BAB I PENDAHULUAN. mendadak kembali aktif pada tahun 2010 setelah 400 tahun tidak meletus. Hingga

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Gunung Sinabung tidak pernah meletus sejak 400 tahun yang lalu yaitu tahun

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan hal yang terpenting dalam kehidupan kita, Hal ini berarti

BAB 1 PENDAHULUAN. individu membutuhkannya. Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS,

BAB I PENDAHULUAN. faktor alam dan non alam yang mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,

BAB 1 PENDAHULUAN. aspek fisik, psikis, dan psikososial (Dariyo, 2004). Jika dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia baik secara materi atau secara spiritual. Bencana sering terjadi

BAB I PENDAHULUAN. dalam lingkaran gunung api (ring of fire). Posisi tersebut menyebabkan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. api pasifik (the Pasific Ring Of Fire). Berada di kawasan cincin api ini

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan manusia baik secara materi atau secara spiritual. Bencana sering terjadi

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Mengenang kembali peristiwa erupsi Gunung Merapi hampir dua tahun lalu

BAB I PENDAHULUAN. imbas dari kesalahan teknologi yang memicu respon dari masyarakat, komunitas,

BAB I PENDAHULUAN. lempeng tektonik besar, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan lempeng. menjadi negara yang rawan terhadap bencana alam.

BAB 1 PENDAHULUAN. peristiwa atau serangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu

BAB I PENDAHULUAN. gunung Sinabung kembali erupsi sejak September 2013 hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Penelitian ini berangkat dari kejadian bencana alam yang terjadi di Kabupaten Karo

BAB I PENDAHULUAN. negara yang rawan bencana karena alam negeri kita ini berdiri di atas pertemuan

BAB 1 PENDAHULUAN. Beberapa dekade terakhir, skala bencana semakin meningkat seiring dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Anak usia sekolah adalah anak pada usia 6-12 tahun, yang artinya pada

Bersama ini dengan hormat disampaikan tentang perkembangan kegiatan G. Sinabung di Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

Arahan Presiden RI pd Peninjauan Korban Gunung Sinabung, Tgl 23 Jan 2014, di Sumut Kamis, 23 Januari 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. seorang individu maupun kelompok dalam memperoleh suatu tujuan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang secara geografis, geologis,

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. bidang sosial, kematian, luka-luka, sakit, hilangnya tempat tinggal, dan kekacauan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bencana alam adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari oleh manusia.

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan letak astronomis, Indonesia terletak diantara 6 LU - 11 LS

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan

BAB I PENDAHULUAN. geografis Indonesia yang demikian menempatkan Indonesia di posisi silang,

RESILIENSI PADA PENYINTAS PASCA ERUPSI MERAPI. Naskah Publikasi. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana-S1

SUSUNAN PERTANYAAN WAWANCARA PERTANYAAN WAWANCARA KEPADA INFORMAN KUNCI. Mitigasi Bencana Erupsi Gunung Sinabung?

BAB 1 PENDAHULUAN. periode ini anak sangat aktif sehingga sering merasa kelelahan. Ketika anak

BAB I PENDAHULUAN. hidrologis serta demografis. Dampak dari terjadinya suatu bencana akan

BAB I PENDAHULUAN. (Ring of fire) dan diapit oleh pertemuan lempeng tektonik Eurasia dan

I. PENDAHULUAN. dan berada di jalur cincin api (ring of fire). Indonesia berada di kawasan dengan

Letusan Gunung Sinabung Tingkatkan Kesuburan Tanah

B U P A T I K A R O PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN BUPATI KARO NOMOR 17 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. tidak memperhitungkan segala kemungkinan atas ulahnya tersebut. 3-lempeng-tektonik-besar.html diakses pada 24 Januari 2016)

BAB I PENDAHULUAN. terjadi dibeberapa daerah, seperti banjir dan tanah longsor.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menjalani peran sebagai penuntut ilmu, mahasiswa pada umumnya selalu

BAB I PENDAHULUAN. bencana. Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan

BAB I PENDAHULUAN. Erupsi Gunung Merapi merupakan fenomena alam yang terjadi secara

BAB I PENDAHULUAN. sampai Maluku (Wimpy S. Tjetjep, 1996: iv). Berdasarkan letak. astronomis, Indonesia terletak di antara 6 LU - 11 LS dan 95 BT -

BAB I PENDAHULUAN. Budaya mempengaruhi berbagai aspek kehidupan manusia, baik cara berpikir,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat lereng Gunung Merapi. Banyaknya korban jiwa, harta benda dan

BAB I PENDAHULUAN. alam dan memiliki banyak gunung berapi yang masih aktif. Oleh karena itu penduduk Indonesia

I. PENDAHULUAN. sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. Secara geografis Indonesia terletak di daerah khatulistiwa dan melalui

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lahan (land use) diartikan sebagai setiap bentuk intervensi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

LIFE HISTORY. Note : II (12-18 tahun) Nama : Tetni br Tarigan Usia : 16 tahun

BAB I PENDAHULUAN. Maraknya kabar mengenai negara-negara maupun daerah-daerah yang terkena bencana

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar belakang Masalah. Kehidupan kelompok masyarakat tidak terlepas dari kebudayaannya sebab kebudayaan ada

BAB I PENDAHULUAN. wisata pendakian Gunung Sinabung yang memberikan pesona alam tersendiri.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena orangtua tunggal beberapa dekade terakhir ini marak terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dari konsep kesejahteraan subjektif yang mencakup aspek afektif dan kognitif

BAB I PENDAHULUAN. Permukaan Bumi mempunyai beberapa bentuk yaitu datar, berbukit. atau bergelombang sampai bergunung. Proses pembentukan bumi melalui

BAB I PENDAHULUAN. dari 30 gunung api aktif terdapat di Indonesia dengan lereng-lerengnya dipadati

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan negara kepulauan terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik dan

LAPORAN KEGIATAN MONITORING DAN EVALUASI KEGIATAN REHABILITASI DAN REKONSTRUKSI BIDANG SOSIAL EKONOMI DI WILAYAH PASCABENCANA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada dasarnya setiap manusia diciptakan secara berpasang-pasangan. Hal

BAB I PENDAHULUAN. tinggal di sekitar kaki Gunung Sinabung, terutama Desa Guru Kinayan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kondisi geografis Indonesia terletak pada busur vulkanik Circum Pacific and

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Tanah vulkanis merupakan tanah yang berasal dari letusan gunungapi, pada

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. grup di media sosial (Facebook)yaitu Bapak Usaha Bangun Barus akan gagalnya

BAB I PENDAHULUAN. Berpacaran sebagai proses dua manusia lawan jenis untuk mengenal dan

BAB I PENDAHULUAN. letusan dan leleran ( Eko Teguh Paripurno, 2008 ). Erupsi lelehan menghasilkan

GAMBARAN EXPLANATORY STYLE PADA PENYINTAS ERUPSI GUNUNG SINABUNG YANG BERSUKU KARO DI TEMPAT PENGUNGSIAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. dan kapan saja, yang dapat menimbulkan kerugian materiel dan imateriel bagi

BAB 1 PENDAHULUAN. faktor alam dan/atau faktor non alam maupun faktor manusia sehingga. harta benda, dan dampak psikologis (BNPB, 2007).

KEBAHAGIAAN (HAPPINESS) PADA REMAJA DI DAERAH ABRASI

TRILOGI NOVEL MARITO

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB I PENDAHULUAN. atau di kota. Namun banyak manusia yang sudah mempunyai kemampuan baik

A. LATAR BELAKANG MASALAH

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. rumah adalah ayah, namun seiring dengan berkembangnya zaman, tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sejumlah bencana alam yang terjadi di Indonesia memberikan dampak yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

M, 2015 PENGAMBILAN KEPUTUSAN UNTUK MENJADI RELAWAN DI DAERAH BENCANA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berbicara terkait kasus-kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Merapi ditingkatkan dari normal menjadi waspada, dan selanjutnya di tingkatkan

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan pada saat individu mengalami kesulitan (Orford, 1992). Dukungan

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tidak tahu kehidupan macam apa yang akan dihadapi nanti (Rini, 2008). Masa

BAB IV INTERPRETASI TEORI PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM MENENTUKAN PENDIDIKAN ANAK. dibahas dengan menggunakan perspektif teori pengambilan keputusan.

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan tempat dimana tiga lempeng besar dunia

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

BAB II KONDISI GEOGRAFIS MASYARAKAT KARO DI DESA SURBAKTI. penggunaan musik tiup dan faktor- faktor yang melatar-belakangi penerimaan dan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Gunung Sinabung yang berada di Kabupaten Tanah Karo, Sumatera Utara mendadak kembali aktif pada tahun 2010 setelah 400 tahun tidak meletus. Hingga tahun 2013 tercatat tujuh belas orang warga meninggal dunia dan 30.000 orang kehilangan tempat tinggal mereka (Leandha, 2015). Gunung berapi kembali menunjukkan tanda-tanda aktif pada bulan September Senin malam (30/12) dan memaksa lebih dari 19.000 orang mengungsi (Leandha, 2015). Letusan-letusan Gunung Sinabung masih terus berlangsung. Sabtu, 3 Januari 2015, Gunung Sinabung kembali mengeluarkan debu vulkanik yang disertai awan panas dan menjalar empat kilometer ke arah selatan. Jumlah pengungsi mencapai 2.443 jiwa atau 795 kepala keluarga yang ditempatkan di tujuh titik pengungsian (Ananda, 2015). Gunung Sinabung kembali mengeluarkan awan panas dan debu vulkanik, Kamis, 3 April 2015 sekitar pukul 20.00 WIB (Permana, 2015). Selasa 2 Juni 2015, status Gunung Sinabung dinaikkan menjadi awas seiring dengan peningkatan aktivitas gunung yang terus meningkat. Volume kubah lava juga meningkat menjadi lebih dari tiga juta meter kubik dan labil. Masyarakat yang bermukim dalam radius 7 kilometer dievakuasi ke lokasi yang lebih aman. Warga di tujuh desa direkomendasikan untuk direlokasi, yaitu warga Desa Sukameriah, Desa Berkerah, Desa Simacem, Desa Gurukinayan, Desa Kuta Tonggal, Desa Berastepu, dan Desa Gamber (Akuntono, 2015).

2 Jumlah penyintas bencana Gunung Sinabung tercatat sejak tahun 2010 hingga 30 September 2015 ada sekitar 9.536 jiwa dengan 2.615 KK. Masing - masing berada di posko pengungsi gedung katolik Kabanjahe dengan jumlah 296 KK/988 jiwa, Gedung Serbaguna KNPI Kabanjahe dengan jumlah 334 KK/1193 jiwa, Desa Ndokum Siroga dengan jumlah 422 KK/1525 jiwa, Desa Surbakti dengan jumlah 192 KK/665 jiwa, Tongkoh dengan jumlah 610 KK/2379 jiwa, Jambur Korpri Berastagi dengan jumlah 265 KK/1041 jiwa, Desa Jadi Meriah dengan jumlah 262 KK/950 jiwa, dan yang terakhir Simpang Empat dengan jumlah 158 KK/528 jiwa, (situs Resmi Kabupaten Karo, 2015). Akibat erupsi yang terjadi, kawasan rawan bencana Gunung Sinabung mengalami kerusakan parah dan tercatat dampak bencana erupsi Gunung Sinabung tersebut telah menimbulkan total kerusakan dan kerugian sebesar Rp. 1,49 triliun (Prasetyo, 2015). Dibawah ini, terdapat peta posko-posko pengungsi disertai jaraknya dengan Gunung Sinabung. Gambar 1. Peta Lokasi Posko Pengungsi Sinabung

3 Ket. Gambar : (a).hijau = Letak Posko Pengungsi (b).orange = Radius antara Gunung Sinabung dengan desa yang terkena erupsi Sinabung. Bencana Gunung Sinabung menyisakan berbagai kondisi yang memprihatinkan. Bencana ini telah menyebabkan kerusakan di desa-desa sekitarnya dan menyebabkan ribuan penyintas kehilangan tempat tinggalnya. Para penyintas tidak hanya kehilangan rumah dan tempat tinggal, tetapi juga lahan pertanian yang menjadi sumber utama lahan pencaharian mereka. Rumah-rumah penyintas dan lahan pertanian telah rusak karena abu vulkanik dan lahar dingin. Oleh karena itu, para penyintas terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka dan harus mengungsi (Damanik,2015). Dalam kondisi di tengah bencana, tentunya penyintas menghadapi situasi yang tidak menyenangkan, hal ini ditandai dengan adanya dampak yang terjadi pada para penyintas baik dampak fisik dan dampak psikologis seperti ketakutan, kecemasan, kejenuhan, kekhwatiran yang berlebihan yang dirasakan para penyintas (Amawidyati dan Utami, 2007). Ketika dampak psikologis yang dialami oleh individu yang terkena bencana dapat menimbulkan dampak negatif pada diri mereka yaitu menjadi putus asa, emosi menjadi tidak dapat dikendalikan, menyalahkan diri dan lingkungan,dan tidak ada gairah untuk melakukan kegiatan (Gardner dan Stern, 2002). Dampak psikologis yang mungkin terjadi pada penyintas bencana alam adalah helpless-perasaan tidak berdaya dan merasa tidak mampu untuk menghadapi lingkungannya (Sarafino dalam Mahmudah,2009). Para penyintas Gunung Sinabung, kehilangan rumah dan ladang sebagai mata

4 pencaharian utama, hal ini yang membuat para penyintas Gunung Sinabung pasrah dan merasa tidak tahu lagi harus melakukan kegiatan apa dan ditambah dengan beberapa para penyintas yang harus kehilangan anggota keluarga, sehingga membuat para penyintas mengalami kesedihan (Karo-karo,2014). Hal ini didukung dengan wawancara yang dilakukan peneliti kepada penyintas Gunung Sinabung sedihlah nak, berladang kerja kami yang utama gak ada yang lain, mau dimana lagi kami berladang, ntah sampai kapan juga kami begini terus disini (Komunikasi personal,2015) Selain itu, juga memungkinkan munculnya perasaan insecure, yang mana individu percaya bahwa lingkungannya adalah suatu hal yang mengancam dirinya dan bisa berpengaruh buruk bagi mereka (Ainsworth dalam Mahmudah, 2009). Para penyintas Gunung Sinabung, mengatakan bahwa kejadian yang dialami saat ini, karena marahnya Sang Pencipta kepada mereka. Para penyintas juga merasa cemas dan takut apabila Gunung Sinabung secara terus menerus mengeluarkan lahar tanpa tahu sampai kapan erupsi Gunung Sinabung berhenti (Karokaro,2016). Hal ini juga didukung dengan wawancara peneliti kepada penyintas Gunung Sinabung udah takdir ini nakku, kemarin kami cemaslah karena sinabung ini terus meletus ntah kapan siapnya, kamipun jadi gak tahu kapan bisa balik lagi ke kampung kami (Komunikasi personal,2015) Namun, terdapat fenomena lain yang menunjukkan bahwa tidak semua korban bencana alam mengalami gangguan mental. Meskipun sebagian besar korban bencana alam banyak yang kehilangan rumah dan harta benda yang

5 mereka miliki, mereka terlihat tabah dan menerima keadaan yang harus tetap dilalui (Amawidyatti dan Utami, 2007). Ketabahan masyarakat menghadapi peristiwa bencana alam juga dikemukakan Wahid (dalam Kompascetak, 2015), beliau berpendapat bahwa rakyat kecil yang tengah menderita itu amat tabah dan tetap optimis meskipun mengalami penderitaan dahsyat karena kehilangan harta benda dan kerabat mereka. Pada korban gempa di Yogyakarta dan Jawa Tengah banyak di antara pengungsi yang menunjukkan ketahanan diri yang luar biasa. Para pengungsi masih mampu tersenyum, menunjukkan keramahan, saling membantu di antara sesama korban, memiliki penerimaan diri yang baik dengan lingkungan (Amawidyati dan Utami, 2007). Begitu juga dengan para penyintas Sinabung juga terlihat kembali bekerja, berladang, atau mencari kegiatan agar dapat menghidupi kebutuhan ekonomi untuk keluarga para penyintas, sudah mampu menerima keadaan yang terjadi dan tidak menyesalinya, tidak lagi cemas walau Sinabung terus meletus, dan para penyintas sudah kembali tersenyum, dan mau membantu sesama penyintas yang membutuhkan bantuan (Ginting,2014). Kemampuan bertahan yang ditampilkan dengan munculnya sikap yang positif walaupun mengalami keadaan atau kejadian yang tidak menyenangkan dikenal dengan istilah hardiness. Hardiness menurut Kobasa (1979) sebagai suatu variabel kepribadian yang berfungsi sebagai sumber daya untuk menghadapi peristiwa-peristiwa hidup yang menimbulkan stres. Individu dengan hardiness memiliki karakter untuk mau menghadapi suatu kejadian dalam hidupnya, memliki keyakinan yang kuat untuk

6 mampu mengontrol dan mengendalikan suatu perubahan yang terjadi dengan terlihat tabah, sabar, mampu menerima keadaan dirinya, mampu berjuang dan berkeyakinan bahwa hidup tetap bermakna walaupun mengalami suatu kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidupnya, dan mampu memandang setiap perubahan yang terjadi sebagai suatu yang dapat mengembangkan diri menjadi lebih baik. Hal tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wiebe (1991) menemukan bahwa individu dengan hardiness yang tinggi memiliki toleransi terhadap frustasi, tidak melihat kejadian sebagai suatu ancaman, dan mampu menanggapi segala hal menjadi lebih positif. Para penyintas Gunung Sinabung mulai tampak tabah, sabar, menerima keadaan diri, tidak lagi berfikiran yang negatif. Hal ini didukung dengan wawancara peneliti kepada salah satu penyintas sekarang aku nakku, kuterima keadaanku seperti ini, udah gak mau lagi aku salahkan diriku, salahkan oranglain, teruskan nakku, gak mau lagi aku pikiranku kacau, aku yakin kok bisa tetap lewati kejadian ini dengan bagus (Komunikasi Personal,2016) Para penyintas Gunung Sinabung juga tampak mulai menyadari bahwa kejadian meletusnya Gunung Sinabung memiliki hikmah dan memberikan pembelajaran pada para penyintas untuk menjadi lebih baik, dan juga para penyintas tampak giat kembali bekerja untuk menghidupi kebutuhan keluarga dan kebutuhan sekolah anak para penyintas. Hal ini didukung dengan wawancara peneliti kepada salah satu penyintas yang berada di posko pengungsian.

7 yang kupikirkan sekarang nakku, kerja ajalah mau apapun itu supaya bisa anak kami sekolah lagi dan biar bisa menuhi kebutuhan kami, kam liatlah nakku bagaimana keadaan di posko inikan, meletusnya Sinabung ini nakku, buat kami jadi lebih matang dan lebih dewasa dari sebelumnya (Komunikasi Personal,2016) Individu dengan hardiness yang tinggi, lebih baik dalam menghadapi situasi atau peristiwa yang stressfull, sedangkan individu yang memiliki hardiness rendah akan sakit dan jatuh ketika menghadapi situasi yang membuat stress (Kobasa, 1979). Setiap individu akan berbeda dalam menanggapi suatu peristiwa berat dalam hidupnya, gender memiliki peran dalam hardiness (Belmont, 2000). Penelitian yang dilakukan oleh Imaroatul (2009) menemukan bahwa terdapat perbedaan hardiness antara siswa pria dengan siswi wanita pada daerah abrasi. Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Bartone & Priest (2001) menemukan bahwa terdapat perbedaan hardiness antara wanita dengan pria pada taruna militer. Penelitian Parameswari (2014) juga menemukan bahwa terdapat perbedaan hardiness antara guru perempuan dengan guru pria yang mengajar di sekolah. Fakih (1999) mengatakan bahwa gender merupakan perbedaan yang tampak antara pria dan wanita dalam melakukan tugas, tanggung jawab, fungsi, dan perilaku yang dibentuk oleh nilai sosial dan budaya dan dapat berubah menurut waktu serta kondisi. Salah satu budaya di Indonesia yang mempunyai tugas serta tanggung jawab yang tampak berbeda pada pria dan wanita adalah Suku Karo. Salah satu suku yang berada di Tanah Karo adalah suku Karo. Suku Karo umumnya tinggal di pedesaan atau lebih dikenal dengan sebutan kuta. Masyarakat Karo menganut paham patriarkhi untuk menggambarkan sistem

8 gender. Paham patriarkhi, yaitu suatu paham yang membuat pihak pria yang menjadi dominan dalam segala aspek kehidupan dibandingkan wanita, dan hal ini yang membuat orangtua bersuku Karo mengasuh anaknya dengan cara berbeda baik pada anak laki laki dengan anak perempuan (Bangun, 2006). Pada budaya Karo, kedudukan pria dianggap lebih tinggi daripada wanita, karena pihak pria yang dianggap memegang peranan penting dalam aspek kehidupan suku Karo (Tarigan,2009). Pria Karo, lebih banyak berperan dalam adat istiadat maupun dalam kedudukan sosial. Dalam acara adat istiadat, pria karo menjadi pemeran utama dan sebagai pembicara yang harus diterima dan disetujui oleh pihak wanita, pihak pria ditempatkan berada barisan paling depan dalam acara adat karena pria harus dihormati (Tarigan, 2009). Pria Karo juga memegang peran penting dalam hal pernikahan, karena pihak pria membeli atau tukur seorang wanita yang akan menjadi istrinya. pria Karo dianggap sebagai penerus keturunan marga, jika dalam suatu keluarga terdapat anak laki laki, maka anak tersebut akan menjadi anak yang paling dimanja oleh orangtua dan menjadi anak yang dinomor satukan dalam segala hal (Prinst,1996). Dalam sistem pembagian harta warisan pada masyarakat Karo, pihak pria mendapat pembagian harta yang paling besar daripada pihak wanita. Pihak pria Karo berhak untuk tidak memberikan, memberikan bahkan membatalkan harta warisan yang diberikan kepada saudara wanitanya (Tarigan, 1987). Dari kecil, anak laki laki diajarkan oleh orangtua untuk bertanggung jawab dalam keluarga, sebagai pelindung adik atau kakak, dan sebagai penerus marga kelak (Bangun, 2006). Pria Karo juga berperan sebagai pencari nafkah untuk menghidupi

9 kebutuhan keluarga (Natar, 2004). Walau, pada kenyataan yang terjadi pria Karo, lebih banyak menghabiskan waktu dan hidupnya untuk bersenang-senang, bercengkrama di warung kopi, berjudi, bermain kartu, minum tuak dan mabukmabukan dibandingkan bekerja ke ladang membantu istri (Natar,2004). Wanita Karo menurut Ny. Wallia Keliat (dalam Sembiring, 2008) merupakan wanita yang tangguh tetapi cenderung menerima keadaan sebagai sosok yang lebih rendah dan kurang percaya diri. Hal ini terjadi karena dalam keluarga, wanita hanyalah sebagai pelengkap dan pendengar serta tidak dapat menyampaikan pendapat pribadi, jikalau ingin memberikan pendapat, wanita harus menyampaikan kepada pria sehingga pria juga yang mendapat pujian. Menurut Tamboen (1952) wanita yang sudah menikah, mereka tetap mengurusi urusan yang membutuhkan kekuatan dan kesabaran sekaligus. Bagi seorang istri, tugas ganda yang mereka hadapi untuk mengurus anak dan melayani suami, mengurus rumah seperti menyapu, mencuci, mengambil air ke pancuran yang jaraknya bisa sampai 4 km dari rumah, serta bekerja di luar rumah untuk menambah penghasilan (sawah, ladang, mengurus dan memberi makan hewan ternak, berjualan, ke kantor, dll). Wanita Karo tidak mendapat harta warisan dalam keluarga sendiri, dalam bahasa Karonya dikatakan bahwa sidiberu la banci erban taka (wanita tidak bisa mengambil bagian) ungkapan tersebut merupakan dasar fundamental dalam pembagian warisan hanya semata untuk anak laki laki (Tarigan, 1987). Wanita Karo sudah terbiasa dengan tuntutan dan tanggung jawab yang berat dalam menjalani kehidupan (Natar, 2004).

10 Berdasarkan fenomena yang dijelaskan diatas, dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan tanggung jawab dan fungsi antara pria dan wanita Karo dalam menjalani kehidupan sehari hari. Sehingga, peneliti tertarik untuk melihat daya tahan atau hardiness pada penyintas wanita Karo lebih baik daripada penyintas pria Karo ketika mereka dihadapkan situasi yang membuat mereka menjadi stress akibat meletusnya Gunung Sinabung yang mengakibatkan kehidupan dan mata pencahariannya hilang dan mereka harus berada di posko pengungsian. 1.2 Rumusan Masalah Apakah hardiness pada penyintas wanita Karo lebih tinggi daripada penyintas pria Karo?. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk meneliti hardiness pada penyintas wanita Karo lebih tinggi daripada penyintas pria Karo. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat teoritis a. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah dan memperluas ilmu pengetahuan dalam rangka pengembangan kajian Psikologi secara umum, dan Psikologi Sosial secara khusus. b. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi penelitian mengenai hardiness, khususnya terhadap penyintas akibat meletusnya Gunung sinabung di Tanah Karo.

11 c. Hasil dari penelitian ini juga diharapkan dapat menambah referensi penelitian mengenai gender. 2. Manfaat praktis a. Untuk pemerintah setempat, agar mengetahui bahwa masyarakat Karo yang sebagai penyintas memiliki daya juang atau daya tahan terhadap situasi berat yang dihadapi oleh penyintas. b. Bagi penyintas bencana alam, agar tetap mempertahankan daya tahan yang dimiliki agar mampu untuk bangkit dari keadaan yang dialami. 1.5 Sistematika Penulisan Bab I : Pendahuluan Pada bab ini diuraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan dalam penelitian ini. Bab II : Landasan Teori Pada bab ini diuraikan landasan teori, antara lain teori mengenai hardiness, gender, penyintas Gunung Sinabung. Bab III : Metodologi Penelitian Pada bab ini diuraikan mengenai identifikasi variabel, definisi operasional variabel, subjek penelitian, jenis penelitian, metode dan alat pengumpulan data, validitas dan reliabilitas alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian serta metode analisa data.

12 Bab IV : Analisa Data dan Pembahasan Bab ini berisi tentang hasil penelitian yang disertai dengan interpretasi dan pembahasan BAB V : Kesimpulan dan Saran Bab ini berisi tentang kesimpulan dan saran dari penelitian yang telah dilakukan.