ASPEK PENYALURAN SAPRONAK, PEMASARAN HASIL DAN POLA KERJASAMA DALAM PIR PERUNGGASAN DI JAWA BARAT DAN JAWA TIMUR

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. serta dalam menunjang pembangunan nasional. Salah satu tujuan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. Tahun (juta orang)

PERKEMBANGAN DAN VARIASI HARGA DAGIN. DAN TELUR PADA BERBAGAI KOTA BESAR DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. karakteristik produk unggas yang dapat diterima oleh masyarakat, harga yang

POLA PERDAGANGAN MASUKAN DAN KELUARAN USAHA TERNAK AYAM RAS"

I. PENDAHULUAN. dalam pembangunan sektor pertanian. Pada tahun 1997, sumbangan Produk

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai bobot badan antara 1,5-2.8 kg/ekor dan bisa segera

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

III. KERANGKA PEMIKIRAN

I PENDAHULUAN. 2,89 2,60 2,98 3,35 5,91 6,20 Makanan Tanaman Perkebunan 0,40 2,48 3,79 4,40 3,84 4,03. Peternakan 3,35 3,13 3,35 3,36 3,89 4,08

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

V. PENDEKATAN SISTEM 5.1. Analisis Kebutuhan Pengguna 1.) Petani

I. PENDAHULUAN. Ubi kayu mempunyai peran cukup besar dalam memenuhi kebutuhan pangan

I. PENDAHULUAN. Memasuki era globalisasi dan perdagangan bebas, pembangunan. (on farm) mengalami pergeseran ke arah yang lebih terintegrasi dan

KEMITRAAN USAHA AYAM RAS PEDAGING: KAJIAN POSISI TAWAR DAN PENDAPATAN TESIS. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Gelar Magister

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Usaha Peternakan Ayam Broiler di Indonesia

I. PENDAHULUAN. Daging ayam merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling

BAB I PENDAHULUAN. peranan penting dalam menopang perekononiam masyarakat. Pembangunan sektor

I. PENDAHULUAN. Teknologi mempunyai peran penting dalam upaya meningkatkan

[Pengelolaan dan Evaluasi Kegiatan Agribisnis Ternak Unggas]

BAB I. PENDAHULUAN A.

III KERANGKA PEMIKIRAN

[Perencanaan Kegiatan Agribisnis Ternak Unggas]

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah

VI POLA KEMITRAAN. Perusahaan Inti DUF. Perusahaan Pemasok Sapronak

PENGANTAR. Latar Belakang. Peternakan merupakan salah satu subsektor yang berperan penting dalam

MENINGKATKAN DAYA SAING PERUNGGASAN NASIONAL DENGAN MENGEMBANGKAN KEMITRAAN MELALUI INTEGRASI VERTIKAL

REKONSILIASI PELAKU PERUNGGASAN DEMI MEMBANGUN AGRIBISNIS PERUNGGASAN YANG BERDAYA SAING

BAB I PENDAHULUAN. seperti karbohidrat, akan tetapi juga pemenuhan komponen pangan lain seperti

BAB 1. PENDAHULUAN. Indonesia. Bawang merah bagi Kabupaten Brebes merupakan trademark

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gambaran Umum Pengembangan Usaha Ternak Ayam Buras di Indonesia

VI. PELAKSANAAN KEMITRAAN

PENDAHULUAN. Latar Belakang. berlanjut hingga saat ini. Dunia perunggasan semakin popular di kalangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peternakan merupakan salah satu sub sektor pertanian yang memiliki peranan cukup penting dalam memberikan

1 PENDAHULUAN. Sumber : Direktorat Jendral Peternakan 2010

CONTRACT FARMING SEBAGAI SUMBER PERTUMBUHAN BARU DALAM BIDANG PETERNAKAN

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Tenaga Kerja Usia 15 Tahun ke Atas Menurut Lapangan Pekerjaan Tahun 2011

I. PENDAHULUAN. 1 Sapi 0,334 0, Kerbau 0,014 0, Kambing 0,025 0, ,9 4 Babi 0,188 0, Ayam ras 3,050 3, ,7 7

LAPORAN AKHIR ANALISIS BERBAGAI BENTUK KELEMBAGAAN PEMASARAN DAN DAMPAKNYA TERHADAP PENINGKATAN USAHA KOMODITAS PERTANIAN. Oleh :

I. PENDAHULUAN. industri pertanian, dimana sektor tersebut memiliki nilai strategis dalam

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pola kemitraan ayam broiler adalah sebagai suatu kerjasama yang

ANALISIS USAHA AYAM PETELUR PETERNAK PLASMA DI JAWA BARAT DAN LAMPUNG

I. PENDAHULUAN. pertanian berperan besar dalam menjaga laju pertumbuhan ekonomi nasional. Di

III. METODE PENELITIAN. Konsep dasar dan batasan operasional merupakan pengertian dan petunjuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERANAN SEKTOR PERTANIAN KHUSUSNYA JAGUNG TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI KABUPATEN JENEPONTO Oleh : Muhammad Anshar

5Kebijakan Terpadu. Perkembangan perekonomian Indonesia secara sektoral menunjukkan. Pengembangan Agribisnis. Pengertian Agribisnis

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan usaha peternakan unggas di Sumatera Barat saat ini semakin

KONTRIBUSI USAHA PETERNAKAN DALAM PENGEMBANGAN WILAYAH

POLA PENGEMBANGAN KOMODITI JAGUNG HIBRIDA. di KAB. SUMBA TIMUR

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Usaha Peternakan Ayam Broiler

BAB I PENDAHULUAN. Kopi merupakan salah satu komoditi perkebunan yang penting dalam perekonomian nasional.

II. TINJAUAN PUSTAKA. tentang Pedoman Kemitraan Usaha Pertanian, yang menyatakan bahwa kemitraan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pada dasamya merupakan kebutuhan bagi setiap. masyarakat, bangsa dan negara, karena pembangunan tersebut mengandung

I. PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara agraris yang memiliki sumber daya melimpah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN PENELITIAN: Bahasa Indonesia

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 1981 TENTANG PEMBINAAN USAHA PETERNAKAN AYAM

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26/Permentan/PK.230/5/2016 TENTANG PENYEDIAAN, PEREDARAN, DAN PENGAWASAN AYAM RAS

I PENDAHULUAN. Aman, dan Halal. [20 Pebruari 2009]

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan daerah pada hakekatnya merupakan bagian integral dan

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

PERDAGANGAN KOMODITAS STRATEGIS 2015

BAB I PENDAHULUAN. sangat potensial dikembangkan. Hal ini tidak lepas dari berbagai keunggulan

IV. METODE PENELITIAN

1 PENDAHULUAN. Tahun Manggis Pepaya Salak Nanas Mangga Jeruk Pisang

PRAKIRAAN PRODUKSI DAN KEBUTUHAN PRODUK PANGAN TERNAK DI INDONESIA

III. METODE PENELITIAN. Metode yang digunakan dalam mengambil sampel responden dalam penelitian ini

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

2017, No Menteri Petanian tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 16 Tah

Pembangunan merupakan suatu proses yang dilakukan secara. terus menerus ke arah yang lebih baik dari keadaan semula. Dalam kurun

BAB I PENDAHULUAN. Peternakan ayam broiler mempunyai prospek yang cukup baik untuk

dan produktivitasnya sehingga mampu memenuhi kebutuhan IPS. Usaha

ANALISIS PERKEMBANGAN HARGA DAN RANTAI PEMASARAN KOMODITAS CABAI MERAH DI PROPINSI JAWA BARAT

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN an sejalan dengan semakin meningkatnya pendapatan per kapita masyarakat,

I. PENDAHULUAN. nasional yang diarahkan untuk mengembangkan daerah tersebut. Tujuan. dari pembangunan daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan

TERNAK AYAM KAMPUNG PELUANG USAHA MENGUNTUNGKAN

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERKEMBANGAN KOMODITAS STRATEGIS 2015

BAB I PENDAHULUAN. pangan dan gizi serta menambah pendapatan (kesejahteraan) masyarakat. Hal ini

III KERANGKA PEMIKIRAN

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang BPS. 2012

TINJAUAN PUSTAKA. mall, plaza, pusat perdagangan maupun sebutan lainnya; Pasar Tradisional adalah

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tinjauan umum Ayam Broiler. sebagai penghasil daging, konversi pakan irit, siap dipotong pada umur relatif

I. PENDAHULUAN. Pertanian merupakan sektor potensial yang memegang peranan penting

PRODUKTIVITAS DAN ANALISA KELAYAKAN USAHA TERNAK SAPI POTONG DI YOGYAKARTA (POSTER) Tri Joko Siswanto

I. PENDAHULUAN. khususnya bagi sektor pertanian dan perekonomian nasional pada umumnya. Pada

BAB I PENDAHULUAN. peranan yang tepat dari para pelaku ekonomi. konsumen adalah sebagai pemasok faktor faktor produksi kepada perusahaan

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB IV METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilakukan di Kecamatan Rancabungur, Desa Pasirgaok, Bogor,

PERATURAN MENTERI PERTANIAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 61/Permentan/PK.230/12/2016 TENTANG PENYEDIAAN, PEREDARAN, DAN PENGAWASAN AYAM RAS

1. PENDAHULUAN. Indonesia memiliki sektor pertanian yang terus dituntut berperan dalam

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1

PENDAHULUAN. anemia (kekurangan zat besi), terutama terjadi pada anak-anak. Hal ini

VII. ANALISIS PENDAPATAN

Transkripsi:

ASPEK PENYALURAN SAPRONAK, PEMASARAN HASIL DAN POLA KERJASAMA DALAM PIR PERUNGGASAN DI JAWA BARAT DAN JAWA TIMUR Oleh: Adang Agustian dan Benny Rachman*) ABSTRAK Pola kerjasama perunggasan yang diwadahi dalam konsep PIR masih menghadapi berbagai permasalahan mulai dari pengadaan bahan baku hingga pemasaran basil maupun dalam sistem kelembagaan kerjasamanya. Hasil kajian mendapatkan bahwa (1) alur penyerahan pakan dari pabrik/industri setelah melalui agen/distributor umumnya langsung ke Poultry Shop (sebagai Inti), sedangkan penyaluran DOC dari Breeders sampai ke Poultry Shop dapat secara langsung atau melalui agen/distributor lainnya, (2) Poultry Shop/Inti masih merupakan tujuan penting dalam memasarkan hasil dari peternak, (3) Kenaikan harga pakan (petelur/pedaging) secara umum masih di atas kenaikan harga produk unggas itu sendiri, (4) Pola kerjasama antara Inti dan Plasma secara dominan terjadi secara kesepakatan. Upaya memperbaiki sistem kelembagaan yang ada dan tengah berjalan dalam konsep PIR unggas seyogyanya masih perlu dibenahi sehingga para peternak keen dapat berkembang secara wajar. PENDAHULUAN PIR Perunggasan yang sejak lahirnya (tahun 1984) hingga muncul kebijaksanaan baru (tahun 1990) masih menghadapi berbagai kendala dalam perkembangannya. Kemelut harga tetap berjalan yang mengakibatkan kedudukan peternak kecil tetap dalam posisi yang sulit. Seiring dengan iklim deregulasi dan debirokratisasi, lahirnya Keppres No.22/1990 adalah untuk menyempurnakan peraturan sebelumnya mengenai usaha budidaya peternakan rakyat (perorangan), kelompok atau koperasi. Pada Keppres tersebut yang lebih lanjut tertuang dalam SK Mentan No.362/Kpts/TN.120/ 5/1990 ditentukan bahwa usaha peternakan rakyat ras petelur maksimal 10.000 ekor dan ayam pedaging 15.000 ekor per sikius. Dari tahapan keluarnya kebijakan tersebut diharapkan porsi peternak kecil dapat tumbuh dan mampu menjadi peternak mandiri. Harapan ini nampaknya belum terwujud, dengan sering terjadinya produk-produk dari peternak skala besar yang hanya bertumpu pada pasar domestik. Selain itu, ditemukan bahwa breeders ternyata juga turut memelihara ternak sampai siap panen, kemudian melempar produk tersebut ke pasaran lokal sehingga harga jatuh. Terkait dengan konsep PIR Pola Perunggasan, yang bertindak sebagai Inti adalah: koperasi, perusahaan swasta apabila koperasi belum mampu, perusahaan daerah, kerjasama antara koperasi dengan perusahaan swasta atau daerah yang bergerak dalam bidang penyaluran sapronak, pengolahan dan pemasaran. Tugas dan fungsi Inti adalah: (i) penyediaan penyalur sapronak, (ii) memberikan input teknologi/keterampilan dan manajemen kepada petani ternak, (iii) membimbing petani ternak untuk meningkatkan usaha peternakan ayam, (iv) menyediakan sarana lepas panen dan pemasaran hasil, (v) memasarkan hasil produksi dari peternak plasma, (vi) memberikan iklim dan mendorong mengembangkan kegiatan koperasi petani ternak. Sedangkan yang bertindak sebagai Plasma adalah petemak yang dibina Inti yang dapat berbentuk Plasma kesepakatan, Plasma ratio atau Plasma mandiri. *) Staf Peneliti pada Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. 38

Dalam pola kerjasama perunggasan hendaknya terpadu dari seluruh pihak yang terlibat seperti: peternak, Inti, perusahaan swasta, pihak pemerintah dan instansi lainnya. Kelemahan dalam kerjasama yang terjalin akan menjadi titik rawan perkembangannya. Sementara itu, kehadiran lembaga Pusat Informasi Pasar (PINSAR) yang didirikan untuk membantu menstabilisasikan harga masukan dan keluaran, pada kenyataannya belum dapat berjalan optimal dengan masih seringnya terjadi fluktuasi harga produk yang tajam dan harga pakan yang terus meningkat sehingga peternak merugi. Selain itu kelembagaan-kelembagaan kredit peternakan masih belum menyentuh peternak-peternak kecil di pedesaan. Salah satu kendala teknis dalam peminjaman yang sering terjadi adalah prosedur peminjaman yang cukup rumit. Tulisan ini mencoba mengungkapkan: (1) Keragaan pengadaan bahan baku dan penyaluran sapronak, (2) Aspek pemasaran hasil, dan (3) Pola kerjasama antara Inti dan Plasma yang terjadi di Jawa Barat dan Jawa Timur. METODA PENELITIAN Lokasi Penelitian dan Pengambilan Contoh Penelitian dilakukan di dua propinsi yaitu Jawa Barat dan Jawa Timur dengan pertimbangan bahwa kedua lokasi tersebut merupakan sentra perunggasan. Untuk lokasi Jawa Timur, kabupaten terpilih yaitu Gresik, Kediri dan Blitar. Sedangkan untuk wilayah Jawa Barat adalah Tangerang, Cianjur dan Tasikmalaya. Data yang dipergunakan meliputi data survei lapangan (primer) dan data sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan pertanyaan terstruktur terhadap 20 Poultry Shop Inti dan 180 peternak Plasma yang dipilih secara acak proporsional sesuai dengan jumlah peternak binaan setiap Inti. Disamping itu, data sekunder dan informasi kualitatif secara regional maupun nasional diperoleh melalui pendekatan " pemahaman masalah dalam waktu cepat" dengan menggali informasi kunci secara berlapis dari tingkat propinsi, kabupaten, kecamatan sampai di tingkat peternak. Demikian pula berbagai instansi/lembaga terkait kajian ini merupakan sumber perolehan informasi. Cakupan dan Metoda Analisis Analisis secara deskriptif mencoba menjabarkan pola PIR Perunggasan seperti pengadaan bahan baku dan penyaluran sapronak, kelembagaan pemasaran hasil, dan kerjasama Inti dan Plasma. Kelembagaan pengadaan dan penyaluran bahan baku dan sapronak ditelaah mulai dari industri hulu sampai ke hilir (peternak). Selanjutnya pada analisis kelembagaan pemasaran hasil ditampilkan mekanisme kelembagaan pemasaran yang ada (PINSAR) dalam menopang perunggasan dan alur pemasaran produk. Sementara itu kelembagaan kerjasama Inti-Plasma dianalisis secara deskriptif mengenai bentuk kerjasama yang terjadi dan temuan yang ada di lapangan. Inti yang dimaksud pada kajian ini adalah Poultry Shop. PENGADAAN BAHAN BAKU DAN PENYALURAN SAPRONAK Dalam sistem agribisnis unggas, ketersediaan sarana produksi peternakan seperti DOC (Day Old Chick), ransum, obat-obatan dan lain-lain sangat diperlukan. Pada pola PIR, kegiatan tersebut diserahkan kepada perusahaan peternakan besar yang diharuskan mengalihkan usahanya pada usaha pembibitan, pabrik ransum dan obat-obatan. Perusahaan besar bersama-sama dengan unit penyalurnya diharuskan membentuk suatu inti. Peranan Industri Sarana Produksi Peternakan (Sapronak) akan sangat membantu lancarnya program keterkaitan antara Inti dan Plasma. Oleh karena itu kerjasama industri Sapronak dan Inti diarahkan pada suasana kerjasama saling menguntungkan yang mampu membantu peternak dalam kelangsungan usahataninya. Perolehan pakan, DOC, obat-obatan atau peralatan oleh Inti bisa langsung diperoleh dari industri pemasok, bisa juga tidak langsung artinya melalui agen lain. Sistem pembayaran dari Inti terhadap pemasok sapronak tersebut dapat berbentuk tunai dan bukan tunai. Pelayanan bukan tunai yaitu melalui pemotongan penjualan hasil. Sistem ini dianggap lebih menguntungkan peternak sekaligus memperlihatkan pelayanan Inti terhadap Plasma (Rusastra, dkk., 1988). Hasil temuan di lapangan sebagaimana terungkap pada Tabel 1, bahwa Inti (dalam hal ini 39

Tabel I. Keragaan pemasokan DOC petelur, pedaging, pakan dan obat-obatan ke Inti di Jawa Barat dan Jawa Timur, 1992 (persen). Jawa Barat Jawa Timur Cianjur Tasikmalaya Gresik Kediri Blitar 1* >2* 1 >2 1 >2 1 >2 I >2 Doc Petelur 80 20 50 50 0 100 50 50 40 60 DOC Pedaging 75 25 50 50 0 100 50 50 50 50 Pemasok pakan 50 50 75 25 0 100 0 100 50 50 Pemasok obat-obatan & peralatan 50 50 30 70 0 100 0 100 50 50 Keterangan: * Menunjukkan banyaknya pemasok/distributor. Poultry Shop) membeli (menerima) pakan, DOC dan obat-obatan dapat berasal dari satu, dua atau lebih pemasok. Inti yang hanya membeli pakan, DOC dan obat-obatan berasal dari satu pemasok secara dominan ditemukan di Jawa Barat (terutama Cianjur). Lain halnya seperti di Jawa Timur (dalam hal ini: Gresik dan Kediri) justru Inti memperoleh pakan, DOC dan obat-obatan tersebut cenderung berasal dari dua atau lebih pemasok. Secara garis besar aluran penyaluran DOC dari breeders dan pakan dari Industri Makanan Ternak hingga ke peternak ditampilkan pada Gambar 1. Pada pola kerjasama PIR Perunggasan, Inti menyediakan/menyalurkan sapronak terhadap Breeders Agen/Distributor DOC Agen/Distributor Pakan Poultry Shop Peternakan Keterangan: : Garis penyaluran DOC : Garis penyaluran pakan Industri Pakan Ternak Gambar 1. Alur penyaluran DOC dari breeders dan pakan dari industri pakan hingga peternak. Plasma. Dari gambar tersebut terungkap bahwa penyaluran DOC dari breeders sebelum sampai ke Poultry Shop dapat secara langsung maupun melalui agen lain. Selanjutnya Inti menyalurkan/ menjual ke para peternak (Plasma). Sementara itu, dalam penyaluran pakan dari Industri Makanan Ternak terungkap bahwa Poultry Shop tidak secara langsung memperolehnya, tetapi melalui agen/ distributor pakan industri tersebut. Selanjutnya, pakan yang diperoleh Poultry Shop tersebut tersalur ke para peternak. ASPEK HARGA DAN PEMASARAN HASIL Aspek Harga Sarana Produksi dan Hasil Dalam pemasaran produksi unggas, fluktuasi harga yang tajam masih merupakan suatu permasalahan, sedangkan pemasarannya sendiri selama ini masih ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Musim penjualan hasil dikelompokkan pada musim ramai dan musim sepi. Musim ramai adalah saat permintaan telur ataupun daging tinggi, misalnya pada waktu menjelang Hari Raya (Idul Fitri atau Idul Adha). Pada saat keadaan ini, kebutuhan konsumen akan hasil peternakan khususnya unggas mengalami peningkatan. Studi yang pernah dilakukan Rusastra dkk., 1988 juga menyatakan hal yang serupa. Musim sepi adalah saat permintaan produk relatif rendah. Hal ini ter jadi saat pengeluaran rumah tangga cukup besar teralokasi ke non konsumsi yaitu saat musim tahun ajaran pendidikan/sekolah, dimana keperluan biaya pendidikan/sekolah mendapat porsi yang besar. Untuk menstabilkan harga hasil produksi unggas dan para peternak dapat memperoleh 40

keuntungan yang cukup memadai maka perlu diupayakan cara pengendaliannya. Pengendalian harga telur/broiler dibutuhkan suatu group action yang terdiri dan para pedagang/pengumpul telur/ broiler serta peternak yang potensial (peternak yang mampu memasok pasar 50 sampai 60 persen), untuk menangani pemasaran telur/broiler. Di Jawa Timur (Surabaya), group action yang sudah terbentuk membuat suatu asosiasi yang diberi nama Pusat Informasi Pemasaran Telur (PIPT) pada tanggal 8 Juni 1989, dan untuk pertama kalinya baru menangani telur ayam saja. Tindak lanjut dengan keberhasilan PIPT, kemudian diangkat ke tingkat Nasional dan dikukuhkan menjadi Pusat Informasi Pasar (PINSAR). Hasil dari kegiatan ini adalah bahwa sepanjang tahun 1989/1990 harga telur/broiler dapat dikendalikan dengan adanya komunikasi yang cepat antar sentra produksi dan pengaturan arus barang. Dilain pihak untuk Jawa Barat, PINSAR yang telah terbentuk nampaknya belum banyak menolong para peternak disaat sedang terjadi fluktuasi harga. Sebenarnya PINSAR dapat merupakan wadah informasi pemasaran hasil unggas dan merupakan sarana pemantauan dan perkembangan potensi penawaran dan permintaan hasil unggas dimasing-masing daerah. PINSAR Jawa Barat telah berdiri sejak tahun 1990. Sebagai wadah informasi, PINSAR seyogyanya harus melingkup kabupatenkabupaten di Jawa Barat. Namun saat ini Pinsar ditingkat kabupaten baru terdapat di Sukabumi, Botabek, Cirebon, Tasikmalaya dan Bandung Raya. Menurut rencana di Cianjur pun akan segera dibentuk. Penciptaan hubungan kerjasama yang baik meliputi subsistem: farm supply (perusahaan pembibitan anak ayam, pabrik makanan ternak, perusahaan obat-obatan) dan pelaksanaan budidaya serta PINSAR hasil unggas. Kecenderungan disaat ini adalah bahwa perusahaan pembibitan selalu menuruti permintaan pasar dan peternak memperbesar skala usahanya secara berlebihan dengan tidak memperhitungkan kekuatan pasar yang mengakibatkan over-supply. Dari pengamatan di lapangan, baik di Jawa Barat maupun di Jawa Timur peranan PINSAR sebagai media arus informasi masih belum nyata membantu para peternak terutama peternak kecil. Fluktuasi harga masih merupakan kendala usaha para peternak. Informasi harga yang tajam belum banyak terserap masyarakat peternak. PINSAR telur yang selama ini ada fungsinya masih terbatas pada melakukan tukar informasi perkembangan harga, yang arahnya adalah mencegah terjadinya kecenderungan saling menjatuhkan. Oleh sebab itu sebagai tindak lanjut, kiranya perlu daerah-daerah sentra produksi telur segera membentuk lembaga pemasaran yang kelak akan dapat berfungsi penuh mengatur arus suplai maupun menetapkan harga telur di pasaran (Poultry Indonesia, 1992). Untuk membenahi pemasaran telur di Indonesia relatif sulit mengingat peternak-peternak di sentrasentra produksi telur belum sepakat dalam hal menentukan harga bahkan masih sering terjadi kecenderungan saling menjatuhkan harga antara sentra produksi telur yang satu dengan yang lainnya. Perkembangan harga produk unggas berupa daging ayam (pedaging) di Jawa Barat sebagaimana ditampilkan pada Tabel 2, selama kurun waktu 1986 1990 mengalami kenaikan sebesar 12,17 persen/tahun dan menunjukkan peningkatan yang lebih besar dibanding telur. Kenaikan sarana produksi DOC broiler mencapai 33,64 persen/ tahun serta pakan ayam petelur 30,25 persen/ tahun. Dalam hal ini terlihat bahwa kenaikan harga pakan petelur sangat besar bedanya jika dibandingkan dengan kenaikan harga telur ayam. Sementara itu, persentase kenaikan harga telur ayam. Sementara itu, persentase kenaikan harga pakan ayam pedaging masih dibawah kenaikan harga outputnya. Perkembangan harga produk dan sarana produksi ternak ayam ras di Jawa Timur terlihat pada Tabel 3. Terungkap bahwa kenaikan harga telur ayam mencapai 9,18 persen/tahun dan untuk broiler hidup harganya naik sebesar 7,17 persen/ tahun. Sementara, kenaikan harga pakan untuk petelur atau pedaging ternyata lebih tinggi dibanding dengan kenaikan harga produk tersebut. Hal ini menyebabkan kondisi usahatani ternak ayam cenderung mengalami penurunan. Sebagaimana dikemukakan Jasir (1987) bahwa kondisi usaha peternakan di Indonesia sering terhambat dan cenderung merugi akibat fluktuasi harga produk dan merambatnya harga pakan ke titik yang paling kritis. Aspek Pemasaran Hasil Output peternakan ayam ras baik telur maupun broiler yang dinikmati oleh konsumen ternyata 41

Tabel 2. Perkembangan harp produk dan sarana produksi temak ayam ras di Jawa Barat, 1986-1990. Uraian Tahun 1986 1987 1988 1989 1990 Rata-rata kenaikan (%/thn) A. Harga Produk (Rp/kg) 1. Telur 1475 1342 1521 1800 1850 5,02 2. Daging ayam pedaging 2025 2100 2100 2500 2500 12,17 B. Harga sarana produksi (Rp/kg) 1. DOC petelur 350 500 600 725 840 5,00 2. DOC pedaging t.d t.d 400 497 775 33,64 3. Pakan ayam petelur 150 225 300 452 541 30,25 4. Pakan ayam pedaging t.d t.d 450 534 544 9,23 Sumber: Dinas Peternakan DT. I Jawa Barat. Keterangan: t.d = tidak ada data. Tabel 3. Perkembangan harga produk dan sarana produksi ternak ayam ras di Jawa Timur, 1986 1990. Uraian Tahun Rata-rata kenaikan 1986 1987 1988 1989 1990 (%/thn) A. Harga Produk (Rp/kg) 1. Telur 1140 1280 1408 1600 1620 9,18 2. Broiler hidup 1320 1310 1300 1383 1728 7,17 B. Harga sarana produksi (Rp/kg) 1. DOC petelur 581 492 457 783 855 13,25 2. DOC pedaging 510 435 389 540 610 4,58 3. Pakan ayam petelur 263 327 378 427 463 15,19 4. Pakan ayam pedaging 357 432 483 512 540 10,90 Sumber: Dinas Peternakan DT. I Jawa Timur. melalui proses pengumpulan dan penyebaran yang cukup kompleks. Pada Gambar 2 terungkap bahwa pemasaran produk telur di Jawa Barat ditempuh melalui tahapan-tahapan pemasaran yang cukup beragam. Tujuan pemasaran tersebut secara langsung dapat ke pedagang pengumpul (meliputi pedagang pengumpul desa/kecamatan/kabupaten). pengumpul tersebut mendatangi para peternak (secara loko) yang memiliki telur siap jual. Pihak Inti/Poultry Shop biasanya melakukan kerjasama dengan pedagang besar di ibukota kabupaten/propinsi dan Inti akan mengirimkan/men- jual produk peternak tersebut ke pedagang besar. Dari pedagang besar untuk pasaran domestik, produk tersebut dijual ke pasaran berbagai daerah. Seterusnya konsumen rumah tangga memperoleh dari pasaran lokal. Lain halnya untuk pemasaran telur di Jawa Timur. Rantai pemaiaran telur di Jawa Timur (seperti terungkap pada Gambar 3), adalah: peternak ada yang menjual ke konsumen rumah tangga meskipun proporsi volumenya relatif kecil dan juga menjual ke warung/rumah makan. Dengan demikian penyebaran pemasaran relatif lebih menyebar dibanding Jawa Barat. 42

Peternakan 23,70 39,27 Poultry Grosir/ Pasar Konsumen 37,03 shop daerah rumah besar tangga pengumpul Waring, pengecer rumah makan, hotel dsb Gambar 2. Rantai pemasaran telur di Jawa Barat (angka persen, merupakan persentase volume penjualan saat musim ramai). Petemakan 22,85 0,69 27,37 Poultry Grosir/ Pasar Konsumen 21,96 shop daerah rumah besar tangga pengumpul 27,13 Waning, pengecer rumah makan, hotel dsb Gambar 3. Rantai pemasaran telur di Jawa Timur (angka persen, merupakan persentase volume penjualan saat musim ramai). Sementara itu, untuk produk peternakan lainnya (ayam fakir) dalam hal pemasarannya dari peternak masih melibatkan pihak Inti (Gambar 4). Khusus untuk Tangerang-Pondok Aren Jawa Barat bahwa ada Inti (contohnya: Sumber Makmur P.S) yang menerima ayam afkir dari para peternak. Selain dari peternak yang menjual ke pasar desa/ kabupaten juga banyak para pedagang pengumpul yang dengan cara sengaja mendatangi rumahrumah peternak. Output peternakan ayam afkir ini bukanlah output utama dari usaha peternakan ayam ras petelur. Secara umum, pola pemasaran ayam afkir dengan tujuan lnti jarang ditemukan, sebaliknya pedagang pengumpul sangat berperan dalam menampung ayam afkir dari para peternak. Berbeda untuk kasus Jawa Barat, di Jawa Timur tidak terlihat adanya peranan Inti/Poultry Shop dalam menangani produk ayam afkir dari peternak. Sedikit berbeda dengan Jawa Barat, bahwa ada peternak yang menjual ayam afkir ke konsumen non rumah tangga seperti: warung, pedagang-pedagang ayam goreng. Selanjutnya gambaran singkat dari rantai pemasaran ayam afkir di Jawa Timur ditampilkan pada Gambar 5. 43

25 80 1 43,25 Peternak pengumpul Petemak Poultry Pasar Konsumen Shop/Inti daerah rumah tangga pengumpul 31,28 45,46 23,26 30,95 Pasar daerah Warung, pedagang lainnya Gambar 4. Rantai pemasaran ayam afkir di Jawa Barat (angka persen, merupakan persentase volume penjualan saat musim ramai). Konsumen rumah tangga Konsumen Waning, pedagang lainnya Gambar 5. Rantai pemasaran ayam afkir di Jawa Timur (angka persen, merupakan persentase volume penjualan saat musim ramai). Selanjutnya Gambar 6 menginformasikan, bahwa ayam broiler dari peternak selain Inti/ Poultry Shop sendiri yang mengambil, juga peran pedagang pengumpul, konsumen warung dan pedagang ayam goreng, restauran, hotel, konsumen rumah tangga dan rumah potong ayam secara langsung mendapatkan ayam broiler dari produsen (peternak). Mekanisme pemasaran broiler setelah dari Inti senada seperti pemasaran telur. Hal lainnya terungkap pada rantai pemasaran broiler di Jawa Timur dimana tujuan pemasarannya dari peternak tidak terlalu menyebar dibanding yang terjadi di Jawa Barat. Lebih lanjut dari Gambar 7 terungkap, tujuan pemasaran selain Inti hanya satu altematif lain yaitu pedagang pengumpul yang langsung mendapatkan output berupa ayam broiler dari peternak. Mekanisme selanjutnya mulai dari Inti/Poultry Shop menunjukkan hal yang senada pada kasus pemasaran broiler di Jawa Barat. Sama halnya dengan di Jawa Barat, untuk Jawa Timur pun dalam sistem perunggasan ini peranan Poultry Shop sangat berarti bagi plasma/peternak dalam menghadapi kepastian pemasaran. Bahkan di Jawa Timur ada peternak yang menjual tidak hanya ke satu Inti saja, mereka ada yang menjalin kerjasama dengan inti lain. Bagi para peternak yang besar tentunya tak terikat pada salah satu tujuan pemasaran, dan bisa melakukan penetrasi pasar. Lebih jauh dipandang dari sudut penyerahan hasil ternak dari peternak khususnya terhadap Inti dapat terjadi secara loko ataupun franko. Untuk hasil ternak berupa telur, broiler maupun ayam afkir penyerahannya secara dominan terjadi secara loko. Pada penyerahan demikian, hasil peternakan diserahkan kepada Inti (Poultry Shop) di tempat peternak atau hasil ternak dijemput Inti ke lokasi peternak. Keragaan penyerahan hasil ini dengan tujuan Inti disajikan pada Tabel 4. Sementara itu, bila dilihat dari segi pembayaran pun hasil ternak dari para peternak dengan tujuan Inti (Poultry Shop) dapat secara tunai atau bayar kemudian. Pembayaran secara tunai maksudnya hasil ternak yang dijual para peternak ke Inti mendapatkan pembayaran secara tunai (cash), sedangkan untuk pembayaran kemudian maksudnya hasil ternak yang dibeli Inti tidak dibayar secara tunai melainkan ditangguhkan barang 2 atau 3 hari pembayarannya. Untuk hasil ternak berupa telur sistem pembayaran penjualan hasil dengan cara "bayar kemudian" sebesar 60,58 persen terjadi di Jawa Barat, begitu pula di Jawa Timur proporsi sistem pembayaran "bayar kemudian" (57,83%) lebih besar dibanding dengan pembayaran secara tunai (42,17%). Di Jawa Timur, penjualan hasil ternak berupa broiler dari Peternak ke Inti semuanya dibayar dengan sistem "bayar kemudian", sedangkan di Jawa Barat pembayaran hasil penjualan oleh Inti terhadap peternak hanya sebesar 55,15 persen melalui "bayar kemudian" dan 44,85 persen secara tunai. Gambaran secara rinci keragaan pembayaran hasil peternakan dengan tujuan pemasaran Inti di Jawa Barat dan Jawa Timur disajikan pada Tabel 5. 44

10,91 Peternakan 26,62 21,11 Poultry Grosir/ Pasar Konsumen 7,62 shop daerah rumah besar tangga pengumpul 16,87 Rumah potong 16,87 Konsumen Warung, pedagang ayam goreng, restauran, hotel dsb. Gambar 6. Rantai pemasaran ayam broiler di Jawa Barat (angka persen, merupakan persentase volume penjualan saat musim ramai). Peternakan 53,83 Poultry Grosir/ Pasar Konsumen shop daerah rumah besar tangga 46,17 pengumpul Konsumen Waning, pedagang ayam goreng, restauran, hotel dsb. Gambar 7. Rantai pemasaran ayam broiler di Jawa Timur (angka persen, merupakan persentase volume penjualan saat musim ramai). 45

Tabel 4. Keragaan penyerahan hasil peternakan dengan tujuan pemasaran Inti (Poultry Shop) pada usahatani ayam ras petelur dan pedaging di lokasi Jawa Barat dan Jawa Timur, 1992 (dalam persen). Hasil ternak 1. Telur 2. Broiler 3. Ayam afkir petelur Jawa Barat Jawa Timur Lokon Franko Loko Franko 95,65 89,74 100,00 4,35 10,26 0,00 91,39 100,00 8,61 0,00 Keterangan: Loko : Penyerahan produk yang diserahkan di tempat peternak (di datangi) Franko : Penyerahan barang di tempat penjual (diantar oleh peternak) Tabel 5. Keragaan pembayaran hasil peternakan dengan tujuan pemasaran Inti (Poultry Shop) pada usahatani ayam ras petelur dan pedaging di lokasi Jawa Barat dan Jawa Timur, 1992 (dalam persen). Jawa Barat Hasil ternak Tunai Bayar kemudian Tunai Jawa Timur Bayar kemudian 1. Telur 39,42 60,58 42,17 57,83 2. Broiler 44,85 55,15 0,00 100,00 3. Ayam afkir petelur 12,50 87,50 Campa Setiady (1992) mengungkapkan bahwa sejumlah permasalahan dalam pemasaran komoditi peternakan yang perlu diperhatikan di negaranegara yang sedang berkembang umumnya, dan di Indonesia pada khususnya meliputi: (1) tidak tersedianya komoditi peternakan dalam jumlah yang cukup dan kontinyu; (2) harga komoditi yang sering berfluktuasi secara tajam; (3) tidak efisiennya para pelaku pasar dalam melakukan kegiatan; (4) tidak tersedianya fasilitas yang memadai, (5) lokasi produsen dan konsumen yang terpencar; (6) kurang lengkapnya informasi pasar; (7) kurang pengetahuan terhadap pemasaran; (8) kurang modal; (9) kurang respon dari produsen terhadap permintaan pasar; dan (10) tidak memadainya peraturan-peraturan yang ada. Masih bertumpunya pemasaran hasil peternakan (unggas) ke pasaran domestik mengakibatkan terjadinya kelebihan produk perunggasan di pasaran, akibatnya harga jatuh dan yang lebih parah menderita kerugian adalah para peternak di pedesaan akibat jatuhnya harga (Poultry Indonesia, 1992). Dengan demikian adanya penetrasi pasar (misal untuk tujuan) ekspor sangat berguna dalam membantu kelancaran pemasaran ini. Lebih-lebih bagi perusahaan peternakan skala besar harus lebih berorientasi ekspor dalam pemasaran hasilnya. POLA KERJASAMA INTI DAN PLASMA Plasma menerima Sapronak dari Inti, untuk kemudian bertanggung jawab mengelola usaha ternak dalam suatu kegiatan produksi dengan keterampilan dan manajemen yang memadai. Untuk Plasma ratio, hasil produksi minimum 75 persen harus dijual langsung kepada Intinya, dan untuk plasma kesepakatan, seluruh hasil produksinya harus dijual kepada Inti. Untuk mencapai hasil yang optimal, tata hubungan kerjasama antara Inti dan Plasma perlu diatur atas dasar kesepakatan antara Inti dan Plasma bersangkutan. Struktur dan mekanisme kerjasama Inti dan Plasma dapat dilihat pada Gambar 8. Dari hasil penelitian di Jawa Barat (lokasi: Tangerang, Cianjur dan Tasikmalaya) terungkap bahwa bagi para peternak ras petelur terikat kerjasama secara kesepakatan dengan Inti sekitar 63 persen, dan sisanya merupakan Plasma mandiri. Begitu pula bagi para peternak pedaging menjalin kerjasama kesepakatan dengan Inti justru lebih tinggi (92 persen). Sistem kerjasama kesepakatan banyak dilakukan peternak, karena relatif lebih "aman" disaat menghadapi ketidakpastian harga dibanding sistem rasio. Dalam sistem yang dilakukan tersebut konsep PIR jelas terlihat, dimana Inti 46

Inti/Plasma Inti/Perusahaan Plasma/Peternak Kegiatan Swasta Kop. & Swasta PK PR 1. Pengadaan sarana 1 produksi DOC Ransum Obat DOC Ransum Obat 2. Penyaluran sarana produksi Swasta Koperasi 3. Produksi Maks 20% Min 80% 100% 4. Pemasaran Ke Inti -4 75% 25% Pemasaran Umum Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan, 1984. dalam Politik Pertanian (Sinaga, 1986). Gambar 8. Struktur dan mekanisme kerjasama inti dan plasma. menyediakan sapronak terhadap peternak yang sudah memiliki sarana kandang, keahlian beternak, kemudian pihak peternak/plasma tersebut mengelolanya. Kewajiban Plasma yaitu harus menjual output terhadap Intinya dengan potongan utang sapronak yang harus dikeluarkan. Hal yang menarik ditemukan dari sistem kerjasama di Tasikmalaya yang mana untuk menjadi Plasma dari suatu Inti tertentu dan nantinya mendapatkan sapronak, awalnya harus menyerahkan persekot uang sebagai ikatan sebesar Rp200.000 untuk 100 ekor ayam dan untuk periode berikutnya tidak dikenakan lagi (contohnya: P.S Sukahati, Andika P.S dan Family P.S). Lain halnya di Tangerang, terjadi pemilahan perusahaan peternakan skala besar menjadi peternakan skala usaha kecil yang dikelola oleh saudara ataupun buruh-buruhnya. Hal ini merupakan respon dari adanya restrukturisasi Keppres No.22/1990, dan akibat lebih jauh timbulah peternak-peternak Plasma yang sifatnya "semu", dengan segala input usaha disuplai dari pengusaha/ majikannya dan peternak hanya melakukan usaha. Sistem kerjasama di Jawa Timur menampilkan hal yang senada seperti Jawa Barat. Kerjasama kesepakatan untuk peternak ras petelur masih mendominasi (76%), sedangkan untuk peternak pedaging nampaknya para peternak mandiri telah tumbuh sekitar 97 persen. Pada peternak-peternak mandiri kecenderungan memiliki modal yang cukup untuk memperoleh sapronak sesuai kehendaknya dan menjual produknya tak terbatas pada satu lembaga penampung. Bahkan, dari temuan di lapangan, bahwa bentukan kerjasama baru telah terjadi antara perusahaan (breeders, obat-obatan, dan sebagainya) dengan peternak secara langsung, dengan demikian kerjasama bisa lebih luas. Sama seperti halnya di Tasikmalaya (Jawa Barat), di Gresik (Jawa Timur) pun terlihat adanya suatu fenomena bahwa para peternak bila ingin menjadi suatu Plasma dari Inti tertentu harus memberikan dulu semacam agunan. Agunan tersebut bisa berupa sertifikat tanah atau uang tunai Rp75.000 tiap 100 ekor DOC. Setelah 2 sampai 3 kali berjalan barulah diberi kepercayaan dalam pengambilan DOC taripa persekot terlebih dahulu. Kerjasama timbal balik yang saling menguntungkan seperti halnya di Jawa Barat dan Jawa Timur memperkuat ikatan antara inti dan plasma. Bagi peternak-peternak besar yang memiliki modal usaha yang besar dapat memperoleh sapronak sesuai kehendaknya dan menjual produknya tidak 47

terbatas pada satu lembaga penampung. Menurut Sinaga (1986), hubungan kerjasama antara Inti dan Plasma dalam pola PIR Perunggasan ternak ayam ras dapat dijelaskan dengan Gambar 9. Sapronak Output 100% Minimum 75% Plasma Output a % Output 75% Output (25-a) % Pasar Output Konsumsi Keluarga Plasma Gambar 9. Hubungan Intl-Plasma Ternak Ayam Ras dengan Sistem PIR. Inti harus menyediakan dan menyalurkan sapronak 100 persen kepada peternak-peternak Plasma. Plasma yang terdiri dari peternak-peternak kecil bertanggung jawab terhadap budidaya ternak dan hams menjual paling sedikit 75 persen dari hasil produksinya, setelah dikurangi jumlah ayam yang dikonsumsi keluarga Plasma tersebut (a%). Untuk menjamin jumlah pendapatan yang akan diterima oleh peternak Plasma, maka dalam hal ini harus ada perjanjian tertulis antara Inti dan Plasma. Dalam hubungan ini besarnya pendapatan yang diberikan kepada peternak, hanya dilakukan melalui perhitungan rasio. Dengan perhitungan ini, besarnya pendapatan yang diterima peternak kecil tidak akan dipengaruhi oleh fluktuasi harga sarana produksi dan harga hasil produksi ternak. Dalam hal ini Plasma berperan sebagai monopsoni terhadap sapronak dan monopoli terhadap hasil produksi ternak. Sedangkan Inti berperan sebagai monopoli hasil produksi ternak di pasar bebas. Dengan demikian tujuan pola PIR Perunggasan dalam usaha meningkatkan pendapatan peternak kecil dan meningkatkan kesempatan berusaha pada peternak kecil diharapkan bisa tercapai. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI (1) Alur penyerahan pakan dari pabrik makanan ternak setelah melalui distributor umumnya langsung ke Poultry Shop selanjutnya tersalur ke petemak. Sedangkan penyaluran DOC mulai dari Breeders dapat langsung ke Poultry Shop atau melalui agen/distributor terlebih dahulu dan selanjutnya ke peternak. (2) Berdasarkan perkembangan harga produk dan sarana produksi ternak unggas (selama kurun waktu 1986 1990) di Jawa Barat terungkap bahwa kenaikan harga pakan petelur (sebesar 30,25 persen/tahun) masih jauh lebih besar dibanding kenaikan harga hasil berupa telur ayam yang hanya sebesar 5,02 persen/tahun. Sedangkan kenaikan harga pakan ayam pedaging (9,33 persen/tahun) masih berada dibawah kenaikan harga produknya berupa daging ayam pedaging (sebesar 12,17 persen/ tahun). (3) Sementara itu, di Jawa Timur, persentase kenaikan pakan ayam petelur dan pedaging yang masing-masing 15,19 persen/tahun dan 10,90 persen/tahun masih tetap berada di atas dibanding dengan persen kenaikan harga hasil berupa telur dan broiler hidup yang masingmasing 9,18 persen/tahun dan 7,17 persen/ tahun pada kurun waktu 1986 1990. Keadaan demikian, menuntut upaya stabilisasi dan peningkatan harga output, sementara upaya menurunkan harga pakan memang relatif sulit. Peningkatan harga produk/output relatif erat dengan kondisi pemasaran yang ada, yang mana saat ini produk unggas masih bertumpu pada pasar domestik. Adanya penetrasi/perluasan pasar misal melalui ekspor merupakan salah satu pemecahannya terutama bagi perusahaan peternak skala usaha besar. (4) Upaya menyalurkan/memasarkan produk peternakan (baik telur maupun broiler) merupakan salah satu mata rantai penting dalam usahatani petemakan. Pada saat ini, Poultry Shop/Inti masih merupakan tujuan pemasaran penting yang dihadapi peternak. Selain itu, " kehadiran" pedagang pengumpul, pasar daerah, konsumen: warung, pengecer, rumah makan dan lain-lain, pedagang besar dan konsumen rumah tangga dalam mata rantai pemasaran produk juga memainkan peranan 48

penting. Inti sebagai tujuan utama pemasaran produk dan perolehan sapronak agaknya belum mampu menciptakan suatu sistem kerjasama pemasaran diantara sesama Inti dalam menghadapi gejala fluktuasi harga. Kerjasama ini sangat di perlukan, mengingat peran kelembagaan PINSAR (Pusat Informasi Pasar) sebagai stabilisator harga masih belum berfungsi secara optimal. (5) Dalam kaitannya dengan pola kerjasama yang dilakukan Plasma dengan Inti, secara dominan terjadi secara kesepakatan, baik di Jawa Barat maupun di Jawa Timur. Sementara, peternakpeternak mandiri dijumpai dalam jumlah yang relatif kecil, bahkan untuk sistem ratio nampak tidak dijumpai. (6) Upaya memajukan perunggasan nasional perlu dimantapkan kerjasama yang terpadu antar para pelaku yang terlibat seperti pihak Industri Pakan/ breeders, Inti/P.S, Peternak, Dinas Peternakan dan instansi terkait, lembaga PINSAR dan lainnya. Arus umpan bank yang bersifat masukan dari peternak seyogyanya menjadi "input" bagi pihak Inti dan lainnya untuk memperbaiki pola kerjasama yang tengah berjalan. DAFTAR PUSTAKA Biro Analisa Harga dan Pasar, BULOG. 1969 1991. Statistik BULOG. Jakarta. Campa, S. 1992. Beberapa Masalah Dalam Pemasaran Komoditi Peternakan. Poultry Indonesia. Jakarta. Dinas Peternakan DT. I Jawa Timur. 1991. Stabilitas Dalam Pemasaran Produksi Unggas di Jawa Timur. Surabaya. Dinas Peternakan DT. I Jawa Timur. 1990. Buku Saku Peternakan. Surabaya. Dinas Peternakan DT. I Jawa Barat. 1991. Buku Statistik Peternakan. Bandung. Panitia Logasnas. 1987. Perunggasan Indonesia. Jakarta. Pantjar Simatupang, dkk. 1992. Penelitian Agribisnis Komoditas Peternakan. PSE Bogor. Rusastra, I.W., dkk. 1988. Penelitian Analisa Finansial dan Ekonomi Kelembagaan Perusahaan Inti Rakyat Perunggasan, Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor. Rusastra, I.W. 1989. Analisis Keunggulan Komparatif Produksi dan Pakan Ternak di Jawa Barat dan Lampung. PSE Bogor. Sinaga. 1986. Pola PIR Perunggasan: Politik Pertanian. IPB- Bogor. Swadaya, Peternakan Indonesia. 1987. Jakarta. Swadaya Peternakan Indonesia. 1990. Keppres No. 22 Tahun 1990 tentang Pembinaan Usaha Peternakan Ayam Ras. Jakarta. 49