ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1)

dokumen-dokumen yang mirip
LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2006 ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH

I PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Kandungan Nutrisi Serealia per 100 Gram

BAB I PENDAHULUAN. Beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar penduduk

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Pangan merupakan kebutuhan yang mendasar (basic need) bagi setiap

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional merupakan rangkaian upaya pembangunan yang

BAB I PENDAHULUAN. sektor pertanian antara lain: menyediakan pangan bagi seluruh penduduk,

OPERASIONALISASI KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH DAN HARGA ATAP BERAS

KEBIJAKAN MENYANGGA ANJLOKNYA HARGA GABAH PADA PANEN RAYA BULAN FEBRUARI S/D APRIL 2007

ANALISIS USAHATANI DAN KESEJAHTERAAN PETANI PADI, JAGUNG DAN KEDELE

PENDAHULUAN. Indonesia, tercapainya kecukupan produksi beras nasional sangat penting

Produksi Padi Tahun 2005 Mencapai Swasembada

MANAJEMEN KETAHANAN PANGAN ERA OTONOMI DAERAH DAN PERUM BULOG 1)

BAB I PENDAHULUAN. Pertanian merupakan salah satu sektor utama di negara ini. Sektor tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara agraris di dunia, dimana sektor

BAB I PENDAHULUAN. Masalah konsumsi beras dan pemenuhannya tetap merupakan agenda

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan pembangunan pertanian periode dilaksanakan melalui tiga

BAB I. PENDAHULUAN A.

I. PENDAHULUAN. (Riyadi, 2002). Dalam komponen pengeluaran konsumsi masyarakat Indonesia

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

Analisis Penyebab Kenaikan Harga Beras

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Ringkasan Eksekutif Analisis Efektivitas Kebijakan Subsidi Pupuk dan Benih: Studi Kasus Tanaman Padi dan Jagung 1

PENCAPAIAN SURPLUS 10 JUTA TON BERAS PADA TAHUN 2014 DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA SISTEM (SYSTEM DYNAMICS)

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

KAJIAN KEBIJAKAN HPP GABAH DAN HET PUPUK MENDUKUNG PENINGKATAN KETAHANAN PANGAN DAN PENDAPATAN PETANI

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Selama beberapa dekade terakhir sektor pertanian masih menjadi tumpuan

V. GAMBARAN UMUM KERAGAAN BAWANG MERAH Perkembangan Produksi Bawang Merah di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara agraris, yakni salah satu penghasil

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. pertumbuhan produksi pertanian tidak sebesar laju permintaan pangan. Tabel 1.1

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2011 DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP KERAWANAN PANGAN TEMPORER/MUSIMAN

PROSPEK TANAMAN PANGAN

ANALISIS STRUKTUR-PERILAKU-KINERJA PEMASARAN SAYURAN BERNILAI EKONOMI TINGGI

DAFTAR ISI.. DAFTAR GAMBAR.. DAFTAR LAMPIRAN.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

KAJIAN PENURUNAN KUALITAS GABAH-BERAS DILUAR KUALITAS PENDAHULUAN

I. PENDAHULUAN. Padi merupakan salah satu komoditi pangan yang sangat dibutuhkan di

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ANALISIS DESKRIPTIF PENETAPAN HARGA PADA KOMODITAS BERAS DI INDONESIA

Penyusutan Luas Lahan Tanaman Pangan Perlu Diwaspadai Rabu, 07 Juli 2010

I. PENDAHULUAN. menghadapi tantangan yang sangat kompleks dalam memenuhi kebutuhan pangan

Pengembangan Jagung Nasional Mengantisipasi Krisis Pangan, Pakan dan Energi Dunia: Prospek dan Tantangan

KEBIJAKAN HARGA INPUT-OUTPUT DAN PENGARUHNYA TERHADAP KENAIKAN PRODUKSI DAN PENDAPATAN PETANI PADI

memberikan multiple effect terhadap usaha agribisnis lainnya terutama peternakan. Kenaikan harga pakan ternak akibat bahan baku jagung yang harus

SURVEI LUAS PANEN DAN LUAS LAHAN TANAMAN PANGAN 2015

I. PENDAHULUAN. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang memiliki sumber daya alam

PENDAHULUAN Latar Belakang

Situasi pangan dunia saat ini dihadapkan pada ketidakpastian akibat perubahan iklim

I. PENDAHULUAN. sebagai dasar pembangunan sektor-sektor lainnya. Sektor pertanian memiliki

KETAHANAN PANGAN: KEBIJAKAN KETAHANAN PANGAN NASIONAL

KAJIAN KEMUNGKINAN KEMBALI KE KEBIJAKAN HARGA DASAR GABAH, KENAIKAN HARGA GABAH DAN TARIF TAHUN 2007

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara beriklim tropis mempunyai potensi yang besar

ANALISIS PERTUMBUHAN PDB SEKTOR PERTANIAN TAHUN 2005

1) Menjaga harga terendah, terutama di daerah-daerah produksi selama musim panen;

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Produksi, Produktivitas, dan Luas Areal Ubi Kayu di Indonesia Serta

POLITIK KETAHANAN PANGAN MENUJU KEMANDIRIAN PERTANIAN

I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian nasional. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi yang dominan, baik

BAB I PENDAHULUAN. Program kebijakan revitalisasi pertanian menitikberatkan pada program

PERGERAKAN HARGA CPO DAN MINYAK GORENG

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Kebijakan publik adalah keputusan pemerintah yang berpengaruh terhadap

I. PENDAHULUAN. Sektor pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi nasional.

II. TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Gambar 1 Proyeksi kebutuhan jagung nasional (Sumber : Deptan 2009, diolah)

PRODUKSI PANGAN INDONESIA

I. PENDAHULUAN. sebagai penyedia pangan yang cukup bagi penduduknya dan pendukung

CUPLIKAN RUMUSAN HASIL KONFERENSI DEWAN KETAHANAN PANGAN TAHUN 2010

IX. KESIMPULAN DAN SARAN

EVALUASI KEBIJAKAN HARGA GABAH TAHUN 2004

MODEL SIMULASI PENYEDIAAN KEBUTUHAN BERAS NASIONAL

Boks.2 PRODUKSI DAN DISTRIBUSI BERAS DI PROVINSI JAMBI

OUTLOOK KOMODITAS PANGAN STRATEGIS TAHUN

KAJIAN KEBIJAKAN PERBERASAN

LAPORAN AKHIR PENELITIAN TA 2008 SINTESIS KONSORSIUM PENELITIAN: KARAKTERISTIK SOSIAL EKONOMI PETANI PADA BERBAGAI AGROEKOSISTEM

POLICY BRIEF DAYA SAING KOMODITAS PADI, JAGUNG, DAN KEDELAI DALAM KONTEKS PENCAPAIAN SWASEMBADA PANGAN. Dr. Adang Agustian

Tabel 1.1. Konsumsi Beras di Tingkat Rumah Tangga Tahun Tahun Konsumsi Beras*) (Kg/kap/thn)

Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Jagung

I. PENDAHULUAN. terpadu dan melanggar kaidah pelestarian lahan dan lingkungan. Eksploitasi lahan

I. PENDAHULUAN. peradaban manusia. Padi adalah komoditas tanaman pangan yang menghasilkan

I PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian memiliki peran yang strategis dalam perekonomian

I. PENDAHULUAN. umumnya, khususnya sebagai sumber penyediaan energi dan protein. Neraca

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

rice in the North. GKP affect transmission rates by Government Purchase Price (HPP). Keywords: Availability of Food, Government Purchasing Price

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan terigu dicukupi dari impor gandum. Hal tersebut akan berdampak

PENDAHULUAN 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. setengah dari penduduk Indonesia bekerja di sektor ini. Sebagai salah satu

ANALISIS TATANIAGA BERAS

I. PENDAHULUAN. yang semakin meningkat menyebabkan konsumsi beras perkapita per tahun

Boks 2. Pembentukan Harga dan Rantai Distribusi Beras di Kota Palangka Raya

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia sangat tinggi. Menurut Amang

perluasan kesempatan kerja di pedesaan, meningkatkan devisa melalui ekspor dan menekan impor, serta menunjang pembangunan wilayah.

BAB I. PENDAHULUAN. adalah mencukupi kebutuhan pangan nasional dengan meningkatkan. kemampuan berproduksi. Hal tersebut tertuang dalam RPJMN

Transkripsi:

74 Pengembangan Inovasi Pertanian 1(1), 2008: 74-81 Erizal Jamal et al. ANALISIS KEBIJAKAN PENENTUAN HARGA PEMBELIAN GABAH 1) Erizal Jamal, Hendiarto, dan Ening Ariningsih Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jalan Ahmad Yani No. 70, Bogor 16161 PENDAHULUAN Komoditas pertanian strategis yang selalu menjadi isu utama pembangunan pertanian dan mendapat perhatian khusus pemerintah adalah beras. Komoditas ini sangat berkaitan erat dengan hajat hidup orang banyak, sehingga berbagai permasalahan yang terkait dengan beras sangat rawan untuk dipolitisir (Hardinsyah 1996). Persoalan klasik pada komoditas beras berpangkal pada dua tujuan yang harus dicapai sekaligus tetapi terkadang cenderung bertolak belakang, yaitu mempertahankan harga yang layak di tingkat produsen namun pada saat yang sama juga tidak terlalu memberatkan konsumen. Persoalan bertambah pelik karena komoditas ini ditanam secara serentak pada musim tertentu, sehingga berlebihnya pasokan pada saat panen dan langkanya pasokan pada saat paceklik menjadi fenomena rutin setiap tahun. Untuk menanggulangi masalah di atas, pemerintah telah mengeluarkan beberapa instrumen kebijakan jangka pendek yang pada intinya dimaksudkan untuk mencegah terjadinya gejolak harga. Kebijakan 1) Naskah disarikan dari bahan Rapat Pimpinan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bulan Mei 2007. tersebut antara lain adalah: (1) penetapan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk padi/beras; dan (2) pengenaan tarif, kuota, dan pengaturan waktu impor serta operasi pasar untuk komoditas tersebut. Sejak tahun 2002, setiap tahun pemerintah melakukan evaluasi dan penyesuaian terhadap HPP, sesuai dengan dinamika ekonomi nasional. Sama halnya dengan kebijakan harga dasar gabah (HDG) dan setelah berbagai unsur penopang yang dimiliki Bulog dicabut, efektivitas HPP banyak dipertanyakan, lebihlebih pada saat panen raya. Kritik terhadap analisis yang telah dilakukan selama ini adalah terbatasnya wilayah yang dijadikan areal pengamatan (pengamatan langsung hanya di Jawa Timur dan Sulawesi Selatan), dan pengamatan hanya dilakukan pada saat panen raya di musim hujan (Maret-April). Pengkajian umumnya dilakukan dalam waktu singkat dengan sampel yang terbatas. Selain itu, faktor-faktor lain seperti stok beras di tingkat petani, pedagang, dan penggilingan belum banyak dikaji. Beberapa kalangan mensinyalir efektivitas HPP sangat terkait dengan masalah manajemen stok. Sementara itu, besarnya variasi antarwilayah dalam penggunaan input dan output akan memberikan gambaran yang berbeda tentang efektivitas HPP, sehingga kajian

76 Erizal Jamal et al. dingkan dengan daerah lain, karena lebih bersih atau sudah di-blower. GKP dari daerah lain biasanya masih bercampur dengan kotoran. Oleh karena itu, perlu kehati-hatian dalam melakukan perbandingan harga GKP antarwilayah. Hal lain yang menyebabkan rendahnya harga gabah di tingkat petani adalah masih dominannya sistem pembelian gabah secara tebasan, terutama di DI Yogyakarta. Pembelian gabah dengan sistem tebasan menyebabkan harga yang diterima petani jauh di bawah harga yang ditetapkan pemerintah. Perhitungan sederhana yang dilakukan pada beberapa responden yang menjual gabah secara tebasan dan datanya dikonfirmasikan kepada para penebas, didapat perbedaan harga di tingkat petani dengan harga yang diterima penebas sekitar 8%. Upaya untuk menghapus pola panen tebasan belum sepenuhnya berhasil, karena antara penebas dan petani telah lama terikat dalam berbagai kegiatan. Untuk menjamin stabilitas harga di tingkat petani, berbagai inisiatif lokal, seperti Pokja Pascapanen Bantul dan Kemitraan Sidrap, lebih efektif dibanding lembaga bentukan dari pusat (LUEP dan Bulog). Dalam jangka panjang, sejalan dengan semangat otonomi daerah, kemampuan pemerintah daerah dalam menjamin stabilitas harga produk pertanian di wilayahnya serta kecukupan pangan bagi masyarakatnya dapat menjadi salah satu kriteria utama dalam menilai kinerja pemerintah daerah. Keragaan pasar gabah dan beras di Indonesia menunjukkan masih adanya masalah yang berkaitan dengan transmisi harga antarpedagang pada berbagai level. Hal itu tercermin dari koefisien integrasi pasar jangka pendek antara pasar produsen (gabah) dan pasar konsumen (beras), yang menunjukkan bahwa dalam jangka pendek pasar produsen kurang terpadu dengan pasar konsumen. Hal yang sama ditunjukkan oleh koefisien integrasi antara pasar produsen dan pasar grosir, serta antara pasar grosir dan pasar konsumen. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan harga pada pasar konsumen tidak ditransmisikan secara baik ke semua tingkatan pasar. Namun, dalam jangka panjang terdapat integrasi yang relatif kuat di antara berbagai tingkatan pasar tersebut. Sementara itu, kajian terhadap kemungkinan penetapan HPP yang berbeda antarwilayah, tentunya dengan mempertimbangkan kesanggupan daerah dalam melakukan penjaminan stabilitas harga, sangat layak untuk diuji coba pada wilayah yang terbatas. Hasil pengamatan pada wilayah surplus beras menunjukkan, break even point untuk usaha tani padi sangat bervariasi antardaerah, berkisar pada harga Rp1.025,6-Rp1.338,7/kg GKP. Margin keuntungan yang diperoleh petani dengan memperhitungkan biaya lahan dan tenaga kerja keluarga berkisar 18,33-34,58% dari total produksi. Margin tertinggi terdapat pada petani di Sumatera Barat. Gambaran ini memperlihatkan bahwa secara alami terdapat perbedaan dalam struktur ongkos usaha tani padi antarwilayah, sehingga kemungkinan penerapan HPP yang berbeda antarwilayah sangat direkomendasikan. Pendugaan model pasar gabah/beras menunjukkan tidak nyatanya pengaruh harga GKP terhadap luas areal panen di tingkat petani. Ini menunjukkan dalam jangka pendek, kebijakan harga gabah/ beras tidak berpengaruh terhadap performa usaha tani padi. Dengan demikian, berbagai argumen yang menyatakan bahwa peningkatan harga GKP akan merangsang peningkatan luas areal panen

78 Erizal Jamal et al. sempitnya rata-rata penguasaan lahan di tingkat petani. Sempitnya penguasaan lahan oleh petani menyebabkan kegiatan usaha tani tidak bisa diandalkan sebagai sumber pendapatan keluarga. Petani yang mengusahakan padi di Jawa Barat dan DI Yogyakarta dan hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 ha, mencakup lebih 85% dari total petani. Untuk kasus DI Yogyakarta, sumbangan kegiatan pertanian padi hanya sekitar 20% dari total pendapatan keluarga. Padi yang dihasilkan petani tidak sepenuhnya dapat mencukupi kebutuhan pangan keluarga. Sekitar 23,5-31,2% kebutuhan beras petani di Jawa Barat dan DI Yogyakarta dipenuhi melalui pembelian pada setiap musim, sehingga berbagai sinyalemen bahwa petani padi, terutama di Jawa, selain sebagai produsen juga net consumer betul adanya. Ini juga yang menyulitkan pemerintah bila kebijakan perberasan hanya bertumpu pada kebijakan harga. Dari sudut pandang teknologi produksi, hasil padi yang dicapai petani saat ini di beberapa sentra produksi dapat dikatakan sudah mendekati batas frontier yang bisa dicapai di lapang. Produktivitas ratarata usaha tani padi di lahan irigasi di Indonesia mencapai 6,4 t/ha, tertinggi kedua di Asia Timur dan Tenggara setelah Cina (7,6 t/ha) (Hossain and Narciso 2002). Potensi peningkatan produktivitas hanya sekitar 0,5-1,0 t/ha, itu pun dengan penambahan input yang lebih mahal. Namun, masih terbuka peluang untuk meningkatkan produksi beras secara nasional melalui peningkatan rendemen (Hendiarto 2004). Dengan kondisi seperti di atas, berbagai kebijakan jangka pendek yang terkait dengan harga gabah, pupuk, dan lainnya tidak akan banyak berpengaruh terhadap pendapatan petani padi. Kunci bagi upaya peningkatan pendapatan petani justru terletak pada upaya pengembangan usaha yang tidak berbasis lahan di pedesaan. Hanya dengan cara demikian, jumlah petani yang menggantungkan hidupnya pada lahan dapat dikurangi sehingga rata-rata penguasaan lahan di tingkat petani meningkat. Revitalisasi pedesaan merupakan jawaban yang lebih tepat dengan sasaran pengembangan kegiatan nonpertanian di pedesaan, atau peningkatan kemampuan sumber daya manusia di pedesaan untuk mengisi kebutuhan tenaga kerja terampil di perkotaan atau pasar tenaga kerja di pasaran global. Tingginya ketergantungan terhadap beras sebagai bahan pangan utama merupakan hal lain yang mempersulit berbagai kebijakan di bidang perberasan. Berdasarkan data tahun 2004, tingkat konsumsi beras per kapita di Indonesia rata-rata sekitar 128 kg/tahun. Sebagai perbandingan, pada saat yang sama konsumsi beras per kapita di Thailand, sebagai salah satu produsen utama beras di dunia, hanya mencapai 79 kg/tahun dan Malaysia 63 kg/tahun (Wang and Hossain 2007). Selain tingkat konsumsi per kapita yang terus meningkat, dari sekitar 105 kg/ tahun (1971) menjadi sekitar 128 kg/tahun (2004), cakupan wilayah konsumsi eksklusif beras juga bertambah. Pada tahun 1979 hanya ada tiga provinsi yang penduduknya eksklusif mengkonsumsi beras, tetapi pada tahun 1996 meningkat menjadi 11 provinsi dan pada saat ini boleh dikatakan hampir semua provinsi di Indonesia penduduknya eksklusif mengkonsumsi beras (Saliem et al. 2005). Pasar gabah sangat dipengaruhi oleh sifat produksi (panen) usaha tani padi, sifat gabah, dan karakteristik petani. Produksi padi bersifat musiman dan rentan terhadap risiko alam (anomali iklim dan serangan

80 Erizal Jamal et al. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN Berkaitan dengan berbagai persoalan di atas, disarankan beberapa kebijakan jangka pendek (sampai tahun 2009) dan jangka menengah/panjang (2020 atau 2025). Kebijakan jangka pendek terkait dengan manajemen stok, kebijakan harga dan impor, serta diversifikasi produksi dan konsumsi. Untuk jangka panjang ditambahkan hal yang berkaitan dengan upaya peningkatan produksi melalui peningkatan produktivitas dan luas panen. Hal yang mendesak untuk dilihat dan dikaji dalam jangka pendek adalah masalah data. Diperlukan koordinasi lintas sektor untuk memperbaiki sistem manajemen data (pengumpulan, pencatatan, dan pelaporannya). Dalam jangka panjang perlu dilakukan proyeksi tentang konfigurasi ruang dan lahan yang ada, serta kebutuhan terhadap produk yang terkait dengan penggunaan lahan. Dengan demikian diharapkan dapat diperkirakan apa yang akan terjadi pada masa yang akan datang serta upaya antisipasinya. Produktivitas merupakan persoalan jangka panjang, karena pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa peningkatan produktivitas banyak berkaitan dengan kondisi infrastruktur (saluran irigasi, ketersediaan input usaha tani dan lainnya). Produktivitas juga terkait dengan efisiensi usaha tani. Bila efisiensi dikaitkan dengan besarnya curahan tenaga kerja, bisa dibuat perbandingan dengan negara lain. Sebagai gambaran, tingkat curahan tenaga kerja pada lahan sawah di Indonesia pada tahun 1978 sekitar 1.252 jam orang kerja (JOK) dan pada tahun 2005/2006 berkisar antara 745-949,3 JOK. Ini berarti selama 28 tahun terjadi pengurangan penggunaan tenaga kerja manusia di lahan sawah sebesar 32,34%. Bila dibandingkan dengan negara lain, misalnya Korea Selatan, pada tahun 1981-2001 jumlah tenaga kerja yang digunakan untuk setiap hektar sawah berkurang dari 930 JOK menjadi hanya 280 JOK atau pengurangan sebesar 70%. Berkaitan dengan manajemen stok, kebijakan dalam jangka pendek lebih difokuskan pada desentralisasi penanganannya pada level kabupaten atau provinsi. Pada level rumah tangga diupayakan peningkatan jumlah stok yang disimpan minimal 20% dari produksi. Untuk kepentingan jangka panjang, sangat mendesak untuk diawali proyeksi tentang konfigurasi lahan dan ruang serta kebutuhan terhadap bahan pangan serta aspek lain yang terkait dengan penggunaan lahan. Hasil dari kedua proyeksi tersebut dapat menjadi basis bagi perencanaan berbagai program. Untuk jangka panjang, upaya pengurangan ketergantungan terhadap beras harus diawali dengan penetapan komoditas alternatif secara jelas, sehingga kebijakan pengembangan komoditas alternatif dapat dilakukan secara proporsional. Sejalan dengan upaya ini, diversifikasi produksi merupakan jalan bagi peningkatan pendapatan rumah tangga. Kebijakan harga harus dapat mendukung diversifikasi konsumsi dan produksi. Penetapan komoditas alternatif pada level provinsi atau kabupaten sedapat mungkin dapat mendukung pengembangan agroindustri di pedesaan. Bisa saja komoditas itu terkait dengan buah-buahan dan sayuran, namun lebih disarankan komoditas pangan alternatif seperti sagu dan jagung. Dalam jangka panjang, pengembangan bahan pangan yang dapat disimpan lama seperti tepung layak dipertimbangkan. Hal lain yang perlu dimasyarakatkan adalah sudah saatnya ditentukan target secara kuantitatif, seperti pengu-