUBKRONIK EKSTRAK ETANOL KULIT BATANG SINTOK PADA TIKUS PUTIH GALUR WISTAR. Intisari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

UJI TOKSISITAS SUB KRONIS DARI EKSTRAK ETANOL DAUN SIRSAK (Annona muricata.l) TERHADAP HATI DAN GINJAL PADA MENCIT PUTIH

I. PENDAHULUAN. dunia telah memanfaatkan tumbuhan obat untuk memelihara kesehatan (Dorly,

I. PENDAHULUAN. serbaguna bagi kehidupan mahluk hidup (Yani, 2010). Air sungai saat ini banyak

SMP kelas 9 - BIOLOGI BAB 1. Sistem Ekskresi ManusiaLATIHAN SOAL BAB 1

BAB I PENDAHULUAN. diperuntukkan sebagai makanan dan minuman yang dikonsumsi manusia,

BAB I PENDAHULUAN. Tanaman kedondong hutan (Spondias pinnata), suku Anacardiaceae,

TINJAUAN PUSTAKA. Ginjal adalah system organ yang berpasangan yang terletak pada rongga

BAB I PENDAHULUAN. bersifat nontosik, sehingga dapat juga digunakan sebagai obat anti kanker dan anti

TOKSIKOMETRIK. Studi yang mempelajari dosis dan respon yang dihasilkan. Efek toksik. lethal dosis 50

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

1 Universitas Kristen Maranatha

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. diinduksi aloksan, dengan perlakuan pemberian ekstrak Buah Jambu Biji (Psidium

a. Cedera akibat terbakar dan benturan b. Reaksi transfusi yang parah c. Agen nefrotoksik d. Antibiotik aminoglikosida

SISTEM EKSKRESI PADA MANUSIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN. Sains dan Teknologi Universitas Airlangga Surabaya sebagai tempat

BAB I PENDAHULUAN. bahan-bahan yang terkandung di dalamnya dalam jangka panjang.

EFEK NEFROPROTEKTIF EKSTRAK TAUGE (Vigna radiata (L.)) TERHADAP PENINGKATAN KADAR KREATININ SERUM TIKUS WISTAR YANG DIINDUKSI PARASETAMOL DOSIS TOKSIK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pakan. Biaya untuk memenuhi pakan mencapai 60-70% dari total biaya produksi

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL BAWANG TIWAI TERHADAP HISPATOLOGI GINJAL MENCIT ABSTRACT

PERUBAHAN KADAR UREUM DAN KREATININ PASCA PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL DAUN KEMBANG BULAN (Tithonia diversifolia) (STUDI PADA TIKUS PUTIH GALUR WISTAR)

Konsep Sel, Jaringan, Organ dan Sistem Organ

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB III METODE PENELITIAN. Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen, karena

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

OBAT DAN NASIB OBAT DALAM TUBUH

HASIL DAN PEMBAHASAN

Banyak penyakit yang dihadapi para klinisi disebabkan karena respons inflamasi yang tidak terkendali. Kerusakan sendi pada arthritis rheumatoid,

BAB I PENDAHULUAN. manusia dari semua kelompok usia dan ras. Jong (2005) berpendapat bahwa

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Tahun-tahun terakhir ini muncul suatu fenomena dimana pengobatan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bab IV Hasil dan Pembahasan

Struktur Ginjal: nefron. kapsul cortex. medula. arteri renalis vena renalis pelvis renalis. ureter

BAB I PENDAHULUAN. Obat analgesik adalah obat yang dapat mengurangi nyeri tanpa menyebabkan. mengurangi efek samping penggunaan obat.

BAB I PENDAHULUAN. Deksametason merupakan salah satu obat golongan glukokortikoid sintetik

EFEK NEFROPROTEKTIF EKSTRAK TAUGE (Vigna radiata (L.)) TERHADAP PENINGKATAN KADAR UREA SERUM TIKUS WISTAR YANG DIINDUKSI PARASETAMOL DOSIS TOKSIK

Sistem Osmoregulasi Pada Ikan

Transkripsi:

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian Data primer berupa gambaran histologi ginjal dan kadar kreatinin hewan coba setelah pemberian polisakarida krestin (PSK) dari jamur Coriolus versicolor selama 62 hari. Data pendukung berupa pengamatan makroskopis ginjal yang dianaliasi secara deskriptif. 4.1.1 Hasil pengamatan makroskopis ginjal Data berikut adalah data pendukung yang berupa pengamatan makroskopis ginjal. Pengamatan makroskopis ginjal meliputi: warna, permukaan, konsistensi dan berat ginjal mencit dapat dilihat pada tabel 4.1. Tabel 4.1 Pengamatan makroskopis ginjal mencit pada 4 perlakuan yang diberi berbagai dosis PSK. Kelompok Warna Permukaan Konsistensi Berat ginjal (Gram) P0 (0 mg/kg BB) P1 (1,5 mg/kg BB) P2 (3 mg/kg BB) P3 (6 mg/kg BB) Merah kecoklatan Merah kecoklatan Merah kecoklatan Merah kecoklatan Licin Kenyal 0,18 Licin Kenyal 0,16 Licin Kenyal 0,15 Licin Kenyal 0,14 34

35 4.1.2 Pengamatan histologi sediaan ginjal Data primer yang digunakan berupa pengamatan histologi sediaan ginjal. Pengamatan histologi ginjal pada sel tubuli berupa jumlah sel normal, pembengkakan dan nekrosis sel dapat dilihat pada tabel 4.2, 4.3 dan 4.4. Tabel 4.2 Jumlah sel tubuli yang normal (%) dan hasil analisis uji Duncan pada 4 kelompok perlakuan Replikasi ke- Sel tubuli normal (%) pada kelompok- P0 P1 P2 P3 1 97,29 93,56 79,42 73,16 2 97,45 79,22 70,08 61,12 3 97,82 78,98 71,68 63,92 4 97,27 80,92 72,57 63,94 5 100 81,37 74,95 61,28 6 98,04 88,56 73,16 65,88 Rerata ± SD 97,98 d ±1,03 83,77 c ±5,93 73,64 b ±3,25 64,88 a ±4,43 Keterangan: angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan ada beda signifikan dari hasil uji Duncan. Tabel 4.3 Jumlah sel tubuli yang mengalami pembengkakan (%) dan hasil analisis uji Duncan pada 4 kelompok perlakuan Replikasi ke- Sel tubuli yang mengalami pembengkakan (%) pada kelompok- P0 P1 P2 P3 1 3,32 17,44 10,69 22,84 2 2,65 17,53 11,41 8,22 3 2,19 12,92 13,67 12,61 4 1,19 13,91 12,20 18,06 5 1,95 6,44 8,78 13,14 6 3,76 13,62 8,07 17,08 Rerata ± SD 2,51 a ±0,93 13,64 bc ±4,04 10,80 b ±2,10 15,32 c ±5,09 Keterangan: angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan ada beda signifikan dari hasil uji Duncan.

36 Tabel 4.4 Jumlah sel tubuli ginjal yang mengalami nekrosis (%) dan hasil analisis uji Duncan pada 4 kelompok perlakuan Replikasi ke- Sel tubuli yang mengalami nekrosis (%) pada kelompok- P0 P1 P2 P3 1 0 3,30 9,87 15,94 2 0 3,53 18,58 27,74 3 0 6,08 14,66 23,44 4 0,46 4,70 15,22 20,72 5 0 4,96 16,28 20,94 6 2,66 6,85 18,76 18,34 Rerata 1,06±0,52 a 1,39±4,90 b 3,26±15,56 c 4,09±21,18 d Keterangan: angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan ada beda signifikan dari hasil uji Duncan 120 Jumlah sel tubuli (%) 100 80 60 40 20 0-20 d c b a a bc c c b a b a P0 P1 P2 P3 Kelompok perlakuan sel normal pembengkakan sel nekrosis sel Gambar 4.1 Diagram jumlah sel tubuli yang normal, bengkak dan nekrosis. Keterangan: P0: pemberian larutan salin; P1: pemberian PSK dosis 1,5 mg/kg BB; P2: pemberian PSK dosis 3 mg/kg BB; P3: pemberian PSK dosis 1,5 mg/kg BB. Warna yang sama menunjukkan kriteria sel tubuli ginjal yang sama.

37 Hasil analisis data dengan menggunakan uji One-Sample Kolmogorov Smirnof menunjukkan bahwa masing-masing data sel tubuli normal, pembengkakan, nekrosis berdistribusi normal dengan nilai p=0,613, p=0,862, p=0,552 (p>0,05). Kemudian dilanjutkan menggunakan uji Homogenity of Variances yang menunjukkan data bersifat homogen dengan nilai masing-masing p=0,160, p=0,060, p=0,119 (p>0,05). Pada hasil analisis data dari ketiga kriteria sel tubuli menggunakan One Way Anova menunjukkan p=0,000 (p<0,05), sehingga hipotesis yang menyatakan tidak ada pengaruh pemberian PSK ekstrak jamur C. versicolor pada histologi ginjal mencit (H 0 1) ditolak. Untuk mengetahui signifikansi antar kelompok perlakuan maka dilakukan uji lanjutan yaitu menggunakan uji Duncan. Hasil analisis menggunakan uji Duncan pada histologi ginjal yang berupa sel tubuli normal mencit pada kelompok perlakuan kontrol (P0) menunjukkan berbeda signifikan dengan perlakuan 1 (P1), perlakuan 2 (P2) dan perlakuan 3 (P3). Kelompok perlakuan 1 (P1) berbeda signifikan dengan kelompok perlakuan 2 (P2) dan perlakuan 3 (P3). Kelompok perlakuan (P2) berbeda signifikan dengan perlakuan 3 (P3). Hasil analisis menggunakan uji Duncan pada histologi ginjal mencit berupa pembengkakan sel tubuli pada kelompok perlakuan kontrol (P0) menunjukkan berbeda signifikan dengan kelompok perlakuan 1 (P1), perlakuan 2 (P2) dan perlakuan 3 (P3). Kelompok perlakuan 1 (P1) berbeda tidak signifikan dengan perlakuan 2 (P2) dan perlakuan 2 (P2). Kelompok perlakuan 2 (P2) berbeda signifikan dengan kelompok perlakuan 3 (P3).

38 Hasil analisis menggunakan uji Duncan pada histologi ginjal mencit berupa nekrosis sel tubuli pada kelompok perlakuan kontrol (P0) menunjukkan berbeda signifikan dengan kelompok perlakuan 1 (P1), perlakuan 2 (P2) dan perlakuan 3 (P3). Kelompok perlakuan 1 (P1) berbeda signifikan dengan perlakuan 2 (P2) dan perlakuan 3 (P3). Kelompok perlakuan 2 (P2) berbeda signifikan dengan perlakuan 3 (P3). Gambaran mikroskopik ginjal pada masing-masing kelompok perlakuan sebagai berikut: Gambar 4.3 Gambaran mikroskopis ginjal mencit pada perlakuan kontrol (P0) pemberian dosis PSK 0 mg/mg BB pada perbesaran 600x dan skala bar 20 µm. Sn= sel normal. Pada perlakuan kontrol (P0) tampak sel-sel tubuli ginjal normal.

39 Gambar 4.4 Gambaran mikroskopis ginjal mencit yang mengalami kerusakan pada sel tubuli ginjal mencit pada perbesaran 600x dan skala bar 20 µm. Sn= Sel normal, Ps= Pembengkakan sel, Nk= nekrosis. Pada perlakuan 1,5 mg/kg BB (P1), 3 mg/kg BB (P2) dan 6 mg/kg BB (P3) tampak adanya kerusakan pada sel tubuli ginjal berupa pembengkakan dan nekrosis sel.

40 4.1.2 Pengukuran kadar kreatinin Data yang diperoleh dari pengukuran kadar kreatinin setelah pemberian polisakarida krestin (PSK) dari jamur C. versicolor dapat dilihat pada tabel 4.5. Pada penelitian ini kadar kreatinin serum mencit pada masing-masing kelompok perlakuan adalah sebagai berikut: Tabel 4.5 Rerata kadar kreatinin dan hasil analisis uji Duncan pada 4 kelompok perlakuan Kelompok perlakuan Dosis PSK (mg/kg BB) Kadar kreatinin (mg/dl) pada ulangan ke- Rerata 1 2 3 4 5 6 P0 0 0,8 0,4 0,8 0,4 0,4 0,4 0,21±0,53 a P1 1,5 1,2 0,4 0,4 0,8 0,8 0,8 0,30±0,73 a P2 3 0,8 0,4 1,2 0,8 0,8 0,8 0,25±0,8 ab P3 6 0,8 1,2 1,2 1,2 0,8 1,2 0,21±1,06 b Keterangan: angka yang diikuti dengan huruf yang berbeda menunjukkan ada beda signifikan dari hasil uji Duncan. kadar kretinin 1.4 1.2 1 0.8 0.6 0.4 0.2 0 b a ab a P0 P1 P2 P3 Kelompok perlakuan Gambar 4.5 Grafik rata-rata kadar kreatinin. Keterangan: P0: pemberian larutan salin; P1: pemberian PSK dosis 1,5 mg/kg BB; P2: pemberian PSK dosis 3 mg/kg BB; P3: pemberian PSK dosis 6 mg/kg BB. Huruf yang berbeda menunjukkan ada perbedaan yang signifikan.

41 Hasil analisis data dengan menggunakan uji One-Sample Kolmogorov Smirnof menunjukkan bahwa data berdistribusi normal dengan nilai p=0,156 (p>0,05). Kemudian dilanjutkan menggunakan uji Homogenity of Variances yang menunjukkan data bersifat homogen dengan nilai p=0,770 (p>0,05). Pada hasil analisia data menggunakan one way Anova menunjukkan p<0,05, sehingga hipotesis yang menyatakan tidak ada pengaruh pemberian PSK ekstrak jamur C. versicolor pada kadar kreatinin mencit (H 0 2) ditolak. Untuk mengetahui signifikansi antar kelompok perlakuan maka dilakukan uji lanjutan yaitu menggunakan uji Duncan. Hasil analisis menggunakan uji Duncan pada kadar kreatinin mencit pada kelompok perlakuan kontrol (P0) menunjukkan berbeda tidak signifikan dengan perlakuan 1 (P1) dan perlakuan 2 (P2) tetapi berbeda signifikan dengan perlakuan 3 (P3). Kadar kreatinin pada kelompok perlakuan 3 (P3) berbeda tidak signifikan dengan perlakuan 2 (P2). 4.2 Pembahasan Di Asia, Coriolus versicolor banyak digunakan sebagai suplemen kesehatan yang dijual bebas. Badan otoritas kesehatan di Cina dan Jepang mengungkapkan bahwa ekstrak C. versicolor cocok digunakan sebagai adjuvant yang dikombinasikan selama kemoterapi ataupun radioterapi dalam berbagai perlakuan kanker (Ooi dan Liu, 2000). Salah satu fungsi yang paling penting dari PSK adalah sebagai imunomodulator dan anti kanker (Cheng dan Leung, 2008). Polisakarida krestin

42 (PSK) digunakan sebagai adjuvan dalam penyembuhan kanker esofagus, kanker nasofaring, kanker kolon, kanker rektum, kanker paru-paru, kanker payudara (Kidd, 2000). Penelitian Hobbs, 1995; Stamets, 2000; dalam Wasser, 2002, injeksi PSK pada bagian tumor dapat menghambat pertumbuhan tumor pada bagian tersebut dan bagian yang lain. Sehingga penginjeksian PSK tersebut dapat membantu dalam mencegah terjadinya metastasis lanjutan. Polisakarida krestin (PSK) dapat digunakan secara oral maupun intravena dalam pengobatan kanker. Polisakarida krestin (PSK) dari ekstrak C. versicolor yang diberikan pada mencit betina selama uji toksisitas akut menunjukkan efek yang cukup toksik dengan nilai LD 50 dengan dosis sebesar 231,8 mg/kg BB (Wahyuningsih dan Darmanto, 2010). Sedangkan penelitian tentang toksisitas subkronik polisakarida peptida telah dilakukan oleh Jian et al., (1999) dalam Cheng dan Leung (2008) dengan pemberian dosis (0, 1,5, 3, dan 6 mg/kg BB) menunjukkan tidak ada gejala toksik atau kematian pada hewan coba dan tidak ada ketoksikan yang mempengaruhi perubahan pada darah dan biokimia serum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui toksisitas subkronik polisakarida krestin ekstrak C. versicolor terhadap histologi ginjal dan kadar kreatinin. Dosis PSK yang diberikan adalah 0 mg/kg BB, 1,5 mg/kg BB, 3 mg/kg BB dan 6 mg/kg BB. Menurut Cui et al., (2007) penelitian in vivo yang menggunakan hewan coba dan manusia sangat diperlukan untuk memperoleh dosis optimum polisakarida krestin yang dapat meningkatkan sistem imun tubuh dan tidak menyebabkan efek toksik pada tubuh pasien.

43 Organ ginjal merupakan organ yang rentan terhadap pengaruh zat kimia. Kerentanan itu didasarkan pada posisi dan sirkulasi cairan tubuh. Hal ini dikarenakan fungsi ekskresinya yang berhubungan erat dengan darah dan zat yang ada di dalamnya (Koeman, 1987). Ginjal merupakan organ yang beratnya kurang dari 1 % berat badan meskipun demikian menerima sekitar 20% darah yang berasal dari jantung. Fungsi glomerulus sebagai penyaring dan tubulus sebagai tempat mengumpulkan bahan buangan dan kelebihan air (Lu, 1995). Menurut Schnellmann (2001) dalam Manggarwati et al., (2010) tubulus merupakan bagian ginjal yang paling banyak dan paling mudah mengalami kerusakan pada kasus nefrotoksik. Hal ini dapat terjadi karena adanya akumulasi bahan-bahan toksik pada segmen ini dan karakter tubulus yang memiliki epitel yang lemah dan mudah bocor. Pada kelompok perlakuan kontrol (P0) memperlihatkan gambaran tubulus ginjal dengan sel normal, pembengkakan sel dan nekrosis. Jumlah sel normal pada kelompok ini lebih banyak yaitu 97,98% dibandingkan dengan kelompok perlakuan yang diberi PSK. Sedangkan jumlah sel yang mengalami pembengkakan 2,51 % dan nekrosis 0,52%. Pembengkakan sel dapat dikarenakan adanya gangguan permeabilitas dalam membran sel tubuli sehingga sel mengalami pembengkakan tapi kerusakan yang berupa pembengkakan sel bersifat reversibel. Adanya kerusakan pada kelompok kontrol dapat disebabkan oleh faktor eksternal yaitu lingkungan sekitar kandang. Adanya sel tubuli yang mengalami nekrosis, hal ini termasuk dalam kategori yang wajar karena setiap sel akan mengalami kematian sel.

44 Pada kelompok P1 dengan pemberian PSK dosis 1,5 mg/kg BB menunjukkan adanya sel tubuli normal, pembengkakan sel dan nekrosis. Jumlah sel tubuli normal pada kelompok ini yaitu 83,77%. Jumlah sel tubuli yang mengalami pembengkakan yaitu 13,64%. Hal ini dapat disebabkan pada dosis ini mulai adanya kerusakan dalam sel epitel tubulus menurut Underwood (2000) yang ditandai dengan sitoplasma sel mengandung air dan bengkak keruh (cloudy swelling). Menurut Price dan Lorraine (2006), apapun yang mengganggu metabolisme energi atau sedikit saja mencederai membran sel dapat menyebabkan sel tidak mampu memompa keluar ion natrium dalam jumlah yang cukup. Peningkatan konsentrasi natrium di dalam sel menyebabkan masuknya air ke dalam sel melalui proses osmosis alami. Bila air tertimbun di dalam sitoplasma, organel sitoplasma menyerap air ini, menyebabkan pembengkakan mitokondria, pembesaran retikulum endoplasma dan sebagainya. Tetapi pembengkakan sel ini merupakan pembengkakan yang ringan dan reversibel. Sedangkan jumlah sel tubuli yang mengalami nekrosis adalah 4,90% dan ini menunjukkan berbeda signifikan dengan kelompok yang lain. Jumlah nekrosis pada kelompok ini masih dalam kisaran yang tidak mempengaruhi fungsi ginjal dalam mengeliminasi sisa metabolisme tubuh yaitu kreatinin. Pada kelompok P2 dengan pemberian PSK dosis 3 mg/kg BB menunjukkan adanya sel tubuli normal, pembengkakan sel dan nekrosis. Jumlah sel tubuli normal pada kelompok ini berbeda signifikan dengan kelompok P0, P1 dan P3. Sel tubuli yang mengalami pembengkakan sel menunjukkan berbeda tidak signifikan dengan P1 dan berbeda signifikan dengan kelompok P0 dan P3.

45 Penyebab adanya pembengkakan sel pada kelompok ini sama dengan yang terjadi pada kelompok P1. Degenerasi yang terjadi merupakan degenerasi yang ringan dan reversibel. Bila paparan zat nefrotoksisk terjadi cukup hebat dan berlangsung lama pada organ ginjal maka sel tubuli ginjal tidak lagi dapat melangsungkan metabolisme, maka akan terjadi nekrosis. Nekrosis sebagai bentuk lanjutan dari degenerasi. Nekrosis pada sel-sel epitel tubuli dapat terjadi karena adanya racun atau toksin, virus, dan kekurangan oksigen (Underwood 2000). Jumlah sel tubuli yang mengalami nekrosis pada kelompok P2 yang pada uji Duncan menunjukkan hasil berbeda signifikan dengan kelompok perlakuan yang lain. Ini menunjukkan pemberian PSK dosis 3 mg/kg BB menyebabkan nekrosis 15,56% pada sel epitel tubuli yang secara morfologi dicirikan oleh Robbins et al., (1995) dengan adanya destruksi inti sel yang meliputi piknosis (pengerutan inti), karyoreksi (pecahnya inti) dan kariolisis (penghancuran inti). Pada kelompok P3 dengan pemberian PSK dosis 6 mg/kg BB menunjukkan adanya sel tubuli normal, pembengkakan sel dan nekrosis. Jumlah sel tubuli normal pada kelompok ini berbeda signifikan dengan kelompok P0, P1 dan P2. Sel tubuli yang mengalami pembengkakan sel menunjukkan berbeda tidak signifikan dengan P1 dan berbeda signifikan dengan kelompok P0 dan P2. Penyebab adanya pembengkakan sel pada kelompok ini sama dengan yang terjadi pada kelompok P1. Jumlah sel epitel tubuli yang mengalami nekrosis berbeda signifikan dengan kelompok perlakuan yang lain. Pada kelompok P3 yang diberi PSK dosis 6 mg/kg BB menunjukkan adanya perubahan secara histologi berupa

46 pembengkakan sel 15,32% dan nekrosis 21,18%. Tingginya persentase sel tubuli yang mengalami pembengkakan dan nekrosis sel berhubungan dengan makroskopis ginjal yaitu berat organ ginjal. Rata-rata berat organ ginjal pada kelompok P3 paling kecil dibanding dengan kelompok perlakuan yang lain yaitu 0,14 gram. Jumlah nekrosis pada tubulus semakin bertambah dengan bertambahnya pemberian dosis PSK pada kelompok P1, P2 dan P3. Hasil analisis uji Duncan antar kelompok perlakuan menunjukkan nilai signifikansi p 0,05. Meningkatnya jumlah nekrosis pada setiap kelompok perlakuan didukung dengan data hasil pengamatan makroskopis berupa semakian kecil organ ginjal. Sedangkan pada pengamatan makroskopis ginjal yang meliputi warna, permukaan dan konsistensi tidak menunjukkan hasil yang berbeda pada tiap kelompok perlakuan. Menurut Donatus (2001) lama dan intensitas paparan bahan toksik dapat mempengaruhi wujud dan ketoksikan bahan tertentu terhadap suatu organ dan jaringan. Ginjal mempunyai peran dalam mengeliminasi zat-zat dari darah terutama produk akhir metabolisme seperti urea, kreatinin, asam urat, dan garam-garam asam urat, yang direabsorbsi sedikit dan diekskresikan dalam jumlah besar ke dalam urin (Donatus, 2001). Pada pengukuran kadar kreatinin serum mencit menunjukkan kelompok P0 tidak berbeda signifikan dengan kelompok P1 dan P2 tetapi berbeda signifikan dengan P3. Ini menunjukkan bahwasannya kadar kreatinin pada P0, P1 dan P2

47 dalam keadaan normal menurut Hall (2007) kadar normal kreatinin serum pada mencit adalah 0,2-0,9 mg/dl. Kadar kreatinin pada kelompok P1 yang diberi PSK dosis 1,5 mg/kg BB menunjukkan kadar kreatinin yang normal walaupun pengamatan secara histologi menunjukkan adanya kerusakan sel tubuli berupa pembengkakan sel dan nekrosis tetapi kerusakan yang berupa pembengkakan sel bersifat reversibel. Sehingga dosis ini dapat digunakan sebagai dosis terapi. Walaupun pada pemberian dosis PSK sebesar 3 mg/kg BB menunjukkan nilai kreatinin yang normal tapi persentase kerusakan pada sel epitel tubulinya melebihi 25%. Sehingga kurang tepat untuk dijadikan dosis terapi. Hasil rerata kadar kreatinin pada kelompok P3 menunjukkan nilai diatas normal yaitu 1,06 mg/dl. Hal ini dapat dikarenakan mengecilnya organ dan adanya kerusakan pada sel tubuli ginjal berupa nekrosis dan pembengkakan sel yang persentasenya hampir 36,5 %. Adapun penyebab lain menurut Underwood (2000) yaitu adanya peningkatan dalam perombakan metabolisme otot yang berlebihan, kerusakan pada ginjal yang sudah berat, perdarahan, renjatan, trauma, sepsis atau tumor. Donatus (2001) menyatakan lama dan intensitas paparan bahan toksik juga dapat mempengaruhi wujud dan ketoksikan suatu bahan tertentu. Berbagai respons biokimia tersebut, yang pada awalnya mungkin bersifat adaptif, bila berkelanjutan akan menuju ke berbagai perubahan atau gangguan biokimia yang patologis.