DAYA DUKUNG LAHAN RAWA SEBAGAI KAWASAN SENTRA PENGEMBANGAN KERBAU KALANG DI KALIMANTAN SELATAN

dokumen-dokumen yang mirip
STRATEGI PENGEMBANGAN KERBAU RAWA DI KALIMANTAN SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN

POTENSI, PERAN DAN PERMASALAHAN BETERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN

PENAMPILAN PRODUKSI KERBAU RAWA (Bubalus bubalis carabanensis) DI KECAMATAN DANAU PANGGANG, KALIMANTAN SELATAN

KERBAU RAWA, ALTERNATIF TERNAK POTONG MENDUKUNG PROGRAM SWASEMBADA DAGING DI KALIMANTAN SELATAN

STRATEGI PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU RAWA DI KALIMANTAN SELATAN

TINJAUAN PUSTAKA Peternakan Sapi Potong di Indonesia

KERAGAAN USAHA TERNAK KERBAU RAWA DI KALIMANTAN SELATAN

USAHA PENGEMBANGAN KERBAU RAWA DI KALIMANTAN SELATAN. Suryana

ANALISIS POTENSI KERBAU KALANG DI KECAMATAN MUARA WIS, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, KALIMANTAN TIMUR

I. PENDAHULUAN. kontribusi positif terhadap pertumbuhan Produk Domestik Bruto Indonesia.

PROFIL USAHA PETERNAKAN ITIK ALABIO (Anas platyrhynchos Borneo) DI KALIMANTAN SELATAN

PENGEMBANGAN PERBIBITAN KERBAU KALANG DALAM MENUNJANG AGROBISNIS DAN AGROWISATA DI KALIMANTAN TIMUR

KARAKTERISTIK SISTEM PEMELIHARAAN KERBAU RAWA DI KALIMANTAN SELATAN

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN TERNAK SAPI DI LAHAN PERKEBUNAN SUMATERA SELATAN

PROGRAM AKSI PERBIBITAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN BATANG HARI

KARAKTERISTIK KERBAU RAWA KALIMANTAN SELATAN

STUDI PERMINTAAN PASAR KERBAU RAWA DALAM MENUNJANG PENGEMBANGAN LAHAN RAWA DAN PROGRAM KECUKUPAN DAGING DI KALIMANTAN SELATAN

Lokakarya Nasional Pengembangan Jejaring Lilkaji Sistem Integrasi Tanaman - Ternak apu), Ipomou aquatica (kangkung), Paspalidium punctatum (kumpai bab

I. PENDAHULUAN. Pembangunan pertanian, pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan

KARAKTERISTIK REPRODUKSI KERBAU RAWA DALAM KONDISI LINGKUNGAN PETERNAKAN RAKYAT ABSTRAK

POTENSI LAHAN RAWA DI KALIMANTAN SELATAN UNTUK PENGEMBANGAN PETERNAKAN KERBAU KALANG

PROFIL DAN PROSPEK PENGEMBANGAN USAHATANI SAPI POTONG DI KALIMANTAN SELATAN

KACANG TANAH DILAHAN LEBAK KALIMANTAN SELATAN UNTUK PENGEMBANGAN AGRIBISNIS DI PEDESAAN ABSTRAK

PELUANG DAN POTENSI USAHA TERNAK ITIK DI LAHAN LEBAK ABSTRAK

SISTEM PEMELIHARAAN TERNAK KERBAU DI PROPINSI JAMBI

DINAMIKA PEMBANGUNAN PERTANIAN DAN PERDESAAN: Tantangan dan Peluang bagi Peningkatan Kesejahteraan Petani

I PENDAHULUAN. pedesaan salah satunya usaha ternak sapi potong. Sebagian besar sapi potong

Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON

PENDAHULUAN. potensi besar dalam memenuhi kebutuhan protein hewani bagi manusia, dan

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

DINAMIKA POPULASI DAN PRODUKTIVITAS KERBAU DI JAWA : STUDI KASUS DI KABUPATEN SERANG

MANAJEMEN PEMELIHARAAN DOMBA PETERNAK DOMBA DI KAWASAN PERKEBUNAN TEBU PG JATITUJUH MAJALENGKA

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian Desa : Kelompok : I. IDENTITAS RESPONDEN 1. Nama : Umur :...tahun 3. Alamat Tempat Tinggal :......

PENGENDALIAN INFEKSI CACING HATI PADA SAPI OLeh : Akram Hamidi

ANALISIS KELAYAKAN USAHA ITIK ALABIO DENGAN SISTEM LANTING DI KABUPATEN HULU SUNGAI TENGAH

KERAGAAN PENGEMBANGAN TERNAK SAPI POTONG YANG DIFASILITASI PROGRAM PENYELAMATAN SAPI BETINA PRODUKTIF DI JAWA TENGAH

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sub sektor peternakan merupakan bagian dari pembangunan

Tennr Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian 2006 Skala usaha penggemukan berkisar antara 5-10 ekor dengan lama penggemukan 7-10 bulan. Pakan yan

ALTERNATIF PERBAIKAN PEMELIHARAAN TERNAK KERBAU DI LAHAN KERING KALIMANTAN SELATAN

PENDAHULUAN. produksi yang dihasilkan oleh peternak rakyat rendah. Peternakan dan Kesehatan Hewan (2012), produksi susu dalam negeri hanya

PROSPEK PENGEMBANGAN USAHA SAPI POTONG DI NUSA TENGGARA BARAT

UPAYA PENINGKATAN EFISIENSI REPRODUKSI TERNAK DOMBA DI TINGKAT PETAN TERNAK

I. PENDAHULUAN. sapi yang meningkat ini tidak diimbangi oleh peningkatan produksi daging sapi

PENDAHULUAN. Hasil sensus ternak 1 Mei tahun 2013 menunjukkan bahwa populasi ternak

I. PENDAHULUAN. Permintaan pangan hewani terutama daging sapi meningkat cukup besar

I. PENDAHULUAN. yang memiliki potensi hijauan hasil limbah pertanian seperti padi, singkong, dan

I. PENDAHULUAN. Kebutuhan daging sapi setiap tahun selalu meningkat, sementara itu pemenuhan

Tabel 4.1. Zona agroklimat di Indonesia menurut Oldeman

Lingkup Kegiatan Adapun ruang lingkup dari kegiatan ini yaitu :

DUKUNGAN KEBIJAKAN PERLUASAN AREAL UNTUK PENGEMBANGAN KAWASAN TERNAK KERBAU

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Dalam usaha meningkatkan penyediaan protein hewani dan untuk

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

PENGEMBANGAN TERNAK KERBAU DI PROVINSI JAMBI

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN DAN KARAKTERISTIK RESPONDEN. wilayah kilometerpersegi. Wilayah ini berbatasan langsung dengan

KARAKTERISTIK KERBAU KALANG (RAWA) SEBAGAI PLASMA NUTFAH DI KALIMANTAN SELATAN. (Characteristics of Swamp Buffalo as Germ Plasm in South Kalimantan)

TINGKAT ADOPSI TEKNOLOGI HIJAUAN PAKAN TERNAK DI DESA MARENU, TAPANULI SELATAN

PEMANFAATAN KULIT KAKAO SEBAGAI PAKAN TERNAK KAMBING PE DI PERKEBUNAN RAKYAT PROPINSI LAMPUNG

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

KAJIAN POTENSI LIMBAH TANAMAN PANGAN SEBAGAI SUMBER PAKAN ALTERNATIF TERNAK KERBAU MOA DI KABUPATEN MALUKU TENGGARA BARAT (MTB)

POTENSI HIJAUAN SEBAGAI PAKAN UTAMA TERNAK KERBAU DI KALIMANTAN SELATAN

II KAJIAN KEPUSTAKAAN. karena karakteristiknya, seperti tingkat pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup

I. PENDAHULUAN. Undang No 22 tahun 1999 tentang Kewewenangan Untuk Menggali Potensi

Sistem Usahatani Terpadu Jagung dan Sapi di Kabupaten Takalar Provinsi Sulawesi Selatan

PENDAHULUAN Latar Belakang

V. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

pengembangan KERBAU KALANG SUHARDI, S.Pt.,MP Plasmanutfah Kalimantan Timur

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Potensi usaha peternakan di Indonesia sangat besar. Kondisi geografis

PROGRAM AKSI PERBIBITAN DAN TRADISI LOKAL DALAM PENGELOLAAN TERNAK KERBAU DI KABUPATEN SUMBAWA, NUSA TENGGARA BARAT

SeminarNasional Peternakan dan Veteriner ARGONO R. SET10K0 1 dan ISTIANA 2

I. PENDAHULUAN. melalui perluasan areal menghadapi tantangan besar pada masa akan datang.

TINJAUAN PUSTAKA. Sapi Bali

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BERTEMPAT DI GEREJA HKBP MARTAHAN KECAMATAN SIMANINDO KABUPATEN SAMOSIR Oleh: Mangonar Lumbantoruan

Nomor : Nama pewancara : Tanggal : KUESIONER PETERNAK SAPI BALI DI DESA PA RAPPUNGANTA KABUPATEN TAKALAR, SULAWESEI SELATAN

ppbab I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Daya Dukung Produk Samping Tanaman Pangan sebagai Pakan Ternak Ruminansia di Daerah Sentra Ternak Berdasarkan Faktor Konversi

PROSPEK PENGEMBANGAN AYAM BURAS BERWAWASAN AGRIBISNIS DI KALIMANTAN TENGAH

RENCANA PENGEMBANGAN PETERNAKAN PADA SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KALIMANTAN SELATAN

Efektivitas Pupuk Organik Kotoran Sapi dan Ayam terhadap Hasil Jagung di Lahan Kering

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN INTEGRASI KERBAU DAN SAPI POTONG KELAPA SAWIT DI SUMATERA BARAT

I. PENDAHULUAN. untuk memenuhi kebutuhan protein hewani adalah sapi perah dengan produk

I. PENDAHULUAN. Tabel 1. Data Perkembangan Koperasi tahun Jumlah

INTEGRASI SAPI-SAWIT DI KALIMANTAN TENGAH (Fokus Pengamatan di Kabupaten Kotawaringin Barat)

UKURAN-UKURAN TUBUH TERNAK KERBAU LUMPUR BETINA PADA UMUR YANG BERBEDA DI NAGARI LANGUANG KECAMATAN RAO UTARA KABUPATEN PASAMAN

I. PENDAHULUAN. pasokan sumber protein hewani terutama daging masih belum dapat mengimbangi

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Pembangunan peternakan di Indonesia lebih ditujukan guna

I. PENDAHULUAN. Pembangunan sektor peternakan merupakan bagian integral dari. pembangunan pertanian dan pembangunan nasional. Sektor peternakan di

POTENSI PENGEMBANGAN AYAM BURAS DI KALIMANTAN SELATAN

STRATEGI DAN KEBIJAKAN PENGEMBANGAN AYAM LOKAL DI LAHAN RAWA UNTUK MEMACU EKONOMI PERDESAAN

I. PENDAHULUAN. setengah dari penduduk Indonesia bekerja di sektor ini. Sebagai salah satu

ANALISIS POLA USAHA PEMBIBITAN SAPI BALI YANG DIPELIHARA SECARA EKSTENSIF DAN SEMI INTENSIF

KEBIJAKAN LOKASI PROGRAM PERBAIKAN IRIGASI BERDASARKAN PELUANG PENINGKATAN INDEKS PERTANAMAN (IP) 1

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan tersebut belum diimbangi dengan penambahan produksi yang memadai.

DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN

KEBIJAKAN PEMBIBITAN KERBAU

POTENSI PENGEMBANGAN SAPI POTONG DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA DAGING SAPI DI KABUPATEN KUTAI TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

Prestasi Vol. 8 No. 2 - Desember 2011 ISSN KONSERVASI LAHAN UNTUK PEMBANGUNAN PERTANIAN. Oleh : Djoko Sudantoko STIE Bank BPD Jateng

PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAPI PERKEBUNAN SEBAGAI UPAYA PEMBANGUNAN PETERNAKAN SAPI MENUJU SWASEMBADA DAGING 2010

Transkripsi:

Seminar Nasional dan Lokakarya Usahaternak Kerbau, 2007 DAYA DUKUNG LAHAN RAWA SEBAGAI KAWASAN SENTRA PENGEMBANGAN KERBAU KALANG DI KALIMANTAN SELATAN SURYANA 1 dan EKO HANDIWIRAWAN 2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan 2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan ABSTRAK Kalimantan Selatan dengan luas wilayah 3.753.052 ha, memiliki salah satu agroekosistem lahan rawa yang berpotensi sebagai kawasan sentra pengembangan kerbau kalang sebagai sumber plasma nutfah ternak, terutama di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Hulu Sungai Tengah (HST), Hulu Sungai Selatan (HSS) dan Barito Kuala. Kerbau kalang dipelihara secara tradisional yaitu pagi hari dilepas di areal rawa dan pemiliknya tidak menyediakan rumput atau konsentrat, dan sore hari mereka kembali ke atas kalang. Peranan kerbau kalang adalah sebagai penghasil daging, sumber pendapatan petani dan objek wisata. Dari aspek pemasaran, daging kerbau kalang merupakan komoditas yang diminati konsumen, terutama pada hari-hari raya besar Islam mencapai 22% dan pemasarannya tidak terdapat kendala. Permasalahan yang menghambat perkembangannya antara lain disebabkan oleh masih rendah produktivitas dan pertambahan populasi dari tahun ke tahun relatif lambat, dan semakin berkurangnya ketersedian hijauan pakan. Untuk mengantisipasi hal tersebut di atas, perlu meningkatkan kemampuan reproduktivitas, dan menata kembali daya dukung areal lahan rawa yang diperuntukan sebagai kawasan sentra pengembangan kerbau kalang, dengan memperhatikan pertumbuhan vegetasi hijauan pakan secara terencana dan berkelanjutan. Makalah ini bertujuan untuk mengetahui potensi dan daya dukung lahan rawa sebagai sentra pengembangan kerbau kalang dalam rangka mendukung kecukupan daging di Kalimantan Selatan. Kata kunci: Daya dukung rawa, kawasan, kerbau kalang PENDAHULUAN Luas wilayah Kalimantan Selatan 3.753.052 ha, terdiri atas kondisi agroekosistem lahan kering 423.306 ha, pasang surut 184.099 ha, lebak 202.690 ha, tadah hujan 184.240 ha, irigasi 63.377 ha, dan rawa 800.000 ha. Potensi lahan tersebut baru dimanfaatkan untuk usaha pertanian antara 55-75% (BADAN PUSAT STATISTIK, 2005), termasuk lahan rawa yang telah digunakan untuk peternakan itik Alabio dan kerbau kalang (BPTP KALIMANTAN SELATAN, 2006). Kerbau kalang atau kerbau rawa merupakan salah satu ternak ruminansia sebagai sumber plasma nutfah, yang sudah lama dipelihara dan berkembang secara turuntemurun di Kalimantan Selatan, khususnya di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU), Hulu Sungai Tengah (HST) dan Hulu Sungai Selatan (HSS) (BPPH V dan SUB BALITVET BANJARBARU, 1991), dan Kabupaten Barito Kuala (ROHAENI et al., 2006). Peranan kerbau kalang adalah sebagai penghasil daging dan sumber pendapatan bagi peternak, dan oleh pihak Pemerintah Daerah Kalimantan Selatan, ternak ini sejak tahun 1991 telah ditetapkan sebagai salah satu objek wisata yaitu berupa pacuan kerbau dengan cara berenang (DINAS PETERNAKAN HULU SUNGAI UTARA, 1999; PUTU, 2003; SURYANA, 2007). Dalam mendukung produktivitas kerbau kalang, usaha pemeliharaannya masih sangat tergantung kepada ketersediaan lahan berupa rawa dan hijauan pakan ternak alami. Menurut SOFYAN (2006), untuk menciptakan pengembangan ternak yang baik dan menguntungkan, maka program pengembangan kawasan peternakan akan ditata dengan ketentuan sebagai berikut: 1) lokasinya sesuai dengan agroekosistem dan tata ruang wilayah, 2) berbasis komoditas unggulan dan strategis, 3) memiliki infrastruktur yang baik (pasar hewan, sumber air, jalan dll.), dan 4) didukung dengan persediaan teknologi dan jaringan kelembagaan yang baik. Kenyataan di lapangan, menunjukkan bahwa pemeliharaan kerbau kalang ini masih dilakukan secara tradisional, diumbar di areal rawa (DINAS PETERNAKAN HULU SUNGAI UTARA, 1999). 149

Seminar Nasional dan Lokakarya Usahaternak Kerbau, Jambi 2007 Pada pagi hari dilepas dan mencari pakan sendiri sambil berenang dan merenggut hijauan yang ada di hamparan rawa, dan peternak tidak menyediakan pakan tambahan maupun konsentrat, sedangkan pada sore hari kerbau kembali dan beristirahat di atas kalang (SURYANA, 2007). Menurut SEMALI et al. (2001) keberhasilan usaha ternak ruminansia di daerah lahan pasang surut dan rawa tidak terlepas dari masalah ketersediaan pakan, khususnya pakan hijauan secara berkesinambungan. Hijauan pakan merupakan bahan pakan yang mutlak diperlukan baik secara kuantitatif atau kualitatif sepanjang tahun. Sumberdaya alam berupa lahan rawa yang luas dengan beragam vegetasi hijauan yang tersedia merupakan kekuatan yang dimiliki Kalimantan Selatan dalam rangka mendukung pengembangan ternak ruminansia khususnya kerbau kalang, walaupun di daerah lain seperti Kalimatan Tengah dan Timur kawasan pemeliharaan kerbau tersebut juga sudah ada, tetapi populasinya tidak sebesar di Kalimantan Selatan (KRISTIANTO, 2006). Makalah ini bertujuan untuk mengetahui informasi dan permasalahan dalam pemanfaatan lahan rawa sebagai kawasan sentra pengembangan kerbau kalang yang merupakan alternatif penghasil daging di Kalimantan Selatan. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN POTENSI LAHAN RAWA Wilayah Kalimantan Selatan merupakan salah satu propinsi di Indonesia memiliki areal lahan kering, tegalan, padang penggembalaan, hutan, perkebunan, rawa dan, tambak. Sebagian besar luas wilayah Kalimantan Selatan didominasi oleh agroekosistem lahan kering (1.825.170 ha) dan hutan (1.325.024 ha). Luas padang penggembalaan sekitar 145.805 ha, dan rawa 181.169 ha, dengan jumlah penduduk 3.201.962 jiwa. Sementara lahan rawa yang banjir sepanjang tahunnnya tidak dapat dimanfaatkan untuk usaha pertanian tanaman pangan. Berdasarkan jangkauan luapan air pasang, lahan rawa pasang surut dibagi dalam 4 tipe luapan, yaitu tipe A: lahan yang selalu terluapi air pasang; tipe B: lahan yang hanya terluapi oleh pasang besar; tipe C: lahan yang tidak pernah terluapi pasang besar, air pasang mempengaruhi hanya secara tidak langsung, air tanah dekat permukaan kurang dari 50 cm, dan tipe D adalah lahan yang tidak pernah terluapi dan air tanah lebih dari 50 cm dari permukaan tanah (WIDJAJA-ADI, 1986). Menurut DIREKTORAT RAWA dalam DHALIMI dan TAHER (1996) rawa non pasang surut, rawa pedalaman dan rawa lebak dibagi menjadi 3 kategori, yaitu: 1) lebak pematang adalah lahan yang terletak di sepanjang tanggul alur sungai dengan tofografi relatif tinggi, dan genangan air nya dangkal serta singkat, 2) lebak dalam yaitu lahan yang terletak di sebelah dalam dan merupakan suatu cekungan tergenang relatif dalam dan terus menerus, dan 3) lebak tengahan adalah lahan yang terletak di antara lebak dalam dan lebak pematang. MAAS (2002) menyatakan bahwa permasalahan usahatani di lahan rawa yang paling mendasar dibanding dengan lahan kering, terletak pada perbedaan prinsip pengelolaan lahan rawa, baik dari segi pemanfaatan air maupun lahannya itu sendiri. Pemanfaatan yang bijak dan pengelolaan yang serasi dengan karakteristik dan sifat lahan, serta pembangunan prasarana fisik (terutama tata air), sarana pembinaan sumber daya manusia dan penerapan teknologi spesifik lokasi, perlu dijadikan sebagai dasar dalam pengembangan rawa secara lestari dan berkesinambungan. Lahan rawa yang digunakan untuk pemeliharaan kerbau kalang terdapat di Kabupaten HSS, HST, HSU (TARMUDJI et al., 1990), dan Barito Kuala (ROHAENI et al., 2005). Di Kabupaten HSU, khususnya Kecamatan Danau Panggang merupakan salah satu daerah sentra yang potensial untuk pengembangan kerbau kalang, karena mempunyai areal lahan rawa yang luas dan sumber pakan hijauan alami yang tersedia sepanjang tahun. Beberapa desa di wilayah tersebut yang sudah dimanfaatkan lahannya untuk peternakan kerbau kalang adalah Desa Palbatu, Tampakang, Bararawa, Sapala, Ambahai dan Paminggir (DINAS PETERNAKAN HULU SUNGAI UTARA, 1999; PUTU 2003; ROHAENI et al. 2006; SURYANA, 2007). Di Kabupaten HST (Kecamatan Labuan Amas Utara) meliputi Desa Sungai Buluh, Mantaas dan Rantau Bujur, sedangkan di Kabupaten HSS (Kecamatan Daha Utara) yakni Desa 150

Seminar Nasional dan Lokakarya Usahaternak Kerbau, 2007 Teluk Haur, Hamayung, Pandak Daun dan Paharangan, Kecamatan Daha Selatan meliputi Desa Bajayau Baru dan Bajayau Lama. Selanjutnya Kabupaten Barito Kuala (Kecamatan Kuripan) yakni Desa Tabatan dan Tabatan Baru (HAMDAN et al., 2006). POTENSI KERBAU RAWA SEBAGAI PENGHASIL DAGING Menurut WIRDAHAYATI (2006) populasi kerbau di Indonesia mengalami penurunan cukup drastis selama dekade 1985-2001, yakni dari 3,3 juta ekor pada tahun 1985 menjadi 2,4 juta ekor ditahun 2001, dan pada tahun 2005 populasinya menjadi 2,4 juta ekor, atau meningkat 1,04% (DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN, 2006). PRIYANTI dan SAPTATI (2006) menyatakan bahwa secara umum populasi kerbau berkembang lamban, hal ini akibat rendahnya produksi dan produktivitas yang tercermin dari angka kelahiran rendah dan kematian anak pra sapih tinggi. YUSDJA et al. (2003) menyatakan bahwa sebagai penghasil daging populasi kerbau di Indonesia relatif rendah, yakni sekitar 2.4 juta ekor (2003) dan pada tahun 2006 tercatat 2.2 juta ekor atau sekitar 21,85% dibanding populasi sapi potong tahun 2003 sejumlah 10.5 juta ekor, dan pada tahun 2006 sekitar 10.8 juta ekor. Lebih lanjut dikemukakan bahwa permasalahan yang sering dihadapi peternak kerbau pada umumnya adalah panjangnya selang beranak (calving interval), keadaan ini berhubungan dengan kurangnya ketersediaan pejantan. Menurut BALIARTI dan NGADIYONO (2006) penampilan reproduksi kerbau dikenal masih kurang baik. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal, antara lain karena peternak sulit mendeteksi saat berahi (kerbau sering berahi pada malam hari), pemberian pakan kurang memenuhi syarat baik secara kuantitatif maupun kualitatif, manajemen kurang memadai serta lingkungan yang kurang mendukung. Walaupun demikian kerbau tetap mempunyai kelebihan yaitu dapat berkembang baik dalam rentang kondisi agroekosistem yang sangat luas dari daerah dengan kondisi yang basah sampai dengan kondisi yang kering (DIWYANTO dan HANDIWIRAWAN, 2006). SUHARDONO (2004) melaporkan bahwa selama 5 tahun terakhir populasi kerbau kalang mengalami penurunan. Hal ini diduga ada kaitannya dengan tingginya jumlah pemotongan, terbatasnya pakan dan padang penggembalaan alami, tingginya jumlah kematian dan kelahiran rendah, penampilan produksi tidak maksimal, dewasa kelamin dan jarak beranak relatif panjang, dan kurang tersedianya pejantan, hal ini terkait dengan sifat sifat biologis yang dimilikinya. Populasi kerbau kalang di Kalimantan Selatan sampai tahun 2005 sekitar 13.659 ekor (34,01%) dari total populasi kerbau yang ada sekitar 40.163 ekor (DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN, 2006), tersebar di Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU) 7.771 ekor, Hulu Sungai Selatan (HSS) 3.136 ekor, Hulu Sungai Tengah (HST) 1.895 ekor, dan Barito Kuala 857 ekor (DINAS PETERNAKAN PROPINSI KALIMANTAN SELATAN, 2005), dengan trend pertumbuhan rata-rata selama empat tahun terakhir sebesar 27,0% (HAMDAN et al., 2006). Proyeksi produksi daging ternak ruminansia di Kalimantan Selatan tahun 2005-2009, dapat dilihat pada Tabel 1. Pada Tabel 1 dapat dikemukakan bahwa rataan sasaran produksi daging kerbau relatif kecil dibanding sapi, domba dan kambing, yakni sebesar 0,60%. Sebagai salah satu ternak asli daerah yang mempunyai potensi penghasil daging, kerbau kalang telah dikembangkan sebagai usahatani spesifik lokasi pada agroekosistem lahan rawa dengan pemeliharaan menggunakan kalang. Kalang adalah kandang tanpa atap yang dibuat dari balok-balok gelondongan kayu blangiran (shore balangeran) dengan diameter 10-20 cm, disusun teratur berselang-seling dari dasar rawa sampai tersembul di atas permukaan air dengan tinggi kalang ± 2,5-3 m, panjang mencapai 25 m dan lebar 10 m, atau ukuran kalang disesuaikan dengan jumlah kerbau yang ada. Bagian atas dibuatkan lantai dari belahan kayu yang disusun rapat untuk kerbau beristirahat, dan pada bagian sudut dibuatkan sekat-sekat dan pakan atap untuk kerbau induk melahirkan dan merawat anaknya. Umumnya kalang berbentuk empat persegi panjang dengan letter L atau T, yang terdiri atas 151

Seminar Nasional dan Lokakarya Usahaternak Kerbau, Jambi 2007 Tabel 1. Sasaran produksi daging ruminansia di Kalimantan Selatan 2005-2009 Tahun Kerbau Laju pertumbuhan (%) Sapi Jenis ternak L`aju pertumbuhan (%) Domba Laju pertumbuhan (%) Kambing Laju pertumbuhan (%) 2005 45.816 0,65 391.880 3,11 87.174 3,10 71.229 2,30 2006 46.123 0.67 403.911 3.07 89.905 3,13 72.761 2,15 2007 46.436 0,68 416.109 3,02 92.725 3,14 74.216 2,00 2008 46.467 0,07 428.467 2,97 95.393 2,88 75.589 1,85 2009 47.084 1,33 440.893 2,90 98.098 2,84 76.874 1,70 Jumlah 231.926 3,39 2.081.260 15,07 463.295 15,08 370.669 10,00 Rataan 46.385 0,68 416.252 3,01 92.659 3,02 74.134 2,00 Sumber: TOELIHERE dan ACHYADI (2005) beberapa ancak atau petak kalang, setiap ancaknya berukuran 5 x 5 m mampu menampung 10-15 ekor kerbau dewasa. Pada bagian sisi kalang dibuatkan tangga selebar ± 2,5 m untuk turun dan naiknya kerbau (DILAGA 1987; TARMUDJI et al., 1990; SURYANA dan HAMDAN, 2006). Kepemilikan kerbau masing-masing petani bervariasi berkisar antara 3-90 ekor. Kerbau mencari makan sendiri dengan cara berenang sambil merenggut rumput, sesekali menyelam dan secara bebas memilih hijauan yang disukainya, hal ini mereka lakukan menurut kebiasaannya. Menurut PUTU et al. (1994) tingkah laku kerbau kalang dibedakan atas tingkah laku merumput dan kawin. Tingkah laku merumput yaitu satu kelompok kerbau dipimpin oleh seekor pejantan yang mengarahkan ke tempat-tempat padang penggembalaan, mereka berenang sambil merenggut hijauan yang terapung. Menurut PUTU (2003) potensi ternak kerbau kalang di Kalimantan Selatan menunjukkan kontribusi yang positif sebagai penghasil daging untuk daerah pedalaman terutama agroekosistem rawa dengan kedalaman 3-5 m. Pemeliharaan kerbau kalang sangat berbeda dengan pemeliharaan kerbau atau sapi umumnya yang dilakukan di lahan kering. Perbedaan tersebut terletak pada cara-cara penanganan penggembalaan untuk mendapatkan rumput. Sekitar pukul 7 atau 9 pagi hari kerbau diturunkan untuk mencari makan dan sore hari pulang ke kalang. Sebaliknya pada musim kemarau aktivitas kerbau lebih banyak di padang penggembalaan dan jarang pulang ke kalang. Pada lahan rawa yang tanahnya kering dibuatkan pagar keliling sebagai tempat penampungan sementara, dan untuk membatasi agar kerbau tidak berjalan terlalu jauh (HAMDAN et al., 2006). MASALAH DAN PELUANG PEMASARAN Menurut DIWYANTO dan SUBANDRYO (1995) kerbau mempunyai peranan penting dalam kehidupan sosial ekonomi petani, yakni sebagai tabungan hidup, menunjang status sosial, sumber tenaga kerja, penghasil daging, susu dan pupuk. Namun untuk kerbau rawa di Kalimantan Selatan hanya berfungsi sebagai penghasil daging saja. Fungsi lainnya sejak tahun 1991 pemerintah daerah menetapkan kerbau rawa sebagai salah satu objek wisata, dan Kecamatan Danau Panggang merupakan daerah tujuan wisata berupa perlombaan atau pacuan kerbau kalang yang dilaksanakan di sungai Paminggir Desa Bararawa, Kecamatan Danau Panggang (TARMUDJI et al., 1990; DINAS PETERNAKAN HULU SUNGAI UTARA, 1999; SURYANA, 2007). Daging kerbau kalang sejak dahulu cukup diminati konsumen. Konsumen tertentu di pasaran cenderung membeli daging kerbau, terutama untuk perayaan hari-hari raya besar Islam dan kenduri sebesar 22% (QOMARIAH et al., 2006), 152

Seminar Nasional dan Lokakarya Usahaternak Kerbau, 2007 dan pemasarannya tidak menjadi kendala (DINAS PETERNAKAN HULU SUNGAI UTARA, 1999). DINAS PETERNAKAN PROPINSI KALIMANTAN SELATAN melaporkan bahwa kerbau kalang memberikan kontribusi sekitar 15% dari total produksi daging ternak ruminansia di Kalimantan Selatan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa rantai pemasaran kerbau kalang di Kalimantan Selatan dimulai dari peternak ke pedagang mengumpul, pedagang besar kemudian dijual oleh pedagang pengecer atau keliling kepada konsumen luas. Menurut HAMDAN et al. (2006), pemasaran kerbau kalang umumnya dilakukan peternak dengan cara pembeli datang ke desa, dan hanya sebagian kecil saja peternak membawanya ke pedagang. Penjualan kerbau tersebut dilakukan dalam bentuk ternak hidup. Dinamika perkembangan kerbau dan produksi daging kerbau di Kalimantan Selatan, tertera pada Tabel 2. Kendala pengembangan kerbau rawa di Kalimantan Selatan antara lain disebabkan: 1) areal padang penggembalaan semakin berkurang dan terbatas akibat bertambahnya jumlah penduduk, pergeseran penggunaan lahan menjadi lahan usahatani tanaman pangan (padi, palawija dan sayuran), terutama di Kabupaten HSS, HST dan sebagian kecil HSU, 2) ketersediaan hijauan tergantung musim. Musim hujan dengan genangan air tinggi merupakan areal padang rumput lebih subur dan potensial sebagai pakan kerbau, namun sebaliknya pada musim kemarau di beberapa lokasi penyediaan pakan mengalami kesulitan baik dari segi jumlah maupun kualitasnya (MAHENDRI dan HARYANTO, 2006). Terbatasnya ketersedian hijauan pakan, terutama pada musim kemarau panjang mempunyai konsekuensi terhadap kerbau itu sendiri yang harus berjalan beberapa kilometer dari kalang untuk mencari pakan. Adanya hama keong mas yang menyerang dan merusak hijauan pakan kerbau terutama bagian daun rumput menyebabkan kerbau tidak kebagian pakan, 3) penurunan mutu bibit, rendahnya produktivitas dan terjadinya inbreeding, 4) penjualan pejantan yang tinggi, 5) lokasi pemeliharaan ternak kerbau terlalu jauh dari tempat permukiman penduduk sehingga sulit mengakses penyuluhan yang rutin dilakukan, 6) musim kemarau mengalami kekeringan sehingga ternak kekurangan air minum, serta 7) terjadi serangan penyakit yang menyebabkan kematian (QOMARIAH et al., 2006). KRISTIANTO (2006) menyatakan bahwa salah satu hambatan lambatnya perkembangan kerbau kalang yaitu: panjangnya interval kelahiran, siklus estrus yang tidak nampak dan angka kebuntingan rendah. Rendahnya angka kebuntingan tersebut disebabkan oleh tatalaksana pemeliharaan anak kerbau yang buruk, termasuk pemberian pakan, kegagalan teknik perkawinan dan faktor internal hewan. Penyakit-penyakit yang sering menyerang kerbau kalang antara lain parasitik (trypanosomiasis atau surra dan fasciolosis), bakterial (penyakit ngorok atau SE dan clostridiosis yang disebabkan Clostridium novyi dan C. Ferferingens) (TARMUDJI 2003; SUHARDONO, 2004; SURYANA, 2006), yang menyebabkan kematian sejumlah besar kerbau rawa pada tahun 1989-1999, serta penyakitpenyakit lain yang disebabkan kausa viral di antaranya MCF atau Malignant Catarhall Fever (TARMUDJI, 2003; MUHARSINI et al. Tabel 2. Dinamika perkembangan kerbau di Kalimantan Selatan 2003-2006 Tahun Uraian 2003 2004 2005 2006 Populasi (ekor) 37.550 38.488 40.163 48.613 Pemasukan (ekor) 1.344 341 0 0 Pengeluaran (ekor) 1.143 896 183 924 Pemotongan (ekor) 3.535 3.825 3.901 4.016 Produksi daging (ton) 733 756 819 821 Sumber: DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN (2006) 153

Seminar Nasional dan Lokakarya Usahaternak Kerbau, Jambi 2007 2006), dan black disease (PRIADI dan NATALIA, 2006). PENUTUP Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa lahan rawa di Kalimantan Selatan mempunyai potensi untuk pengembangan kerbau kalang, dengan dukungan pakan hijauan alam yang ada, dan prospek pemasaran yang baik. Untuk lebih meningkatkan daya dukung lahan dan hijauan pakan, perlu dilakukan upaya penataan kembali kawasan areal rawa dan dilakukan pergiliran penggembalaan (grazing rotation), sehingga ketersediaan hijauan dapat berlangsung sepanjang tahun. Beberapa kendala dalam pengembangan kerbau kalang antara lain keterbatasan hijauan pakan pada musim kemarau panjang, rendahnya produktivitas, serangan penyakit yang dapat mengancam kematian. DAFTAR PUSTAKA BADAN PUSAT STATISTIK. 2005. Kalimantan Selatan Dalam Angka. Banjarmasin. BALAI PENYIDIKAN PENYAKIT HEWAN V dan SUB BALAI PENELITIAN VETERINER BANJARBARU. 1991. Penelitian pendahuluan tentang kerbau rawa dan penyidikan penyakitnya di Kecamatan Danau Panggang, Kabupaten Hulu Sungai Utara Kalimantan Selatan. Laporan Penelitian. Banjarbaru. BALIARTI, E. dan N. NGADIYONO. 2006. Peran Perguruan Tinggi Dalam Pengembangan Ternak Kerbau. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4-5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa. hlm. 155-156. BPTP KALIMANTAN SELATAN. 2006. Laporan Tahunan. Banjarbaru. DHALIMI, A dan S. TAHER. 1996. Pengembangan tanaman industri pada lahan rawa sejuta hektar di Kalimatan Tengah. Makalah disampaikan pada Seminar Lahan Rawa Pasang Surut Kalimantan Tengah. Palangka Raya, 34 hlm. DILAGA, S.H. 1987. Suplemantasi kalsium dan fosfor pada kerbau rawa Kalimantan Tengah yang mendapat ransum padi hiyang (Oryza sativa forma spontanea). Tesis. Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. DINAS PETERNAKAN HULU SUNGAI UTARA. 1999. Laporan Tahunan. Amuntai. 135 hlm. DINAS PETERNAKAN PROPINSI KALIMATAN SELATAN. 2005. Statistik Peternakan. Dinas Peternakan Propinsi kalimantan Selatan. DINAS PETERNAKAN PROPINSI KALIMANTAN SELATAN. 2005. Database Peternakan 2005. Banjarbaru. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 2006. Statistik Peternakan Indonesia. Departemen Pertanian. Jakarta. DIWYANTO, K. dan SUBANDRIYO. 1995. Peningkatan mutu genetik kerbau lokal di Indonesia. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian XIV (4): 92-101. DIWYANTO, K dan E. HANDIWIRAWAN. 2006. Strategi pengembangan ternak kerbau: aspek penjaringan dan distribusi. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4-5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa. Hlm. 3-12. HAMDAN A., E.S. ROHAENI dan A. SUBHAN. 2006. Karakteristik sistem pemeliharaan kerbau rawa di Kalimantan Selatan. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4-5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan, Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa. Hlm.170-177. KRISTIANTO, L.K. 2006. Pengembangan perbibitan kerbau kalang dalam menunjang agrobisnis dan agrowisata di Kalimantan Timur. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4-5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan, Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara 154

Seminar Nasional dan Lokakarya Usahaternak Kerbau, 2007 Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa. Hlm. 208-212. MAAS, A. 2002. Lahan rawa sebagai lahan pertanian kini dan masa depan. Prosiding Seminar Nasional Pertanian Lahan Kering dan Rawa. Banjarbaru, 18-19 Desember 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. MAHENDRI, I.G.A.P. dan B. HARYANTO. 2006. Respons ternak kerbau terhadap penggunaan pakan jerami padi fermentasi pada usaha penggemukan. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Cakrawala baru IPTEK menunjang Revitalisasi Peternakan. Buku I. Bogor, 5-6 September 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Hlm. 323-328 MUHARSINI, S., L. NATALIA, SUHARDONO dan DARMINTO. 2006. Inovasi teknologi dalam pengendalian penyakit kerbau. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4-5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan, Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa. Hlm. 41-48. PRIADI, A. dan L. NATALIA. 2006. Bakteri penyebab diare pada sapi dan kerbau di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Cakrawala baru IPTEK menunjang Revitalisasi Peternakan. Buku I. Bogor, 5-6 September 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Hlm. 38-44. PRIYANTI, A. dan R.A. SAPTATI. 2006. Analisis ekonomi dan tata niaga usaha ternak kerbau. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4-5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan, Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa. Hlm. 142-150. PUTU, I.G.M., M. SABRANI, M. WINUGROHO, T. CHANIAGO, SATOSO, TARMUDJI, SUPRIADI A.D. dan P. OKTAVIANA. 1994. Peningkatan produksi dan reproduksi kerbau kalang pada agroekosistem rawa di Kalimantan Selatan. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Ternak bekerjasama dengan Proyek Pembangunan Penelitian Pertanian Nasional. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. 54 hlm. PUTU, I.G. 2003. Aplikasi teknologi reproduksi untuk meningkatkan performans produksi ternak kerbau di Indonesia. Wartazoa 13 (4): 172-180. QOMARIAH, R., E.S. ROHAENI dan A. HAMDAN. 2006. Studi permintaan pasar kerbau rawa dalam menunjang pengembangan lahan rawa dan program kecukupan daging di Kalimantan Selatan. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4-5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa. Hlm.178-184. ROHAENI, E.S., ARIEF DARMAWAN, A. HAMDAN, R. QOMARIAH dan A. SUBHAN. 2005. Inventarisasi dan Karakterisasi Ternak Kerbau di Kalimantan Selatan. Laporan Hasil Penelitian. BPTP Kalimantan Selatan. ROHAENI, E.S., A. HAMDAN, R. QOMARIAH dan A. SUBHAN. 2006. Inventarisasi dan Karakterisasi Ternak Kerbau di Kalimantan Selatan. Laporan Hasil Penelitian. BPTP Kalimantan Selatan. Banjarbaru. SEMALI, A., B. SETIADI dan H.M. TOGATOROP. 2001. Prospek pengembangan hijauan pakan ternak di lahan pasang surut dan rawa. Wartazoa 2 (1-2): 11-14. SUHARDONO. 2004. Penyakit dan upaya penanggulangannya untuk menekan kematian pada kerbau. Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Nasional Peningkatan Populasi dan Produktivitas Ternak Kerbau di Indonesia. Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan bekerjasama dengan Pusat Bioteknologi LIPI. Banjarmasin,7-8 Desember 2004. 11 hlm. SOFYAN, A. 2006. Dukungan kebijakan perluasan areal untuk pengembangan kawasan ternak kerbau. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4-5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan 155

Seminar Nasional dan Lokakarya Usahaternak Kerbau, Jambi 2007 Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa. Hlm. 13 20. SURYANA dan A. HAMDAN. 2006. Potensi lahan rawa di Kalimantan Selatan untuk pengembangan peternakan kerbau kalang. Prosiding Lokakarya Nasional Usaha Ternak Kerbau Mendukung Program Kecukupan Daging Sapi. Sumbawa, 4-5 Agustus 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan bekerjasama dengan Direktorat Perbibitan Direktorat Jenderal Peternakan, Dinas Peternakan Propinsi Nusa Tenggara Barat dan Pemerintah Daerah Kabupaten Sumbawa. Hlm. 201-207. SURYANA. 2006. Tinjauan aspek penyakit pada ternak ruminansia besar dan upaya penanggulangannya di Kalimantan Selatan. Prosiding Workshop Nasional Ketersediaan IPTEK dalam Pengendalian Penyakit Strategis. Jakarta, 12 Juli 2006. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Hlm.144 150. SURYANA. 2007. Usaha pengembangan kerbau rawa di Kalimantan Selatan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. In press. TARMUDJI, K., P KETAREN, D.D. SISWANSYAH dan ACHMAD. 1990. Studi pendahuluan peternakan kerbau rawa dan identifikasi parasit darahnya di Kalimantan Selatan. Penyakit Hewan XXII (40): 106-111. TARMUDJI. 2003. Beberapa penyakit penting pada kerbau di Indoanesia. Wartazoa 13 (4): 160-171. TOELIHERE, M.R dan K. ACHYADI. 2005. Desain program pengembangan ternak kerbau di Propinsi Kalimantan Selatan tahun 2006-2010. Makalah disampaikan pada Forum Konsultan Peternakan. Dinas Peternakan Propinsi Kalimantan Selatan bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. 34 hlm. WIDJAJA-ADI. 1986. Pengelolaan rawa pasang surut. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 1(2): 1-9. WIRDAHAYATI, R.B. 2006. Usaha ternak kerbau di Sumatera Barat. Prosiding Seminar Nasional Pemberdayaan Masyarakat Melalui Inovasi Teknologi Pertanian Mendukung Lumbung Pangan Nasional. Palembang, 26-27 Juli 2006. BPTP Sumatera Selatan bekerjasama dengan Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor. Hlm. 445-449. YUSDJA, Y., N. ILHAMDAN W. K. SEJATI 2003. PROFIL dan PERMASALAHAN PETERNAKAN. Forum Penelitian Agro Ekonomi 21 (1): 44-56. 156