BAB II LANDASAN TEORI. sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III PEMBAHASAN HASIL KERJA PRAKTEK. Pratama Bandung Cicadas di Bagian Pelayanan, Tempat Pelayanan Terpadu

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: 15/PJ/2006 TENTANG

Makalah Tentang Pajak Penghasilan Karyawan Pasal 21 / PPh21

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21/26

BAB II KAJIAN PUSTAKA

ANALISIS PERENCANAAN PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PADA PERUSAHAAN DI KOTA MEDAN

BAB II LANDASAN TEORI

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR : PER - 31/PJ/2012 TENTANG

Pajak Penghasilan Pasal 21/26

BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR. kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri (Waluyo,

BAB II LANDASAN TEORI. Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pajak digunakan untuk membiayai

PER - 32/PJ/2015 PEDOMAN TEKNIS TATA CARA PEMOTONGAN, PENYETORAN, DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PA

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 32/PJ/2015 TENTANG

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2012 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Pajak Penghasilan 21

Pajak Penghasilan Pasal 21/26

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER - 31/PJ/2009 TENTANG

MINGGU KE DUA PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 GAJI DAN BONUS

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang

PPH 21 Nur ain Isqodrin, SE., Ak., M.Acc Isqodrin.wordpress.com

BAB II LANDASAN TEORI. tentang pajak, diantaranya pengertian pajak menurut Santoso (1991)

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR: PER- -1 /PJ/2012 TENTANG

BAB II LANDASAN TEORI. Pengertian pajak menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang

PAJAK PENGHASILAN PASAL 21

BAB II. rutin maupun pengeluaran pembangunan. Pajak digunakan untuk membiayai. untuk membiayai penyelenggaraan negara.

LAMPIRAN 1 LAMPIRAN 1

BAB II URAIAN TEORITIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dipungut dengan ketentuan-ketentuan dari Undang-Undang sampai dengan

AGENDA. PPh Pasal 26

BAB II DASAR TEORI. wajib, berupa uang dan/atau barang, yang dipungut oleh penguasa. berdasarkan norma-norma hukum, guna untuk menutup biaya produksi

Pertemuan 2 PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 (G + B)

MAKALAH PERPAJAKAN II PEMOTONGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 UNTUK PEGAWAI, PEGAWAI LEPAS, DAN PENERIMA HONORARIUM

BAB II LANDASAN TEORI. serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara. langsung, untuk memeliahara negara secara umum.

DASAR-DASAR PERPAJAKAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II LANDASAN TEORETIS. 1. Pengertian Pajak dan Fungsi Pajak Secara Umum

BAB II BAHAN RUJUKAN

SOAL LATIHAN: JAWABLAH SOAL SOAL BERIKUT INI, TERKAIT DENGAN: PER - 16 / PJ / 2016 (Terlampir)

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


BAB III SISTEM PEMOTONGAN DAN PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN (PPh) PASAL 21 ATAS PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS) PADA KANTOR DPRD PROVINSI JAWA TENGAH

LAMPIRAN. Universitas Kristen Marantha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB III TINJAUAN TEORI DAN PRAKTIK PEMOTONGAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PADA ANGGOTA KOMISI PEMILIHAN UMUM PROVINSI JAWA TENGAH

BAB II LANDASAN TEORI

badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini dimana persaingan menjadi semakin ketat dan bersifat global,

BAB II LANDASAN TEORI. pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang berasal dari dalam negeri

MODUL PPh PASAL 21/26 & espt PPh Pasal 21

DIREKTUR JENDERAL PAJAK,

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 31/PJ/20

BAB II. pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber dana yang berasal dari dalam

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II LANDASAN TEORI Pengertian-Pengertian Dalam Ketentuan Umum dan Tata Cara

BAB II LANDASAN TEORI. Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu bangsa atau negara

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pajak adalah iuran wajib rakyat kepada kas negara.adapun beberapa

BAB II KAJIAN PUSTAKA. adalah iuran rakyat kepada Kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat

DEPARTEMEN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DIREKTORAT JENDERAL PAJAK PETUNJUK PENGISIAN SPT TAHUNAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PETUNJUK UMUM

BAB II KAJIAN PUSTAKA. menurut Rochmat Soemitro, seperti yang dikutip Waluyo (2008:3)

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS. Pengertian pajak menurut Adriani dalam Waluyo (2013:2) disebutkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. memiliki tujuan dan inti yang sama yaitu merumuskan pengertian pajak sehingga

PENGARUH TARIF PAJAK DAN PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK BARU TERHADAP PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK ORANG PRIBADI

BENDAHARA SEBAGAI PEMOTONG PAJAK PENGHASILAN PASAL 21/26 BAB II

BAB II LANDASAN TEORI. Pengungkapan beberapa para ahli mengenai pajak sebagai berikut :

BAB II LANDASAN TEORI. sektor privat kepada sektor publik. Pemahaman ini memberikan gambaran bahwa

BAB II KAJIAN PUSTAKA. karangan Prof. Dr. Mardiasmo (2011:1) pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara

Update. Pajak Penghasilan Sehubungan dengan. Pekerjaan atau Jabatan, Jasa dan kegiatan, Yang dilakukan Wajib Pajak Orang Pribadi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI PAJAK PENGHASILAN. II.1.1. Pengertian dan Pelaksanaan Pajak Penghasilan

ANALISA PERHITUNGAN PENYETORAN DAN PELAPORAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 PADA PUSAT PENELITIAN KEPENDUDUKAN ( LIPI )

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam Undang-Undang No.28 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Umum Dan

I. KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (KUP)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. kualitas tersebut. Salah satunya adalah dengan melakukan kegiatan Praktik Kerja

BAB II BAHAN RUJUKAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Pajak Penghasilan

Bab II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Bab ini berisi kajian landasan teori dan hasil penelitian sebelumnya yang. digunakan untuk menjawab masalah penelitian.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Undang-undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Pengertian pajak memilki dimensi yang berbeda beda menurut

Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pajak

BAB II KAJIAN PUSTAKA

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR KEP-545/PJ./2000 TENTANG

No II. PASAL DEMI PASAL Pasal 1 Pasal 2 Ayat (1) Ayat (2) Peredaran bruto merupakan peredaran bruto dari usaha, termasuk dari usaha cabang, se

Pajak Penghasilan psl 21

Peraturan Menteri Keuangan 107/PMK.011/2013 tgl 30 Juli 2013

MINGGU PERTAMA KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN

Contoh Isi Proposal Penelitian Konsentrasi Perpajakan ( Akuntansi) Part 4

BAB II LANDASAN TEORI

PAJAK PENGHASILAN UMUM DAN NORMA PERHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN

Bab II Bahan Rujukan

PERATURAN DIREKTUR JENDERAL PAJAK NOMOR PER- 31/PJ/2012

BAB III TATA CARA PEMOTONGAN DAN PENGHITUNGAN PAJAK PENGHASILAN PASAL 21 ATAS PEGAWAI PADA PT JASA MARGA (PERSERO) Tbk.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB II LANDASAN TEORI II.1 Dasar Perpajakan II.1.1 Definisi Pajak Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga dapat dipaksakan dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum. Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang merupakan salah satu direktorat jenderal yang ada di bawah naungan Departemen Keuangan Republik Indonesia. Terdapat bermacam-macam batasan atau definisi tentang "pajak" yang dikemukakan oleh para ahli di antaranya adalah : 1. Menurut Adriani dalam Zain, M (2005) mendefinisikan Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan (h. 10). 2. Menurut Rochmat Soemitro yang dikutip dari Mardiasmo (2006) menjelaskan Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum (h.1.). 7

II.1.2 Ciri-ciri Pajak Dari berbagai definisi yang diberikan terhadap pajak, dapat ditarik kesimpulan tentang ciri-ciri yang terdapat pada pengertian pajak antara lain sebagai berikut: 1. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. 2. Tidak mendapatkan jasa timbal balik (konraprestasi perseorangan) yang dapat ditunjukkan secara langsung. 3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin maupun pembangunan. 4. Pemungutan pajak dapat dipaksakan. 5. Selain fungsi budgeter (anggaran) yaitu fungsi mengisi kas negara atau anggaran negara yang diperlukan untuk menutup pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pajak juga berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan negara dalam lapangan ekonomi dan sosial (fungsi mengatur atau regulatif). II.1.3 Fungsi Pajak Menurut Mardiasmo (2006), Fungsi pajak ada dua, yaitu: 1. Fungsi anggaran (budgetair). Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaranpengeluarannya. 2. Fungsi mengatur (regulerend). Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi. 8

II.1.4 Syarat Pemungutan Pajak Mardiasmo (2006) menjelaskan, agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut : 1. Pemungutan pajak harus adil (Syarat Keadilan). Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing-masing. Sedangkan adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak. 2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (Syarat Yuridis). Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi negara maupun warganya. 3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomis). Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat. 4. Pemungutan pajak harus efisien (Syarat Finansiil) Sesuai fungsi budgeter, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya. 5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana. Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan dan mendorong masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. 9

II.1.5 Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak menurut Mardiasmo (2006) dibagi menjadi tiga, yaitu : 1. Official Assessment System adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak terutang oleh wajib pajak. Utang pajak timbul setelah dikeluarkannya surat ketetapan pajak. 2. Self Assessment System adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan undang-undang perpajakan. Dalam sistem ini wajib pajak bersikap aktif menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri pajaknya yang terhutang. Fiskus tidak ikut campur tangan dalam menentukan besarnya pajak yang terhutang, kecuali wajib pajak menyalahi peraturan. 3. With Holding System adalah sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga atau biasa disebut Pemotong/Pemungut Pasal 21, 22, 23, dan 26 (bukan fiskus dan bukan wajib pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. (h. 7) II.2 Pajak Penghasilan Dasar hukum pengenaan pajak penghasilan adalah Undang-undang No. 17 Tahun 2000 tanggal 2 Agustus 2000 yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 2001 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Pajak penghasilan dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Pajak penghasilan adalah pajak yang dibebankan pada penghasilan perorangan, perusahaan, atau badan hukum lainnya. 10

II.2.1 Tarif Pajak Penghasilan Berdasarkan Undang-undang No.17 Tahun 2000 pasal 17 tanggal 2 Agustus 2000 tentang Pajak Penghasilan yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2001, tarif pajak dibedakan menjadi dua yaitu untuk Wajib Pajak Badan & Bentuk Usaha Tetap (BUT) dan Wajib Pajak Orang Pribadi. Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak badan dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap adalah sebagai berikut : Tabel II.1 Tarif PPh untuk WP Badan Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Sampai dengan Rp50.000.000,00 10% Di atas Rp50.000.000,00 sampai dengan Rp100.000.000,00 15% Di atas Rp100.000.000,00 30% Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri adalah sebagai berikut : Tabel II.2 Tarif PPh untuk WP OP Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak Sampai dengan Rp25.000.000,00 5% Di atas Rp 25.000.000,00 sampai dengan Rp 50.000.000,00 10% Di atas Rp 50.000.000,00 sampai dengan Rp100.000.000,00 15% Di atas Rp100.000.000,00 sampai dengan Rp200.000.000,00 25% Di atas Rp200.000.000,00 35% II.2.2 Pajak Penghasilan Pasal 21 Dalam Keputusan Dirjen Pajak No. KEP-545/PJ/2000 tanggal 29 Desember 2000 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2001 tentang petunjuk pemotongan PPh pasal 21 dan PPh pasal 26, PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun 11

sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No.17 Tahun 2000. PPh Pasal 21 yang dipotong oleh pihak lain tersebut sepanjang tidak bersifat final dapat dikreditkan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri terhadap PPh yang terutang pada akhir tahun pajak yang bersangkutan. II.2.3 Subjek Dan Objek PPh Pasal 21 Subjek PPh Pasal 21 Penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 menurut Keputusan Direktur Jendral Pajak No. KEP-545/PJ/2000 tanggal 29 Desember 2000 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2001 tentang petunjuk pemotongan PPh pasal 21 dan PPh pasal 26, adalah : 1. Pejabat Negara, yang dimaksud pejabat negara adalah a. Presiden dan Wakil Presiden. b. Ketua, Wakil Ketua dan anggota DPR/MPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota. c. Ketua dan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan. d. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Mahkamah Agung. e. Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung. f. Menteri dan Menteri Negara. g. Jaksa Agung. h. Gubernur dan Wakil Gubernur Kepala Daerah Propinsi. i. Bupati dan Wakil Bupati Kepala Daerah Kabupaten. 12

j. Walikota dan Wakil Walikota. 2. Pegawai Negeri Sipil (PNS), adalah PNS-Pusat, PNS-Daerah, PNS lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8 tahun 1974. 3. Pegawai, adalah setiap orang pribadi yang melakukan pekerjaan berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk yang melakukan pekerjaan dalam jabatan negeri atau BUMN atau BUMD. 4. Pegawai Tetap, adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang menerima atau memperoleh gaji dalam jumlah tertentu secara berkala. 5. Pegawai dengan status Wajib Pajak Luar Negeri, adalah orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan yang menerima atau memperoleh gaji, honorarium dan atau imbalan lain sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan. 6. Tenaga Lepas, adalah orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya menerima imbalan apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja. 7. Penerima Pensiun, adalah orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima atau memperoleh imbalan untuk pekerjaan yang dilakukan di masa lalu, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua. 8. Penerima Honorarium, adalah orang pribadi yang menerima atau memperoleh imbalan sehubungan dengan jasa, jabatan, atau kegiatan yang dilakukan. 9. Penerima Upah, adalah orang pribadi yang menerima upah harian, upah mingguan, upah borongan, atau upah satuan. 13

Bukan subjek pph 21 Yang tidak termasuk wajib pajak PPh pasal 21 atau yang tidak termasuk penerima penghasilan yang dipotong PPh pasal 21, menurut Peraturan Dirjen Pajak No. 15/PJ/2006 pasal 4 tanggal 23 Februari 2006 yang mulai berlaku pada masa pajak (bulan takwim) Januari 2006 tentang perubahan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.KEP- 545/PJ/2000 tentang tentang petunjuk pemotongan PPh pasal 21 dan PPh pasal 26, adalah: 1. Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik. 2. Pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud dalam Keputusan Menteri Keuangan No.574/KMK.04/2000 tanggal 26 Desember 2000 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2001 tentang organisasi-organisasi Internasional dan Pejabat Perwakilan Organisasi Internasional yang tidak termasuk sebagai subjek pajak penghasilan, sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan No.601/KMK.03/2005 yang ditetapkan tanggal 27 Desember 2005, dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia. 14

Objek PPh Pasal 21 Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh pasal 21 menurut Peraturan Dirjen Pajak No. PER-15/PJ/2006 tanggal 23 Februari 2006 pasal 5 tanggal 23 Februari 2006 yang mulai berlaku pada masa pajak (bulan takwim) Januari 2006 tentang perubahan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.KEP-545/PJ/2000 tentang tentang petunjuk pemotongan PPh pasal 21 dan PPh pasal 26, adalah: 1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai atau penerima pensiun secara teratur berupa gaji, uang pensiun bulanan, upah, honorarium (termasuk honorarium anggota dewan komisaris atau anggota dewan pengawas), premi bulanan, uang lembur, uang sokongan, uang tunggu, uang ganti rugi, tunjangan istri, tunjangan anak, tunjangan kemahalan, tunjangan jabatan, tunjangan khusus, tunjangan transport, tunjangan pajak, tunjangan iuran pensiun, tunjangan pendidikan anak, beasiswa, premi asuransi yang dibayar oleh pemberi kerja, dan penghasilan teratur lainnya dengan nama apapun; 2. Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai, penerima pensiun atau mantan pegawai secara tidak teratur berupa jasa produksi, tantiem, gratifikasi, tunjangan cuti, tunjangan hari raya, tunjangan tahun baru, bonus, premi tahunan dan penghasilan sejenis lainnya yang sifatnya tidak tetap; 3. Upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan yang diterima atau diperoleh pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, serta uang saku harian atau mingguan yang diterima peserta pendidikan, pelatihan atau pemagangan yang merupakan calon pegawai; 15

4. Uang tebusan pensiun, uang Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua, uang pesangon, dan pembayaran lain sejenis sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja; 5. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, bea siswa, dan pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri, terdiri dari : tenaga ahli sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat 7; pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film, bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, crew film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis, dan seniman lainnya; olahragawan; penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan moderator; pengarang, peneliti, penerjemah; pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial; agen iklan; pengawas, pengelola proyek, anggota dan pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan, dan peserta sidang atau rapat; pembawa pesanan atau yang menemukan langganan; peserta perlombaan; petugas penjaja barang dagangan; 16

petugas dinas luar asuransi; peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan bukan pegawai atau bukan sebagai calon pegawai; distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya. 6. Gaji, gaji kehormatan, tunjangan-tunjangan lain yang terkait dengan gaji dan honorarium atau imbalan lain yang bersifat tidak tetap yang diterima oleh Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil serta uang pensiun dan tunjangan-tunjangan lain yang sifatnya terkait dengan uang pensiun yang diterima oleh pensiunan temasuk janda atau duda dan atau anak-anaknya. Bukan Objek Penghasilan PPh Pasal 21 Yang tidak termasuk penghasilan yang dipotong PPh pasal 21 menurut Peraturan Dirjen Pajak No. PER-15/PJ/2006 pasal 7 tanggal 23 Februari 2006 yang mulai berlaku pada masa pajak (bulan takwim) Januari 2006 tentang perubahan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.KEP-545/PJ/2000 tentang tentang petunjuk pemotongan PPh pasal 21 dan PPh pasal 26, adalah: 1. Pembayaran asuransi dari perusahaan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa; 2. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lainnya dengan nama apapun yang diberikan oleh wajib pajak atau pemerintah, kecuali yang diatur dalam pasal 5 ayat (2); 17

3. Iuran pensiun yang dibayarkan kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan dan iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara Jamsostek yang dibayar oleh pemberi kerja; 4. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari badan atau lembaga amal zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah. II.2.4 Pemotong PPh Pasal 21 Yang termasuk pemotong PPh pasal 21 dan atau PPh pasal 26 sesuai Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP-545/PJ/2000 pasal 2 ayat (1) tanggal 29 Desember 2000 yang mulai berlaku tanggal 1 Januari 2001 tentang petunjuk pemotongan PPh pasal 21 dan PPh pasal 26, adalah: 1. Pemberi kerja terdiri dari orang pribadi dan badan, baik merupakan pusat maupun cabang, perwakilan atau unit, bentuk usaha tetap, yang membayar gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apa pun, sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh pegawai atau bukan pegawai; 2. Bendaharawan pemerintah termasuk bendaharawan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, instansi atau lembaga pemerintah, lembaga-lembaga negara lainnya dan Kedutaan Besar Republik Indonesia di luar negeri yang membayarkan gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan/jabatan, jasa, dan kegiatan; 3. Dana pensiun, badan penyelenggara Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek), dan badan-badan lain yang membayar uang pension dan Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua; 18

4. Perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap, yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan, jasa, termasuk jasa tenaga ahli dengan status Wajib Pajak dalam negeri yang melakukan pekerjaan bebas dan bertindak untuk dan atas namanya sendiri, bukan untuk dan atas nama persekutuannya; 5. Perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap, yang membayar honorarium atau pembayaran lain sebagai imbalan sehubungan dengan kegiatan dan jasa yang dilakukan oleh orang pribadi dengan status Wajib Pajak luar negeri; 6. Yayasan (termasuk yayasan di bidang kesejahteraan, rumah sakit, pendidikan, kesenian, olah raga, kebudayaan), lembaga, kepanitiaan, asosiasi, perkumpulan, organisasi massa, organisasi sosial politik, dan organisasi lainnya dalam bentuk apapun dalam segala bidang kegiatan sebagai pembayar gaji, upah, honorarium, atau imbalan dengan nama apapun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi; 7. Perusahaan, badan, dan bentuk usaha tetap, yang membayarkan honorarium atau imbalan lain kepada peserta pendidikan, pelatihan, dan pemagangan; 8. Penyelenggara kegiatan (termasuk badan pemerintah, organisasi termasuk organisasi internasional, perkumpulan, orang pribadi serta lembaga lainnya yang menyelenggarakan kegiatan) yang membayar honorarium, hadiah atau penghargaan dalam bentuk apapun kepada Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri berkenaan dengan sesuatu kegiatan. 19

II.2.5 Tarif Dan Penerapan Pajak Penghasilan Pasal 21 Tarif pajak yang berlaku beserta penerapannya menurut ketentuan dalam Peraturan Dirjen Pajak No. PER-15/PJ/2006 tanggal 23 Februari 2006 yang mulai berlaku pada masa pajak (bulan takwim) Januari 2006 tentang perubahan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.KEP-545/PJ/2000 tentang tentang petunjuk pemotongan PPh pasal 21 dan PPh pasal 26, adalah sebagai berikut: 1. Tarif berdasarkan Undang-undang PPh No. 17 Tahun 2000 tanggal 2 Agustus 2000 yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 2001 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dari: a. Pegawai tetap, termasuk pejabat Negara, PNS, anggota TNI / Polri, pejabat Negara lainnya, pegawai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan BUMD, dan anggota dewan komisaris, atau dewan pengawas yang merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama; b. Penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan; c. Pegawai tidak tetap, pemagang dan calon pegawai; d. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenisnya. Penghasilan Kena Pajak dihitung sebesar : Bagi pegawai tetap adalah penghasilan bruto dikurangi dengan biaya jabatan, iuran pensiun yang dibayar sendiri oleh pegawai kepada Dana Pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, termasuk iuran Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dibayar sendiri oleh pegawai kepada Badan Penyelenggara Jamsostek yang dipersamakan dengan 20

dana pensiun, dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), yang diterima atau diperoleh selama 1 tahun takwim atau jumlah yang disetahunkan. Bagi penerima pensiun yang dibayarkan secara bulanan adalah sebesar penghasilan bruto dikurangi dengan biaya pensiun dan PTKP, yang diterima atau diperoleh selama 1 tahun takwim atau jumlah yang disetahunkan. Bagi pegawai tidak tetap, pemagang, dan calon pegawai, dalam hal penghasilan dibayarkan secara bulanan adalah sebesar penghasilan bruto dikurangi PTKP, yang diterima atau diperoleh untuk jumlah yang disetahunkan. Bagi distributor perusahaan multilevel marketing atau direct selling dan kegiatan sejenis lainnya adalah penghasilan bruto setiap bulan dikurangi dengan PTKP per bulan. PPh pasal 21 = Penghasilan Kena Pajak x tarif pasal 17 UU PPh 2. Tarif berdasarkan Undang-undang PPh No.17 tahun 2000 tanggal 2 Agustus 2000 yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 2001 tentang Perubahan Ketiga atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, diterapkan atas penghasilan bruto berupa : a. Honorarium, uang saku, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, komisi, beasiswa, dan pembayaran lain dengan nama apapun sebagai imbalan atas jasa atau kegiatan yang jumlahnya dihitung tidak atas dasar banyaknya hari yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa atau kegiatan yang diberikan, termasuk yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang diterima atau diperoleh dalam 1 bulan takwim. 21

b. Honorarium yang diterima atau diperoleh anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai pegawai tetap pada perusahaan yang sama, selama 1 tahun takwim. c. Jasa produksi, tantiem, gratifikasi, bonus yang diterima atau diperoleh mantan pegawai selama 1 tahun takwim. d. Penarikan dana pada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan oleh peserta program pensiun sebelum memasuki masa pensiun, yang diterima atau diperoleh selama 1 tahun takwim. PPh pasal 21 = Penghasilan Bruto x tarif pasal 17 UU PPh 3. Menurut Peraturan Dirjen Pajak No. PER-15/PJ/2006 tanggal 23 Februari 2006 yang mulai berlaku pada masa pajak (bulan takwim) Januari 2006 tentang perubahan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.KEP-545/PJ/2000 tentang tentang petunjuk pemotongan PPh pasal 21 dan PPh pasal 26, tarif sebesar 15% ditetapkan atas perkiraan penghasilan neto yang dibayarkan atau terutang lepada tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas (pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai, dan aktuaris). Besarnya perkiraan penghasilan neto adalah 50% dari penghasilan bruto berupa honorarium atau imbalan lain dengan nama dan dalam bentuk apapun. PPh pasal 21 = ( Penghasilan Bruto x 50% ) x 15% 4. Menurut Peraturan Dirjen Pajak No. PER-15/PJ/2006 pasal 9 tanggal 23 Februari 2006 yang mulai berlaku pada masa pajak (bulan takwim) Januari 2006 tentang 22

perubahan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.KEP-545/PJ/2000 tentang tentang petunjuk pemotongan PPh pasal 21 dan PPh pasal 26, tarif sebesar 5% ditetapkan atas upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan, dan uang saku harian yang jumlahnya melebihi Rp.110.000,- sehari tetapi tidak melebihi Rp.1.100.000,- dalam satu bulan takwim dan atau tidak dibayarkan secara bulanan. PPh pasal 21 sehari = ( Penghasilan Bruto Sehari Rp.110.000,- ) x 5% II.2.6 Pengurangan Yang Diperbolehkan Atas PPh Pasal 21 Untuk menghitung besarnya PPh pasal 21 yang terutang kepada penerima penghasilan tertentu sebagai Wajib Pajak dalam negeri orang pribadi menurut Peraturan Dirjen Pajak No. PER-15/PJ/2006 tanggal 23 Februari 2006 yang mulai berlaku pada masa pajak (bulan takwim) Januari 2006 tentang perubahan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No.KEP-545/PJ/2000 tentang tentang petunjuk pemotongan PPh pasal 21 dan PPh pasal 26, besarnya penghasilan neto pegawai tetap ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi : 1. Biaya jabatan Biaya jabatan yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang besarnya 5% dari penghasilan bruto sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, dengan jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp 1.296.000,- setahun atau Rp 108.000,- sebulan. 2. Biaya pensiun Biaya pensiun yaitu biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara uang pensiun yang besarnya 5% dari penghasilan bruto berupa uang pensiun dengan 23

jumlah maksimum yang diperkenankan sejumlah Rp.432.000,- setahun atau Rp 36.000,- sebulan. 3. Iuran yang terkait dengan gaji yang dibayar oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan atau badan penyelenggara Tabungan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang dipersamakan dengan dana pension yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan. 4. Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) yang berlaku efektif per 1 Januari 2006 adalah sebagai berikut (137/PMK.03/2005): Rp 13.200.000,00 untuk wajib pajak orang pribadi yang bersangkutan. Rp 1.200.000,00 untuk tambahan untuk wajib pajak yang kawin. Rp 13.200.000,00 untuk tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami. Rp 1.200.000,00 untuk tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus, serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak 3 orang untuk setiap keluarga. 5. Dalam hal karyawati kawin, PTKP yang dikurangkan adalah hanya untuk dirinya sendiri dan dalam hal tidak kawin pengurangan PTKP selain untuk dirinya sendiri ditambah dengan PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya. 6. Bagi karyawati yang menunjukan keterangan tertulis dari pemerintah daerah setempat (serendah-rendahnya kecamatan) bahwa suaminya tidak menerima atau 24

memperoleh penghasilan diberikan tambahan PTKP sebesar Rp.1.200.000,- setahun atau Rp.100.000,- sebulan dan ditambah PTKP untuk keluarganya. 7. Besarnya PTKP ditentukan berdasarkan keadaan pada awal tahun takwim. Adapun bagi pegawai yang baru datang dan menetap di Indonesia dalam bagian tahun takwim, besarnya PTKP tersebut berdasarkan keadaan pada awal bulan dari bagian tahun takwim yang bersangkutan. 8. Pengurangan sebagaimana yang dimaksud nomer 1 sampai 4 diatas, tidak berlaku terhadap penghasilan Wajib Pajak luar negeri. Penghasilan yang dikenakan pemotongan PPh pasal 26 terhadap Wajib Pajak luar negeri adalah penghasilan bruto. II.2.7 Tata Cara Perhitungan PPh Pasal 21 Cara perhitungan PPh Pasal 21 untuk pegawai tetap yang menerima penghasilan secara teratur: 1. Menghitung besarnya penghasilan bruto teratur sebulan yang diperkenankan, meliputi: gaji pokok, semua tunjangan-tunjangan, premi asuransi yang dibayar pemberi kerja. 2. Menghitung penghasilan netto sebulan dengan cara mengurangkan penghasilan bruto dengan : Biaya jabatan, sebagai fasilitas pengurang penghasilan bruto yang diberikan kepada pegawai tetap. Besarnya biaya jabatan adalah 5% (lima persen) dari penghasilan bruto setinggi-tingginya Rp1.296.000,00 (satu juta dua ratus sembilan puluh enam ribu rupiah) setahun atau Rp 108.000,00 (seratus delapan ribu rupiah) sebulan. 25

Iuran yang terikat pada gaji yang dibayar sendiri oleh pegawai kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, atau badan penyelenggara Tabungan Hari Tua atau Tunjangan Hari Tua (THT) yang dipersamakan dengan dana pensiun. 3. Untuk memperoleh penghasilan netto setahun, dengan cara penghasilan netto sebulan dikalikan 12 atau banyaknya bulan sejak pegawai yang bersangkutan mulai bekerja sampai dengan bulan Desember. 4. Menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP) dengan cara penghasilan netto setahun dikurangi dengan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Besarnya PTKP adalah : - Rp. 13.200.000 untuk diri pegawai. - Rp. 1.200.000 tambahan untuk pegawai yang kawin. - Rp. 1.200.000 tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang menjadi tanggungan sepenuhnya paling banyak 3 (tiga) orang. 5. Menghitung PPh. Pasal 21 setahun, dengan cara Penghasilan Kena Pajak (PKP) dikalikan tarif PPh. Pasal 17. (untuk keperluan penerapan tarif, Penghasilan Kena Pajak dibulatkan kebawah dalam angka ribuan penuh). 6. Menghitung PPh. Pasal 21 sebulan, dengan cara PPh. Pasal 21 setahun dibagi 12 atau banyaknya bulan pegawai yang bersangkutan bekerja. II.2.8 Penyetoran PPh Pasal 21 Selama ini, penghitungan PPh Pasal 21 masa bersifat sementara dan menggunakan nilai penghasilan setahun yang bersifat estimasi atau perkiraan. Sedangkan penghitungan tahunan merupakan pajak yang sesungguhnya atas seluruh 26

penghasilan yang diterima oleh masing-masing pegawai. Dengan demikian potensi perbedaan penghitungan masa dengan tahunan sangat mungkin terjadi. Perbedaan ini dapat menimbulkan lebih bayar maupun kurang bayar. Timbulnya lebih bayar terjadi karena penyetoran PPh Pasal 21 setiap bulan ternyata melebihi PPh Pasal 21 Tahunan. Faktor utama yang mempengaruhi terjadinya lebih bayar ini adalah berfluktuasinya penghasilan teratur dan pegawai yang berhenti bekerja dalam tahun berjalan. Timbulnya kurang bayar terjadi karena penyetoran PPh Pasal 21 setiap bulan ternyata kurang dari PPh Pasal 21 Tahunan. Faktor utama yang mempengaruhi terjadinya kurang bayar ini adalah adanya komponen penghasilan yang tidak dimasukkan dalam penghitungan bulanan. Jika kurang bayar yang terjadi relatif kecil biasanya tidak menimbulkan masalah namun jika kurang bayar yang terjadi jumlahnya sangat material maka otoritas pajak dapat saja melakukan pemeriksaan dengan alasan bahwa yang bersangkutan tidak menjalankan kewajiban perpajakannya dengan benar. II.2.9 Jatuh Tempo Pembayaran dan Pelaporan PPh Pasal 21 Dalam Pajak Penghasilan dikenal adanya suatu batas waktu bagi Wajib Pajak untuk melakukan kewajibannya yaitu membayar pajak dan melaporkannya. Ketentuan ini tentu saja dimaksudkan untuk adanya ketertiban dalam administrasi perpajakan dan juga untuk memudahkan dalam pengawasan yang dilakukan oleh otoritas perpajakan. Batas waktu penyetoran dan penyampaikan SPT menurut Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) No.16 tahun 2000 tanggal 2 Agustus 2000 yang berlaku mulai 1 Januari 2001 tentang perubahan kedua Undang-undang No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, adalah sebagai berikut : 27

1. Untuk SPT Tahunan PPh pasal 21 Tabel II.3 Batas Waktu Penyetoran dan Penyampaian SPT Tahunan Batas Waktu Pembayaran Tanggal 25 Maret Tahun Takwim berikutnya sebelum SPT disampaikan Batas Waktu Penyampaian SPT Terakhir Tanggal 31 bulan ketiga setelah tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak 2. Untuk SPT Masa PPh Pasal 21 Tabel II.4 Batas waktu penyetoran dan penyampaian SPT Masa Batas Waktu Pembayaran Batas Waktu Penyampaian SPT Terakhir Tanggal 10 bulan takwim berikutnya Tanggal 20 Bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir. II.3 Manajemen Pajak II.3.1 Definisi Manajemen Pajak Manajemen pajak adalah sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharapkan. Ada beberapa ukuran yang biasa digunakan dalam mengukur kepatuhan perpajakan wajib pajak yaitu : 1. Tax Avoidance adalah upaya wajib pajak untuk mengecilkan jumlah pajak yang harus dibayar secara legal dengan memanfaatkan kelemahan Undang-undang tanpa melanggar Undang-undang tersebut. 2. Tax Evasion adalah upaya wajib pajak untuk mengecilkan jumlah pajak yang harus dibayar secara ilegal dengan cara menyembunyikan keadaan yang sebenarnya. 28

Seorang perencana pajak (tax planner) hanya menggunakan dua cara yaitu tax avoidance dan tax saving karena keduanya merupakan perbuatan yang tidak melanggar Undang-undang. Tujuan manajemen pajak dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Menerapkan peraturan perpajakan dengan benar. 2. Usaha efisiensi untuk mencapai laba dan likuiditas yang seharusnya. II.3.2 Perencanaan Pajak Perencanaan pajak dilakukan oleh wajib pajak baik badan maupun perseorangan dalam rangka meminimalkan pajak terutang yang harus dibayar kepada negara. Di dalam melakukan perencanaan pajak, seorang wajib pajak harus tetap berpedoman pada peraturan perpajakan yang berlaku. Pengertian perencanaan pajak menurut Suandy, E. (2006) adalah langkah awal dalam manajemen pajak dengan melakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis penghematan pajak yang akan dilakukan. Tujuan dari perencanaan pajak adalah merekayasa agar beban pajak serendah mungkin dengan memanfaatkan peraturan yang ada untuk memaksimalkan penghasilan setelah pajak, karena pajak merupakan unsur pengurang laba. (h. 7). Perencanaan pajak pada umumnya selalu dimulai dengan meyakinkan apakah suatu transaksi tersebut terkena pajak, dan apakah dapat diupayakan untuk dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya, dan apakah pembayaran pajak dimaksud dapat ditunda pembayarannya. (h. 8). Kewajiban perpajakan bermula dari implementasi Undang-undang perpajakan. Oleh karena itu ketidakpatuhan terhadap Undang-undang dapat dikenakan sanksi baik administrasi maupun sanksi pidana. Sanksi administrasi maupun pidana merupakan 29

pemborosan sumber daya sehingga perlu dieliminasi melalui suatu perencanaan pajak yang baik. Untuk dapat menyusun perencanaan pemenuhan kewajiban perpajakan yang baik diperlukan pemahaman terhadap peraturan perpajakan. II.3.3 Tahapan Dalam Membuat Perencanaan Pajak Menurut Suandy, E. (2006), dalam arus globalisasi dan tingkat persaingan yang semakin tajam seorang manajer dalam membuat suatu perencanaan pajak sebagaimana strategi perencanaan perusahaan secara keseluruhan juga harus memperhitungkan adanya kegiatan yang bersifat lokal maupun internasional, maka agar perencanaan pajak dapat berhasil sesuai dengan yang diharapkan, maka perencanaan itu seharusnya dilakukan melalui berbagai urutan tahap-tahap berikut: 1. Menganalisis informasi yang ada. Tahap pertama dari proses membuat perencanaan pajak adalah dengan menganalisis komponen yang berbeda atas pajak yang terlibat dalam suatu proyek dan menghitung seakurat mungkin beban pajak yang harus ditanggung. Oleh karena itu seorang manajer harus memperhatikan faktor-faktor internal maupun eksternal, yaitu: Fakta yang relevan yaitu bagaimana perencanaan pajak harus memahami kondisi internal dan eksternal serta perubahan-perubahan yang terjadi agar perencanaan pajak dapat dilakukan secara tepat atas transaksi-transaksi perusahaan yang berpengaruh pada perpajakan. Faktor pajak bagaimana perencanaan pajak harus mengetahui secara pasti kewajiban perpajakan yang akan dihadapi baik didalam dan diluar negeri. 30

Faktor non pajak yaitu dalam menyusun perencanaan pajak yang harus diperhatikan adalah masalah badan hukum perusahaan, masalah mata uang asing dan nilai tukar, masalah pengendalian devisa, masalah program insentif investasi yang diberikan oleh suatu negara dan masalah yang lain seperti hukum, politik, ekonomi dan lain sebagainya. 2. Membuat suatu model atau lebih rencana kemungkinan besarnya pajak. 3. Mengevaluasi pelaksanaan perencanaan pajak. Perencanaan pajak sebagai suatu perencanaan yang merupakan bagian kecil dari seluruh perencanaan strategik perusahaan, oleh karena itu perlu dilakukan evaluasi untuk melihat sejauh mana hasil pelaksanaan suatu perencanaan pajak terhadap beban pajak, perbadaan laba kotor dan pengeluaran selain pajak atas berbagai alternatif perencanaan. 4. Mencari kelemahan dan kemudian memperbaiki kembali rencana pajak. Untuk mengatakan bahwa hasil suatu perencanaan baik atau tidak, tentu harus dievaluasi melalui berbagai rencana yang dibuat. Dengan demikian keputusan yang baik atas perencanaan pajak harus sesuai dengan bentuk transaksi dan tujuan operasi. Perbandingan berbagai rencana harus dibuat sebanyak mungkin sesuai bentuk perencanaan pajak yang diinginkan. 5. Mutakhirkan rencana pajak. Pemutakhiran dari suatu rencana adalah dengan memberikan perhatian terhadap perkembangan yang akan datang maupun situasi yang terjadi saat ini, seorang manajer akan mampu mengurangi akibat yang merugikan akibat dari adanya perubahan, dan pada saat yang bersamaan maupun mengambil kesempatan untuk memperoleh manfaat yang potensial (h.14). 31