EVALUASI PENGGUNAAN OBAT TUKAK PEPTIK PADA PASIEN TUKAK PEPTIK DI INSTALASI RAWAT INAP RS ISLAM SURAKARTA TAHUN 2008 SKRIPSI

dokumen-dokumen yang mirip
EVALUASI PENGGUNAAN OBAT TUKAK PEPTIK PADA PASIEN TUKAK PEPTIK (Peptic Ulcer disease) DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD Dr. MOEWARDI SURAKARTA TAHUN 2008

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT TUKAK PEPTIK PADA PASIEN TUKAK PEPTIK

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. makanan dicerna untuk diserap sebagai zat gizi, oleh sebab itu kesehatan. penyakit dalam dan kehidupan sehari-hari (Hirlan, 2009).

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Thera Rolavina S,S.Farm.,Apt

juga mendapat terapi salisilat. Pasien harus diberi pengertian bahwa selama terapi bismuth subsalisilat ini dapat mengakibatkan tinja berwarna hitam

BAB I PENDAHULUAN. dalam bidang kesehatan dan perekonomian dunia. Selama empat dekade terakhir

BAB I PENDAHULUAN. Tukak lambung merupakan salah satu bentuk tukak peptik yang ditandai dengan

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. A. Gambaran Peresepan Obat di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta

BAB 1 PENDAHULUAN. Obat Anti-Inflamasi Nonsteroid (OAINS) adalah suatu golongan obat

BAB 1 PENDAHULUAN. Aspirin adalah golongan Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (OAINS), yang

PR0GHlllltG. B00l( UPDATEIN GASTROENTERO-HEPATOLOGYPATIENT'S MANAGEMENT! FROMBENGHTO CLINICALPRACTICE

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang penelitian

ASUHAN KEPERAWATAN GASTRITIS

FARMAKOTERAPI PADA PENYAKIT / GANGGUAN SALURAN CERNA ULKUS PEPTIK ULKUS PEPTIK

HIPONATREMIA. Banyak kemungkinan kondisi dan faktor gaya hidup dapat menyebabkan hiponatremia, termasuk:

OBA B T A T S I S ST S E T M

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. diserahkan oleh apoteker di apotek (Asti dan Indah, 2004). The International

POLA PENGGUNAAN OBAT TUKAK PEPTIK (Peptic Ulcer Disease) PADA PASIEN GERIATRIK DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD Dr. MOEWARDI TAHUN TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. Sistem peyampaian obat konvensional tidak dapat mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SINDROMA DISPEPSIA. Dr.Hermadia SpPD

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT TUKAK PEPTIK PADA PASIEN TUKAK PEPTIK (Peptic Ulcer Disease) DI RUMAH SAKIT BHAYANGKARA BRIMOB TAHUN 2015

OBAT GASTROINTESTINAL

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak enak perut bagian atas yang menetap atau episodik disertai dengan keluhan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN ULKUS PEPTIKUM

I. PENDAHULUAN. sumber pemenuhan kebutuhan tubuh untuk melakukan metabolisme hingga

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Sakit perut berulang menurut kriteria Apley adalah sindroma sakit perut

ABSTRAK TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN GASTRITIS TERHADAP PENGGUNAAN TERAPI KOMBINASI RANITIDIN DAN ANTASIDA DI PUSKESMAS S. PARMAN BANJARMASIN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Dispepsia kronis merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang berpusat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. obat berperan sangat penting dalam pelayanan kesehatan. Berbagai pilihan obat saat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. daya manusia yang dilakukan secara berkelanjutan. Berdasarkan visi

I PENDAHULUAN. Bab ini akan membahas mengenai: (1) Latar Belakang, (2) Identifikasi Masalah,

BAB 1 PENDAHULUAN. perubahan beberapa faktor atau pun kondisi setempat antara lain faktor

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. inflamasi. Obat ini merupakan salah satu kelompok obat yang paling banyak diresepkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hingga lapisan otot dari suatu daerah saluran cerna yang langsung berhubungan

BAB I PENDAHULUAN. nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering. memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang

BAB I PENDAHULUAN. Dispepsia merupakan keluhan nyeri atau rasa tidak nyaman yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. disatu pihak masih banyaknya penyakit menular yang harus ditangani, dilain pihak

BAB 1 PENDAHULUAN. paling sering terjadi. Peningkatan penyakit gastritis atau yang secara umum

BAB I PENDAHULUAN. merasakan sakit atau tidak enak badan pasti akan melakukan upaya untuk

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan salah satu sumber penyebab gangguan otak pada. usia masa puncak produktif dan menempati urutan kedua penyebab

PENATALAKSANAAN DISPEPSIA Berdasarkan Konsensus Nasional Penanggulangan Helicobacter pylori 1996,ditetapkan skema penatalaksanaan dispepsia, yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Satuan Acara penyuluhan (SAP)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN TUKAK PEPTIK DI INSTALASI RAWAT INAP RSUP Dr. SOERADJI TIRTONEGORO KLATEN TAHUN 2014 NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang penelitian. Pada negara berkembang infeksi Helicobacter pylori terjadi pada 80% populasi,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dan pola konsumsi makanan, sehingga banyak timbul masalah kesehatan, salah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

Obat-obat Gastritis ANTASIDA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Apotek merupakan suatu jenis bisnis retail (eceran) yang komoditasnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Penelitian. histopatologi. Gastritis yang berlangsung dalam jangka waktu lama akan didapatkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Dispepsia berasal dari bahasa Yunani yang berarti pencernaan yang tidak baik.

PENGETAHUAN PASIEN TENTANG PENYAKIT GASTRITIS DI RSUD GAMBIRAN KOTA KEDIRI

LAPORAN PENDAHULUAN. memperlihatkan iregularitas mukosa. gastritis dibagi menjadi 2 macam : Penyebab terjadinya Gastritis tergantung dari typenya :

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. penyakit gastritis pada manusia dan merupakan faktor etiologi gastric ulcer,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

UJI EFEK ANTIULCER PERASAN UMBI GARUT (Maranta arundinaceae L) PADA TIKUS PUTIH JANTAN GALUR WISTAR SKRIPSI

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK ETANOL RIMPANG DRINGO (Acorus calamus L.) TERHADAP TUKAK USUS TIKUS YANG DIINDUKSI OLEH INDOMETASIN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

LAPORAN PENDAHULUAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN NUTRISI DI RS ROEMANI RUANG AYUB 3 : ANDHIKA ARIYANTO :G3A014095

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Penyakit ulkus peptikum (tukak peptik) terdiri dari ulkus gaster dan ulkus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

POTENSI INTERAKSI OBAT PADA PASIEN GANGGUAN LAMBUNG (DISPEPSIA, GASTRITIS, TUKAK PEPTIK) RAWAT INAP DI RUMAH SAKIT KELUARGA SEHAT PATI TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penelitian tentang perdarahan yang disebabkan Stress Related Mucosal

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Salah satu masalah kesehatan yang kita hadapi sekarang ini adalah

BAB I PENDAHULUAN 1. 1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

sex ratio antara laki-laki dan wanita penderita sirosis hati yaitu 1,9:1 (Ditjen, 2005). Sirosis hati merupakan masalah kesehatan yang masih sulit

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. memiliki aktifitas penghambat radang dengan mekanisme kerja

BAB I PENDAHULUAN. merupakan korban tersering dari kecelakan lalu lintas. 1. Prevalensi cedera secara nasional menurut Riskesdas 2013 adalah 8,2%,

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Almatsier tahun 2004, dispepsia merupakan istilah yang

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN GASTRITIS PADA LANSIA

Gastroesophageal Reflux Disease (GERD)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

3.EPIDEMIOLOGI 4. ETIOLOGI. Infeksi bakteri.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

sebesar 90% (Dodge, 1993). Ulkus gaster berukuran lebih besar dan lebih menonjol sehingga pada pemeriksaan autopsi lebih sering atau mudah dijumpai di

Transkripsi:

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT TUKAK PEPTIK PADA PASIEN TUKAK PEPTIK DI INSTALASI RAWAT INAP RS ISLAM SURAKARTA TAHUN 2008 SKRIPSI Oleh: TRI SUWARNI K 100050200 FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA SURAKARTA 2009

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perkembangan terakhir di dunia medis mengenai strategi terapi dan pengobatan inflamasi cenderung menentukan pilihannya pada jenis obat non steroid yang memiliki efek langsung terhadap mukosa lambung dan menyebabkan terbentuknya tukak. Tukak lambung dan duodenum merupakan salah satu penyakit gangguan lambung dan masalah yang ditemukan dimasyarakat. Tukak lambung dan duodenum pada manusia terutama berkaitan dengan rusaknya lapisan pelindung yang secara normal mencegah iritasi dan otodigesti mukosa oleh sekresi lambung. Mulanya konsep awal penyebab penyakit pada lambung hanya dihubungkan oleh adanya perubahan pola makan, pola hidup dan faktor stress serta zat-zat yang menyebabkan iritasi lambung yaitu etanol, cuka, garam empedu, aspirin serta obat anti inflamasi non steroid. Namun sejak dibuktikan adanya bakteri Helicobacter pylori di lambung maka pengobatan penyakit ini mengalami perubahan (McGuigan, 2001). Pada saat ini, penekanan pengobatan ditujukan pada peran luas infeksi H. pylori sebagai penyebab ulkus peptikum. Eradikasi H. pylori infeksi dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik yang sesuai (Ganong, 2003). Penelitian penggunaan obat penderita tukak peptik terhadap pasien rawat jalan di RSUP Dr. Sarjito tahun 2000-2002 diperoleh hasil berdasarkan umur 1

dijumpai kasus terbanyak pada kelompok umur 26 45 tahun sebanyak 27 kasus (47,37%); berdasarkan diagnosis, tukak duodenum merupakan jenis tukak terbesar sebesar 19 kasus (33,34%). Golongan obat yang diberikan pada penderita tukak lambung dan duodenum ada 5 macam yaitu golongan antasida-antagonis reseptor H 2 sebanyak 9 kasus, penghambat pompa proton sebanyak 1 kasus, antagonis reseptor H 2 sebanyak 6 kasus, antasida sebanyak 1 kasus dan antagonis reseptor H 2 -sukralfat-penghambat pompa proton sebanyak 1 kasus (Nurlaila, 2004). Penyakit tukak peptik tidak dapat dianggap remeh. Masih banyak orang awam yang belum paham apa dan bagaimana gejala, penanganan serta dampak komplikasi bila tidak ditangani secara benar. Penanganan penyakit tukak peptik secara benar dimaksudkan untuk mencegah timbulnya komplikasi (Anonim, 2008). Masalah penggunaan obat yaitu penggunaan obat yang tidak tepat indikasi, tidak tepat obat, tidak tepat dosis serta tidak tepat aturan pakai atau yang lebih dikenal dengan istilah tidak rasional saat ini telah menjadi masalah tersendiri dalam pelayanan kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Masalah ini dijumpai di unit-unit pelayanan kesehatan, misalnya rumah sakit, puskesmas, praktek pribadi maupun klinik (Anonim, 2008). Berdasarkan hal tersebut maka dilakukan penelitian tentang evaluasi penggunaan obat tukak peptik di instalasi rawat inap RS Islam Surakarta karena belum pernah dilakukan penelitian tentang tukak peptik. Angka kejadian tukak peptik selama tahun 2008 di RS Islam Surakarta sangat kecil yaitu sebesar 26 pasien. Meskipun angka kejadian kecil namun penyakit tukak peptik perlu

mendapat perhatian yang serius karena bila tidak ditangani dengan benar dapat menyebabkan komplikasi yaitu pendarahan pada saluran cerna. Pendarahan yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan terjadinya kanker dan kematian. Diharapkan dengan adanya evaluasi pengobatan tukak peptik dapat menjadi pertimbangan bagi tenaga kesehatan untuk berhati-hati dalam memberikan obat kepada pasien sehingga tercapai keberhasilan penyembuhan yang optimal B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan dari uraian yang telah dikemukakan dalam latar belakang masalah maka dapat dirumuskan apakah obat yang digunakan pada pasien tukak peptik di Rumah Sakit Islam Surakarta sudah memenuhi parameter tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien dan tepat dosis? C. TUJUAN PENELITIAN Tujuan dan penelitian ini yaitu untuk mengetahui obat yang digunakan pada pasien tukak peptik di Rumah Sakit Islam Surakarta sudah memenuhi parameter tepat indikasi, tepat obat, tepat pasien dan tepat dosis.

D. TINJAUAN PUSTAKA 1. Lambung a. Anatomi Lambung Lambung dalam keadaan kosong berbentuk tabung dan bila penuh berbentuk seperti buah alpukat raksasa. Kapasitas normal lambung 1 sampai 2 liter. Secara anatomis lambung terbagi atas fundus, korpus dan antrum pilorikum atau pylorus. Sebelah kanan atas lambung terdapat cekungan kurvatura minor dan bagian kiri bawah lambung terdapat kurvatura mayor. Sfinger pada kedua ujung lambung mengatur pengeluaran dan pemasukan. Sfinger kardia atau sfinger esophagus bawah, mengalirkan makanan masuk ke dalam lambung dan mencegah refluks lambung memasuki esophagus kembali. Daerah lambung tempat pembukaan sfinger kardia dikenal dengan nama daerah kardia. Disaat sfinger pilorikum berelaksasi makanan masuk ke dalam duodenum dan ketika berkontraksi sfinger ini akan mencegah terjadinya aliran balik isi usus halus ke dalam lambung (Wilson dan Lindseth, 2005). b. Pengaturan Sekresi Lambung Motilitas dan sekresi lambung diatur oleh mekanisme pensarafan dan humoral. Komponen saraf adalah refleks otonom lokal, yang melibatkan neuronneuron kolinergik, dan impuls-impuls saraf dari SSP melalui n.vagus. Rangsang vagus meningkatkan sekresi gastrin melalui pelepasan gastrin releasing peptide. Serat-serat vagus lain melepaskan asetilkolin yang bekerja langsung pada sel-sel kelenjar di korpus dan fundus untuk meningkatkan sekresi asam dan pepsin.

Rangsang n. vagus di dada atau leher meningkatkan sekresi asam dan pepsin, tetapi vagotomi tidak menghilangkan respon sekresi terhadap rangsang lokal (Ganong, 2003). 2. Tukak Peptik a. Pengertian Tukak Peptik Tukak peptik adalah suatu istilah perlukaan pada mukosa lambung atau usus yang disebabkan oleh kerja pencernaan getah lambung atau sekresi usus halus bagian atas (Guyton dan Hall, 2007). Ulkus peptikum ialah suatu istilah untuk menunjukkan kepada suatu kelompok penyakit saluran makanan bagian atas yang melibatkan terutama bagian proksimal duodenum dan lambung yang mempunyai patogenesis yang sama-sama melibatkan asam pepsin (McGuigan, 2001). b. Epidemiologi Tukak Peptik Genetik atau ras rupanya berperan sedikit atau tidak berpengaruh sebagai penyebab tukak peptik. Tukak duodenum frekuensinya sering terjadi pada pasien dengan sirosis alkohol, penyakit hati kronis, gagal ginjal kronis dan hiperparatiroidisme. Dengan dua kondisi, hiperkalsemia yang disebabkan peningkatan produksi gastrin dan sekresi asam (Crawford dan Kumar, 2003). c. Patogenesis Tukak Peptik 1) Pertahanan Mukosa Menurut teori dua komponen sawar mukus dari Hollander, lapisan mukus lambung yang tebal dan liat merupakan garis depan pertahanan terhadap autodigesti. Lapisan ini memberikan perlindungan terhadap trauma mekanis dan

kimia obat antiradang nonsteroid (NSAID), termasuk aspirin, menyebabkan perubahan kualitatif mukus lambung yang dapat mempermudah degradasi mukus oleh pepsin prostaglandin terdapat dalam jumlah yang berlebihan dalam mukus gastrik dan tampaknya memainkan peranan penting dalam pertahanan mukosa lambung ( Wilson dan Lindseth, 2005). Lambung melindungi dirinya dari kerusakan akibat asam lambung melalui beberapa mekanisme, seperti adanya sambungan antarsel yang kuat di antara selsel epitelial lambung, adanya musin yang menyelimuti sel epitelial lambung, adanya prostaglandin di mukosa lambung serta sekresi ion bikarbonat ke lapisan musin. Prostaglandin menghambat sekresi asam lambung melalui efek langsung yang diperantarai oleh reseptor. Selain itu, prostaglandin meningkatkan aliran darah ke mukosa dan menstimulasi sekresi mukus dan bikarbonat (Pasricha dan Hoogerwefh, 2008). 2) Helicobacter pylori Timbulnya kelainan lambung oleh kuman Helicobacter pylori mengeluarkan urease yang memecah urea menjadi amonium dan CO 2 sehingga milieu akan menjadi basa dan kuman Helicobacter pylori membentuk platelet faktor aktivasi yang merupakan pro inflammatory cytokines. Cytokines vacuolating yang terbentuk mempunyai efek toksis langsung pada sel epitel melalui ATPase dan proses transport ion (Tarigan, 2001). Helicobacter pylori ialah suatu bakteri mikroaerofilik dijumpai pada antrum gastrik pada perut manusia. 95% atau lebih tukak duodenum dan 85% tukak gastrik berasosiasi dengan Helicobacter pylori. Bakteri berlokasi di antrum dan sekresi asam lingkungan mikro dari korpus kurang mendukung kehidupan bakteri. Strain

Helicobacter pylori, usia infeksi dan interaksi dengan faktor penyebab tukak misalnya NSAID menentukan perkembangan tukak peptik (Ghosh dan Kinnear, 2007). 3) Non steroid anti inflamasi drug Non steroid anti inflamasi drug merupakan penyebab penyakit tukak peptik pada pasien yang tidak terinfeksi Helicobacter pylori. Efek NSAIDgastroduodenal dari erosi gastritis akut dan tukak akut menjadi tukak peptik pada 1% sampai 3% pengguna NSAID. Karena NSAID kebanyakan digunakan pada pengobatan maka menjadi ketoksikan terhadap gastroduodenal. Faktor resiko untuk NSAID induksi ketoksikan gastroduodenal meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dosis yang tinggi dan lama pemakaian (Crawford dan Kumar, 2003). d. Diagnosis Infeksi H. pylori Tujuan pemeriksaan diagnostik infeksi H. pylori adalah untuk menetapkan adanya infeksi sebelum pengobatan atau untuk penelitian epidemiologi. Selain itu untuk mengamati tercapainya keberhasilan eradikasi sesudah pemberian antibiotik. 1) Serologi Pada umumnya yang diperiksa adalah antibodi IgG terhadap kuman H. pylori. Cara ini sering digunakan untuk penelitian epidemiologi atau untuk evaluasi sebelum pemberian terapi eradikasi. Tehnik yang dipakai adalah dengan menggunakan ELISA, Westernblot, fiksasi komplemen dan imuno fluoresen. ELISA paling luas penggunaannya (Rani, 2001). 2) Urea Breath Test (UBT)

Cara kerjanya adalah dengan menyuruh pasien menelan urea yang mengandung isotop Carbon baik 13C ataupun 14C. Bila ada aktivitas urease kuman dari H. pylori akan dihasilkan isotop karbon dioksida yang diserap dan dikeluarkan melalui pernafasan. Hasilnya dinilai dengan membandingkan kenaikan ekskresi isotop dibandingkan dengan nilai dasar. Bila hasilnya positif berarti terdapat infeksi kuman H. pylori (Rani, 2001). 3) Biopsy Urease Test Dasarnya adalah adanya enzim urease dari kuman H. pylori yang mengubah urea menjadi amonia yang bersifat basa sehingga terjadi perubahan warna media menjadi merah. Hasilnya dapat dibaca dalam beberapa menit sampai 24 jam dan pengambilan lebih dari satu spesimen akan meningkatkan akurasi pemeriksaan ini. Sensitivitas pemeriksaan ini sekitar 89-98% sedangkan spesifitasnya mencapai 100% (Rani, 2001). 3. Pengelolaan dan Terapi Tukak Peptik Tujuan terapi dari tukak lambung adalah menghilangkan keluhan gejala, menyembuhkan tukak dan mencegah komplikasi. Sasaran dari terapi tukak lambung adalah faktor penyebab terjadinya tukak peptik yaitu bakteri H. pylori dan asam lambung berlebih. Selain itu pertahanan mukosa juga menjadi sasaran terapi. Untuk mencapai tujuan tersebut dapat dilakukan beberapa strategi dan terapi, terapi yang digunakan terdiri dari terapi non medikamentosa dan medikamentosa. a. Terapi non Medikamentosa 1) Diet

Dasar diet tersebut adalah makan sedikit berulang kali. Jadi makanan yang dimakan harus lembek dan mudah dicernakan, tidak merangsang, kemungkinan dalam porsi kecil dan berulangkali (Tarigan, 2001). 2) Istirahat Istirahat fisik dan emosional dipermudah dengan menciptakan lingkungan yang tenang, didengarkan keluhan penderita dan memberi dukungan emosi. Dosis kecil sedatif sering diberikan kepada penderita untuk membantu mengurangi rasa nyeri (Wilson dan Lindseth, 2000). 3) Pantang Merokok Merokok sebenarnya tidak mempengaruhi sekresi asam lambung, tetapi dapat meningkatkan angka kematian karena efek peningkatan kekambuhan penyakit saluran pernafasan dan penyakit jantung koroner (Tarigan, 2001). b. Terapi Medikamentosa 1) Antasida Antasida pilihan diantara alumunium dan produk senyawa magnesium, dapat dikombinasi antara keduanya. Beberapa produk mengandung zat aktif lain seperti dimetikon atau alginat. Produk yang mengandung sodium alginat dengan campuran antasida efektif dalam mengobati gejala gastro-esophageal reflux disease tetapi tidak sama berhasilnya dengan antasida. Antasida alumunium menyebabkan konstipasi dan senyawa magnesium menyebabkan diare. Ketika kombinasi keduanya digunakan, diare cenderung predominan sebagai efek samping (Ghosh dan Kinnear, 2003). 2) Antagonis reseptor H 2

Kemampuan antagonis reseptor H 2 menurunkan keasaman lambung disamping dengan toksisitas rendah merupakan kemajuan dalam pengobatan penyakit. Hasil dari beberapa uji klinik menunjukkan obat-obat ini dapat menjaga gejala dengan efektif selama episode akut dan mempercepat penyembuhan tukak duodenal. Penggunaan profilaktif pada pasien-pasien dalam dosis yang dikurangi membantu menghindarkan kekambuhan. Penatalaksanaan jangka pendek dari tukak duodenal aktif, dosis sehari sekali dari penghambat H 2 diberikan sewaktu hendak tidur. Penyembuhan dipacu dengan simetidin 800 mg, ranitidin 300 mg, famotidin 400 mg atau nizatidin 300 mg sampai 8 minggu (Gosh dan Kinnear, 2003). 3) Analog Prostaglandin : Misoprostol Analog prostaglandin juga dapat mencegah terjadinya tukak lambung berkat efek sitoprotektifnya yang meliputi stimulasi sekresi musin dan bikarbonat serta peningkatan aliran darah mukosa namun supresi asam tampaknya merupakan efeknya yang paling penting. Tingkat penghambatan sekresi asam lambung oleh misoprostol secara langsung berkaitan dengan dosis, dosis oral 100 200 mg menghasilkan penghambatan signifikan pada sekresi asam basal (diturunkan hingga 85-95%) atau sekresi asam yang distimulasi oleh makanan (diturunkan hingga 75-85%). Dosis 4 x 200 mg atau 2 x 400 mg pagi dan malam hari (Pasricha dan Hoogerwefh, 2008). 4) Sukralfat Sukralfat dalam terapi pemeliharaan jangka panjang untuk dikenal sebagai sitoprotektif, memiliki beberapa efek yang meningkatkan mekanisme

perlindungan mukosa dengan demikian mencegah kerusakan mukosa, mengurangi peradangan dan menyembuhkan ulkus. Dengan membentuk suatu kompleks berbentuk gel dengan mukus, sukralfat menciptakan barrier yang menghalangi mencegah kekambuhan. Efek samping yang paling sering dilaporkan adalah konstipasi. Sejumlah kecil alumunium dapat diabsorbsi pada penggunaan sukralfat karenanya perhatian khusus perlu diberikan pada pasien yang mengalami gagal ginjal, yang berisiko terhadap kelebihan alumunium. Antasida yang mengandung alumunium sebaiknya tidak digunakan bersamaan dengan sukralfat pada pasien yang mengalami gagal ginjal (Pasricha dan Hoogerwerf, 2008). 5) Penghambat Pompa Proton Efek maksimum omeprazol terjadi dalam 2 jam dengan 50 persen penghambatan maksimum pada malam dan lamanya penghambatan yang bertahan selama sampai 4 jam. Dengan penentuan dosis sekali sehari setelah 4 hari dan setelah tidak dilanjutkan, aktivitas sekresi asam lambung kembali secara berangsur-angsur pada 3 sampai 5 hari (McGuigan, 2001). Penghambat pompa proton dimetabolisme di hati dan dieliminasi oleh ginjal. Dengan pengecualian penderita disfungsi hati berat, tanpa penyesuaian dosis pada penyakit liver dan penyakit ginjal (Ghosh dan Kinnear, 2003). 6) Bismuth sitrat Kelat bismuth relatif aman dapat mengatasi tukak jika dibandingkan H2 antagonis. Aksinya tidak diketahui tapi mempunyai efek sitoprotektif. Bismuth toksik terhadap H. pylori dan sebagai satu pilihan pertama yang digunakan untuk eradikasi organisme dan menurunkan kekambuhan tukak. Kombinasi ranitidin dan bismut sebagai ranitidan bismuth sitrat dalam kombinasi dengan 2 antibiotik yaitu

klaritromisin dan amoksisilin berhasil mengeradikasi H. pylori sebesar lebih dari 90% (Ghosh dan Kinnear, 2003). c. Manajemen terapi dan evaluasi tukak peptik Algoritma evaluasi dan manajemen pasien yang menunjukan gejala tukak peptik, atau dyspepsia (Berardy dan Lynda, 2005). Pasien yang menunjukkan gejala ulcer Menggunakan NSAID Dyspepsia tanpa gejala Menunjukkan gejala seperti pendarahan, anemia, kehilangan berat badan Endoskopi sampai diagnose ulcer ya tidak Menunjukkan ulcer Tidak menunjukkan ulcer Menghentikan NSAID jika tidak mengurangi dosis atau mengubah COX2 inhibitor Terapi untuk HP selanjutnya tidak ya positif Test HP negatif Pertimbangan etiologi lain untuk gejala seperti GERD NUD Tidak ada terapi lanjutan Gejala berubah Gejala tetap Dimulai H2RA atau PPI Gejala berubah Melanjutkan H2RA atau PPI Gejala tetap Melakukan test serologi negatif Tidak ada terapi lanjutan positif tidak Terapi dengan PPI regimen dasar eradikasi HP Tanda atau gejala 1-2 minggu setelah terapi Menggunakan NSAID Tidak melanjutkan NSAID Terapi dengan H2RA atau PPI melanjutkan NSAID Terapi dengan PPI dilanjutkan dengan koterapi PPI atau misoprostol atau menganti NSAID dengan COX2 inhibitor ya Menghentikan NSAID Terapi dengan H2RA atau PPI Menggunakan NSAID melanjutkan NSAID Gambar 1. Algoritme Terapi Tukak Peptik dan dyspepsia Keterangan: COX-2 GERD HP H 2 RA PPI NSAID NUD : Cyclooxygenase-2 : Gastroesophageal Reflux Disease : Helicobacter pylori : H2-receptor antagonist : Proton Pump Inhibitor : Non Steroidal Anti Inflamatory Drug : Non Ulcer Diasease

1) Pengobatan Tukak yang disebabkan NSAID Kebanyakan NSAID yang menginduksi tukak diobati dengan regimen standar H 2 antagonis, penghambat pompa proton atau sukralfat jika NSAID dihentikan. Jika NSAID harus dilanjutkan, dengan penurunan dosis NSAID atau dikombinasi dengan asetaminopen, non asetil salisilat, suatu penghambat jalur siklooksigenase 2 yang selektif. Penghambat pompa proton sebagai obat pilihan pertama ketika NSAID harus dilanjutkan karena poten menekan asam. Jika infeksi H. pylori terjadi, terapi inisiasi dengan regimen eradikasi yang mengandung penghambat pompa proton. Pasien yang berisiko ditemukan tukak yang serius atau berkembang menjadi komplikasi dengan NSAID pemberian propilaksis misoprostol atau penghambat pompa proton (Berardy dan Lynda, 2005). 2) Pengobatan untuk eradikasi H. pylori a) PPI 20/30 mg + Klaritromisin 250 mg + Metronidazol 400 mg 2 kali sehari b) PPI 20/30 mg + Klaritromisin 500 mg + Amoksisilin 1000 mg diberikan 2 kali sehari c) Ranitidin bismut sitrat 20/30 mg + Klaritromisin 500 mg + Amoksisilin atau Metronidazol 1000 mg 2 kali sehari diberikan selama 1 minggu d) PPI 40 mg 1 kali sehari + Klaritromisin 500 mg 3 kali sehari diberikan selama 2 minggu e) Ranitidin bismut sitrat 400 mg 2 kali sehari selama 4 minggu dikombinasi dengan Klaritromisin (Akil, 2001).

Tabel 1. Regimen terapi eradikasi H. Pylori Obat 1 Obat 2 Obat 3 Obat 4 Regimen terapi tripel Omeprazol 20 mg 2 kali sehari atau lansoprazol 30 mg 2 kali sehari atau pantroprazol 40 mg 2 kali sehari atau esomeprazol 40 mg sehari atau rabeprazol 20 mg sehari Regimen terapi kuadrupel Omeprazol 40 mg 2 kali sehari atau lansoprazol 30 mg 2 kali sehari atau pantroprazol 40 mg 2 kali sehari atau esomeprazol 40 mg sehari atau rabeprazol 20 mg sehari atau H 2 -RA 4-6 minggu Klarithromycin 500 mg 2 kali sehari Bismuth subsalisilat 525mg 4 kali sehari Amoxicillin 1 g 2kali sehari atau metronidazol 500 mg 2 kali sehari Metronidazol 250-500 mg 4kali sehari Tabel 2. Regimen terapi oral untuk penyembuhan tukak peptik Tetrasiklin 500 mg atau amoxisillin 500 mg, atau klarithromisin 250-500 mg 4 kali sehari Obat Penghambat pompa proton Omeprazol Lansoprazol Rabeprazol Pantoprazol Esomeprazol H 2 -RA Simetidin Famotidin Nizatidin Ranitidin Sukralfat (g/dosis) 4. Pengobatan rasional Mengobati tukak lambung dan duodenum (mg/dosis) 20-40 15-30 20 40 20-40 300 (4kali sehari) 400 (2kali sehari) 800 20 (2kali sehari) 40 150 (2kali sehari) 300 150 (2kali sehari) 300 1( 4kali sehari) 2 (2kali sehari) Terapi pemeliharaan tukak lambung dan duodenum (mg/dosis) 20-40 15-30 20 40 20-40 400-800 20-40 150-300 150-300 1-2 (2kali sehari) 1 (4kali sehari) (Berardy dan Lynda, 2005). Pengobatan rasional jika memenuhi kriteria: a. Tepat diagnosis yaitu penggunaan obat diberikan untuk diagnosis yang

benar. b. Sesuai dengan indikasi penyakit yaitu pemberian obat hanya dianjurkan untuk pasien sesuai dengan gejala, indikasi penyakit. c. Tepat pemilihan obat yaitu keputusan untuk melakukan upaya terapi setelah diagnosis ditegakkan dengan benar. d. Tepat dosis. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan rentang terapi yang sempit akan sangat beresiko timbulnya efek samping. Sebaliknya dosis yang terlalu kecil menyebabkan tidak tercapainya kadar terapi (Anonim, 2008). e. Tepat cara pemberian Khasiat suatu sediaan obat dapat dipengaruhi secara signifikan oleh berbagai rute pemberian, bentuk sediaan, dosis dan frekuensi pemberian dosis serta lama terapi. Dosis harus disesuaikan dengan kebutuhan individu pasien (Siregar dan Kumolosari, 2006). 5. Penelitian lain Penelitian pola penggunaan obat terhadap pasien rawat jalan di RSUD Dr.Sarjito Yogyakarta tahun 2000-2002 menunjukkan bahwa golongan antasida merupakan obat tukak terbanyak yang digunakan pada penderita tukak peptik. Pola pengobatan yang diberikan pada penderita tukak lambung dan duodenum ada 5 macam meliputi penggunaan penghambat pompa proton sebanyak 1 kasus, antasida- antagonis H 2 sebanyak 9 kasus, antagonis reseptor H 2 sebanyak 6 kasus,

antagonis reseptor H 2 -penghambat pompa proton-sukralfat sebanyak 1 kasus dan antasida sebanyak 1 kasus. Berdasarkan umur dijumpai kasus terbanyak pada kelompok umur 26-45 tahun sebanyak 27 kasus (47,37%), tukak peptik didominasi oleh perempuan dengan jumlah sebanyak 39 kasus (68,42%), dan berdasarkan diagnosis tukak duodenum merupakan jenis tukak terbesar sebanyak 19 kasus (33,34%) (Nurlaila, 2004). Hasil penelitian pola penggunan antibiotik pada penderita tukak lambung yang menjalani rawat inap di RSI Kalimasada Bantul Yogyakarta tahun 2006 menunjukkan bahwa jenis antibiotik yang diberikan adalah tetrasiklin, amoksisilin dan klaritromisin. Dosis maksimal obat-obat tersebut tidak melebihi dosis maksimal standar pelayanan medis RSI Kalimasada Bantul Yogyakarta (Nasriyah, 2007). Penelitian terhadap ketepatan pasien dalam penggunaan kombinasi anti tukak peptik dengan antasida yaitu ketepatan waktu pemberian obat pada pasien tukak peptik di ruang rawat inap SMF penyakit dalam RSAM Bukittinggi didapatkan hasil berdasarkan waktu pemberian obat, diperoleh persentase penggunan kombinasi obat tukak peptik dengan antasida yang dengan tepat atau yang dijarakkan adalah 19 pasien (35,185 %) dan yang tidak dijarakkan adalah 35 pasien (64,814 %), persentase pasien yang patuh setelah diberi informasi dan nasehat adalah 53 pasien (98,15 %) dan yang tidak patuh adalah 1 pasien (1,85 %) (Nasif, 2007).