PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA. Oleh : Iman Hidayat

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang diberlakukan di

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

II. TINJAUAN PUSTAKA. Kebijaksanaan ( policy) merupakan kata istilah yang digunakan sehari-hari, tetapi karena

Catatan Koalisi Perempuan Indonesia terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016

I. PENDAHULUAN. dari masyarakat yang masih berbudaya primitif sampai dengan masyarakat yang

I. PENDAHULUAN. seseorang (pihak lain) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagai

TINJAUAN PUSTAKA. Upaya penanggulangan tindak pidana dikenal dengan istilah kebijakan kriminal

TUGAS AKHIR KULIAH PENDIDIKAN PANCASILA PEMASYARAKATAN PANCASILA DALAM ERA GLOBALISASI

RANCANGAN. : Ruang Rapat Komisi III DPR RI : Pembahasan DIM RUU tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). KESIMPULAN/KEPUTUSAN

LATIHAN PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI TERBUKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Pengaturan Tindak Pidana Perzinahan atau Kumpul Kebo

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

Kebijakan Kriminal, Penyalahgunaan BBM Bersubsidi 36

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 112/PUU-XIII/2015 Hukuman Mati Untuk Pelaku Tindak Pidana Korupsi

TUGAS AKHIR PEMASYARAKATAN PANCASILA DALAM ERA GLOBALISASI

POLITIK HUKUM PIDANA DALAM PERSPEKTIF PENEGAKAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

LUMAKSONO GITO KUSUMO PENAL REFORM DAN UNIFIKASI HUKUM PIDANA MATERIIL

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA. Nisa Yulianingsih 1, R.B. Sularto 2. Abstrak

1. Arti pancasila sebagai way of life (pandangan hidup)

Ringkasan Putusan.

PELAKSANAAN SISTEM PEMIDAAN MENURUT UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA ABSTRAK

KEBIJAKAN FORMULASI ASAS SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIEL DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

Tujuan studi ini adalah untuk: (1) mengidentifikasi dan mendeskripsikan praktik pemberian maaf dalam proses penyelesaian perkara pidana di Indonesia;

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENCABULAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

I. PENDAHULUAN. Pidana penjara termasuk salah satu jenis pidana yang kurang disukai, karena

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

UPAYA PENEGAKAN HUKUM NARKOTIKA DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H Dosen Fakultas Hukum Universitas Surakarta

Ringkasan Putusan.

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perbuatan menurut Simons, adalah berbuat (handelen) yang mempunyai sifat gerak aktif, tiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum, hal ini telah dinyatakan dalam

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

PENTINGNYA PEMIMPIN BERKARAKTER PANCASILA DI KALANGAN GENERASI MUDA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Tujuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara hukum yang memiliki konstitusi tertinggi dalam

I. PENDAHULUAN ), antara lain menggariskan beberapa ciri khas dari negara hukum, yakni :

PENGGUNAAN HUKUM PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

I. PENDAHULUAN. juga diikuti dengan berkembangnya permasalahan yang muncul di masyarakat. Perkembangan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 48 TAHUN 2009 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KRIMINALISASI TERHADAP PERBUATAN SPAMMING MELALUI MEDIA SOSIAL DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TETANG INFORMASI DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK

BAB I PENDAHULUAN. Pidana bersyarat merupakan suatu sistem pidana di dalam hukum pidana yang

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

Penerapan Pidana Bersyarat Sebagai Alternatif Pidana Perampasan Kemerdekaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dan

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA

I. PENDAHULUAN. Secara etimologis kata hakim berasal dari arab hakam; hakiem yang berarti

BAB I PENDAHULUAN. Primary needs, Pengalaman-pengalaman tersebut menghasilkan nilai-nilai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut MK) sebagai salah satu pelaku

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

BAB I PENDAHULUAN. Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum berdasarkan Pancasila

3.2 Uraian Materi Pengertian dan Hakikat dari Dasar Negara Pancasila sebagai dasar negara sering juga disebut sebagai Philosophische Grondslag

I.PENDAHULUAN. Fenomena yang aktual saat ini yang dialami negara-negara yang sedang

BAB I PENDAHULUAN. didasarkan atas kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (3)

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, tetapi dapat juga

II. TINJAUAN PUSTAKA. Istilah hukuman berasal dari kata straf dan istilah di hukum yang berasal dari

TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Penegakan Hukum dan Penegakan Hukum pidana. Penegakan hukum adalah proses di lakukannya upaya untuk tegaknya atau

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Anak adalah bagian yang tak terpisahkan dari keberlangsungan hidup

A. Kronologi pengajuan uji materi (judicial review) Untuk mendukung data dalam pembahasan yangtelah dikemukakan,

BAB V PENUTUP. pembahasan, maka telah didapat pokok-pokok kesimpulan dalam penulisan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 122/PUU-XIII/2015 Penggunaan Tanah Hak Ulayat untuk Usaha Perkebunan

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

Peraturan Daerah Syariat Islam dalam Politik Hukum Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Ini berarti,

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (human traficking) terutama terhadap perempuan dan anak

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sorotan masyarakat karena diproses secara hukum dengan menggunakan

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

Institute for Criminal Justice Reform

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 58/PUU-XV/2017 Pembubaran Ormas

PEDOMAN POKOK NILAI-NILAI PERJUANGAN YAYASAN LBH INDONESIA DAN KODE ETIK PENGABDI BANTUAN HUKUM INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

MAKALAH PENERAPAN NILAI-NILAI PANCASILA DALAM BIDANG PROFESI MANUSIA

BAB I PENDAHULUAN. supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) berlandaskan keadilan dan. kebenaran adalah mengembangkan budaya hukum di semua lapisan

PANCASILA DAN EMPAT PILAR KEHIDUPAN BERBANGSA. Oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH 1.

PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMALSUAN DAN PENGEDARAN UANG PALSU SKRIPSI

STMIK AMIKOM YOGYAKARTA

PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA

DAFTAR PUSTAKA. Arief, Barda Nawawi Berbagi Aspek Kebijakan Penegakan Pembangunan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung.

PENCURIAN PRATIMA DI BALI DALAM PERSPEKTIF HUKUM PIDANA ADAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Pada era modernisasi dan globalisasi seperti sekarang ini

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 19/PUU-VIII/2010 Tentang UU Kesehatan Tafsiran zat adiktif

Transkripsi:

PENYELESAIAN PELANGGARAN ADAT DAN RELEVANSINYA DENGAN PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA Oleh : Iman Hidayat ABSTRAK Secara yuridis konstitusional, tidak ada hambatan sedikitpun untuk menjadikan hukum adat sebagai sumber pembentukan KUHP Nasional, bahkan dalam konstitusi Republik Indonesia yaitu UUD 1945 yang sudah diamandemenpun mendukung untuk itu, apalagi dilihat dari sudut sosiologis dari teori pengakuan dan teori kekuasaan relevansi hukum adat sebagai sumber pembentukan KUHP Nasional sudah merupakan kehendak rakyat dan pemerintah. Begitupun secara filosofis hukum adat sangat kuat untuk dijadikan sumber bagi pembaharuan hukum pidana Nasional mengingat penetapan hukum pidana di masa mendatang harus disesuaikan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila (Cita Hukum Pancasila Recht Idee). Kata Kunci : Pelanggaran Adat, Pembaharuan Hukum Pidana A. Latar Belakang Adat merupakan pencerminan kepribadian dan merupakan salah satu penjelmaan jiwa bangsa dari abad ke abad. Setiap bangsa di dunia ini memiliki adat kebiasaan sendiri-sendiri yang satu dengan yang lainnya tidak sama tergantung pada tempat dan waktu. Ketidaksamaan inilah Pengajar Program Magister Ilmu Hukum Unbari Jambi. 96

merupakan unsur yang terpenting sebagai identitas suatu bangsa. Tingkatan peradaban, maupun cara hidup yang modern ternyata tidak mampu menghilangkan adat kebiasaan yang hidup dalam masyarakat adat. Setidak-tidaknya yang terlihat dalam proses kemajuan zaman itu adat menyesuaikan diri sesuai dengan kemajuan masyarakatnya. Pada tahun 1993 yang lalu PBB telah menetapkan tahun tersebut sebagai tahun masyarakat adat (Indigenous Peoples Year). PBB juga menetapkan dasawarsa dari tahun 1995 sampai 2005 sebagai dasawarsa masyarakat adat dunia. Hal di atas dilaksanakan mengingat hukum adat itu adalah hukum yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat, betapa sederhana dan kecilnya pun masyarakat itu tetap menjadi cerminnya. Hukum merupakan cermin dari pada masyarakat. Ini berarti bahwa hukum pidana Indonesia harus dapat mencerminkan perilaku bangsa Indonesia dan mampu mengidentifikasikan perilaku tersebut. Hukum tersebut haruslah dibangun berdasarkan realita dan konsep yang dihadapi dalam masyarakat Indonesia. Lazimnya di dalam masyarakat maka pada masyarakat hukum adatpun sering timbul keteganganketegangan sosial karena terjadi pelanggaran-pelanggaran adat oleh seseorang atau sekelompok warga masyarakat yang 97

bersangkutan. Keadaan seperti itu akan pulih kembali bilamana reaksi masyarakat yang berupa pemberian sanksi adat telah dilakukan atau dipenuhi oleh si pelanggar adat. Apabila dikatakan perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat maka ia harus diartikan lebih luas dari istilah On Recht Matigedaad sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang menyatakan setiap perbuatan melanggar hukum yang merugikan itu harus mengganti kerugian. Perbuatan melanggar hukum Kitab Undang-undang Hukum Perdata ini lebih sempit artinya dari pengertian perbuatan melanggar atau yang bertentangan dengan hukum adat. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa hukum adat adalah hukum yang menunjukkan peristiwa dan perbuatan yang harus diselesaikan (dihukum) dikarenakan peristiwa dan perbuatan itu telah mengganggu keseimbangan masyarakat. Jadi berbeda dengan hukum pidana barat yang menakankan peristiwa apa yang dapat diancam dengan hukuman serta macam apa hukumnya, dikarenakan peristiwa itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Pelanggaran-pelanggaran adat itu umumnya terjadi karena benturan-benturan dengan telah apa yang disepakati bersama, pelanggaran-pelanggaran ini ada yang bersifat pidana dan adapula yang tidak bersifat pidana. Terhadap pelanggaran-pelanggaran yang bersifat pidana maupun bukan 98

pidana penyelesaiannya dalam usaha mengembalikan keseimbangan kosmis yang terganggu tidak melalui proses peradilan sehingga bukan pidana yang dikenakan melainkan diserahkan kepada lembaga adat. Penjatuhan sanksi adat oleh lembaga adat selaku hakim perdamaian adat kepada si pelaku pada mulanya tidak menutup kemungkinan untuk menuntut si pelaku melalui proses peradilan namun kini telah terjadi pergeseran pandangan terhadap hal tersebut oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia. Sehubungan dengan ini Mahkamah Agung melalui putusannya Nomor : 1644K/Pid/1988 tertanggal 15 Mei 1991 tidak dapat menerima tuntutan Jaksa Penuntut Umum atas diri terdakwa yang melakukan delik adat, karena terdakwa sebelumnya telah dijatuhi sanksi adat oleh lembaga adat dan sanksi adat tersebut telah dilaksanakan oleh terdakwa. Dari putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tersebut di atas terlihat bahwa Mahkamah Agung sampai saat ini masih menghormati putusan/penetapan lembaga adat yang memberikan sanksi adat terhadap para pelanggar norma hukum adat. Badan peradilan umum tidak dapat dibenarkan mengadili untuk kedua kalinya si pelaku yang melanggar hukum adat tersebut, dengan cara memberikan hukum penjara. 99

Hal di atas dimaksudkan untuk menghindari adanya penjatuhan sanksi berganda terhadap si pelaku. Jadi terhadap pelaku yang melanggar hukum adat dan telah dijatuhi atau dikenakan sanksi adat oleh lembaga adat serta telah dilaksanakan oleh si pelaku, maka tidak dimungkinkan untuk diadakan penuntutan kembali di muka pengadilan. Tapi apabila lembaga adat tidak pernah menyelesaikan pelanggaran adat yang terjadi, terlebih lagi tidak pernah menjatuhkan sanksi adat kepada si pelaku, maka hakim pengadilan berwenang penuh mengadilinya. Hal di atas kita rasakan perlu mengingat hukum pidana kita dengan sanksinya berupa pidana dipandang sebagai Ultimatum Remedium (obat yang terakhir) maka penerapan sanksi adat sebagai sanksi alternatif harus dirasakan sebagai suatu kebutuhan di dalam kerangka sistem peradilan pidana. Masalah tersebut di atas telah disadari oleh Tim Pengkajian Rancangan Undang-undang Hukum Pidana dengan memasukkan konsep KUHP Buku I, satu jenis pidana tambahan yaitu berupa pemenuhan kewajiban adat. Bila jenis sanksi pemenuhan kewajiban adat ini nantinya dapat dipenuhi hendaknya diusahakan untuk tambahan sebagai instrumen reformasi dengan pendekatan manusiawi, namun sifat aslinya sebagai instrumen atau sarana tradisional untuk mengembalikan keseimbangan kosmis yang terganggu tetap 100

dipertahankan, dengan demikian sifat sanksi ini tidaklah bersifat pembalasan atas apa yang telah dilakukan oleh si pelaku. Salah satu bidang hukum yang kini serius ditangani untuk diperbaharui adalah hukum pidana, hal ini sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh UUD 1945 yang sudah diamandemen terutama pada Pasal 1 Aturan Peralihan yang berbunyi : Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini. Selanjutnya lagi bila kita kaji Pasal 1 KUHP mengenai asal legalitas maka latar belakang asas tersebut adalah untuk mencegah tindakan para hakim di masa sebelum melakukan delik arbitrair, dimana hakim dapat menjatuhi hukuman berdasarkan perasaan dan pandangannya sendiri, sehingga seseorang tidak terlindungi dari perbautan sewenang-wenang yang dilakukan oleh pihak lain. Tetapi dengan adanya asas tersebut maka keinginan hakim untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa tidak sepenuhnya dapat dilaksanakan, misalnya untuk dapat mengadakan dan mengambil keputusan berdasarkan hukum adat. Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili sesuatu perkara yang diajukan dengan alasan bahwa hukum tidak atau kurang jelas melainkan wajib untuk 101

memeriksa dan mengadilinya. Hal ini dikarenakan hakim sebagai organ pengadilan yang dianggap memahami hukum. Pencari keadilan datang padanya untuk mohon keadilan. Andaikata ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulis untuk memutus berdasarkan hukum sebagai seorang yang bijaksana dan bertanggung jawab penuh kepada Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, masyarakat, bangsa dan negara. Dalam konsep KUHP Nasional keberadaan hukum adat inipun diakui, hal ini terbukti dalam bunyi Pasal 1 ayat (3) yaitu ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup yang menentukan bahwa hukum adat setempat seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. Kemudian merupakan masalah Nasional yang dihadapi pemerintah ialah keluhan masyarakat disana-sini yang menghendaki agar hukum pidana yang sekarang berlaku dapat direvisi atau diganti yang baru oleh karena sifat hukum pidana sekarang ini warisan kolonial dan seharusnya kita sudah memiliki hukum pidana nasional yang sesuai dengan kepribadian Indonesia. Kalau kita lihat maka kesalahannya adalah karena tidak berangka dair landasan konstitusional UUD 1945 dan landasan idiil Pancasila. Hukum yang baik salah satunya 102

harus berurat berakar dari budaya yang ada di dalam masyarakat kita yang majemuk. Jika ini dipahami tidak terjadi pertentangan hukum. Berdasarkan hal-hal tersebut di ataslah penulis tertarik untuk mengangkatnya ke dalam tulisan yang berjudul Penyelesaian Pelanggaran Adat dan Relevansinya Dengan Pembaharuan Hukum Pidana. B. Permasalahan Berdasarkan pemikiran-pemikiran di atas, maka permasalahan yang penulis angkat ke permukaan adalah : Bagaimanakah relevansi masuknya konsep penyelesaian pelanggaran adat di dalam pembaharuan hukum pidana. C. Pembahasan Pembaharuan hukum pidana (KUHP) merupakan keharusan bagi bangsa Indonesia. Hal ini dikarenakan hukum-hukum yang ada di Indonesia ini kalau kita lihat sudah banyak yang ketinggalan zaman dan tidak sesuai lagi dengan kondisi saat ini. Oleh karena itu hukum pidana kita harus diganti, di samping ia sudah ketinggalan zaman, juga tidak banyak mengatur kejahatan-kejahatan yang ada pada dewasa ini serta penyelesaiannya terlampau lama dan memakan waktu. 103

Dari sudut kepentingan ideologi pembuatnya lebih dominan atau dalam perkataan lain KUHP yang diciptakan sendiri bisa dipandang sebagai lambang (simbol) dan merupakan suatu kebanggaan dari suatu negara yang telah merdeka dan melepaskan diri dari lingkungan penjajah politik. KUHP dari suatu negara yang dipaksakan untuk diperlakukan di suatu negara lain, bisa dipandang sebagai simbol dari penjajah oleh negara pembuat KUHP tersebut. Dari sudut sisologis jelas bahwa KUHP Nasional harus mencerminkan ideologi dan pandangan hidup bangsa Indonesia mengenai falsafah dan tujuan hukum pidana nasional. Hal tersebut berarti bahwa nilai-nilai sosial ataupun kultural bangsa seyogyanya tercermin dalam pengaturan hukum pidana. Nilai-nilai dan pandangan kolektif dalam masyarakat Indonesia mengenai apa yang dianggap baik dan tidak baik bisa dijadikan tolok ukur (parameter) untuk mengkriminalisasikan sesuatu perbuatan. Dari sudut praktis terasa janggal jika kita menerapkan suatu peraturan kepada seseorang yang melakukan suatu perbuatan tertentu berdasarkan teks yang tidak asli atau peraturan-peraturan yang merupakan terjemahan dari pihakpihak secara pribadi dan bukan terjemahan resmi dari pihak pemerintah, akibatnya terjemahan itu banyak membingungkan generasi muda. 104

Sedangkan dari sudut adaptif dengan merujuk kepada perkembangan dunia yang semakin global sifatnya. Perundang-undangan pidana nasional yang baru diharapkan mampu mengantisipasi perkembangan-perkembangan pada tingkat global mengenai kejahatan dan ikhtiar pencegahannya. Ternyata pembaharuan hukum pidana Indonesia tidak saja didasarkan pada alasan politik, alasan sosiologis, alasan praktis serta alasan adaptif tetapi juga didasarkan pada alasan pembangunan nasional. Kongres-kongres PBB sering menyatakan dan mensinyalir bahwa sistim hukum pidana yang ada selama ini di beberapa negara, yang sering berasal (diimpor) dari hukum asing semasa zaman kolonial, pada umumnya telah usang dan tidak adil serta sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kenyataan karena tidak berakar pada nilai-nilai budaya dan bahkan ada diskrepansi dengan aspirasi masyarakat serta tidak responsif terhadap kebutuhan sosial masa kini, kondisi mana dapat menjadi faktor kriminogen. Sejak Indonesia merdeka sampai sekarang memang sudah banyak yang telah diperbaharui di bidang hukum pidana, dengan direncanakannya pembaharuan hukum pidana material yaitu dengan telah disiapkannya konsep KUHP baru. Pada dasarnya pembaharuan hukum pidana diartikan sebagai suatu usaha atau cara untuk menggantikan hukum 105

pidana yang ada dengan hukum pidana yang lebih baik, yang sesuai dengan keadilan dan perkembangan. Ini berarti bahwa pembaharuan hukum pidana tidak dapat dilepaskan dari politik hukum pidana sebagai bagian dari politik hukum, yang mengandung arti bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan perundang-undangan pidana yang baik. Dilihat dari tujuannya, pembaharuan hukum pidana adalah bagian dari politik kriminal (dalam arti penal). Usaha penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana pada hakekatnya juga merupakan bagian dari usaha penegakan hukum (khususnya penegakan hukum pidana). Oleh karena itu sering pula dikatakan, bahwa politik atau kebijakan hukum pidana merupakan bagian pula dari kebijakan penegakan hukum (Law Enforcement Policy). Secara singkat dapat dikatakan bahwa pembaharuan hukum pidana pada hakekatnya harus ditempuh dengan pendekatan yang berorientasi pada kebijakan (Policy Oriented Approach) dan sekaligus pendekatan yang berorientasi pada nilai (Value Oriented Approach). Pembaharuan hukum pidana harus dilakukan dengan pendekatan kebijakan, karena memang pada hakekatnya ia hanya merupakan dari satu langkah kebijakan atau policy (yaitu bagian dari politik hukum / penegakan hukum, politik hukum pidana, politik kriminal dan politik sosial). Di dalam 106

setiap kebijakan (policy) terkandung pula pertimbangan nilai, oleh karena itu pembaharuan hukum pidana harus pula berorientasi pada pendekatan nilai. Dengan demikian dalam rangka pembaharuan hukum pidana, maka untuk berlakunya hukum tersebut setidaktidaknya dapat dilihat dari tiga aspek yang berkaitan satu sama lain (relevansi) yaitu : 1. Relevansi Yuridis Suatu peraturan hukum yang akan ditetapkan di masyarakat itu haruslah merupakan peraturan yang telah ditetapkan oleh lembaga yang berwenang (legislatif) dan kalau bisa sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Suatu kaidah hukum dikatakan mempunyai relevansi yuridis apabila didasarkan pada hirarki norma hukum yang tingkatannya lebih tinggi atau apabila kaidah hukum tersebut dibentuk menurut cara yang telah ditetapkan. Kemungkinan untuk memberlakukan hukum adat sebagai bahan pembentukan hukum Nasional. Sesungguhnya didukung oleh landasan yuridis yang cukup kuat terutama berdasarkan Pasal 32 (1) dan Pasal 1 Aturan Peralihan UUD 1945 yang telah diamandemen. Pasal 32 (1) UUD 1945 tersebut berbunyi : Negara memajukan kebudayaan Nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat 107

dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya. Selanjutnya Pasal 1 Aturan Peralihan berbunyi : Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang- Undang Dasar ini. Selain peraturan di atas pengakuan terhadap hukum adat sebagai dasar pembentukan hukum pidana nasional dapat juga kita temui di dalam Pasal 2 Rancangan KUHP 1997/1998. Dalam penjelasannya mengenai Pasal 80 rancangan, pembuat rancangan menyatakan pidana tambahan ini hanya dapat dijatuhkan apabila secara nyata keadaan setempat menghendaki hal yang demikian itu (pemenuhan kewajiban adat) dan apabila ini tidak dilakukan akan timbul kegoncangan yang serius pada masyarakat setempat. 2. Relevansi Sosiologis Relevansi sosiologis ini dibutuhkan untuk melihat dan menilai sejauh mana tanggapan masyarakat tentang rencana akan diberlakukannya hukum pidana nasional yang baru. Oleh karena itu hukum yang akan diperlakukan harus sesuai dengan aspirasi masyarakat, apalagi itu hukum adat yang juga disebut hukum asli, ia lahir dari bawah atau dari masyarakat adatnya yang sesuai dengan kepentingannya pula. 108

Berkenaan dengan hukum adat yang telah mendapat tempat secara legal formal dalam hukum positif Indonesia, di kalangan masyarakat diakui sebagai hukum yang hidup dan berlaku. 3. Relevansi Filosofis Seperti dimaklumi, tolok ukur praktis mengenai berlakunya suatu hukum di Indonesia tidak lain adalah Pancasila. Pancasila sebagai ideologi negara menyatakan bahwa kelima sila yang ada merupakan prinsip dasar serta pedoman bagi bangsa Indonesia. Kelima sila Pancasila meliputi sila ke-tuhanan Yang Maha Esa, sila kemanusiaan yang adil dan beradab, sila persatuan Indonesia, sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam pemusyawaratan /perwakilan dan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. D. Penutup 1. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai berikut : Kemungkinan masuknya konsep hukum adat dalam rancangan KUHP sesungguhnya sangat relevan dalam usaha 109

pembaharuan hukum pidana baik ditinjau dari perspektif yuridis, sosiologis maupun filosofis. Secara yuridis konstitusional, tidak ada hambatan sedikitpun untuk menjadikan hukum adat sebagai sumber pembentukan KUHP Nasional, bahkan dalam konstitusi Republik Indonesia yaitu UUD 1945 yang sudah diamandemenpun mendukung untuk itu, apalagi dilihat dari sudut sosiologis dari teori pengakuan dan teori kekuasaan relevansi hukum adat sebagai sumber pembentukan KUHP Nasional sudah merupakan kehendak rakyat dan pemerintah. Begitupun secara filosofis hukum adat sangat kuat untuk dijadikan sumber bagi pembaharuan hukum pidana Nasional mengingat penetapan hukum pidana di masa mendatang harus disesuaikan dengan nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila (Cita Hukum Pancasila Recht Idee). 2. Saran Sebagai implikasi konsepsional maupun praktis hasil penelitian di atas, dapatlah disarankan atau direkomendasikan hal-hal sebagai berikut : Hendaknya perdamaian adat ini dapat dijadikan pedoman bagi pembaharuan hukum pidana di masa mendatang mengingat dengan perdamaian adat suatu perkara dapat diselesaikan secara rukun dan damai, berbeda halnya dengan perdamaian adat dalam hukum pidana yang bahkan 110

menimbulkan tindak pidana baru. Hendaknya di tengah segala keterbatasan yang ada perlu kembali dihidupkan nilainilai luhur adat budaya Indonesia mengingat masyarakat yang sehat hanya dapat diciptakan oleh manusia-manusia yang berjiwa sehat dan manusia yang tidak kehilangan nilai-nilai moralitas, tidak melupakan sejarah dan akar budayanya. E. Daftar Pustaka Abdurrachman, 1979, Aneka Masalah Hukum Dalam Pembangunan di Indonesia, Alumni, Bandung. Barda Nawawi Arief, 1990, Kebijakan Legislatif Dalam Penanggulangan Kejahatan Dengan Pidana Penjara, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang., 1994, Beberapa Aspek Pengembangan Ilmu Hukum Pidana (Menyongsong Generasi Baru Hukum Pidana Indonesia), Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Fakultas Hukum UNDIP, Semarang., 1994, Permasalahan Hukum Adat Dalam Pembangunan Hukum di Indonesia, Makalah Forum Komunikasi Penelitian Bidang Hukum UNDIP, Semarang., 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung., 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya, Bandung. Benny K., Harman, 2000, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Yayasan LBH Indonesia, Jakarta. Boediono Kusuma Hamijoyo, 2000, Kebhinekaan Masyarakat di Indonesia, Gramedia Widya Sarana Indonesia, Jakarta. BPHN, 1996, Simposium Pembaharuan Hukum Pidana Nasional, Bina Cipta, Bandung. 111

Bushar Muhammad, 1983, Pokok-pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta. Frans Magnis Suseno, 1994, Etika Politik Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Gramedia, Jakarta. 112