PELAKSANAAN TINDAKAN KHUSUS TERHADAP KAPAL PERIKANAN BERBENDERA ASING DALAM PASAL 69 AYAT (4) UU NO. 45 TAHUN 2009

dokumen-dokumen yang mirip
DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

BAB III TINDAK PIDANA PENCURIAN IKAN (ILLEGAL FISHING) SEBAGAI TINDAK PIDANA INTERNASIONAL DI PERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

PENENGGELAMAN KAPAL SEBAGAI USAHA MEMBERANTAS PRAKTIK ILLEGAL FISHING

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA DI BIDANG PERIKANAN

POLICY BRIEF ANALISIS DAN EVALUASI HUKUM DALAM RANGKA PEMBERANTASAN KEGIATAN PERIKANAN LIAR (IUU FISHING)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN

PROSIDING SEMINAR NASIONAL MULTI DISIPLIN ILMU & CALL FOR PAPERS

PERATURAN DAERAH PROVINSI RIAU NOMOR 5 TAHUN 2017 TENTANG IZIN USAHA PERIKANAN TANGKAP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR RIAU,

BAB IV TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TENTANG PELAKSANAAN TINDAKAN KHUSUS TERHADAP KAPAL PERIKANAN BERBENDERA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN [LN 2004/118, TLN 4433]

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUNLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2007 TENTANG SURAT LAIK OPERASI KAPAL PERIKANAN

MAKSUD DAN TUJUAN DAPAT DIGUNAKAN SEBAGAI PEDOMAN DALAM RANGKA MEWUJUDKAN PERAN SERTA POKMASWAS DALAM MEMBANTU KEGIATAN PENGAWASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN

DRAFT MARET POS POKMASWAS Page 1 of 20

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1

BUPATI TUBAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN TUBAN NOMOR 18 TAHUN 2016 TENTANG

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER. 05/MEN/2007 TENTANG PENYELENGGARAAN SISTEM PEMANTAUAN KAPAL PERIKANAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG PERIZINAN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N Nomor 33/PID.SUS/2016/PT.PBR DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB IV. A. Pengaturan Penggunaan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan. VMS/(Vessel Monitoring System) dihubungkan dengan Undang-

PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG IZIN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BALIKPAPAN,

MEMPERKUAT MEKANISME KOORDINASI DALAM PENANGANAN ABK DAN KAPAL IKAN ASING

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan

P U T U S A N NOMOR :108/Pid.Sus/2015/PT.PBR DEMI MEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ANALISIS PERATURAN DAERAH

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG IZIN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KEBUMEN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1992 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN [LN 2009/154, TLN 5073]

P U T U S A N. Nomor : 560/PID/2013/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERDANG BEDAGAI NOMOR 20 TAHUN 2012 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2009 NOMOR

P U T U S A N NOMOR 101/PID.SUS/2015/PT.PBR

SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 56/KEP-DJPSDKP/2015 TENTANG

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG TINDAK PIDANA PELAYARAN DI INDONESIA. A. Pengaturan Tindak Pidana Pelayaran Di Dalam KUHP

PERATURAN KESYAHBANDARAN DI PELABUHAN PERIKANAN

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA SELATAN

PUTUSAN Nomor: 206/PID. SUS/2014/PT.PBR

I. PENDAHULUAN. terhadap kekayaan negara maupun transnational crime menunjukkan perkembangan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kelima, Penyidikan Oleh Badan Narkotika Nasional (BNN)

PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA YANG TERJADI DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA

2017, No ); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republ

2017, No Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran N

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

P U T U S A N NOMOR : 445/PID/2013/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBERDAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

2016, No (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5073); 2. Peraturan Pres

BUPATI KEPULAUAN MERANTI

BAB I PENDAHULUAN. Penyelidikan merupakan bagian yang tidak dapat di pisahkan dari. penyidikan, KUHAP dengan tegas membedakan istilah Penyidik dan

BAB IV TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENCURIAN IKAN OLEH KAPAL ASING DIPERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF BERDASARKAN UNDANG-

2017, No Peraturan Menteri; d. bahwa dalam rangka optimalisasi penanganan barang bukti tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan perlu diatu

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2013 TENTANG PERATURAN PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

KAPAL PENGAWAS PERIKANAN TERTIBKAN RUMPON ILEGAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

*15365 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 31 TAHUN 2004 (31/2004) TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

P U T U S A N. Nomor :447/PID/2013/PT-MDN. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GUNUNGKIDUL ( Berita Resmi Pemerintah Kabupaten Gunungkidul ) Nomor : 3 Tahun : 2013

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR PER. 376/DJ-PSDKP/2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan yang sebagian besar

Kapita Selekta: Multidoor Approach & Corporate Criminal Liability dalam Kasus Pidana Perikanan

MEKANISME PENYELESAIAN KASUS KEJAHATAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36/PERMEN-KP/2017 TENTANG KODE ETIK PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL PERIKANAN

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PENGAWASAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN NOMOR 11 /PER-DJPSDKP/2017. TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGADILAN TINGGI MEDAN

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2004 TENTANG PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 2 TAHUN 2013 TENTANG

PENGADILAN TINGGI MEDAN

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL BEA DAN CUKAI KANTOR WILAYAH KHUSUS KEPULAUAN RIAU

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KUDUS

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17/PERMEN-KP/2014 TENTANG PELAKSANAAN TUGAS PENGAWAS PERIKANAN

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG NARKOTIKA [LN 1997/67, TLN 3698]

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 9 TAHUN 2003 TENTANG RETRIBUSI PELAYANAN IJIN USAHA PERIKANAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ANOTASI UNDANG-UNDANG BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG KEIMIGRASIAN

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

Transkripsi:

PELAKSANAAN TINDAKAN KHUSUS TERHADAP KAPAL PERIKANAN BERBENDERA ASING DALAM PASAL 69 AYAT (4) UU NO. 45 TAHUN 2009 A. UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan 1. Perkembangan UU Perikanan di Indonesia Bangsa Indonesia baru memiliki peraturan perikanan nasional setelah negaranya merdeka selama 40 tahun. Peraturan perikanan pertama adalah UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan yang diberlakukan pada tanggal 19 Juni 1985. Sebelumnya, berlaku peraturanperaturan yang berasal dari zaman Belanda. Kurang efektifnya undang-undang yang lama karena belum menampung semua aspek pengelolaan sumber daya ikan dan kurang mampu mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum serta perkembangan tekhnologi dalam rangka pengelolaan sumber daya ikan. Akhirnya, UU No. 9 Tahun 1985 diganti dengan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang diberlakukan mulai tanggal 6 Oktober 2004. Perubahan atas UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ini dilakukan karena mempunyai kelemahan yang meliputi 3 aspek, yaitu aspek manajemen pengelolaan, aspek birokrasi, dan aspek hukum. Untuk aspek manajemen pengelolaan perikanan antara lain belum terdapatnya mekanisme koordinasi antara instansi yang terkait dengan pengelolaan perikanan. Sedangkan aspek birokrasi, antara lain terjadinya

pembenturan kepentingan dalam pengelolaan perikanan. Dan terakhir aspek hukum, antara lain masalah penegakan hukum, rumusan sanksi, dan yurisdiksi atau kompetensi relatif pengadilan negeri terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di luar kewenangan pengadilan negeri tersebut. 78 Lahirlah UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan yang diundangkan tanggal 29 Oktober 2009. Adapun mengenai perubahan yang diatur di dalam UU Perikanan 2009 meliputi, pertama mengenau pengawasan dan penegakan hukum yang menyangkut masalah mekanisme koordinasi antara instansi penyidik dalam penanganan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan, penerapan sanksi pidana (pidana penjara atau denda), hukum acara terutama mengenai batas waktu pemeriksaan perkara, dan fasilitas dalam penegakan hukum di bidang perikanan, termasuk kemungkinan penerapan tindakan hukum berupa penenggelaman kapal asing yang beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan Negara RI. Kedua, masalah pengelolaan perikanan antara lain kepelabuhan perikanan dan konservasi, perizinan dan yang ketiga mengenai perluasan yurisdiksi pengadilan perikanan sehingga mencakup seluruh wilayah pengelolaan perikanan Negara RI. 79 78 Gatot Supramono, Hukum Acara Pidana & Hukum Pidana di Bidang Perikanan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), 8. 79 Ibid., 9.

2. Tindakan Khusus terhadap Kapal Perikanan Berbendera Asing dalam Pasal 69 Ayat (4) UU No. 45 Tahun 2009 Tindakan penenggelaman kapal yang tidak memiliki dokumen resmi atau melanggar ketentuan hukum RI didasarkan pada ketentuan UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dalam Pasal 69 ayat (1) dan ayat (4), bahwa: Pasal 69 ayat (1) : Kapal pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Pasal 69 ayat (4) : Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana tersebut penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Selanjutnya tindakan pemusnahan merujuk pada ketentuan UU Perikanan 2009 Pasal 76A, bahwa: Pasal 76A :

Benda dan/atau alat yang digunakan dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua pengadilan negeri. Berdasarkan UU Perikanan, sama halnya seperti penerapan sanksi pada tindak pidana lain pada umumnya, penerapan sanksi pada tindak pidana di bidang perikanan adalah berupa pidana penjara dan/atau denda. Selain itu, ada salah satu penerapan hukum pidana dalam bidang perikanan berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal asing yang beroperasi di wilayah Indonesia. Dengan demikian, penenggelaman kapal perikanan berbendera asing merupakan tindakan khusus yang dilakukan oleh kapal pengawas perikanan dalam menjalankan fungsinya sekaligus sebagai penegak hukum di bidang perikanan. Yang dimaksud dengan kapal pengawas perikanan adalah kapal pemerintah yang diberi tanda tertentu untuk melakukan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan. 80 Fungsi dan wewenang kapal pengawas perikanan tercantum dalam Peraturan Direktur Jenderal Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan No. 11/Per-DJPSDKP/2014, bahwa: 80 Penjelasan Pasal 69 ayat (1) UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan

Pasal 3 : Kapal Pengawasan Perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan di WPPNRI. Pasal 4 : 1) Dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan penegakan hukum sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 3, Kapal Pengawasan Perikanan dapat melakukan Henrikhan terhadap kapal perikanan berbendera asing yang diduga atau patut diduga melakukan pelanggran di WPPNRI. 2) Dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan penegakan hukum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Kapal Pengawas Perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup. 3) Tindakan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan oleh Penyidik dan/atau Pengawas Perikanan. Penyidik yang diserahi tugas untuk melakukan penyidikan atas terjadinya tindak pidana perikanan diatur dalam Pasal 73 UU No. 31 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa penyidikan tindak pidana perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Penyidik

Perwira TNI AL, dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. 81 Kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 diatur dalam Pasal 73A sebagai berikut: a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang perikanan; b. Memanggil dan memeriksan tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya; c. Membawa dan menghadapkan seseorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk di dengar keterangannya; d. Menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga digunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidangperikanan; e. Menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan/atau orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan; f. Memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan; g. Memotret tersangka dan/atau barang bukti tindak pidana di bidang perikanan; h. Mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikanan; i. Membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan; 81 Supriadi, Hukum Perikanan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), 431.

j. Melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana; k. Melakukan penghentian penyidikan; dan l. Mengadakan tindakan lain yang menurut hukum dapat dipertanggungjawabkan. 82 Hal penting yang perlu diperhatikan terkait penenggelaman kapal asing ini adalah penenggelaman itu tidak boleh dilakukan sewenang-wenang dan harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Berdasarkan Pasal 17 KUHAP, perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana bersarkan bukti permulaan yang cukup. 83 Yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup dalam penjelasan Pasal 17 KUHAP ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14. Pasal ini menentukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana. 84 Dalam tindak pidana perikanan Pasal 69 ayat (4) UU No. 45 Tahun 2009 yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana di bidang perikanan oleh kapal perikanan berbendera asing, misalnya kapal 82 UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan 83 Eddy O.S. Hiariej, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: Erlangga, 2012), 96-97. 84 Tim Mahardika, KUHP & KUHAP, (Pustaka Mahardika, 2010), 269.

perikanan berbendera asing tidak memiliki SIPI dan SIKPI 85, serta nyata-nyata menangkap dan/atau mengangkut ikan ketika memasuki wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Ketentuan ini menunjukkan bahwa tindakan khusus tersebut tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi hanya dilakukan apabila penyidik dan/atau pengawas perikanan yakin bahwa kapal perikanan berbendera asing tersebut betul-betul melakukan tindak pidana di bidang perikanan. Yang dimaksud kapal perikanan berbendera asing adalah kapal perikanan yang mengibarkan bendera selain bendera Indonesia dan tidak tercatat dalam daftar kapal perikanan Indonesia. 86 Kapal perikanan berbendera asing merupakan bukti permulaan yang cukup dalam proses penegakkan hukum pembakaran dan/atau penenggelaman. Pemenuhan unsur bukti permulaan yang cukup dalam pasal tersebut sangatlah sederhana, sepanjang kapal perikanan berbendera asing berada di perairan Indonesia tanpa dokumen yang sah dan ada bukti ikan yang mereka tanggkap maka sudah bisa dilakukan pembakaran dan/atau penenggelaman. Berarti sudah jelas bahwa penenggelaman kapal asing sudah dibenarkan oleh undang-undang, asal sesuai dengan prosedur yang 85 Pasal 1 ayat (18) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI) adalah izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan untuk melakukan pengangkutan ikan. 86 Pasal 1 ayat (2) Peraturan Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Nomor 11/Per-DJPSDKP/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tindakan Khusus Terhadap Kapal Perikanan Berbendera Asing

ditentukan oleh undang-undang. Mengenai dampaknya dalam upaya penegakan hukum laut di Indonesia, penenggelaman kapal ikan asing dipastikan akan menimbulkan efek jera karena kapal tersebut merupakan alat produksi utama pelaku pencurian. Kalau kapal dan perlengkapannya yang berharga mahal tersebut ditenggelamkan, pencuri akan berpikir seribu kali untuk mengulangi pencurian di wilayah Indonesia karena motif pencurian adalah mencari keuntungan. 87 Praktik pembakaran dan penenggelaman kapal ikan asing yang tertangkap tangan mencuri ikan adalah praktik yang lumrah yang juga dilakukan banyak negara lain. Selain itu, persoalan pencurian ikan oleh kapal asing bukanlah persoalan hilangnya sumber daya perikanan belaka melainkan juga soal pelanggaran kedaulatan negara yang merupakan hal sangat prinsip bagi Negara RI. B. Petunjuk Teknis Pelaksanaan Tindakan Khusus terhadap Kapal Perikanan Berbendera Asing dalam Peraturan Direktur Jenderal Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan No. 11/Per-DJPSDKP/2014 Maksud ditetapkannya petunjuk teknis ini adalah sebagai acuan bagi PPNS Perikanan dan/atau Pengawas Perikanan diatas kapal pengawas perikanan dalam melaksanakan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal terhadap kapal perikanan berbendera asing. 87 http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt54e31f284a8ff/dasar-hukum-penenggelamankapal-asing-pencuri-ikan, diakses pada tanggal 15 Mei 2015.

Yang dimaksud PPNS Perikanan dalam Pasal 1 ayat (8) Peraturan Direktur Jenderal Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan No. 11/Per-DJPSDKP/2014, bahwa Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan adalah pejabat pegawai negeri sipil yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perikanan. Tujuan dibuatnya petunjuk teknis ini adalah untuk penyeragaman pola pikir dan pola tindak bagi PPNS Perikanan dan/atau Pengawas Perikanan di atas kapal pengawas perikanan dalam pelaksanaan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman terhadap kapal perikanan berbendera asing yang melakukan pelanggaran di WPPNRI, sehingga pelasanaan tindakan khusus dapat dilaksanakan secara benar dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Yang dimaksud WPPNRI dalam Pasal 1 ayat (13) Peraturan Direktur Jenderal Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan No. 11/Per-DJPSDKP/2014, bahwa Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia adalah wilayah pengelolaan perikanan untuk penangkapan ikan, pembudidayaan ikan, konservasi, penelitian, dan pengembangan perikanan yang meliputi perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut territorial, zona tambahan dan zona ekonomi ekslusif Indonesia.

Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi ketika akan dilakukan tindakan khusus tersebut. Pertama syarat subyektif dan/atau kedua syarat obyektif. Syarat subyektif diuraiakan dalam Pasal 7 Peraturan Direktur Jenderal Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan No. 11/Per- DJPSDKP/2014, meliputi: a. Nahkoda dan/atau anak buah kapal perikanan asing melakukan perlawanan dan/atau manuver yang membahayakan Kapal Pengawas Perikanan dan awak kapalnya pada saat Kapal pengawas Perikanan menghentikan, memeriksa dan/atau membawa kapal ke pelabuhan terdekat; b. Kondisi cuaca tidak memungkinkan untuk menarik/mambawa atau mengawal kapal ke pelabuhan terdekat; dan/atau c. Kapal perikanan berbendera asing mengalami rusak berat yang dapat menimbulkan bahaya bagi keselamatan tersangka dan kapal pengawas perikanan. Syarat Objektif terdiri dari syarat kumulatif dan/atau syarat alternative, diuraikan dalam Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) Peraturan Direktur Jenderal Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan No. 11/Per-DJPSDKP/2014, meliputi:\ 1) Syarat komulatif terdiri sebagai berikut, yaitu: 1) Tidak mempunyai dokumen perizinan yang sah dari Pemerintah Republik Indonesia;

2) Nyata-nyata melakukan penangkapan ikan dan/atau pengangkutan ikan di WPPNRI; dan 3) Kapal perikanan berbendera asing dengan semua awak kapal warga Negara asing. 2) Syarat alternatif terdiri sebagai berikut, yaitu: 1) Kapal perikanan berbendera asing yang ditangkap tidak memiliki nilai ekonomis tinggi; dan/atau 2) Kapal perikanan berbendera asing tidak memungkinkan untuk dibawa ke pelabuhan terdekat, dengan pertimbangan: a) Kapal membahayakan keselamatan pelayaran dan/atau kepentingan karantina; b) Kapal mengangkut muatan yang mengandung wabah penyakit menular dan/atau bahan beracun dan berbahaya; c) Jumlah kapal yang ditangkap tidak memungkinkan untuk di adhoc/dikawal ke pelabuhan terdekat; dan/atau d) Biaya menarik/membawa kapal sangat tinggi. Sebelum dilakukan tindakan khusus, petugas harus terlebih dahulu melakukan evakuasi ABK, menginventarisasi semua perlengkapan dan peralatan kapal, mengambil dokumentasi, menyisihkan ikan sebagai barang bukti, serta membuat berita acara. Mengenai prosedur Tindakan Khusus dijelaskan dalam Pasal 9 Peraturan Direktur Jenderal Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan No. 11/Per-DJPSDKP/2014, yaitu:

a. Dalam hal melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman, Nahkoda Kapal Pengawas Perikanan wajib melaporkan kepada Direktur Jenderal hal-hal sebagai berikut: 1) Nama kapal; 2) Posisi perairan dan koordinat kapal; 3) Asal kapal dan bendera kebangsaan; 4) Kewarganegaraan awak kapal; 5) Dugaan pelanggaran; dan 6) Barang bukti; b. Bentuk laporan yang dimaksud berupa lisan melalui telepon satelit atau melalui telegraf atau alat komunikasi lainnya. Tindakan khusus ini dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal. Sebelum melakukan pembakaran dan/atau penenggelaman, Nahkoda Kapal Pengawas Perikanan melakukan tindakan berupa: a. Memberikan peringatan kepada awak kapal perikanan untuk meninggalkan kapal; b. Menyelamatkan seluruh anak buah kapal perikanan berbendera asing; c. Mengupayakan melepaskan bendera kapal dari kapal asing yang akan dikenakan tindakan khusus; d. Mendokumentasikan baik menggunakan kamera/kamera digital maupun audio visual/video; dan

e. Mencatat posisi kapal perikanan terbakar dan/atau tenggelam pada jurnal kapal. 88 Setelah proses itu selesai, cara pembakaran dan/atau penenggelaman dilakukan berupa: a. Menentukan jarak tembak yang aman dengan memperhitungkan arah angin dan arus serta pertimbangan keselamatan; b. Menggunakan bahan peledak untuk melakukan pembakaran dan/atau penenggelaman; dan/atau c. Mengarahkan penembakan ke ruang mesin agar cepat terbakar dan tenggelam. 89 Tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman dapat dilaksanakan di Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia apabila syarat subyektif dalam Pasal 7 Peraturan Direktur Jenderal Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan No. 11/Per-DJPSDKP/2014 sudag terpenuhi. Setelah melakukan pembakaran dan/atau penenggelaman, Nahkoda Kapal Pengawas Perikanan wajib melaporkan kepada Direktur Jenderal mengenai: a. Posisi koordinat kapal perikanan berbendera asing yang dibakar dan/atau ditenggelamkan; b. Kondisi Awak kapal perikanan kapal perikanan berbendera asing; 88 Pasal 10 Peraturan Direktur Jenderal Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan No. 11/Per-DJPSDKP/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelasanaan Tindakan Khusus terhadap Kapal Perikanan Berbendera Asing. 89 Pasal 11 Peraturan Direktur Jenderal Pengawas Sumber Daya Kelautan dan Perikanan No. 11/Per-DJPSDKP/2014 tentang Petunjuk Teknis Pelasanaan Tindakan Khusus terhadap Kapal Perikanan Berbendera Asing.

c. Tujuan membawa dan menyerahkan awak kapal perikanan berbendera asing; dan d. Membuat berita acara pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan berbendera asing. 90 C. Beberapa Kasus Perikanan 1. Kasus tidak Memiliki SIUP Kasus penenggelaman dan pembakaran yang dilakukan TNI Angkatan Laut (AL), Menteri Susi Pudjiastuti, para petinggi TNI AL, dan pejabat kejaksaan untuk memberantas kasus illegal fishing. Pada hari selasa tanggal 10 Februari 2015, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyaksikan langsung penenggelaman sebuah kapal Thailand yang mencuri ikan di perairan Indonesia. Penenggelaman kapal nelayan asing berbendera Thailand di perairan Dempo, Tanjungpinang, Kepulauan Riau dieksekusi dengan cara diledakkan dengan sebuah bom. Setelah diledakkan, perlahan kapal berbobot 80 ton itu pun tenggelam. Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti berkata, "Tanpa kedaulatan, tanpa kita membuktikan bahwa kita kuat di laut, ya kita akan terus-terus disepelekan oleh orang-orang yang bermaksud jahat dan mengambil keuntungan sebesar-besarnya dari laut kita. Tindakan tegas terhadap para pencuri ikan di perairan Indonesia memang harus dilakukan, bila tidak orang-orang asing dengan seenaknya menguras 90 Pasal 12

ikan dan kekayaan laut sehingga merugikan negara hingga triliunan rupiah per tahun. 91 Kementerian Kelautan dan Perikanan beserta aparat pemerintah terkait khususnya TNI AL dan Polisi Air semakin padu dalam menanggulangi illegal fishing. Hari Senin (9/2/2015) menurut rencana akan dilanjutkan penenggelaman kapal ikan asing pencuri ikan. Menteri Kelautan dan Perikanan didampingi Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan saat warta ini ditulis hadir langsung di tengah laut untuk menyaksikan proses penenggelaman kapal ikan asing (KIA) pencuri ikan yang berasal dari Thailand. 2. Kasus tidak Memiliki SIUP Kapal dengan identitas LAUT NATUNA 28 alias KM SUDHITA 28 berukuran 80 GT akan ditenggelamkan di Selat Dempo, perairan Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Kapal bodong karena tidak memiliki izin resmi dari KKP. Menurut Direktur Jenderal PSDKP, Asep Burhanudin mengungkapkan kronologis penangkapan KM SUDHITA 28. "KM SUDHITA ditangkap oleh KP HIU 009 pada Kamis tanggal 30 Oktober 2014, jam 16.00 WIB, di sekitar perairan Laut Natuna, Kepulauan Riau. Pada saat dilakukan pemeriksaan KM LAUT NATUNA 28 alias KM SUDHITA dengan Nakhoda Sangwian Srisom dan 11 orang ABK Thailand sedang melakukan penangkapan ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 711, Laut Natuna, pada posisi 91 http://news.liputan6.com/read/2173439/menteri-susi-saksikan-penenggelaman-kapal-thailandpencuri-ikan, diakses pada tanggal 4 April 2015.

010 56.000 LU 1060 49.000 BT dengan menggunakan alat penangkap ikan trawl. Hasil tangkapan ikan campuran sekitar 100 kg. Pada saat ditangkap tersebut KM LAUT NATUNA 28 tanpa dilengkapi dokumen perizinan kegiatan penangkapan ikan. KM LAUT NATUNA 28 melanggar Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Kebijakan penanggulangan illegal fishing ini yang antara lain berupa penenggelaman kapal ikan asing yang melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku perlu didukung untuk menegakkan kedaulatan wilayah Indonesia. 92 92 www.pusluh.kkp.go.id, diakses pada tanggal 27 Juli 2015.