BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama

dokumen-dokumen yang mirip
SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

Kesehatan Mental. Strategi Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis. Aulia Kirana, M.Psi, Psikolog. Modul ke: Fakultas Psikologi. Program Studi Psikologi

2015 KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS PEREMPUAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil pengolahan data mengenai derajat psychological wellbeing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Carol D. Ryff merupakan penggagas teori Psychological well-being.

5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Perceraian adalah puncak dari penyesuaian perkawinan yang buruk,

BAB V PENUTUP. orang lain, memiliki otonomi, dapat menguasai lingkungan, memiliki. tujuan dalam hidup serta memiliki pertumbuhan pribadi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tetapi di dalam kehidupan rumah tangga sering terjadi berbagai konflik. Konflik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN. hendak diteliti dalam penelitian ini, yaitu mengenai gambaran psychological wellbeling

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk individu dan juga makhluk sosial yang tidak

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Duvall & Miller (1985) pernikahan bukan semata-mata legalisasi,

5. KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

HUBUNGAN FORGIVENESS TERHADAP PERISTIWA PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan menjadi tempat yang penting dalam perkembangan hidup seorang manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dalam menjalani kehidupan manusia memiliki rasa kebahagiaan dan

DAFTAR ISI. HALAMAN PENGESAHAN...i. KATA PENGANTAR.ii. ABSTRAK..v. DAFTAR ISI..vi. DAFTAR TABEL... x. DAFTAR DIAGRAM.xi. DAFTAR LAMPIRAN..

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. peristiwa yang menyenangkan maupun peristiwa yang tidak menyenangkan.

BAB I PENDAHULUAN. bekerja. Tanggapan individu terhadap pekerjaan berbeda-beda dengan

ABSTRAK. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. dengan keterikatan aturan, emosional dan setiap individu mempunyai peran

BAB I PENDAHULUAN. yang paling dinanti-nantikan. Pada pasangan yang sulit memiliki anak, segala

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan. Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012)

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Keadaan disabilitas yang adalah keterbatasan fisik, kecacatan baik fisik maupun mental, serta berkebutuhan

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berubah dari perubahan kognitif, fisik, sosial dan identitas diri. Selain itu, terjadi pula

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma di suatu lingkungan masyarakat (Santoso, 2003). Salah satu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang dapat dicapai oleh individu. Psychological well-being adalah konsep keberfungsian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lembaga kesejahteraan sosial yang mempunyai kewajiban untuk memberikan

1. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa dimana peserta didik bergaul, belajar dan

BAB I PENDAHULUAN. selayaknya mendapatkan perhatian utama baik dari pemerintah maupun. Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik,

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well-Being) pada buku karangan Aristotetea yang berjudul Nicomacheon Ethics

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. tersebut disebabkan oleh karena keluarga merupakan tempat yang nyaman untuk

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan keluarga tempat anak tumbuh dan berkembang. Sehingga. Hal ini tentunya sesuai dengan isu-isu yang muncul belakangan ini

BAB 5 Simpulan, Diskusi, Saran

BAB I PENDAHULUAN. menjalin relasi sosial. Kebutuhan individu untuk. membangun relasi sosial meningkat seiring bertambahnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. di dalamnya terdapat komitmen dan bertujuan untuk membina rumahtangga serta

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa kanak-kanak, relasi dengan orangtua sangat menentukan pola attachment dan

DAFTAR ISI Dina Meyraniza Sari,2013

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. budaya masyarakat, tanggung jawab penjagaan, perawatan, dan pengasuhan anak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Psychological Well Being. perspektif besar mengenai psychological well being yang diturunkan dari dua

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan sangat penting dalam pembentukan karakter bangsa. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Untuk selanjutnya kaum homoseksual yang berjenis kelamin pria dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bahasan dalam psikologi positif adalah terkait dengan subjective well being individu.

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia terdapat 6 agama yang diakui negara yaitu Islam, Kristen,

COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH

PSYCHOLOGICAL WELL BEING PADA WANITA LAJANG DEWASA MADYA NASKAH PUBLIKASI

BAB I PENDAHULUAN. keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dianggap sebagai masa topan badai dan stres, karena remaja telah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. muncul melalui proses evaluasi masing-masing individu terhadap kehidupannya

BAB I PENDAHULUAN. jumlah penduduk lansia sebanyak jiwa (BPS, 2010). dengan knowledge, attitude, skills, kesehatan dan lingkungan sekitar.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. penutup dalam rentang hidup seseorang yaitu suatu periode dimana seseorang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

Bab 2. Landasan Teori

DAFTAR ISI. LEMBAR PENGESAHAN...ii. KATA PENGANTAR...iii. DAFTAR ISI..vi. DAFTAR BAGAN.ix. DAFTAR TABEL...x. DAFTAR LAMPIRAN.xi BAB I PENDAHULUAN...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. potensi individu dimana individu dapat menerima kekurangan dan kelebihan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan menyelesaikan tugas-tugas perkembangan dimulai dari lahir, masa

BAB I PENDAHULUAN. Setelah kurang lebih lima hingga sepuluh tahun, HIV ini dapat berubah menjadi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. langgeng hingga akhir hayat mereka. Namun, dalam kenyataannya harapan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam membangun hidup berumah tangga perjalanannya pasti akan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa

PEMETAAN KESEJAHTERAAN PSIKOLOGIS GURU PG PAUD SE KOTA PEKANBARU

BAB I PENDAHULUAN. selesaikan oleh individu untuk kemudian di lanjutkan ketahapan berikutnya.

BAB I PENDAHULUAN. pernikahan. Berdasarkan Undang Undang Perkawinan no.1 tahun 1974,

BAB I PENDAHULUAN. kanker di negara-negara berkembang. Kanker serviks adalah kanker yang tumbuh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Studi Deskriptif Psychological Well Being pada Ibu yang Memiliki Anak Penderita Autism yang Bersekolah Di SLB-C YPLB Bandung

BAB I PENDAHULUAN. dilalui seorang individu sepanjang rentang kehidupannya. Keunikan pada masa

1. PENDAHULUAN. Gambaran resiliensi dan kemampuan...dian Rahmawati, FPsi UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial yang tidak pernah terlepas dari

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

BAB I PENDAHULUAN. individu. Kegiatan bekerja dilakukan untuk berbagai alasan seperti; mencari uang,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being) 1. Pengertian Kesejahteraan Psikologis (Psychological Well Being)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya.

BAB I PENDAHULUAN. bangsa. Dalam pertumbuhannya, anak memerlukan perlindungan, kasih sayang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Keluarga merupakan dua atau lebih individu yang hidup dalam satu rumah tangga karena adanya hubungan darah, perkawinan atau adopsi dan saling berinteraksi satu sama lain, mempunyai peran masing-masing, dan menciptakan serta mempertahankan suatu budaya (Bailon & Maglaya, 1997). Keluarga terbentuk dari adanya pernikahan dan tiap anggota keluarga baik suami, istri, maupun anak memiliki peran masing-masing dalam keluarga. Berns (dalam Lestari, 2012) menjelaskan lima fungsi dasar keluarga, yaitu sebagai reproduksi, sosialisasi atau edukasi, penugasan peran sosial, dukungan ekonomi, dan dukungan emosi atau pemeliharaan. Di sinilah, peran orangtua dibutuhkan untuk memenuhi fungsi-fungsi tersebut karena nantinya akan mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Keluarga yang harmonis mampu memenuhi menjalankan peran yang ada dengan baik namun apabila kondisi keluarga sudah tidak harmonis, peran masing-masing anggota keluarga dapat bermasalah. Keluarga yang tidak harmonis menunjukkan bahwa keluarga terbut tidak bahagia, di mana salah satu atau seluruh anggota keluarga mengalami ketegangan, kekecewaan, atau perasan tidak puas dengan kondisi keluarganya. Ketidakharmonisan tersebut dapat terjadi karena dipicu oleh konflik berupa pertengkaran atau perselisihan antar suami istri yang berkepanjangan. Terkadang konflik yang terjadi mampu memperkuat ikatan pernikahan, namun apabila konflik tidak dapat diatasi dapat menimbulkan kehancuran bagi pernikahan itu sendiri. Tak jarang banyak pasangan suami istri di Indonesia yang memilih perceraian sebagai jalan terbaik untuk mengakhiri konflik yang terjadi.

Perceraian merupakan pemutusan hubungan dalam perkawinan (Lasswell & Lasswell, 1987). Fenomena perceraian semakin sering terjadi khususnya di Indonesia yang didasari oleh berbagai penyebab. Berdasarkan data dari Kementrian Agama, angka perceraian di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2009 hingga tahun 2013. Data menunjukkan pada tahun 2009, terjadi angka perceraian sebanyak 216.286 peristiwa. Sementara, pada tahun berikutnya, yaitu tahun 2010, peristiwa perceraian meningkat tiga persen dari tahun sebelumnya yakni berjumlah 285.184 peristiwa. Pada tahun 2011, terjadi peristiwa cerai sebanyak 158.119 peristiwa dan pada tahun 2012 angka perceraian kembali meningkat menjadi 372.577 peristiwa. Pada pendataan terakhir yang dilakukan pada tahun 2013, tingkat jumlah peristiwa nikah menurun namun peristiwa cerai meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2009, yakni sebanyak 324.527 peristiwa (http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/14/11/14/nf0ij7-tingkat-perceraian indonesia-meningkat-setiap-tahun-ini-datanya diakses pada tanggal 7 Oktober 2015). Keluarga sebagai kelompok sosial pertama dan utama bagi anak memiliki peran yang penting dalam setiap masa perkembangan anak. Pembentukan kepribadian anak dipengaruhi oleh baik buruknya lingkungan dan kondisi keluarga dimana ia dibesarkan. Perceraian tersebut secara tidak langsung akan merubah peran setiap anggota keluarga, hubungan antar aggota keluarga serta fungsi dari keluarga itu sendiri. Korban dari perceraian ini tidak hanya pasangan suami istri itu sendiri namun juga anak dari hasil perkawinan mereka. Pada umumnya, orangtua lebih siap dalam menghadapi perceraian dibandingkan anak-anak, karena sebelum memutuskan bercerai biasanya didahului oleh berbagai pemikiran dan pertimbangan sehingga telah ada persiapan secara mental maupun fisik. Lain halnya bagi anak, di mana butuh proses dan adapatasi yang cukup lama bagi anak setelah mendengar keputusan bahwa orangtuanya akan bercerai. Apalagi jika anak tidak pernah diajak berdiskusi tentang rencana perceraian.

Perceraian orangtua dapat terjadi ketika anak berada dalam rentang usia kanakkanak, remaja, maupun dewasa. Efek perceraian orangtua terhadap anak dipandang sebagai proses yang berkelanjutan dan dapat mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya. Sejumlah besar penelitian keluarga sebelumnya telah menunjukkan bahwa anak-anak dari perceraian cenderung mengalami kesulitan dalam hal psikologis, sosial, dan akademik daripada anak-anak yang dibesarkan dalam keluarga yang utuh (Amato, 1993; Demo & Acock, 1988 dalam Sun, 2001). Hasil serupa juga ditemukan oleh Sarbini (2014) dalam penelitiannya mengenai kondisi psikologis anak dari keluarga yang bercerai dengan subjek anak dari keluarga bercerai yang sudah berusia 6-17 tahun. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa psikologi anak dari keluarga bercerai mengalami dampak negatif, seperti rendah diri terhadap lingkungannya, temperamen, serta rasa kecewa yang berkepanjangan terhadap orangtua. Tidak hanya pada masa kanak-kanak, perceraian orangtua juga memiliki dampak bagi perkembangan anak ketika menginjak masa remaja. Masa remaja merupakan masa transisi dari kanak-kanak menuju dewasa dan di dalamnya terjadi proses pencarian jati diri. Sebuah pandangan dikemukakan oleh G. Stanley Hall, yang menganggap bahwa remaja adalah masa yang penuh dengan badai dan tekanan jiwa, yaitu masa di mana terjadi perubahan besar secara fisik, intelektual dan emosional pada seseorang yang menyebabkan kesedihan dan kebimbangan (konflik) pada yang bersangkutan, serta menimbulkan konflik dengan lingkungannya (Seifert & Hoffnung, 1987). Oleh karenanya, orangtua berperan penting dalam membimbing remaja untuk menghadapi konflik dalam hidupnya serta menemukan jati dirinya. Namun sayangnya, perhatian dan dukungan orangtua belum tentu didapatkan oleh remaja dari keluarga yang bercerai. Remaja dengan orangtua yang bercerai lebih mungkin untuk terlibat dalam pengasuhan yang tidak kompeten yang meliputi perilaku yang tidak konsisten dan kasar,

kurangnya pengawasan, dan adanya rasa benci terhadap anak (Simons & Johnson, 1996). Remaja yang mengalami perceraian orangtua cenderung tidak memiliki kepuasan dalam hidup, lemahnya kontrol diri, dan tidak ada kebahagiaan (Amato & Sobolewski, 2001). Ditambah lagi masa remaja merupakan masa pembentukan identitas diri, sehingga tidak mudah bagi remaja untuk mengatakan pada orang-orang di sekitarnya bahwa dirinya berasal dari kelurga yang bercerai. Remaja akan cenderung malu untuk bertemu dengan teman-temannya dan bersembunyi dari kenyataan bahwa dirinya memiliki orangtua yang bercerai. Hal terebut juga didukung oleh Glen & Kramer (1985) yang menyatakan bahwa perceraian orangtua yang dialami oleh remaja akan mengakibatkan perasaan tidak nyaman, rendahnya self esteem, dan beberapa karakteristik yang serupa. Efek negatif dari perceraian orangtua muncul karena adanya kebutuhan anak yang tidak terpenuhi akibat dibesarkan dalam keluarga yang tidak utuh, terutama ketika anak tersebut menginjak masa remaja. Hal ini secara tidak langsung akan menghambat remaja tersebut dalam menjalankan tugas perkembangannya, membina hubungan dengan orang lain dan menjalankan perannya di masyarakat sehingga akan berujung pada psychological well-being yang rendah. Di sisi lain, terdapat pernyataan Ryff (1995) yang menyebutkan bahwa evaluasi dan penghayatan terhadap pengalaman merupakan faktor yang sangat mempengaruhi pembentukan psychological well-being. Menurutnya, untuk dapat memahami psychological well-being seseorang, perlu melihat bagaimana individu tersebut dalam mengevaluasi serta menghayati pengalamannya di masa lalu. Proses serta cara tiap individu dalam mengevaluasi dan menghayati pengalamannya di masa lalu dapat berbedabeda, sehingga mungkin saja ditemukan perbedaan gambaran psychological well-being pada individu-individu yang memiliki pengalaman sama, yang dalam konteks kali ini adalah pengalaman dibesarkan dalam keluarga yang bercerai.

Psychological well-being atau kesejahteraan psikologis adalah salah satu jenis well being. Psychological well-being merupakan konsep multi-dimensional mengenai bagaimana individu menjalankan fungsi-fungsi psikologisnya secara positif. Konsep psychological well-being yang digambarkan oleh Ryff (1989) terdiri dari enam dimensi, yaitu penerimaan diri (self-acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relationship with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan pribadi (personal growth). Dalam hal ini, remaja yang memiliki psychological well-being yang tinggi tidak hanya mampu menentukan tujuan hidupnya sendiri dan mengembangakan dirinya, melainkan juga mampu untuk membina hubungan yang positif dengan orang lain, bermanfaat untuk orang lain, dan menjalankan perannya di masyarakat. Ada berbagai faktor yang mempengaruhi tingkat psychological well-being pada masa remaja. Selain itu, evaluasi dan penghayatan terhadap pengalaman merupakan faktor yang sangat mempengaruhi pembentukan psychological well-being (Ryff, 1995). Berdasarkan landasan pemikiran tersebut, tinggi rendahnya psychological wellbeing remaja yang dibesarkan dari keluarga yang bercerai dapat dipengaruhi oleh faktorfaktor yang muncul selama proses perkembangan remaja, baik sebelum orangtuanya bercerai hingga pasca perceraian orangtuanya. Fokus dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran yang lebih utuh mengenai psychological well-being pada remaja dari keluarga yang bercerai dan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang dapat menghambat atau mendukung psychological well-being remaja yang dibesarkan dari keluarga yang bercerai.

B. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas dapat dirumuskan bahwa pernikahan yang tidak harmonis yang kemudian berujung pada perceraian, akan merusak hubungan dalam keluarga itu sendiri, baik hubungan antara suami-istri maupun orangtua dengan anak. Proses yang dilalui anak dari sebelum orangtuanya bercerai hingga setelah percerain orangtua akan memunculkan dampak yang berbeda-beda pada anak sehingga akan berpengaruh pada kondisi psychological well-being anak, terutama ketika menginjak masa remaja dimana mereka masih membutuhkan dampingan orangtua. Peneliti selanjutnya ingin mendapatkan gambaran psychological well-being dari remaja yang tidak terlibat dalam permasalahan sosial maupun akademik, sehingga dapat diperoleh model proses yang positif remaja dari keluarga bercerai. Rumusan masalah dari penelitian ini adalah: (1) bagaimana gambaran psychological well-being pada remaja dari keluarga yang bercerai?, (2) apa saja faktorfaktor yang mendukung atau menghambat remaja dari keluarga yang bercerai dalam mencapai psychological well-being? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran psychological well-being pada remaja dari keluarga yang bercerai dan proses remaja tersebut dalam menuju psychological well-being sehingga akan diketahui faktor-faktor apa saja yang akan mempengaruhi psychological well-being remaja dari keluarga yang bercerai. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis, yang akan dijabarkan sebagai berikut:

1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pemikiran dan pengetahuan dalam ilmu psikologi khususnya di bidang psikologi klinis yang terkait dengan psychological well-being remaja khususnya remaja yang dibesarkan di keluarga yang bercerai. 2. Manfaat Praktis: Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi orang-orang yang terkait dengan penelitian ini, seperti psikolog keluarga, orangtua, dan remaja. Penelitian ini diharapkan dapat membantu psikolog dalam memberikan konseling kepada kliennya yang merupakan anak yang dibesarkan dalam keluarga yang bercerai mengenai bagaimana cara untuk memiliki psychological well-being yang tinggi. Bagi orangtua, penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran tentang kondisi psychological well-being anak pasca perceraian terjadi, sehingga untuk orangtua yang akan bercerai dapat memikirkan kembali bahwa perceraian dapat memberikan dampak bagi anak mereka dan bagi orangtua yang sudah bercerai dapat terus mendampingi anak sehingga tumbuh menjadi seseorang yang memiliki psychological well-being yang tinggi. Selain itu, melalui hasil penelitian ini diharapkan anak dari keluarga yang bercerai mampu memahami bahwa terdapat faktor protektif (dan risiko) yang dapat mempengaruhi psychological well-being mereka ketika menginjak masa remaja selain perceraian orangtua itu sendiri. Dengan begitu, remaja yang belum mencapai psychological well-being dapat mengembangkan faktor protektif untuk mendapatkan psychological well-being yang tinggi. E. Keaslian Penelitian Beberapa hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti sebelumnya yang berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Wrastari dan Primasti (2012) melakukan penelitian mengenai dinamika psychological well-being pada remaja yang mengalami perceraian orangtua ditinjau dari family conflict yang dialami. Hasil dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa perceraian tidak mengakhiri family conflict namun sebagian besar pasrtisipan mampu mencapai psychological well-being yang tinggi. 2. Sarbini (2014) melakukan penelitian mengenai kondisi psikologis anak dari keluarga yang bercerai. Subjek penelitian ini adalah anak dari keluarga bercerai yang sudah berusia 6-17 tahun. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa psikologi anak dari keluarga bercerai mengalami dampak negatif yang cukup signifikan seperti, rendah diri terhadap lingkungannya, temperamen, serta rasa kecewa yang berkepanjangan terhadap orangtua. 3. Dewi dan Utami (2013) melakukan penelitian mengenai subjective well-being anak (remaja usia 18-21 tahun) dari orangtua yang bercerai. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada beberapa kondisi yang dapat meningkatkan dan menurunkan subjective well-being anak dari orangtua yang bercerai. Kondisi kondisi yang dapat meningkatkan subjective well being anak dari orangtua yang bercerai, antara lain sikap orangtua yang memahami anak, adanya pemahaman anak terhadap perceraian orangtuanya, adanya dukungan emosional yang dirasakan anak dari lingkungan sekitarnya, serta strategi coping yang lebih bersifat problem focused coping. Adapun kondisi kondisi yang dapat menurunkan subjective well being anak dari orangtua yang bercerai, antara lain adanya konflik orangtua, situasi keluarga yang jarang berkumpul dan jarang beraktivitas bersama, perceraian orangtua, sikap orangtua yang tidak memberikan pemahaman kepada anak atas perceraian yang terjadi, hubungan orangtua yang memburuk pasca terjadinya perceraian, serta adanya kondisi pembanding yang lebih baik dari lingkungan sekitar. Hasil-hasil penelitian sebelumnya lebih terfokus pada pengaruh family conflict terhadap psychological well-being remaja, proses penerimaan remaja terhadap perceraian

orangtua, dan kondisi-kondisi yang mempengaruhi subjective well-being remaja dari orangtua yang bercerai. Sementara penelitian yang dilakukan saat ini terfokus pada proses remaja dari keluarga yang bercerai dalam menuju psychological well-beingdan faktorfaktor apa yang muncul yang dapat mempengaruhi psychological well-being remaja tersebut, sehingga penelitian ini memang berbeda dari penelitian sebelumnya.