JURNAL TEKNIK ITS Vol. X, No. X, (2016) ISSN: 2337-3539(2301-9271 Print) 1 ANALISIS KUALITAS AIR UNTUK BUDIDAYA RUMPUT LAUT EUCHEUMA COTTONI DENGAN CITRA LANDSAT 8 (Studi Kasus: Laut Selatan Pulau Lombok, NTB) Muhammad Muflih Isa 1, Lalu Muhamad Jaelani 1, Gathot Winarso 2 1 Jurusan Teknik Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Kampus ITS Sukolilo, Surabaya 60111 Indonesia 2 Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Laut, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) e-mail : lmjaelani@geodesy.its.ac.id, gathot_winarso@hotmail.com Abstrak-- Laut selatan Pulau Lombok memiliki garis pantai sepanjang 52,6 km dengan penghasilan rumput laut Eucheuma cottoni mencapai 756.355 ton per tahun yang didistribusikan ke seluruh Indonesia. Pembudidayaan Eucheuma cottoni di laut selatan Pulau Lombok hanya memfokuskan diri pada usaha penyediaan dan pengembangbiakan bibit tanpa melihat lokasi yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI). Lokasi kesesuaian Eucheuma cottoni diukur dengan parameter TSS, suhu dan klorofil-a menggunakan metode penginderaan jauh dengan data pendukung pengukuran in situ. Data in situ digunakan sebagai validator tingkat kebenaran data olahan dari metode penginderaan jauh dengan metode statistik NMAE (Normalized Mean Absolute Error). Selain itu, data in situ juga digunakan sebagai data dasar untuk pemodelan algoritma baru pada TSS dan klorofil-a. Hasil pemodelan algoritma kemudian dibandingkan dengan algoritma yang sudah ada melalui uji statistik dengan metode NMAE. Algoritma yang memiliki tingkat kesalahan paling kecil dari tiap parameter akan digunakan sebagai dasar pembuatan peta kualitas air untuk kesesuaian budidaya Eucheuma cottoni. Hasil peta kesesuaian akhir menunjukkan bahwa luasan yang sesuai untuk budidaya Eucheuma cottoni seluas 16.460 Ha. Namun hasil overlay tersebut tidak memasukkan parameter kedalaman. Kata Kunci Eucheuma cottoni, TSS, suhu, klorofil-a L I. PENDAHULUAN aut selatan Pulau Lombok kini telah menjadi sentra pembibitan rumput laut kultur jaringan dengan produksi pada tahun 2013 mencapai 756.355 ton yang diditribusikan ke seluruh wilayah Indonesia[1]. Pembudidayaan di laut selatan Pulau Lombok hanya memfokuskan diri pada usaha penyediaan dan pengembangbiakan bibit tersebut tanpa melihat lokasi yang sesuai dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) mengenai lokasi yang sesuai untuk budidaya rumput laut, sehingga semakin lama produksi rumput laut di laut selatan pulau lombok semakin menurun yang menyebabkan banyak para pembudidaya rumput laut beralih profesi, padahal dahulu mereka memiliki omset yang besar pada bidang budidaya rumput laut tersebut. Penentuan lokasi budidaya rumput laut mengalami banyak kendala. Kegagalan produksi diduga karena rendahnya kandungan nutrien. Rumput laut jenis Eucheuma cottoni hidup dengan cara menyerap nutrien dari laut dan melakukan fotosintesis, sehingga membutuhkan faktor faktor fisika dan kimia laut seperti arus, suhu, nitrat, dan fosfat serta pencahayaan sinar matahari[ 5]. Estimasi parameter kualitas air untuk kesesuaian budidaya Eucheuma cottoni dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi penginderaan jauh. Teknologi penginderaan jauh adalah salah satu metode yang digunakan sebagai kontrol kualitas air dan mengetahui lokasi yang sesuai untuk pengembangan budidaya rumput laut. Penginderaan jauh memiliki kemampuan pemantauan daerah yang luas secara periodik serta dapat mengamati atau melihat suatu objek pada jarak tertentu dengan mendeteksi sifat- sifat (karakteristik) dominan objek tersebut tanpa mendatangi secara langsung objek tersebut[5]. Dalam penginderaan jauh terdapat banyak jenis citra maupun sensor yang digunakan sesuai dengan kebutuhan penelitian yang ada. Pada penelitian ini, citra yang digunakan adalah Landsat 8, dikarenakan telah banyak penelitian kualitas air dengan menggunakan parameter TSS, suhu dan klorofil-a pada Landsat 8[6]. Algoritma algoritma yang digunakan dalam penelitian ini adalah algoritma- algoritma yang sudah umum dipakai untuk penelitian di Indonesia, yaitu untuk TSS menggunakan algoritma Jaelani (2016), Suhu menggunakan algoritma Syariz (2015) yang menggunakan kanal 11 dan klorofil-a menggunakan algoritma Jaelani (2015) yang selanjutnya akan divalidasi menggunakan data insitu. Bila hasil validasi dengan pemrosesan citra memiliki kesalahan yang besar / Normalized Mean Absolute Error 30% maka akan dilakukan suatu pemodelan ulang pada algoritma yang akan digunakan untuk penelitian ini. II. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini terletak pada laut selatan Pulau Lombok pada koordinat 8 54'28,83 LS- 8 55'3,18 LS dan 116 19'18,74 BT-116 19'51,38 BT yang memiliki panjang garis pantai sepanjang 52,6 km.
JURNAL TEKNIK ITS Vol. X, No. X, (2016) ISSN: 2337-3539(2301-9271 Print) 2 dilakukan dengan melihat nilai regresi diatas 0,5 dengan berbagai pemodelan algoritma. Setelah mendapatkan beberapa model algoritma yang memenuhi, maka dilakukan perhitungan algoritma yang telah dihasilkan terhadap citra dan dilihat nilai NMAE terkecil dari setiap pemodelan algoritma dan dibandingkan dengan algoritma yang sudah ada. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Perhitungan Nilai TSS Dari hasil perhitungan nilai TSS dengan menggunakan rumus Jaelani, 2016[2] log( Rrs(λ 2) Log(TSS) = 1,5212( ) 0,3698 (1) log(rrs (λ3) Gambar 1. Lokasi Penelitian B. Data dan Peralatan Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra Landsat 8 L1T pada tanggal 19 September 2014 dengan path/row 116/66. Selanjutnya data tersebut akan dilakukan pemrosesan dengan algoritma yang ada lalu divalidasi dengan data pengukuran in situ yang dilakukan oleh LAPAN pada tanggal 18 September 2014-22 September 2014 berupa konsentrasi TSS, suhu dan klorofil-a dari laut selatan Pulau Lombok. Dalam melakukan pemrosesan data tersebut dibutuhkan perangkat lunak (software) Beam Visat 5.0 dan SNAP 3.0 untuk melakukan perhitungan algoritma tiap parameter pada citra. Selanjutnya untuk mendapatkan peta kesesuaian budidaya Eucheuma cottoni dilakukan overlay tiap parameter pada ArcGIS 10.3. C. Tahap Pengolahan Data Tahap pertama yang dilakukan setelah mendapatkan semua data, baik data primer (citra) maupun data sekunder (data in situ pengukuran LAPAN) adalah melakukan koreksi radiometrik. Pada koreksi radiometik, tahapan yang dilakukan adalah mengubah Digital Number (DN) citra menjadi reflektan dan radian dengan metode gain offset dan melakukan koreksi atmosfer menggunakan metode Second Simulation of a Satellite Signalin the Solar Spectrum Vector (6SV) dengan parameter pengolahan koreksi yaitu, Geometrical Condition, Atmospherical Model, Target and Sensor, Altitude, Spectral Condition, Ground Reflectance, dan Signal. Data yang telah dikoreksi radiometrik lalu dilakukan perhitungan nilai TSS dengan menggunakan algoritma Jaelani, 2016, suhu dengan menggunakan algoritma Syariz (2015) dan klorofil-a dengan menggunakan Jaelani, 2015. Setelah mendapatkan hasil perhitungan nilai TSS, suhu, dan klorofil-a maka dilakukan suatu uji statistik dengan metode NMAE terhadap data in situ. Selanjutnya pembuatan algoritma baru dilakukan dengan membandingkan data spektro in situ berupa Remote Sening Reflectance (Rrs) dengan konsentrasi in situ. Perbandingan Gambar 2. Sebaran TSS melalui perhitungan algoritma Jaelani (2016) Hasil hitungan TSS tersebut lalu divalidasi dengan nilai TSS in situ, maka akan dihasilkan Tabel 1 Tabel hasil perhitunagn citra dengan in situ dengan uji statistik NMAE TSS (µ/l) in situ 1 19 15,375 15,760 2 18 15,640 10,260 3 18 18,480 2,087 4 15 15,470 2,045 5 12 14,374 10,325 6 11 14,885 16,892 7 10 14,531 19,701 8 10 13,979 17,303 9 7 13,400 27,829 10 9 13,143 18,015 11 23 13,007 43,444 12 12 13,268 5,516 13 11 13,892 10,823
JURNAL TEKNIK ITS Vol. X, No. X, (2016) ISSN: 2337-3539(2301-9271 Print) 3 In situ TSS CItra 14 7 15,231 35,789 15 10 12,762 12,010 16 12 12,679 2,952 17 11 13,434 10,583 18 7 17,933 47,535 19 14 15,376 5,986 20 15 14,787 0,925 21 21 21,482 2,095 Total 15,137 % Karena hasil perhitungan TSS dengan algoritma Jaelani, 2016 sudah memenuhi NMAE 30 %, maka sebenarnya tidak diperlukan pembuatan algoritma, namun dikarenakan perbedaan kondisi di Indonesia, maka pembuatan algoritma tetap dilakukan untuk pengujian dan mendapatkan algoritma agar mendapatkan hasil yang lebih baik. B. Perhitungan Suhu Dari hasil perhitungan suhu dengan menggunakan algoritma Syariz,2015 [7] Suhu = 0,0197 x 2 + 0,2881x + 29,004 (2) dimana x adalah hasil brightness temperatur dari kanal 11. Maka didapatkan sebaran suhu sebagai berikut Hasil perhitungan suhu lalu divalidasi dengan data in situ dan menghasilkan NMAE sebagai berikut Tabel 2. Perbandingan nilai suhu perhitungan citra dengan in situ. in situ Suhu (Celcius) 1 28,6 30,723 16,986 2 28,7 29,760 16,779 3 28,83 33,525 15,566 4 29,31 33,544 14,038 5 29,78 33,498 12,329 6 29,49 29,618 13,685 7 29,48 30,572 13,567 8 29,18 33,611 14,691 9 28,99 28,579 15,214 10 29,03 33,578 15,079 11 28,71 30,545 16,033 12 28,49 33,525 16,694 13 27,65 29,425 19,146 14 27,7 33,455 19,081 15 27,91 33,445 18,351 16 28,07 30,470 17,905 17 27,81 29,392 18,509 18 29,72 30,753 13,372 19 27,61 32,511 19,566 20 27,36 33,339 19,824 21 30,16 28,023 12,807 Total 16,153 Hasil NMAE perhitungan suhu sudah memenuhi NMAE 30 %, yaitu sebesar 16,153%. Namun pada suhu, tidak dapat dilakukan pemodelan algoritma yang baru dikarenakan data spektro hanya memiliki panjang gelombang maksimal 700 nm, sedangkan sensor TIRS Landsat 8 memerlukan panjang gelombang paling rendah 1060 nm. Maka dari itu untuk pembuatan peta kesesuaian Eucheuma Cottoni tetap menggunakan algoritma suhu dari Syariz (2015). Gambar 3. Perhitungan suhu melalui algoritma Syariz (2015) C. Perhitungan Nilai klorofil-a Dari hasil perhitungan nilai klorofil-a dengan menggunakan algoritma Jaelani, 2015[3] Log (Chl-a) = -0,9889 ( Rrs(λ4 Rrs(λ 5 ) + 0,3619 (3)
Konsentrasi TSS in situ JURNAL TEKNIK ITS Vol. X, No. X, (2016) ISSN: 2337-3539(2301-9271 Print) 4 D. Pemodelan algoritma TSS Setelah dilakukan pemodelan dengan berbagai pemodelan algoritma dengan Rrs in situ dan dibandingkan dengan konsentrasi TSS in situ maka didapatkan model algoritma terbaik dengan nilai regresi diatas 0,5 20 15 TSS y = 15.197x + 0.8842 R² = 0.5313 Gambar 4. Sebaran klorofil-a dengan algoritma Jaelani (2015) 10 5 0.5 0.75 1 Rrs Lapangan TSS Linear (TSS) Hasil hitungan klorofil-a tersebut lalu divalidasi dengan menggunakan data in situ, maka akan dihasilkan Tabel 3. Perbandingan Nilai Klorofil a dengan Algoritma Jaelani (2015) dengan Data in situ Klorofil-a (mg/l) In situ 1 1,207 0,110 44,844 2 0,868 0,110 30,979 3 0,645 0,011 25,900 4 0,543 0,132 16,790 5 0,662 0,216 18,212 6 0,969 0,228 30,304 7 0,986 0,306 27,793 8 0,662 0,320 13,969 9 0,543 0,320 9,116 10 0,544 0,321 9,089 11 0,662 0,333 13,452 12 0,646 0,302 14,069 13 0,646 0,307 13,844 14 0,544 0,203 13,921 15 0,662 0,298 14,852 16 0,646 0,335 12,706 17 1,071 0,269 32,785 18 1,173 0,011 47,496 19 0,986 0,241 30,458 20 0,969 0,250 29,369 21 2,445 0,048 98,033 Total 26,094 % Dari hasil perhitungan klorofil-a dengan algoritma Jaelani, 2015 sudah memenuhi NMAE 30 % yaitu sebesar 26,094%. Gambar 5. Regresi antara perbandingan band (Rrs ( λ1)/rrs (λ2)) dengan konsentrasi in situ. Perbandingan tersebut berupa regresi tertinggi dari bentuk algoritma yang sudah ditentukan, maka diperoleh hasil regresi dengan bentuk (Rrs (λ 1)/Rrs(λ 2)). Maka algoritma yang didapat adalah TSS = 15,197 ( Rrs (λ 1) Rrs (λ 2) ) + 0,8842 (4) Setelah melakukan pemodelan algoritma TSS, maka algoritma tersebut tetap diuji dengan NMAE dengan titik validasi yang berbeda dengan titik pembuatan algoritma. E. Perhitungan TSS dengan Algoritma Baru Dari hasil perhitungan TSS dengan menggunakan algoritma baru, maka didapatkan hasil sebaran TSS Gambar 6. Sebaran TSS di laut selatan pulau Lombok dengan menggunakan algoritma baru.
JURNAL TEKNIK ITS Vol. X, No. X, (2016) ISSN: 2337-3539(2301-9271 Print) 5 Adapun hasil perhitungan NMAE dari perbandingan algoritma baru dengan data in situ Tabel 4. Perbandingan hasil data sebaran TSS data in situ dengan citra hasil perhitungan algoritma baru TSS (µ/l) Lapangan 1 19 14,859 18,004 2 18 14,878 13,572 3 18 14,419 15,565 4 15 15,490 2,134 5 12 15,408 14,820 6 11 15,528 19,687 7 10 15,414 23,542 8 10 16,486 28,200 9 7 16,559 41,563 10 9 16,501 32,615 11 23 16,796 26,970 12 12 16,721 20,526 13 11 16,089 22,128 14 7 16,098 39,557 15 10 17,162 31,142 16 12 17,093 22,147 17 11 15,572 19,879 18 7 14,503 32,625 19 14 14,696 3,026 20 15 15,143 0,624 21 21 13,996 30,449 Total 21,846 % Hasil perhitungan citra menggunakan algoritma TSS baru memenuhi persyaratan NMAE 30% dengan NMAE sebesar 21,8463%, namun hasil dari algoritma baru tidak lebih baik dari perhitungan citra dengan menggunakan algoritma TSS Jaelani, 2016 dengan NMAE sebesar 15,137%. Sehingga dalam pembuatan peta kesesuaian, tetap menggunakan algoritma TSS Jaelani, 2016. F. Perhitungan Klorofil -a dengan Algoritma Baru Dari hasil perhitungan klorofil-a dengan menggunakan algoritma baru, maka didapatkan hasil sebaran klorofil-a Gambar 7. Sebaran Klorofil-a di laut selatan pulau Lombok dengan menggunakan algoritma baru. Adapun hasil perhitungan NMAE dari perbandingan algoritma baru dengan data in situ. Tabel 5. Tabel hasil perhitungan NMAE sebaran klorofil-a dari citra dengan data in situ Klorofil-a In situ NMAE 1 1,207 0,792 16,935 2 0,868 0,792 3,070 3 0,645 0,549 3,907 4 0,543 0,862 13,078 5 0,662 1,148 19,900 6 0,969 1,185 8,841 7 0,986 1,338 14,434 8 0,662 1,384 29,563 9 0,543 1,483 38,470 10 0,544 1,489 38,662 11 0,662 1,427 31,292 12 0,646 1,423 31,812 13 0,646 1,342 28,466 14 0,544 1,107 23,054 15 0,662 1,366 28,825 16 0,646 1,434 32,256 17 1,071 1,218 6,030 18 1,173 0,467 28,866 19 0,986 1,128 5,816 20 0,969 1,058 3,659 21 2,445 0,443 81,866 Total 23,276 %
JURNAL TEKNIK ITS Vol. X, No. X, (2016) ISSN: 2337-3539(2301-9271 Print) 6 Hasil perhitungan citra menggunakan algoritma klorofil a baru memenuhi persyaratan NMAE 30 %, dengan NMAE sebesar 23,276 %. Hasil tersebut lebih baik dari algoritma Jaelani, 2015 untuk pengamatn klorofil-a di laut selatan Pulau Lombok. Sehingga dalam pembuatan peta kesesuaian, untuk klorofil-a menggunakan algoritma baru. G. Overlay Peta Kesesuaian Eucheuma Cottoni di laut Selatan Pulau Lombok dengan parameter TSS, Suhu dan Klorofil a. Peta kesesuaian ini dibuat dengan parameter TSS, suhu dan klorofil yang telah di-overlay-kan. Dengan hasil klasifikasi pada citra Landsat 8 dengan parameter TSS, suhu dan klorofil-a. untuk penentuan kesesuaian budidaya Eucheuma cottoni dikarenakan keterbatasan data yang ada. Ada beberapa faktor yang menyebabkan budidaya Eucheuma cottoni terus menurun dari tahun ke tahun, salah satunya adalah rencana pembuatan dermaga yang berada di laut selatan Pulau Lombok, dengan efek pembangunannya yaitu berubah pula kualitas air di laut selatan Pulau Lombok. IV KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini yaitu wilayah kesesuaian kualitas air untuk budidaya rumput laut Euchema cottoni seluas 2.217 Ha, sedangkan untuk area yang sangat sesuai seluas 14.243 Ha di laut selatan Pulau Lombok. Klasifikasi tersebut dihasilkan dari overlay perhitungan TSS menggunakan algoritma Jaelani (2016) dan suhu dengan menggunakan algoritma Syariz (2015). Perhitungan TSS pada algoritma Jaelani (2016) memiliki NMAE sebesar 15,137%, sehingga lebih baik dari algoritma pemodelan yang memiliki NMAE sebesar 21,868%. Sedangkan untuk klorofil-a dengan menggunakan algoritma Jaelani (2015) memiliki NMAE sebesar 26,094%, sehingga algoritma pemodelan klorofila masih lebih baik bila digunakan di laut selatan Pulau Lombok yang memiliki NMAE sebesar 23,276%. Pada perhitungann suhu tidak dapat dilakukan pemodelan ulang dikarenakan data spektro yang ada hanya sampai 700nm. Namun pada perhitungan suhu dengan menggunakan algoritma Syariz (2015) telah memenuhi syarat NMAE 30% sebesar 16,153%. Gambar 8. Peta Kesesuaian Kualitas Air untuk Budidaya Eucheuma Cottoni tahun 2014 Dari sebaran klorofil-a tidak ada daerah yang sesuai, karena klasifikasi SNI untuk budidaya Eucheuma cottoni membutuhkan konsentrasi klorofil-a untuk daerah sesuai sebesar 4mg/L, sedangkan dari klasifikasi diatas tidak ada daerah di laut selatan Pulau Lombok dengan konsentrasi klorofil mencapai 4mg/L. Namun hal itu tidak terlalu berpengaruh dikarenakan bobot klorofil-a hanya lima, sedangkan dua faktor lain (TSS dan suhu) memiliki bobot 15. Dengan overlay dari dua parameter tersebut memiliki 2.717 hektar luas dari area penelitian yang sesuai dan 14.243 hektar area yang sangat sesuai untuk budidaya Eucheuma cottoni. Namun dari hasil diatas, tidak ada parameter kedalaman yang memiliki bobot yang tinggi DAFTAR PUSTAKA [1] Alaerts,G., Sri Suantri Santika. Metoda Penelitian Air. Surabaya: Usaha Nasional, 1987.. alamikan. 2008. https://www.alamikan.com (diakses pada Januari 17, 2016). [2] Jaelani, L.M, dkk.2016. Estimation of TSS and Chl-a Concentration from Landsat 8 OLI : The Effect of Atmosphere and Retrieval Algorithm. IPTEK. The Journal for Technology and Science. VOL XXVII. No.1, 16-23. [3] Jaelani L.M., dkk. 2015. Pemetaan Distribusi Spasial Konsentrasi Klorofil-A dengan Landsat 8 di Danau Matano dan Danau Towuti, Sulawesi Selatan, Prosiding Pertemuan Ilmiah Tahunan Masyarakat Ahli Penginderaan Jauh Indonesia XX, Bogor. [4] Jaelani, Lalu Muhammad. LMJAELANI.COM. 2015. http://lmjaelani.com/tag/koreksi-radiometrik/ (diakses pada 20 Oktober 2015) [5] Lamai C, Kruatrachue M, Pokethitiyook P, Soonthornsarathool. "Toxicity and accumulation of lead and cadium in the filamentous green alga Cladophora fracta." ScienceAsia, 2005: 121. [6] Nirmala, Arlina dkk. "Penentuan Keseuaian Budaya Rumput Laut di Laut Selatan Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, Menggunakan data Inderaja dan SIG." Jurnal Akuakultur Indonesia, 2014: 73-82. [7] Syariz, M.A. dkk,. 2015. Retrieval of Sea Surface Temperature Over Poteran Islan Water of Indonesia With Landsat-8 TIRS Image: A Preliminary Algorithm. ISPRS, Malaysia.