BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III PELAKSANAAN PENELITIAN

BAB III PENGOLAHAN DATA ALOS PRISM

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1. BAB I PENDAHULUAN PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II DASAR TEORI. 2.1 DEM (Digital elevation Model) Definisi DEM

KOREKSI GEOMETRIK. Tujuan :

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

PENGUKURAN GROUND CONTROL POINT UNTUK CITRA SATELIT CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI DENGAN METODE GPS PPP

Analisa Ketelitian Geometric Citra Pleiades Sebagai Penunjang Peta Dasar RDTR (Studi Kasus: Wilayah Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur)

Analisis Ketelitian Objek pada Peta Citra Quickbird RS 0,68 m dan Ikonos RS 1,0 m

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

PERANAN CITRA SATELIT ALOS UNTUK BERBAGAI APLIKASI TEKNIK GEODESI DAN GEOMATIKA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar belakang

PEMANFAATAN INTERFEROMETRIC SYNTHETIC APERTURE RADAR (InSAR) UNTUK PEMODELAN 3D (DSM, DEM, DAN DTM)

PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

LAPORAN PRAKTIKUM MATA KULIAH PENGOLAHAN CITRA DIGITAL

BAB III TEKNOLOGI LIDAR DALAM PEKERJAAN EKSPLORASI TAMBANG BATUBARA

BAB III APLIKASI PEMANFAATAN BAND YANG BERBEDA PADA INSAR

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1B untuk Pembuatan Peta Desa (Studi Kasus: Kelurahan Wonorejo, Surabaya)

BAB II DASAR TEORI 2. 1 Fotogrametri

Isfandiar M. Baihaqi

ACARA IV KOREKSI GEOMETRIK

3.3.2 Perencanaan Jalur Terbang Perencanaan Pemotretan Condong Perencanaan Penerbangan Tahap Akuisisi Data...

EKSTRAKSI GARIS PANTAI MENGGUNAKAN HYPSOGRAPHY TOOLS

BAB 3 PERBANDINGAN GEOMETRI DATA OBJEK TIGA DIMENSI

BAB V TINJAUAN MENGENAI DATA AIRBORNE LIDAR

BAB I PENDAHULUAN I.1

Mekanisme Persetujuan Peta untuk RDTR. Isfandiar M. Baihaqi Diastarini Pusat Pemetaan Tata Ruang dan Atlas Badan Informasi Geospasial

METODOLOGI. Gambar 4. Peta Lokasi Penelitian

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

BAB III METODA. Gambar 3.1 Intensitas total yang diterima sensor radar (dimodifikasi dari GlobeSAR, 2002)

SISTEM INFORMASI GEOGRAFI. Data spasial direpresentasikan di dalam basis data sebagai vektor atau raster.

BAB III PENGOLAHAN DATA. Pada bab ini akan dibahas tentang aplikasi dan pelaksanaan penelitian yang dilakukan dalam tugas akhir ini.

APLIKASI CLOSE RANGE PHOTOGRAMMETRY UNTUK PERHITUNGAN VOLUME OBJEK

ANALISIS KETINGGIAN MODEL PERMUKAAN DIGITAL PADA DATA LiDAR (LIGHT DETECTION AND RANGING) (Studi Kasus: Sei Mangkei, Sumatera Utara)

Bab IV Analisa dan Pembahasan. Dalam bab ini akan dikemukakan mengenai analisa dari materi penelitian secara menyeluruh.

REVIEW HASIL CEK LAPANGAN PEMETAAN RUPABUMI INDONESIA (RBI) SKALA 1:25

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang memiliki wilayah yang sangat luas, kekayaan alam yang

Analisis Ketelitian Geometric Citra Pleiades 1A untuk Pembuatan Peta Dasar Lahan Pertanian (Studi Kasus: Kecamatan Socah, Kabupaten Bangkalan)

KAJIAN KETELITIAN KOREKSI GEOMETRIK DATA SPOT-4 NADIR LEVEL 2 A STUDI KASUS: NUSA TENGGARA TIMUR

BAB IV ANALISIS. Ditorsi radial jarak radial (r)

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB IV PENGOLAHAN DATA

III. BAHAN DAN METODE

5. PEMBAHASAN 5.1 Koreksi Radiometrik

Pengertian Sistem Informasi Geografis

BAB III METODE PENELITIAN

INFORMASI GEOGRAFIS DAN INFORMASI KERUANGAN

2. TINJAUAN PUSTAKA Pemanfaatan Citra Satelit Untuk Pemetaan Perairan Dangkal

BAB IV. Ringkasan Modul:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

Citra Satelit IKONOS

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

IV.1. Analisis Karakteristik Peta Blok

PENGGUNAAN CITRA SATELIT RESOLUSI TINGGI UNTUK PEMBUATAN PETA DASAR SKALA 1:5.000 KECAMATAN NGADIROJO, KABUPATEN PACITAN

PENGEMBANGAN MODEL KOREKSI GEOMETRI ORTHO LANDSAT UNTUK PEMETAAN PENUTUP LAHAN WILAYAH INDONESIA

PERATURAN KEPALA BADAN INFORMASI GEOSPASIAL NOMOR 15 TAHUN 2014 TENTANG PEDOMAN TEKNIS KETELITIAN PETA DASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA,

BAB 2 STUDI REFERENSI. Gambar 2-1 Kamera non-metrik (Butler, Westlake, & Britton, 2011)

MODUL 2 REGISTER DAN DIGITASI PETA

Pengukuran Kekotaan. Lecture Note: by Sri Rezki Artini, ST., M.Eng. Geomatic Engineering Study Program Dept. Of Geodetic Engineering

BAB II DASAR TEORI. Tabel 2.1 Jenis Peta menurut Skala. Secara umum, dasar pembuatan peta dapat dinyatakan seperti Gambar 2.1

SISTEM INFORMASI SUMBER DAYA LAHAN

III. METODOLOGIPENELITIAN Waktu dan Tempat. Penelitian ini telah dilakukan tepatnya pada Agustus 2008, namun penyusunan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 3 PENGOLAHAN DATA

BAB VII ANALISIS. Airborne LIDAR adalah survey untuk mendapatkan posisi tiga dimensi dari suatu titik

PROSEDUR OPERASIONAL STANDAR PENGELOLAAN DATA DAN INFORMASI GEOSPASIAL INFRASTRUKTUR

TUTORIAL TEKNIK PENENTUAN SUDUT MATAHARI PADA CITRA SATELIT MENGGUNAKAN SOFTWARE ENVI

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

PEMBUATAN MODEL ELEVASI DIGITAL DARI STEREOPLOTTING INTERAKTIF FOTO UDARA FORMAT SEDANG DENGAN KAMERA DIGICAM

Evaluasi Ketelitian Luas Bidang Tanah Dalam Pengembangan Sistem Informasi Pertanahan

REKONSTRUKSI/RESTORASI REKONSTRUKSI/RESTORASI. Minggu 9: TAHAPAN ANALISIS CITRA. 1. Rekonstruksi (Destripe) SLC (Scan Line Corrector) off

III. BAHAN DAN METODE

Bab III Pelaksanaan Penelitian

Bab I Pendahuluan I.1. Latar belakang

ANALISIS KOREKSI GEOMETRIK MENGGUNAKAN METODE DIRECT GEOREFERENCING PADA CITRA SATELIT ALOS DAN FORMOSAT-2

BAB III METODOLOGI 3.1 Waktu dan Tempat 3.2 Alat dan Data 3.3 Tahapan Pelaksanaan

JURNAL TEKNIK ITS Vol. 5, No. 2, (2016) ISSN: ( Print)

II.1. Persiapan II.1.1. Lokasi Penelitian II.1.2. Persiapan Peralatan Penelitian II.1.3. Bahan Penelitian II.1.4.

III. METODE PENELITIAN. berlokasi di kawasan Taman Nasional Way Kambas. Taman Nasional Way

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. DEM ( Digital Elevation Model

BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1. Sistem Remote Sensing (Penginderaan Jauh)

Bab IV ANALISIS. 4.1 Hasil Revisi Analisis hasil revisi Permendagri no 1 tahun 2006 terdiri dari 2 pasal, sebagai berikut:

Noorlaila Hayati, Dr. Ir. M. Taufik Program Studi Teknik Geomatika, FTSP-ITS, Surabaya, 60111, Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Latar belakang

q Tujuan dari kegiatan ini diperolehnya peta penggunaan lahan yang up-to date Alat dan Bahan :

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. bentuk spasial yang diwujudkan dalam simbol-simbol berupa titik, garis, area, dan

III. BAHAN DAN METODE

Analisa Ketelitian Planimetris Citra Quickbird Guna Menunjang Kegiatan Administrasi Pertanahan (Studi Kasus: Kabupaten Gresik, 7 Desa Prona)

KAJIAN PROSEDUR PEMBUATAN AUTOMATIC DEM (DIGITAL ELEVATION MODEL) MENGGUNAKAN CITRA SATELIT PLEIADES (STUDI KASUS KOTA BANDUNG JAWA BARAT)

PEMBUATAN MODEL ELEVASI DIGITAL DARI STEREOPLOTTING INTERAKTIF FOTO UDARA FORMAT SEDANG DENGAN KAMERA DIGICAM

Bab II Tinjauan Pustaka

K NSEP E P D A D SA S R

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

STEREOSKOPIS PARALAKS

Gambar 1. prinsip proyeksi dari bidang lengkung muka bumi ke bidang datar kertas

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Model Elevasi Digital (DEM) merupakan data spasial yang menyatakan bentuk topografi suatu wilayah, umumnya digunakan untuk manajemen penggunaan lahan, pembangunan infrastruktur, kebencanaan dan pertahanan. Pada bidang geodesi dan geomatika, DEM dapat digunakan untuk pembuatan peta topografi, pembuatan citra orto, pembuatan garis kontur, perhitungan volume tanah dan sistem informasi geografis tiga dimensi (3D). Data spasial ini dipilih sebagai pertimbangan untuk pengambilan keputusan karena DEM menyediakan informasi ketinggian sehingga dapat merepresentasikan bentuk permukaan bumi maupun topografi bumi 3D. Untuk memperoleh DEM, dapat dilakukan ekstraksi dari peta yang sudah ada, pengukuran terestris, fotogrametri, Light Detection and Ranging (LIDAR), ekstraksi dari citra satelit radar dan citra satelit optis. Citra satelit optis yang mendukung dalam pembuatan DEM adalah citra yang stereo dimana citra satu dengan citra lainnya memiliki wilayah yang saling tumpang tindih/overlap dengan sudut pandang yang berbeda. Hingga saat ini, ekstraksi dari citra satelit umum digunakan dalam pembuatan DEM yang membutuhkan waktu yang lebih singkat, data yang up to date, jangkauan area pemetaan yang luas dan biaya yang lebih efisien ketimbang menggunakan metode yang lain dalam pembuatan DEM. Citra satelit radar seperti Interferometric Syntethic Aperture Radar (IFSAR) dan Shuttle Radar Topographic Mission (SRTM) menyediakan DEM global dengan jangkauan area yang luas. DEM lebih akurat dari citra resolusi tinggi sangat dibutuhkan untuk perapatan produksi dari DEM global dan pemenuhan kebutuhan, salah satunya citra satelit WorldView-1. Citra satelit WorldView-1 memiliki resolusi spasial sebesar 0,5 m dan dapat merekam permukaan bumi secara stereo pada satu jalur orbit perekaman (along-track stereoscopy). Penelitian ini mencoba melakukan analisis akurasi DEM WorldView-1. Selain itu, penelitian ini bermaksud menghitung nilai akurasi DEM dengan 1

2 membandingkannya terhadap data spasial yang dianggap memiliki nilai yang benar/teliti, yaitu peta rupa bumi yang telah diproduksi badan pemetaan negara. DEM ini perlu diketahui sejauh mana keakuratannya dalam merepresentasikan permukaan bumi agar penggunaan DEM sesuai dengan kebutuhan pengguna. Akurasi DEM citra satelit yang telah diketahui dapat meningkatkan perkembangan teknologi di masa mendatang untuk melahirkan inovasi-inovasi baru dalam meningkatkan keakuratan DEM dalam menyajikan data spasial yang teliti, cepat dan ekonomis. I.2. Rumusan Masalah Ketersediaan data DEM lokal masih terbatas untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Teknologi citra satelit beresolusi tinggi dapat menjadi solusi dalam memenuhi kebutuhan DEM. DEM dapat diperoleh salah satunya menggunakan teknologi penginderaan jauh berupa citra stereo dari satelit WorldView-1 secara cepat, up to date dan jangkauan area yang luas. Namun, DEM citra satelit WorldView-1 perlu diuji akurasinya dalam memproduksi peta dengan skala terbesar yang dapat dicapai. I.3. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan penelitian dihasilkan dari rumusan masalah yang terdapat di dalam penelitian. Berikut ini adalah pertanyaan-pertanyaan penelitian, yaitu: 1. Bagaimana nilai akurasi DEM dari hasil proses stereo-matching citra satelit WorldView-1? 2. Berapa skala peta terbaik yang dapat dibuat dari DEM citra satelit WorldView-1? I.4. Batasan Masalah Batasan masalah digunakan untuk efektivitas waktu dan ruang lingkup penelitian. Berikut ini adalah batasan-batasan masalah yang akan ditetapkan di dalam penelitian ini, yaitu:

3 1. Peta yang digunakan sebagai data pembanding adalah peta Rupa Bumi Indonesia (RBI) skala 1:5.000 sebanyak satu scene. 2. Cakupan wilayah DEM hasil ekstraksi sebesar 3.000 m x 3.000 m atau sama dengan luas satu scene peta RBI skala 1:5.000. 3. Proses ekstraksi dilakukan secara otomatis menggunakan stereo-matching dengan titik kontrol yang ditetapkan secara manual pada citra. I.5. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis akurasi DEM hasil ekstraksi citra satelit WorldView-1 dengan metode stereo-matching. Penyajian dilakukan dengan cara membandingkan terhadap DEM hasil ekstraksi peta RBI skala 1:5.000 yang dianggap benar/teliti. I.6. Manfaat penelitian Penelitian ini memberikan informasi akurasi DEM citra satelit WorldView-1. DEM yang sudah diketahui nilai akurasinya ini bermanfaat dalam pembuatan peta menurut kebutuhan ketelitian tertentu, misal pembuatan peta untuk mengatur rencana tata ruang wilayah, penggunaan lahan, pembangunan infrastruktur, manajemen lingkungan dan pembuatan peta untuk kebencanaan. I.7. Tinjauan Pustaka Satelit WorldView-1 telah melakukan banyak pemetaan akurasi tinggi menggunakan citra satelit resolusi tinggi yang dihasilkannya, dengan atau tanpa menggunakan Ground Control Point (GCP). Kemampuan stereo dari sensor satelit WorldView-1 juga memberikan pilihan untuk mengambil Digital Elevation Model (DEM) beresolusi tinggi. DEM dari citra satelit WorldView-1 menggunakan metode along-track stereoscopy, yaitu menggunakan sensor yang diarahkan ke depan dan ke belakang dalam satu orbit yang sama dengan posisi yang berdekatan. Data stereo yang direkam

4 sepanjang orbit memiliki keuntungan yang kuat dalam hal variasi radiometrik (Cheng, 2008). Satelit yang mampu memproduksi secara along-track stereoscopy ini yaitu JERS-1 Optical Sensor (OPS), Modular Opto-Electronic Multi-Spectral Stereo Scanner (MOMS) Jerman, ASTER, IKONOS, QuickBird, OrbitView, SPOT-5, Formosat II, Cartosat, dan tambahan terbaru dari DigitalGlobe yaitu satelit WorldView-1. Tes yang dilakukan Cheng dan Chaapel (2008) di El Paso, Texas, memperoleh data stereo dari perekaman sensor satelit yang dimiringkan sebesar 2,2 ke depan dan -27,7 ke belakang. Daerah ini memiliki variasi ketinggian 1.100 m sampai 1.200 m didominasi dengan kawasan pemukiman. Data citra terpecah menjadi dua bagian, citra depan dan citra belakang. Kapasitas penyimpanan untuk citra setelah penggabungan sebesar 3,0 Gigabytes (Gb). Gambar I.1 menunjukkan citra depan dan belakang kawasan El Paso. (a) (b) Gambar I.1. Citra depan (a) dan citra belakang (b) (Cheng dan Chaapel, 2008) Dalam penelitian di El Paso, ada dua kasus yang diuji. Kasus pertama, tidak ada GCP dan mengumpulkan 18 tie point, Kasus kedua, satu GCP dan 17 tie point. Tabel I.1 menunjukkan ringkasan dari akurasi model Rational Polynomial Coefficient (RPC). Kesalahan Root Mean Square (RMS) dari tie point untuk kedua citra sebesar 1,0 m ketika hanya menggunakan satu GCP dari masing-masing citra.

5 Tabel I.1. Hasil akurasi model RPC El Paso (Cheng dan Chaapel, 2008) Citra Nomor Nomor Tie point RMS error Tie point max error GCP tie point X Y X Y Depan 0 18 0,4 2,4 0,2 3,0 1 17 0,5 0,5 0,6 0,9 Belakang 0 18 0,5 1,1 1,0 2,1 1 17 0,7 1,0 1,2 2,0 DEM dihasilkan secara otomatis pada jarak 1,0 m dari pasangan citra stereo. Selanjutnya, hasil DEM dibandingkan dengan elevasi tie point. Gambar I.2 menunjukkan DEM yang diekstrak dari citra satelit WorldView-1 dan DEM Shuttle Radar Topography Mission (SRTM) 90 m dengan daerah yang sama. (a) (b) Gambar I.2. DEM WorldView-1 (a) dan DEM SRTM (b) (Cheng dan Chaapel, 2008) DEM diekstrak secara otomatis dengan resolusi sebesar 1,0 m. Selanjutnya, DEM dibandingkan dengan beberapa titik cek (check point) yang berlokasi di tanah yang memiliki nilai ketinggian/elevasi. Root Mean Square vertikal (RMSz) yang dimiliki DEM dengan tanpa GCP berkisar antara 5,2 m sampai dengan 7,3 m. RMSz yang dimiliki DEM dengan menggunakan GCP berkisar antara 0,9 m sampai dengan 2,3 m. Akurasi vertikal DEM dengan menggunakan GCP berkisar antara 1,48 m sampai dengan 3,79 m, sehingga memenuhi kebutuhan peta skala 1:5.000 sampai dengan 1:10.000 (BIG, 2014).

6 Penelitian yang dilakukan oleh Amhar dan Ferdiansyah (2007) adalah perbandingan DEM dari peta RBI, IFSAR dan SRTM untuk mengetahui akurasi DEM peta RBI dan DEM SRTM terhadap DEM IFSAR. DEM global yang berasal dari SRTM memiliki resolusi spasial sebesar 90 m dan akurasi ketinggian 16 m. Meskipun memiliki spesifikasi di bawah IFSAR, teknologi SRTM sangat murah. DEM dari peta RBI dianggap kadaluarsa atau tidak pada waktu yang terbaru. Hipotesis pada penelitian ini adalah bila selisih akurasi DEM IFSAR-RBI dan DEM IFSAR-SRTM dapat ditoleransi untuk skala 1:50.000 (yaitu 2/5 jarak kontur, sedang jarak kontur adalah 25 m, jadi 10 m), maka cukup menggunakan data SRTM (Amhar dan Ferdiansyah, 2007). DEM IFSAR dianggap sebagai referensi yang memiliki akurasi yang paling tinggi di antara DEM RBI dan DEM SRTM. Area penelitian Amhar dan Ferdiansyah berada di wilayah Sulawesi dengan nomor lembar peta 2014-31 dan 2014-32. DEM yang dihasilkan dari IFSAR dan SRTM merupakan Model Permukaan Digital (DSM). DEM RBI merupakan Model Terain Digital (DTM). Peta RBI tersebut dibuat dari foto udara tahun 1987. Titik uji dibuat sebanyak 130 titik yang ditentukan secara acak dan terdistribusi baik. Setelah itu, data ketinggian pada DEM IFSAR-RBI dan DEM IFSAR-SRTM dicari selisih absolutnya. Perbandingan nilai ketinggian antara DEM IFSAR-RBI sebesar 35% titik yang memiliki selisih ketinggian 10 m. Perbandingan nilai ketinggian DEM IFSAR-SRTM memiliki 62% titik atau sejumlah 80 titik yang memiliki selisih ketinggian hingga 10 m. Perbandingan DEM SRTM-RBI menunjukkan sebanyak 32% titik memiliki selisih ketinggian kurang dari 10 m. Amhar dan Ferdiansyah (2007) menyatakan bahwa pada pemetaan skala 1:250.000 dengan interval kontur 100 m dan akurasi vertikal 40 m, maka penggunaan data IFSAR atau SRTM tidak akan menghasilkan perbedaan yang cukup signifikan. I.8. Landasan Teori Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori-teori yang terkait dengan DEM citra satelit WorldView-1. Teori yang menjadi landasan dalam penelitian ini meliputi citra satelit WorldView-1, geometri pencitraan stereo, registrasi

7 citra, paralaks untuk perhitungan tinggi, Model Elevasi Digital, statistika dan hubungan akurasi terhadap skala peta. I.8.1. Citra Satelit WorldView-1 Satelit WorldView-1 diluncurkan pada 18 September 2007. Satelit ini beroperasi pada ketinggian 496 km dan waktu lintas ulang satelit ini rata-rata 1,7 hari sehingga mampu mengumpulkan citra dengan total area rekaman rata-rata 1,3 juta km² per hari (DigitalGlobe, 2013). Satelit ini juga dilengkapi dengan kemampuan akurasi pada geolokasi, kecepatan dalam penargetan dan sangat efisien dalam koleksi track stereo. Citra yang dihasilkan memiliki kapasitas yang tinggi dan sistem pencitraan pankromatik dengan resolusi 0,5 m. Gambar I.3. Citra satelit WorldView-1 (Cheng dan Chaapel, 2008) Satelit WorldView-1 dapat merekam secara stereo untuk menghasilkan citra stereo dengan luas area maksimal 51 x 112 km. Perekaman stereo tersebut menghasilkan tiga pasangan citra stereo. Pada Gambar I.4, satelit WorldView-1 memiliki berbagai skenario perekaman satelit untuk menghasilkan citra sesuai kebutuhan pengguna.

8 Gambar I.4. Skenario perekaman satelit WorldView-1 (DigitalGlobe, 2013) Citra 1 Citra 2 Gambar I.5. Scene stereo satelit WorldView-1 (Poli, Wolff dan Gruen, 2008) Gambar I.5 menjelaskan scene stereo hasil perekaman sensor satelit WorldView- 1 secara along-track stereoscopy. Beberapa informasi yang terkait dengan karakreristik berupa desain serta spesifikasi dan produk dari satelit WorldView-1 dapat dilihat pada Tabel I.2 dan Tabel I.3 di bawah ini.

9 Tabel I.2. Karakteristik satelit WorldView-1 (DigitalGlobe, 2013) Karakteristik Keterangan Peluncuran Tanggal: 18 September 2007 Pesawat peluncuran: Delta 7920 (9 strap-ons) Stasiun peluncuran: Vandenberg Air Force Base, California Orbit Ketinggian: 496 km Tipe: Sun synchronous, 10:30 am descending node Periode: 95 menit Band sensor Pankromatik 400-900 nm Resolusi sensor 50 cm Ground Sample Distance (GSD) at nadir 55 cm GSD di 20º off-nadir Lebar sapuan 17,7 km at nadir Akurasi pointing Kurang dari 500 m pada citra awal dan akhir Kemampuan penargetan 200 km selama 10 detik Pengumpulan area Mono: 111 x 112 km (6 strips) berdekatan dalam satu jalur Stereo: 51 x 112 km (3 pairs) Frekuensi rotasi 1,7 hari pada 1,0 m GSD 5,4 hari pada 0,55 m GSD Akurasi geolokasi Akurasi horizontal (CE90) kurang dari 4,0 m tanpa menggunakan titik control pada citra Kapasitas 1,3 juta km² per hari Tabel I.3. Produk dari satelit WorldView-1 (DigitalGlobe, 2013) Produk Akurasi Geolokasi CE90/LE90 (m) RMSE (m) NMAS Basic 5,0 2,3 - Basic Stereo Pair 5,0/5,0 2,3 - Standard 5,0 2,3 - Ortho Ready Standard 5,0 2,3 - Ortho Ready Stereo 5,0/5,0 3,3 - Advanced Ortho Series Precision 4,2 2,0 1:5.000 Advanced Ortho Series Mapping 10,2 4,8 1:12.000 Advanced Ortho Series Display 25,4 11,8 1:50.000 Akurasi geolokasi adalah ketelitian posisi horizontal dan vertikal pada citra sesuai posisi sebenarnya di lapangan/real world. Akurasi horizontal dinyatakan dalam Circular Error 90% (CE90) sedangkan akurasi vertikal dinyatakan dalam Linear

10 Error 90% (LE90). CE90 dan LE90 menerangkan bahwa sebanyak 90% titik pada citra memiliki kesalahan tidak lebih dari nilai akurasi. Gambar I.6 menjelaskan akurasi horizontal (CE90) sebesar 4,0 m pada citra satelit WorldView-1. Paling sedikit sebanyak 90% titik pada citra memiliki kesalahan horizontal kurang dari 4,0 m. Gambar I.6. Akurasi geolokasi citra satelit WorldView-1 (DigitalGlobe, 2013) I.8.2. Geometri Pencitraan Stereo Citra stereo adalah sekumpulan citra dengan titik principal yang terlihat di kedua sensor dengan sudut pandang yang berbeda sehingga menimbulkan sepasang titik yang disebut pasangan konjugasi. Karena dua pengamatan berasal dari posisi yang berbeda, citra stereo dapat direkonstruksi menjadi tampilan 3D. Citra stereo digunakan untuk menggambarkan persepsi elevasi pada ekstraksi DEM. Jacobsen (2003) menyatakan dalam ekstraksi DEM dengan citra optik, memerlukan dua atau lebih gambar yang menunjukkan daerah yang sama dari arah yang berbeda. Pusat proyeksi harus diketahui dalam sebuah sistem koordinat. Citra stereo diperoleh dari beberapa cara perekaman sesuai geometri sapuan satelit di tiap orbitnya, salah satunya stereo dari orbit satelit yang sama (along track). Contoh satelit yang merekam secara along track adalah satelit WorldView-1 seperti yang ditunjukkan pada Gambar I.7. Satelit yang mengorbit harus stabil dan bebas dari efek atmoster. Sistem sensor satelit harus dapat diarahkan untuk menghasilkan citracitra dengan sudut pandang yang berbeda sehingga memaksimalkan area overlap yang dituju.

11 Satelit Orbit Gambar I.7. Perekaman stereo satelit WorldView-1 (Jacobsen, 2003) Pasangan citra satelit stereo menghasilkan suatu citra yang digunakan dalam rekonstruksi 3D. Citra epipolar adalah citra yang menggunakan geometri epipolar dalam merekonstruksi obyek 3D dari citra 2D. Geometri epipolar merupakan teknik penyesuaian geometri yang menghubungkan titik-titik 3D yang diamati dengan proyeksi 2D, antara dua citra yang direkam dari dua posisi sensor kamera yang berbeda (Rachmawati, Hidayat dan Wibirama, 2012). I.8.3. Registrasi Citra Registrasi citra/register merupakan metode koreksi geometrik yang ada pada citra. Citra yang dihasilkan langsung dari satelit penginderaan jauh masih memiliki kesalahan yang mempengaruhi geometrik citra. Sumber kesalahan geometrik citra adalah kesalahan instrumen, distorsi panoramatik, perputaran bumi dan ketidakstabilan peralatan termasuk di dalamnya variasi ketinggian dan perilaku (Djurdjani dan Kartini, 2004). Informasi dari citra satelit agar dapat menghasilkan peta dan penggabungan dengan data spasial lain perlu dikakukan registrasi citra. Registrasi citra adalah melakukan penyamaan skala pada citra dengan menggunakan titik-titik kontrol yang memiliki sistem koordinat (registrasi citra ke peta) atau menggunakan citra lain yang telah dilakukan geometrik (registrasi citra ke citra). Titik kontrol memiliki koordinat tanah yang didapatkan dari peta topografi atau pengukuran langsung di lapangan menggunakan GPS/teodolit/alat survei lainnya. Titik kontrol dipilih di lokasi terbuka atau yang berhimpit dengan tanah/ground dan terlihat jelas di citra. Koordinat titik kontrol menggunakan sistem koordinat 2-D

12 (planimetris/x, Y) atau 3D (X, Y, Z). Untuk kebutuhan ekstraksi DEM dari citra satelit, memerlukan titik kontrol yang memiliki sistem koordinat planimetris(x, Y) dan tinggi (Z). Dua jenis titik kontrol citra yang digunakan dalam proses ekstraksi DEM adalah Ground Control Point (GCP) dan tie point. GCP memiliki koordinat 3D dalam sistem proyeksi tertentu, misalnya Polieder, Mercator atau Transverse Mercator. GCP diletakkan di dalam citra sesuai lokasinya di lapangan. Registrasi citra menggunakan GCP merupakan metode registrasi citra ke peta. Tie point merupakan titik ikat antara citra satu dengan citra lainnya. Fungsi tie point adalah memperbaiki geometri citra dengan distribusi yang lebih rapat dan teratur karena penempatan tie point pada citra sangat fleksibel/hanya menentukan lokasi yang sama di antara kedua citra. Registrasi citra menggunakan tie point merupakan metode registrasi citra ke citra. Root Mean Square (RMS) adalah besar kesalahan sistematik pada proses registrasi citra. Kesalahan RMS bersumber dari kesalahan pengukuran titik kontrol di peta atau di lapangan dan kesalahan dari penempatan titik kontrol (GCP dan tie point) pada citra. Kesalahan RMS pasti ada di dalam registrasi citra, namun besar kesalahan tersebut harus lebih kecil dari toleransi yang ditentukan. Besar toleransi RMS mengacu pada standar ketelitian planimetrik Badan Pertanahan Nasional (BPN) seperti yang dijelaskan pada Rumus I.1 (BPN, 1997). Toleransi RMS = 0,3 mm faktor skala........(i.1) I.8.4. Rational Polynomial Coefficient Satelit WorldView-1 menggunakan sensor optis dalam melakukan pencitraan. Sifat-sifat fisis sensor disimpan dalam suatu model yang dinamakan Rigorous Camera Model (RCM). Gambar I.8 menjelaskan macam-macam dari sifat fisis sensor. Penggunaan RCM banyak digantikan oleh Rational Polynomial Coefficient (RPC) karena model RPC lebih sederhana namun masih mempertahankan informasi dari sifat fisis sensor. Dial dan Grodecki (2004) menyatakan RPC adalah model matematis yang digunakan untuk menghitung koordinat piksel (kolom dan baris) dari koordinat peta suatu obyek (lintang, bujur, tinggi) terhadap variasi dari sistem sensor yang digunakan.

13 Gambar I.8. Sifat fisis sensor optis (Dial dan Grodecki, 2004) RPC berisi perbandingan antara dua persamaan polinomial kubik. Pada citra stereo, satu citra memiliki dua persamaan polinomial. Masing-masing persamaan polinomial tersebut digunakan untuk menghitung koordinat baris dan koordinat kolom pada citra. Rumus I.2 merupakan persamaan normalisasi koordinat peta dengan rentang nilai ±1,0 (Dial dan Grodecki, 2004). Koordinat peta perlu dinormalisasi sebelum dihitung ke dalam fungsi rasio polinomial pada Rumus I.3 (PCI Geomatics, 2003). X n = φ φ 0, Y φ n = λ λ 0, Z s λ n = h h 0..(I.2) s h s Row n = P 1(X n,y n, Z n ) Q 2 (X n,y n, Z n ), Col n = P 2(X n,y n, Z n ) Q 2 (X n,y n, Z n ).(I.3) dimana φ, λ, h : koordinat lintang, bujur dan tinggi di atas elipsoid φ 0, λ 0, h 0, S 0, L 0 : offset pada koordinat peta dan piksel φ s, λ s, h s, S s, L s : faktor skala pada koordinat peta dan piksel X n, Y n, Z n Row n, Col n P dan Q : normalisasi koordinat peta : normalisasi koordinat piksel citra : koefisien polinomial Perhitungan bundle adjustment digunakan untuk menghasilkan koordinat tanah pada citra dari koordinat piksel. Komponen RPC dan titik kontrol (GCP) yang diregistrasi pada citra digunakan dalam bundle adjustment. Hasil dari proses hitungan bundle adjustment adalah titik-titik ikat (tie points) yang tersebar pada pasangan citra stereo dan memiliki koordinat tanah (X, Y, Z).

14 Pada pengolahan citra satelit menjadi DEM, sistem tinggi (Z) yang digunakan pada RPC sangat berpengaruh. Komponen elevasi pada RPC umumnya bereferensi terhadap elipsoid World Geodetic System 1984 (WGS84), karena posisi satelit dikontrol oleh GPS. Penambahan titik kontrol tinggi ortometrik yang mengacu pada geoid lokal perlu dilakukan pada citra. Hal tersebut dilakukan untuk menghasilkan DEM dengan elevasi yang lebih mendekati permukaan tanah sebenarnya. Gambar I.9 menunjukkan perapatan sistem tinggi elipsoid yang dirapatkan terhadap geoid agar menghasilkan tinggi ortometrik terhadap permukaan bumi. Gambar I.9. Tinggi ortometrik (Smith, 2015) I.8.5. Teori DEM Dari Stereo Paralaks Citra satelit yang digunakan dalam mendapatkan data DEM adalah citra dengan pasangan stereo. Citra satelit stereo dapat mengkonstruksi obyek asli secara 3D. Dua citra yang memiliki area yang saling tumpang tindih/overlap didapatkan dengan sudut pandang yang berbeda. Di area yang tumpang tindih itulah digunakan untuk mengkontruksi model stereo. Perhitungan beda tinggi dari citra stereo menggunakan besar paralaks. Paralaks dihasilkan dari perbandingan antara basis citra dengan tinggi terbang satelit. Sensor satelit WorldView-1 memiliki sifat stereoskopik untuk menghasilkan citra yang terletak berurutan pada jalur orbit (along track). Pada Gambar I.10, jalur orbit satelit sejajar dengan sumbu y pada citra. Beda paralaks di kedua pasangan citra stereo terletak pada sumbu y dan beda paralaks pada sumbu x adalah nol atau mendekati nol. Model metematis yang menyatakan perhitungan beda tinggi menggunakan paralaks dapat dilihat pada Rumus I.4 dan Rumus I.5 berikut ini (Trisakti, 2007). H = X 1 X 2 tan α = p tan α...(i.4) H = H p....(i.5) B

15 X 2 X 1 Orbit satelit H α Δp α Δh datum Gambar I.10. Geometri perhitungan beda tinggi menggunakan paralaks (Trisakti, 2007) Besaran ΔH merupakan beda tinggi, α merupakan sudut yang dibentuk sensor vertikal dan miring, H merupakan tinggi orbit satelit, B merupakan basis citra dan Δp merupakan beda paralaks X 1 dan X 2 pada tiap sensor. Dalam kasus fotogrametri, parameter rasio basis (B/H) menentukan akurasi dari pasangan foto stereo dalam menghasilkan DEM. Rasio basis (base ratio) adalah perbandingan jarak antara pasangan stereo dibagi dengan ketinggian sensor yang merekam. Sebagai contoh, ASTER memiliki rasio basis sebesar 0,6 sedangkan SPOT HRS sebesar 0,85. ALOS PRISM dengan perekaman stereo forward-backward view memiliki basis rasio sebesar 1,0 dan perekaman stereo off-nadir-nadir view sebesar 0,5. Nilai basis rasio yang kurang dari 0,5 membuat akurasi vertikal akan berkurang seiring berkurangnya basis rasio. Hal tersebut terjadi juga pada nilai basis rasio yang lebih dari 1,0 membuat akurasi vertikal akan berkurang seiring bertambahnya basis rasio. Rasio basis yang baik untuk menghasilkan citra stereo yang akurat dalam pembuatan DEM berada pada rentang nilai 0,5 sampai 1,0 (Hasegawa et al., 2000). Satelit WorldView-1 merupakan salah satu satelit Very High Precision (VHR) dengan sensor yang dapat digerakkan. Rasio basis kurang tepat digunakan sebagai ukuran efektifitas dari pasangan stereo yang direkam menggunakan sensor ini. Pada kasus ini, parameter yang berpengaruh adalah sudut convergence, asymmetry dan

16 sudut BIE (Geoimage, 2010). Gambar I.11 menunjukkan hubungan geometris antara ketiga sudut tersebut. Gambar I.11. Geometri pencitraan stereo satelit WorldView-1 (http://www.computamaps.com/) Sudut convergence adalah sudut yang dibentuk dari dua sinar perekaman sensor saat perekaman pertama (L 1 ) dan perekaman kedua (L 2 ). Di tengah-tengah sudut convergence terdapat arah pandang sentral (B). Sudut convergence, L 1, L 2 dan kedua posisi sensor saat perekaman stereo membentuk suatu bidang yang disebut bidang epipolar. Sudut asymmetry merupakan offset arah pandangan pusat (B) terhadap arah zenit (Z). Jika besar sudut asymmetry sama dengan 0º maka paralaks yang muncul pada pasangan citra stereo akan sama. Perspektif tehadap obyek akan sama namun pada sisi pandang yang berbeda. Sudut BIE (Bisector Elevation) adalah sudut di antara bidang horizon lokal titik R terhadap bidang epipolar. Sudut BIE merupakan besar paralaks yang muncul pada arah vertikal setelah disejajarkan. Ukuran ideal dari ketiga sudut yaitu sudut convergence, asymmetry dan sudut BIE masing-masing sebesar 30º-60º, kurang dari 20º dan 60º-90º (Geoimage, 2010). Ukuran ideal tersebut ditujukan untuk menampilkan ketinggian fitur tanah yang akurat pada saat pembuatan DEM.

17 I.8.6. Image Matching Citra stereo dapat menghasilkan suatu DEM dengan cara pencocokan citra (image matching) pada pasangan citra. Image matching secara otomatis secara umum sering digunakan dalam beberapa software pengolahan citra satelit. Salah satu metode image matching otomatis adalah mencari korelasi tingkat keabuan (gray scale) dari piksel-piksel citra yang berpasangan. Selain itu, penggunaan kesamaan piksel-piksel yang tergambar sebagai suatu fitur dan area dapat digunakan dalam image matching otomatis seperti yang ditunjukkan Gambar I.12. Butler (1992) menyatakan beberapa parameter yang digunakan dalam image matching antara lain persamaan garis lurus yang diekstrak dari pasangan citra, atribut yang diukur (lokasi, orientasi, ukuran piksel, kontras dan kelurusan). Gambar I.12. Image Matching dalam pembuatan DEM (PCI Geomatics, 2003) Model matematis korelasi silang (cross-correlation) merupakan salah satu teknik perhitungan yang digunakan proses image matching pada pasangan citra stereo. Rumus I.6 menjelaskan fungsi cross-correlation standar (ρ). Nilai ρ memiliki rentang nilai ±1,0; dimana nilai yang mendekati +1,0 memiliki korelasi yang baik; nilai 0,0 berarti tidak ada korelasi dan nilai yang mendekati -1,0 memiliki anti-korelasi (Fisher dan Oliver, 1995). Parameter x i dan y i merupakan piksel yang sesuai pada masingmasing citra. Parameter i menunjukkan indeks piksel pada citra dan N adalah nilai maksimumnya. Nilai rata-rata (x dan y ) digunakan untuk mengoreksi perbedaan

18 ketinggian acuan (base level) pasangan citra. Simpangan baku (σ x dan σ y ) digunakan untuk mengoreksi efek dari multiplikatif, seperti perbedaan penyinaran dan kontras. ρ = 1 N N (x i x )(y i y ) i=1.(i.6) σ x σ y Lokasi dari image matching ditentukan dari window size. Window size merupakan batasan ukuran matching dalam citra dengan satuan piksel sebagai batas pencarian piksel-piksel yang saling berkolerasi. Besar window size membentuk suatu persegi dengan panjang dan lebar yang sama, seperti 2x2, 3x3, 4x4, 5x5 dan 9x9. Secara umum, besar window size berukuran angka yang ganjil untuk meletakkan piksel yang dijadikan acuan matching berada di tengah-tengah window size. Pada Gambar I.13, window size sebesar 5x5 yang artinya area matching sebesar 5 piksel searah sumbu X citra (kolom) dan 5 piksel searah sumbu Y citra (baris). Piksel acuan Baris (Y) Piksel pencarian Kolom (X) Gambar I.13. Window size pada proses image matching I.8.7. Model Elevasi Digital Model Elevasi Digital (DEM) adalah data digital dari elevasi geografis dalam koordinat 3D (X,Y,Z) yang menggambarkan permukaan bumi dengan interval grid horizontal yang seragam pada tiap nilai elevasinya (Gould, 2012). DEM merupakan suatu penyajian ketinggian permukaan bumi secara digital. Terdapat dua tipe data DEM yaitu Model Terain Digital (DTM) dan Model Permukaan Digital (DSM). DTM mewakili permukaan tanah tanpa fitur di atas tanah sehingga hanya menjelaskan bentuk topografi saja seperti yang ditunjukkan Gambar I.14. DSM memuat semua fitur di atas tanah baik fitur alam maupun buatan manusia. Contoh fitur dari alam adalah

19 vegetasi dan fitur buatan manusia adalah bangunan. Gambar I.15 menunjukkan sketsa perbedaan permukaan yang digunakan pada data DTM dan DSM. (a) Gambar I.14. Visualisasi DTM (a) dan DSM (b) (DigitalGlobe, 2013) (b) Gambar I.15. Sketsa permukaan antara DTM dan DSM (http://en.sovzond.ru/) File data raster DEM berisi nilai-nilai ketinggian dataran di atas area tertentu pada interval grid yang ditentukan. Interval antara masing-masing titik grid direferensikan ke sistem koordinat geografis yaitu lintang-bujur atau menggunakan sistem koordinat Universal Transverse Mercator (UTM). Semakin rapat posisi titiktitik grid berada, semakin rinci informasi terain yang disajikan. Djurdjani (1999) menyatakan bahwa sumber data DEM diperoleh dari pengukuran menggunakan lima teknik pengukuran sebagai berikut: 1. Pengukuran terestris meliputi survei konvensional dan survei GNSS. 2. Digitasi kartografis dari peta topografi. 3. Fotogrametri menggunakan foto udara atau citra satelit. 4. Synthetic Aperture Radar (SAR) meliputi radargrametri, interferometri, dan radarklinometri. 5. Airborne Laser Scanning (ALS) melalui sistem LIDAR.

20 Pengukuran konvensional dapat menghasilkan DEM dengan akurasi hingga fraksi milimeter. Teknik fotogrametri dapat menghasilkan DEM dengan akurasi hingga fraksi sentimeter sampai meter tergantung dari resolusi spasial dari foto/citra. Pemilihan metode tergantung pada kebutuhan DEM yang dihasilkan. Pengukuran konvensional cenderung digunakan untuk menghasilkan DEM dengan akurasi yang tinggi dan area yang sempit. Teknik fotogrametri cenderung digunakan untuk menghasilkan DEM dengan akurasi yang lebih rendah dan area yang lebih luas. Format penyimpanan DEM terbagi menjadi dua yaitu format acak dan format teratur. Format acak digunakan pada pemodelan permukaan berbasis titik dan pemodelan permukaan berbasis segitiga. Pada pemodelan permukaan berbasis titik, permukaan DEM dibangun menggunakan titik-titik data individu. Titik data individu digunakan untuk mewakili daerah kecil di sekitar titik seperti pada Gambar I.16 (a). DEM akan diskontinyu pada permukaannya karena dibangun dengan ketinggian titiktitik data individu pada daerah yang kecil. Pada pemodelan permukaan berbasis segitiga, ketiga titik dibangun menjadi segitiga spasial dengan permukaan miring mengikuti ketinggian tiap titik yang membangunnya. Permukaan DEM dibangun dari segitiga-segitiga yang saling berdekatan. Contoh pemodelan permukaan berbasis segitiga ditunjukkan pada Gambar I.16 (b) di bawah ini. (a) (b) (c) Gambar I.16. Pemodelan permukaan berbasis titik (a), segitiga (b) dan grid (c) (Djurdjani, 1999) Format penyimpanan teratur pada data DEM digunakan pada pemodelan permukaan berbasis grid dan pemodelan permukaan berbasis kontur. Empat titik data digunakan untuk membangun permukaan segi empat seperti yang ditunjukkan pada Gambar I.16 (c). Bangun segi empat yang dihasilkan meliputi persegi, jajaran genjang, persegi panjang, atau poligon. Bangun persegi lebih umum dan praktis digunakan pada

21 pemodelan permukaan berbasis grid. Pada pemodelan permukaan berbasis kontur, pembentukan permukaan DEM menggunakan data garis-garis tiap kontur yang mendefinisikan suatu ketinggian. Interpolasi titik P pada permukaan DEM dapat dilakukan dari titik-titik pada garis kontur yang memotong grid yang dibentuk dari titik P tersebut seperti yang ditunjukkan pada Gambar I.17 di bawah ini. Gambar I.17. Interpolasi pada pemodelan permukaan berbasis kontur (Djurdjani, 1999) I.8.8. Statistika Rata-rata/mean adalah nilai yang mewakili pada data yang jumlahnya banyak. Rata-rata dianggap dapat mewakili data yang jumlahnya banyak dikarenakan nilai rata-rata pada umumnya lebih mendekati dengan nilai yang benar (true value). Ratarata dihitung berdasarkan jumlah keseluruhan tiap nilai pengukuran pada suatu kelompok data dan dibagi dengan banyaknya seluruh pengukuran pada kelompok data tersebut. Rumus I.7 menjelaskan cara perhitungan nilai rata-rata (x ) menggunakan jumlah tiap nilai pengukuran (Ʃx) dan banyaknya pengukuran (n). x = Ʃx n...(i.7) Kurva distribusi normal seperti Gambar I.18, menunjukkan nilai rata-rata adalah sangat dekat dengan nilai yang benar.

22 Frekuensi x Nilai pengukuran Gambar I.18. Kurva distribusi normal Simpangan baku/deviasi standar menunjukkan letak titik belok dari kurva normal yang menunjukkan penyebaran data ukuran, yang berarti juga bahwa nilai yang benar berada di antara titik belok (Widjajanti, 2011). Simpangan baku dihitung berdasarkan selisih tiap nilai ukuran dalam suatu kelompok data terhadap nilai rataratanya. Nilai simpangan baku menunjukkan besarnya rentang penyimpangan nilai kelompok data terhadap rata-rata sehingga umumnya ditambahkan tanda plus-minus (±) di depan nilai simpangan baku. Rumus I.8 dan Rumus I.9 menjelaskan cara perhitungan simpangan baku (σ atau S) menggunakan nilai rata-rata (μ atau x ), nilai pengukuran ke-i (x i ) dan banyaknya pengukuran (n). σ = Ʃ(μ x i) 2 n...(i.8) S = Ʃ(x 2 x i).(i.9) n 1 Simpangan baku (σ) pada Rumus I.8 dihasilkan dari data populasi dan simpangan baku (S) pada Rumus I.9 dihasilkan dari data sampel. Populasi adalah keseluruhan dari unsur-unsur yang dipelajari dan memuat seluruh nilai pengukuran/pengamatan tentang suatu obyek yang bersifat tidak terbatas. Sampel hanya memuat nilai pengukuran/pengamatan yang diseleksi dari suatu populasi. Pada umumnya, data pengukuran merupakan data sampel dikarenakan pelaksanaan pengukuran tidak dilakukan secara menyeluruh hingga tidak terbatas.

23 I.8.9. Hubungan Akurasi Terhadap Skala Peta Akurasi peta menerangkan kesalahan maksimum yang terdapat pada peta. Akurasi peta dapat menghasilkan suatu parameter saat melakukan produksi peta seberapa detail obyek-obyek yang ditampilkan dalam suatu peta. Skala peta sangat mempengaruhi kedetailan suatu obyek. Peta yang memiliki skala besar secara mutlak memiliki akurasi yang lebih baik ketimbang peta dengan skala yang lebih kecil. Pada peta skala besar, obyek yang ditampilkan akan lebih detail sehingga kesalahan kecil di peta akan sangat mempengaruhi posisi obyek tersebut. Tabel I.4. Skala peta menurut nilai akurasi horizontal (Merchant, 1988) Akurasi Horizontal (m) Skala Peta 0,0125 1:50 0,025 1:100 0,050 1:200 0,125 1:500 0,25 1:1.000 0,50 1:2.000 1,00 1:4.000 1,25 1:5.000 2,5 1:10.000 5,0 1:20.000 Skala peta dapat disesuaikan menurut akurasi yang diperoleh dalam pemetaan. Tabel I.4 menjelaskan nilai akurasi horizontal dapat menghasilkan peta dengan skala tertentu. Selain menggunakan akurasi horizontal, penentuan skala peta dapat menggunakan nilai akurasi vertikal. Suatu DEM dapat memiliki akurasi vertikal dari kesalahan nilai elevasi cloud point-nya. Elevasi pada suatu peta digambarkan dengan garis kontur. Besar interval garis kontur dihitung dengan menggunakan nilai faktor skala peta seperti Rumus I.10. Pada Tabel I.5, skala peta dapat ditentukan dari interval kontur dan akurasi vertikal maupun sebaliknya. Rumus I.11, I.12 dan Rumus I.13 menjelaskan hubungan matematis antara interval kontur dan akurasi vertikal (BIG, 2014). Interval kontur = 1 m faktor skala peta.(i.10) 2500 Akurasi vertikal kelas I = 0,5 interval kontur...(i.11)

24 Akurasi vertikal kelas II = 1,5 akurasi vertikal kelas I.....(I.12) Akurasi vertikal kelas III = 2,5 akurasi vertikal kelas I.....(I.13) Kelas Skala Skala kecil Skala menengah Skala besar Tabel I.5. Akurasi Peta RBI (BIG, 2014) Skala Peta Interval Akurasi vertikal (LE90 dalam m) Kontur (m) Kelas I Kelas II Kelas III 1:1.000.000 400,0 200,0 300,00 500,00 1:500.000 200,0 100,0 150,00 250,00 1:250.000 100,0 50,0 75,00 125,00 1:100.000 40,0 20,0 30,00 50,00 1:50.000 20,0 10,0 15,00 25,00 1:25.000 10,0 5,0 7,50 12,50 1:10.000 4,0 2,0 3,00 5,00 1:5.000 2,0 1,0 1,50 2,50 1:2.500 1,0 0,5 0,75 1,25 1:1.000 0,4 0,2 0,30 0,50 Pada Tabel I.5, akurasi vertikal dinyatakan dalam LE90. Besar Linear Error 90% (LE90) menunjukkan bahwa 90% perbedaan nilai ketinggian di peta dan nilai yang sebenarnya tidak lebih besar dari parameter tersebut. Sebagai contoh, kesalahan vertikal yang terdapat peta skala 1:5.000 kelas III sebesar 90% tidak lebih dari 2,5 m. Nilai LE90 dapat dihitung menggunakan RMSE Z. Root Mean Square Error Z (RMSE Z ) adalah akar kuadrat dari rata-rata kuadrat selisih antara nilai elevasi data sampel dan nilai elevasi data referensi. Rumus I.14 dan Rumus I.15 menjelaskan perhitungan untuk mendapatkan nilai RMSE Z dan LE90 (FGDC, 1998). RMSE Z = Ʃ(Z data Z cek ) 2 n...(i.14) LE90 = 1,6499 RMSE Z.....(I.15) Ground Sample Distance (GSD) dari sebuah citra menerangkan ukuran di lapangan yang dimuat dalam satu piksel di citra. Informasi yang terkandung pada citra akan lebih rinci jika menggunakan citra dengan ukuran GSD yang kecil dibandingkan dengan ukuran GSD yang lebih besar. Secara umum, ukuran GSD berpengaruh terhadap skala peta dari suatu citra satelit seperti yang disajikan pada Tabel I.6 di bawah ini.

25 Tabel I.6. Hubungan ukuran GSD dengan skala peta (ASPRS, 2014) Ukuran GSD (cm) Skala Peta 0,625 1:50 1,25 1:100 2,5 1:200 5,0 1:400 7,5 1:600 15 1:1.200 30 1:2.400 60 1:4.800 100 1:12.000 200 1:24.000 500 1:60.000 I.9. Hipotesis Citra satelit WorldView-1 Ortho Ready Stereo memiliki resolusi spasial sebesar 0,5 m yang akan menghasilkan DEM melalui teknik stereo-matching. Akurasi vertikal terbaik sebesar 2,0 m atau setara 4,0 kali GSD citra satelit WorldView-1. Akurasi ini memenuhi kebutuhan peta skala 1:5.000.