BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TNJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV PENUTUP. A. Simpulan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 43/PUU-XI/2013 Tentang Pengajuan Kasasi Terhadap Putusan Bebas

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

Lex Crimen Vol. II/No. 3/Juli/2013

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

Makalah Rakernas

BAGAN ALUR PROSEDUR PERKARA PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

BAB IV PENUTUP. A. Simpulan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 29/PUU-XV/2017 Perintah Penahanan yang Termuat dalam Amar Putusan

TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum Tentang Tugas, Wewenang Hakim Dalam Peradilan Pidana

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

RINGKASAN PUTUSAN. Darmawan, M.M Perkara Nomor 13/PUU-VIII/2010: Muhammad Chozin Amirullah, S.Pi., MAIA Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI), dkk

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

UPAYA HUKUM (BAB XVII KUHAP)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kerangka Teori

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

FUNGSI MAHKAMAH AGUNG DALAM MENERIMA PENINJAUAN KEMBALI SUATU PERKARA PIDANA 1 Oleh: Eunike Lumi 2

V. PENUTUP. 1. Alasan yang menjadi dasar adanya kebijakan formulasi Hakim Komisaris. dalam RUU KUHAP Tahun 2009 atau hal utama digantinya lembaga pra

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 102/PUU-XIII/2015 Pemaknaan Permohonan Pra Peradilan

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

TINJAUAN PUSTAKA. tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

BAB III DASAR HUKUM PEMBERHENTIAN TIDAK TERHORMAT ANGGOTA KOMISI KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT PERPRES NO 18 TAHUN 2011

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan hukum dan penegakkan hukum yang sah. pembuatan aturan atau ketentuan dalam bentuk perundang-undangan.

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) Bagian Keempat Pembuktian dan Putusan

BAB V ANALISIS. A. Analisis mengenai Pertimbangan Hakim Yang Mengabulkan Praperadilan Dalam

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

KEWENANGAN KEJAKSAAN SEBAGAI PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 98/PUU-XIII/2015 Izin Pemanfaatan Hutan


RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR:...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XIII/2015 Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 42/PUU-XV/2017 Tafsir Frasa Tidak dapat Dimintakan Banding atas Putusan Praperadilan

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian sudah seharusnya penegakan

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime.

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 40/PUU-XIII/2015 Pemberhentian Sementara Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah meluas dalam masyarakat

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi. Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana.

II. TINJAUAN PUSTAKA. penegakan hukum berdasarkan ketentuan hukum, maka hilanglah sifat melanggar

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 99/PUU-XIII/2015 Tindak Pidana Kejahatan Yang Menggunakan Kekerasan Secara Bersama-Sama Terhadap Barang

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

BAB II TINJAUN PUSTAKA. Hukum acara pidana di Belanda dikenal dengan istilah strafvordering,

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 85/PUU-XIV/2016 Kewajiban Yang Harus Ditaati Oleh Pelaku Usaha Dalam Melaksanakan Kerjasama Atas Suatu Pekerjaan

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

2 c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Pedoman Beracar

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penulisan skripsi ini dilakukan dengan menggunakan penelitian lapangan dengan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR...TAHUN... TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 33/PUU-XIV/2016 Kewenangan Mengajukan Permintaan Peninjuan Kembali. Anna Boentaran,. selanjutnya disebut Pemohon

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

BAB III FILOSOFI ASAS NE BIS IN IDEM DAN PENERAPANNYA DI PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB III. Upaya Hukum dan Pelaksanaan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara. oleh Pejabat Tata Usaha Negara

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang Upaya Hukum Maksud dari upaya hukum dijelaskan dalam Pasal 1 butir 12 KUHAP. Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Menurut Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ada dua macam upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum biasa diatur didalam BAB XVII, sedangkan upaya hukum luar biasa diatur dalam BAB XVIII.Uraian dari upaya hukum yaitu: a. Upaya hukum biasa Upaya hukum biasa merupakan hak terdakwa dan penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan negeri atau tingkat pertama (judex factie), maksud upaya hukum biasa ini yaitu untuk memperbaiki kesalahan yang dibuat oleh instansi sebelumnya, untuk kesatuan pengadilan dan sebagai perlindungan terhadap tindak sewenang-wenang hakim atau pengadilan (Andy Sofyan dan Abd.Asis,2014:269). Upaya hukum biasa terdiri dari: 1) Banding Berdasarkan Pasal 67 KUHAP, banding dapat diajukan oleh terdakwa atau penuntut umum yang berkebaratan atas putusan pengadilan tingkat pertama, kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan dalam perkara cepat. 14

15 2) Kasasi a) Pengertian Kasasi Menurut Pasal 244 KUHAP, terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat akhir oleh pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan pemeriksaan Kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap Putusan Bebas. Berdasarkan Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 114/PUU-X/2012 yang telah menghilangkan frase kecuali terhadap putusan bebas dalam Pasal 244 KUHAP, sehingga ketentuan tersebut sudah tidak mengikat sehingga tidak ada larangan lagi untuk permohonan kasasi terhadap putusan bebas. Selain pengertian KUHAP tersebut, kasasi juga dapat diartikan bahwa: Kasasi merupakan salah satu upaya hukum biasa dan merupakan hak asasi yang diberikan peraturan perundangundangan kepada pencari keadilan. Kasasi berasal dari kata Cassation dengan kata kerja Casser artinya membatalkan atau memecahkan. Peradilan kasasi dapat diartikan memecahkan atau membatalkan putusan atau penetapan pengadilan-pengadilan, karena dinilai salah menerapkan hukum. Meskipun secara normatif Mahkamah Agung memiliki kewenangan mengadili perkara kasasi tidak serta merta dan pasti melakukannya, melainkan tergantung pihak pencari keadilan atau penuntut umum, mengajukan kasasi atau tidak dan tergantung syarat formal antara lain: tenggang waktu mengajukan kasasi, surat kuasa khusus sempurna, masih ada upaya hukum yang disediakan oleh hukum acara (verzet, banding), memberikan memori kasasi dalam waktunya (Henry P Panggabean,2001:201).

16 b) Tujuan Kasasi (1) Koreksi Terhadap Putusan Pengadilan Bawahan Salah satu tujuan kasasi adalah memperbaiki dan meluruskan kesalahan penerapan hukum, agar hukum benarbenar diterapkan sebagaimana mestinya serta apakah cara mengadili perkara benar-benar dilakukan menurut ketentuan undang-undang. (2) Menciptakan dan Membentuk Hukum Baru Selain tindakan koreksi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam peradilan kasasi, adakalanya tindakan koreksi itu sekaligus menciptakan hukum baru dalam bentuk yurisprudensi. (3) Pengawasan Terciptanya Keseragaman Penerapan Hukum Tujuan lain dari pemeriksaan kasasi adalah mewujudkan kesadaran keseragaman penerapan hukum atau unifeld legal frame work dan unifeld legal opinion. Dengan adanya putusan kasasi yang menciptakan yurisprudensi, akan mengarahkan keseragaman pandangan dan titik tolak penerapan hukum, serta dengan adanya upaya hukum kasasi, dapat terhindari kesewenangan dan penyalahgunaan jabatan oleh para hakim yang tergoda dalam memanfaatkan kebebasan kedudukan yang dimilikinya (M. Yahya Harahap,2012:539-542). c) Alasan Kasasi Alasan kasasi telah ditentukan dalam Pasal 253 ayat (1) KUHAP secara limitative yang menyebutkan: Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 249 guna menentukan: (1) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya;

17 (2) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang; (3) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas kewenangannya. Selain dari KUHAP, diatur pula dalam Pasal 30 Undang- Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung, alasan-alasan hukum yang dipergunakan dalam permohonan kasasi, yaitu: (1) Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang (2) Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku (3) Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undanga yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan. d) Pihak-pihak yang Dapat Mengajukan Kasasi Upaya hukum kasasi dapat diartikan sebagai hak yang diberikan kepada terdakwa ataupun penuntut umum apabila mereka tidak puas atas putusan Pengadilan Tinggi atau apabila mereka tidak puas terhadap putusan Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan. Menurut Pasal 244 KUHAP, menegaskan bahwa yang berhak mengajukan kasasi adalah terdakwa dan penuntut umum. Mereka inilah yang berhak mengajukan permohonan kasasi baik sendiri-sendiri maupun secara bersamaan. Terdakwa saja secara sendirian dapat mengajukan kasasi, demikian juga penuntut umum. Hal ini tidak mengurangi kemungkinan keduanya sama-sama mengajukan kasasi, baik terdakwa maupun penuntut umum sama-sama mengajukan permohonan kasasi (M. Yahya Harahap.2010:548).

18 e) Tata Cara Pengajuan Upaya Hukum Kasasi Tata cara pengajuan permohonan kasasi selain diatur dalam Pasal 244 sampai dengan Pasal 250 KUHAP sebagai syarat formal, juga diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa: Permohonan kasasi harus sudah disampaikan dalam jangka waktu 14 hari setelah putusan atau penetepan pengadilan yang dimaksud diberitahukan kepada Pemohon (Pasal 46 ayat (1) UU No. 14/1985), bila tidak terpenuhi maka permohonan kasasi tidak dapat diterima. Prosedur mengajukan upaya hukum kasasi yaitu: (1) Permohonan kasasi disampaikan oleh pihak yang berhak baik secara tertulis atau lisan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut dengan melunasi biaya kasasi. (2) Pengadilan Negeri akan mencatat permohonan kasasi dalam buku daftar, dan hari itu juga membuat akta permohonan kasasi yang dilampirkan pada berkas (Pasal 46 ayat (3) UU No. 14/1985) (3) Paling lambat 7 hari setelah permohonan kasasi didaftarkan panitera Pengadilan Negeri memberitahukan secara tertulis kepada pihak lawan (Pasal 46 ayat (4) UU No. 14/1985) (4) Dalam tenggang waktu 14 hari setelah permohonan kasasi dicatat dalam buku daftar pemohon kasasi wajib membuat memori kasasi yang berisi alasan-alasan permohonan kasasi (Pasal 47 ayat (1) UU No. 14/1985) (5) Panitera Pengadilan Negeri menyampaikan salinan memori kasasi pada lawan paling lambat 30 hari (Pasal 47 ayat (2) UU No. 14/1985). (6) Pihak lawan berhak mengajukan kontra memori kasasi dalam tenggang waktu 14 hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasai (Pasal 47 ayat (3) UU No. 14/1985)

19 (7) Setelah menerima memori dan kontra memori kasasi dalam jangka waktu 30 hari Panitera Pengadilan Negeri harus mengirimkan semua berkas kepada Mahkamah Agung (Pasal 48 ayat (1) UU No. 14/1985). b. Upaya Hukum Luar Biasa Merupakan pengecualian dan penyimpangan dari upaya hukum biasa, upaya banding dan kasasi. Upaya hukum luar biasa bertujuan untuk mengoreksi serta meluruskan kesalahan yang terdapat dalam putusan tersebut dan pelurusan kesalahan tersebut dimaksudkan demi tegaknya hukum dan kebenaran serta keadilan (M. Yahya Harahap,2012:543-544). Upaya hukum luar biasa terdiri dari: 1) Kasasi Demi Kepentingan Hukum Kasasi demi kepentingan hukum hanya dapat diajukan terhadap putusan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang telah berkekuatan hukum tetap, hal ini berbeda dengan peninjauan kembali, tidak hanya terbatas pada putusan pengadilan negeri dan atau putusan pengadilan tinggi, tetapi juga terhadap putusan Mahkamah Agung (M. Yahya Harhap,2012:608-609). Pihak yang berhak mengajukan kasasi demi kepentingan hukum diatur dalam Pasal 259 ayat (1) KUHAP, yaitu Jaksa Agung karena jabatannya, terpidana atau ahli waris atau penasehat hukumnya tidak diperkenankan mengajukan kasasi demi kepentingan hukum. Putusan kasasi demi kepentingan hukum ini tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan dan hanya diperbolehkan diajukan satu kali saja. 2) Peninjauan Kembali Berdasarkan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan, kecuali putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli

20 warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. Berdasarkan Pasal 263 ayat (3) KUHAP adapun dasar diajukannya permohonan peninjauan kembali adalah sebagai berikut: 1) Adanya keadaan baru (novum); 2) Apabila dalam pelbagai putusan terdapat saling pertentangan; 3) Apabila terdapat kekhilafan hakim yang nyata dalam putusan. 2. Tinjauan terhadap Judex Factie dan Judex Yuris a. Judex Factie Berdasarkan arti kata Judex berarti hakim dan Factie berarti fakta, sehingga definisi dari judex factie adalah fakta hakim dalam persidangan di tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi. Jadi judex factie lebih condong pada kewenangan hakim dalam menentukan suatu fakta hukum dalam suatu persidangan yang akan dijadikan pertimbangan suatu putusan. Judex factie berwenang memeriksa fakta dan bukti suatu perkara ditingkat pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Judex factie memeriksa bukti-bukti dari suatu perkara dan menentukan fakta-fakta dari perkara tersebut (Muhammad Okky Arista dan Putra Bagus Setya Dewanto,2015:4). b. Judex Yuris Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan tertinggi tingkatannya dikenal istilah judex juris, yaitu hakim yang memeriksa atas penerapan hukum yang telah dilakukan oleh pengadilan tingkat bawahan (Robertus Bima Wahyu,2015:2). Wewenang Mahkamah Agung Menurut Pasal 20 ayat (2) Undangundang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Wewenang Mahkamah Agung ialah;

21 1) Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, kecuali undangundang menentukan lain; 2) Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan 3) Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang. Pengaturan lebih lanjut mengenai Mahkamah Agung terdapat dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 jo Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. 1. Tinjauan terhadap Penuntut Umum a. Pengertian Penuntut Umum Berdasarkan penjelasan bunyi Pasal 1 angka 6 KUHAP, secara tegas menyatakan terdapat perbedaan antara jaksa dan penuntut umum. Yang dimaksud dengan penuntut umum adalah jaksa yang diberikan wewenang oleh Undang-Undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Sedangkan yang dimaksud dengan jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh Undang-Undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah meperoleh kekuatan hukum tetap. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan antara jaksa dan penuntut umum. Jaksa adalah pejabat fungsional yang wewenangnya tidak hanya dibidang penuntutan tetapi juga memiliki wewenang untuk sebagai eksekutor putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai jaksa pengacara negara atau sebagai penyelidik tindak pidana tertentu dan kewenangan lainnya diatur dalam Undang-Undang tentang kejaksaan. Sedangkan yang dimaksud penuntut umum adalah jaksa yang kewenangannya khusus dibidang penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.

22 b. Kewenangan Penuntut Umum Adapun wewenang penuntut umum sebagaimana diatur menurut Pasal 14 KUHAP, sebagai berikut: 1) Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu; 2) Mengadakan pra-penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan dengan memerhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan dari penyidik; 3) Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan dan/atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik; 4) Membuat surat dakwaan; 5) Melimpahkan perkara ke pengadilan; 6) Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat-surat panggilan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada siding yang telah ditentukan; 7) Melakukan penuntutan; 8) Menutup perkara demi kepentingan hukum; 9) Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini; 10) Melaksanakan penetapan hakim. 4. Tinjauan tentang Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan a. Pengertian Hakim Hakim sebagaimana yang tertera dalam Pasal 1 butir 8 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang selanjutnya disebut KUHAP adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang- Undang untuk mengadili. Adapun yang dimaksud dengan mengadili

23 menurut Pasal 1 butir 9 KUHAP adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di siding pengadilan dalam hal dan menurut cara yand diatur dalam undang-undang ini. Sedangkan menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa yang dimaksud dengan hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. b. Kewajiban Hakim Prinsipnya kewajian hakim adalah menjatuhkan putusan yang menimbulkan akibat hukum bagi pihak lain. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan memiliki tugas dan kewajiban pokok dibidang peradilan yang secara normatif telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Adapun kewajiban pokok hakim menurut pandangan beberapa ahli antara lain: 1) Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat; 2) Hakim wajib memperhatikan sifat -sifat yang baik dan jahat dari Terdakwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan; 3) Hakim harus dapat menemukan kembali dan menemukan pembaharuan hukum (Barda Nawawi, 2010:43). Hakim dalam menjalankan kewajibannya untuk menyelesaikan perkara tidak boleh menolak untuk memeriksa perkara serta mengadili. Hakim tidak boleh menolak perkara dengan alasan tidak ada aturan hukummnya atau aturan hukumnya kurang jelas karena hakim itu dianggap mengetahui hukum sesuai dengan asas Ius Curius Novit. Apabila

24 aturan hukum tersebut tidak ada, maka seorang hakim harus menggalinya dengan ilmu pengetahuan hukum dan apabila aturan hukum tersebut tidak jelas, maka Hakim harus menafsirkannya. c. Tanggung Jawab Hakim Mengingat hakim memiliki posisi yang cukup sentral dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis serta berkeadilan, maka seseorang yang diangkat menjadi hakim mempunyai tanggung jawab yang besar yang senantiasa dipegang oleh para hakim. Tanggung jawab tersebut antara lain (Iskandar Kamil, 2006:2): a. Tanggung Jawab Moral Seorang hakim harus tunduk dan mematuhi nilai-nilai dan norma yang berlaku dalam lingkungan kehakiman, seorang hakim harus mamapu untuk memanifestasikan rasa keadilan yang terdapat dalam kenyataan normatif (das sollen) ke dalam kenyataan keseharian (das sein) melalui putusan-putusannya. b. Tanggung Jawab Hukum Menjalankan tanggung jawabnya sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman, hakim wajib untuk menjunjung tinggi rambu-rambu hukum. c. Tanggung Jawab Teknis Profesi Tuntutan bagi aparat untuk melaksanakan tugasnya secara profesional sesuai dengan kriteria teknis yang berlaku dalam bidang profesi yang bersangkutan, baik bersifat umum maupun ketentuan khusus dalam lembaganya. d. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Pertimbangan-pertimbangan hakim untuk sampai pada putusan harus memperhatikan ketentuan Pasal 50 dan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan bahwa dalam Pasal 50 :

25 1) Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. 2) Tiap putusan pengadilan harus ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang. Sedangkan dalam Pasal 53 menyatakan bahwa: 1) Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim bertanggung jawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya. 2) Penetapan dan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar. Menurut Pasal 197 ayat (1) huruf d KUHAP, disebutkan pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat-pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. Selanjutnya dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP juga harus dipertimbangkan mengenai pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundangundangan yang menjadi dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan harus berdasarkan pada keterangan saksi-saksi, barang bukti, keterangan terdakwa dan alat bukti surat dan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan, serta unsur-unsur pasal tindak pidana yang didakwakan kepada Terdakwa. Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi ada 2 (dua), yaitu pertimbangan yuridis dan non yuridis. Pertimbangan Yuridis, yaitu pertimbangan hakim yang didasarkan pada faktor-faktor yang terungkap di dalam Persidangan dan oleh Undang-Undang telah ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat dalam putusan. Ada 2 (dua)

26 kategori untuk memberikan telaah pada pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan. Kategori pertama akan dilihat dari segi pertimbangan yang bersifat yuridis dan kedua adalah pertimbangan yang bersifat non yuridis, selanjutnya akan dijelaskan sebagai berikut (Rusli Muhammad, 2007: 212-221): Pertimbangan yang bersifat yuridis diantaranya: a) Dakwaan penuntut umum; b) Tuntutan pidana; c) Keterangan saksi; d) Keterangan terdakwa; e) Barang bukti; f) Pasal-pasal yang terkait. Sedangkan dasar-dasar yang digunakan dalam pertimbangan non yuridis, diantaranya: a) Latar belakang terdakwa; b) Akibat perbuatan terdakwa; c) Kondisi diri terdakwa; d) Agama terdakwa. e. Pengertian Putusan Pengadilan Menurut Pasal 1 butir 11 KUHAP, putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam siding pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dan segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Selanjutnya mengenai jenis putusan pengadilan yang dapat dijatuhkan hakim telah ditentukan, yaitu: 1) Putusan Bebas menurut Pasal 191 ayat (1) KUHAP adalah jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di siding, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak

27 terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa dakwa diputus bebas. 2) Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum berdasarkan Pasal 191 ayat (2) KUHAP adalah jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. 3) Putusan Pemidanaan berdasarkan Pasal 193 ayat (1) KUHAP menjelaskan bahwa jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. 5. Tinjauan tentang Korupsi dan Tindak Pidana Korupsi a. Pengertian Korupsi Dalam ensiklopedia Indonesia istilah korupsi berasal dari bahasa Latin: ( corruption = penyuapan; corruptore= merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidak beresan lainnya. Adapun arti harfia dari korupsi dapat berupa : 1) Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran. 2) Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok dansebagainya. 3) Korup (busuk; suka menerima uang suap, uang sogok; memakaikekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya. 4) Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uangsogok dan sebagainya); 5) Koruptor (orang yang korupsi). Istilah korupsi berasal dari bahasa latin Corruptie atau Corruptus Selanjutnya, disebutkan bahwa Corruptio itu berasal dari kata

28 Corrumpore, suatu kata latin kuno. Dari bahasa latin inilah, istilah Corruptio turun kebanyak bahasa Eropa, seperti inggris: Corruption, Corrupt; Prancis:Corruption; dan Belanda: Corruptie (korruptie) (Lilik Mulyadi:2000:16). b. Pengertian Tindak Pidana Korupsi Tindak pidana korupsi merupakan salah satu bagian dari hukum pidana khusus di samping mempunyai spesifikasi tertentu yang berbeda dengan hukum pidana umum, seperti adanya penyimpangan dalam hukum acara serta apabila ditinjau dari materi yang diatur. Maka tindak pidana korupsi secara langsung maupun tidak langsung dimaksudkan menekan seminimal mungkin terjadinya kebocoran dan penyimpangan terhadap keuangan dan perekonomian negara. Dengan diantisipasi sedini mungkin penyimpangan tersebut, diharapkan roda perekonomian dan pembangunan dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya, sehingga lambat laun akan membawadampak adanya peningkatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Terhadap peraturan tindak pidana korupsi mengalami banyak perubahan,dicabut dan diganti dengan peratuan yang baru. Hal ini dapat dimengerti oleh karena di satu pihak perkembangan masyarakat demikian pesatnya dan modus operandi tindak pidana korupsi semakin canggih dan variatif,sedangkan di lain pihak perkembangan hukum (Law in book ) relatif tertinggal dengan perkembangan masyarakat. Secara Yuridis Formal pengertian Tindak Pidana Korupsi terdapat dalam Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi Pasal 2 sampai dengan Pasal 20 serta Bab III tentang Tidnak Pidana Lain yang berkaitan dengan Tindak Pidana Korupsi Pasal 21 sampai dengan 24 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Suatu perbuatan atau tindakan untuk dapat dikategorikan sebagai suatu tindak pidana mempunyai unsur-unsur tindak pidana yang harus

29 dipenuhi.demikian halnya suatu tindak pidana untuk dikatakan sebagai suatu tindak pidana korupsi terdapat unsur-unsur yang harus dipenuhi. Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 menyebutkan bahwa : Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,... Menurut ketentuan Pasal 2 ayat (1) tersebut dapat ditarik unsur-unsur Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut : 1) Perbuatan tersebut sifatnya melawan hukum Unsur secara melawan hukum disini dalam Penjelasan Pasal 2 ayat(1) dikatakan mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana. 2) Perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi Pada dasarnya maksud memperkaya diri sendiri disini adalah dengan perbuatan melawan hukum tersebut si pelaku bertambah kekayaannya. Sedangkan memperkaya orang lain atau korporasi berarti akibat perbuatan melawan hukum yang dilakukan si pelaku, ada orang lain atau korporasiyang mendapatkan keuntungan atau bertambah harta kekayaannya. 3) Dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara Keuangan negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun,yang dipisahkan atau tidak dipisahkan. Sedangkan yang dimaksud dengan perekonomian negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagaiusaha bersama berdasarkan asas

30 kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang berdasarkan kepada kebijakan pemerintah, baik ditingkat pusat maupun daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran,dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan masyarakat (Penjelasan UmumUndang-Undang Nomor 31 Tahun 1999). Dalam Penjelasan Pasal 2 ayat (1), dijelaskan bahwa kata dapat sebelum frasa merugikan keuangan negara atau perekonomian negara menunjukkan bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaituadanya tindak pidana korupsi cukup dengan dipenuhinya unsurunsur perbuatan yang sudah dirumuskan bukan dengan timbulnya akibat. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31Tahun1999 tersebut, maka pada dasarnya suatu tindak pidana dapat tergolong sebagai suatu tindak pidana korupsi apabila memenuhi unsurunsur sebagai berikut: 1) Unsur secara melawan hukum; 2) Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu korporasi; 3) Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

31 B. Kerangka Pemikiran Perkara Tindak Pidana Korupsi Pemeriksaan di Pengadilan Negeri Gorontalo Putusan Pidana penjara selama 4 tahun dan Membayar uang pengganti Upaya Hukum Kasasi Argumentasi Hukum Hakim Mahkamah Agung Judex Factie Tidak Menerapkan Hukum Mahkamah Agung Menerima dan Mengabulkan Permohonan Pengajuan Kasasi oleh Penuntut Umum

32 Keterangan : Bagan kerangka pemikiran tersebut menjelaskan alur berpikir penulis dalam menyusun penelitian hukum guna menemukan jawaban atas permasalahan hukum ini, yaitu mengenai perkara Tindak Pindana Korupsi. Berdasarkan Pasal 253 ayat (1) huruf a KUHAP bahwa suatu Pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 249 KUHAP guna menentukan apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya. Meninjau perkara Tindak Pidana Korupsi sebagaimana terdapat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1818 K/Pid.Sus/2014 bahwa atas putusan yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Negeri Gorontalo yang amarnya menyatakan Terdakwa bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana yang didakwakan dalam Putusan Pengadilan Negeri Gorontalo Nomor : 24/Pid.Sus.Tipikor/2013/PN.Gtlo, Penuntut Umum telah mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Terdakwa dalam mengajukan upaya hukum kasasi tersebut beralasan bahwa judex factie telah salah dalam menerapkan hukum, yang mana alasan tersebut menjadi pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam mengeluarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor : 1818 K/Pid.Sus/2014 yang amarnya menyatakan pembatalan Putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Tinggi Gorontalo Nomor : 06/PID.SUS.TIPIKOR/2014/ PT.Gtlo tanggal 13 Juni 2014. Yang memperbaiki putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri Gorontalo : 24/Pid.Sus.Tipikor/2013/PN.Gtlo.