BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Skripsi ini akan mencoba untuk membandingkan pemenuhan hak imigran di Denmark dan Swedia dengan melihat pemilihan kebijakan - kebijakan yang berhubungan dengan integrasi imigran dan beberapa hal yang mempengaruhi pengambilan kebijakan kebijakan tersebut. Proses integrasi imigran meliputi berbagai aspek baik ekonomi, sosial, budaya, dan politik, maka dari itu terdapat lebih dari satu kebijakan yang berhubungan dengan proses tersebut. Dua kebijakan yang akan diteliti dalam skripsi ini adalah kebijakan program pengenalan integrasi dan akses untuk mendapatkan kewarganegaraan. Alasan pemilihan Denmark dan Swedia sebagai dua negara yang menjadi objek penelitian dalam skripsi ini adalah karena kedua negara mempunyai banyak persamaan antara lain dalam hal sejarah keduanya mempunyai nenek moyang yang sama, yaitu bangsa Viking, keduanya juga mempunyai kondisi masyarakat asli yang homogen, dan keduanya juga pada saat ini merupakan negara makmur yang menganut model negara kesejahteraan. Namun keduanya mempunyai pandangan yang bertolak belakang dalam menghadapi imigran. Menurut Migrant Integration Policy Index (MIPEX) Swedia menempati peringkat pertama dalam pelaksanaan program dan kebijakan integrasi imigran yang paling memenuhi standar MIPEX, sedangkan Denmark menempati peringkat ke 14 yang merupakan peringkat terendah diantara negara negara Eropa Utara lainnya (Migrant Integration Policy Index 2010). Imigran pada saat ini merupakan salah satu isu penting bagi Denmark dan Swedia, karena hingga awal abad ke 20 kedua negara termasuk ke dalam kategori negara emigrasi yang disebabkan oleh banyaknya penduduk yang bermigrasi ke negara lain, namun pada saat ini keduanya justru telah menjadi negara imigrasi dengan jumlah masyarakat imigran dan keturunannya melebihi 10 persen dari total populasi kedua negara (Eurostat 2011). Kelompok imigran tersebut juga membawa identitas rasial, kultural, dan kepercayaan yang berbeda dengan masyarakat asli dan dengan jumlahnya yang semakin meningkat maka mempengaruhi perubahan komposisi penduduk dan budaya di kedua negara. Dari penjelasan diatas oleh karena itu penerapan kebijakan integrasi imigran memegang peran yang penting. Garis besar dari kebijakan integrasi imigran adalah serangkaian program yang bertujuan untuk menyertakan masyarakat imigran ke dalam tatanan ekonomi, sosial, dan politik di negara 1
penerima agar dapat hidup berdampingan dan mendapat kedudukan sejajar dengan masyarakat asli, juga dapat berkontribusi secara penuh bagi negara barunya. 1.2 Rumusan Masalah Dari penjelasan sebelumnya maka rumusan masalah yang akan coba dijawab dalam tulisan ini adalah bagaimana pemenuhan hak hak imigran di Denmark dan Swedia jika dilihat dari kebijakan program pengenalan integrasi dan akses terhadap kewarganegaraan? 1.3 Landasan Konseptual Terdapat beberapa konsep yang akan digunakan dalam tulisan ini dan konsep yang pertama adalah konsep imigran menurut kedua negara. Menurut Pemerintah Denmark definisi dari imigran adalah orang yang lahir di luar Denmark dan memiliki kedua orang tua (atau salah satu apabila tidak ada informasi mengenai yang satunya) yang merupakan warga negara asing atau yang juga lahir di luar Denmark. Apabila tidak ada informasi mengenai kedua orang tuanya dan lahir di luar Denmark, maka orang tersebut juga termasuk kategori imigran. Definisi dari orang keturunan adalah orang yang lahir di Denmark dari kedua orang tua (atau salah satu apabila tidak ada informasi mengenai yang satunya) merupakan imigran atau keturunannya dengan kewarganegaraan asing. Apabila tidak ada informasi mengenai kedua orang tuanya dan memiliki kewarganegaraan asing, maka orang tersebut juga merupakan kategori orang keturunan (Statistic Denmark). Sementara itu Pemerintah Swedia menggunakan istilah imigran sebagai pengganti istilah orang asing atau foreigner sejak tahun 1960an. Definisi dari imigran menurut pemerintah Swedia adalah orang yang tinggal di Swedia namun lahir di luar negeri atau memiliki orang tua yang berasal dari luar negeri. Jika salah satu dari orang tuanya lahir di luar negeri maka orang tersebut dapat dikategorikan sebagai imigran generasi kedua (Trondman 2006). Saat ini sebutan imigran juga sering digunakan bagi masyarakat Swedia yang bukan berasal dari negara negara Nordik, namun istilah imigran sudah mulai dikurangi pemakaiannya oleh otoritas di Swedia dengan mengganti dengan istilah orang yang mempunyai latar belakang migran, hal ini berlaku terutama pada masyarakat imigran generasi kedua karena banyak pendapat yang muncul di Swedia mengenai harus berapa lama seseorang menyandang predikat imigran (Westin 2006). 2
Konsep selanjutnya adalah konsep integrasi. Menurut teori sistem sosial yang dikemukakan oleh David Lockwood terdapat dua jenis integrasi, yaitu integrasi sistem dan integrasi sosial. Integrasi sistem merupakan hasil anonim dari institusi, organisasi, dan mekanisme mekanisme lainnya, (yang antara lain) negara, sistem legal, pasar, aktor aktor korporasi dan keuangan. Sementara itu integrasi sosial merupakan penyertaan individu individu ke dalam suatu sistem, terciptanya hubungan antar individu, dan sikap dari para individu tersebut terhadap masyarakat 1 (Bosswick and Heckmann 2006: 2). Wolfgang Bosswick dan Friedrich Heckmann dalam salah satu publikasi penelitiannya yang berjudul Integration of migrants: Contribution of local and regional authorities menyebutkan bahwa integrasi imigran merupakan kasus khusus dari integrasi sosial dan mendefinisikan integrasi sosial imigran sebagai berikut: Penyertaan dan penerimaan imigran ke dalam lembaga lembaga inti, hubungan, dan posisi dalam masyarakat di negara penerima. Integrasi merupakan proses interaktif antara imigran dan masyarakat di negara penerima. Bagi imigran integrasi berarti proses mempelajari budaya budaya baru, memperoleh hak dan kewajiban, mendapatkan akses dalam posisi dan status sosial, membangun hubungan personal dengan anggota masyarakat di negara penerima, serta membentuk perasaan memiliki dan identifikasi terhadap masyarakat tersebut. Bagi masyarakat asli negara penerima, integrasi merupakan membuka institusi institusi dan memberikan kesempatan yang sama bagi imigran. Meskipun begitu tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat negara penerima mempunyai kekuatan dan gengsi yang lebih besar dalam hubungan interaktif ini. (Bosswick and Heckmann 2006: 11) Konsep selanjutnya yang akan digunakan dalam skripsi ini adalah konsep rezim inkorporasi atau integrasi. Rezim inkorporasi imigran menurut Yasemin Soysal adalah Pola wacana kebijakan dan organisasi disekitarnya, di mana sistem inkorporasi di bangun. Setiap negara membangun serangkaian peraturan resmi, praktik praktik diskursif, dan struktur organisasi yang mendefinisikan status dari orang asing ketika berhadapan dengan negara penerima serta membentuk dan membatasi partisipasi mereka di lembaga pemerintah negara penerima (Soysal 1994: 32) Berdasarkan konsep tersebut Diane Sainsbury dalam tulisannya yang berjudul Immigrants' Social Rights in Comparative Perspective: Welfare Regimes, Forms in Immigration, and Immigration Policy Regimes mendefiniskan Rezim integrasi sebagai peraturan peraturan dan norma norma yang yang meregulasi penyertaan atau 1 Konsep integrasi sistem dan integrasi sosial dikemukakan oleh David Lockwood dalam tulisan Explorations of Social Change oleh G.K Zollschan dan W. Hirsc (editor) pada tahun 1964. 3
pengecualian imigran ke dalam tatanan masyarakat, yang antara lain berisi mengenai posibilitas imigran untuk menjadi warga negara, untuk mendapatkan izin tinggal permanen, dan untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi, kultural, dan politik di negara barunya (Sainsbury 2006: 230). Masih menurut Sainsbury rezim integrasi memiliki beberapa dimensi kebijakan, yang antara lain: akuisisi kewarganegaraan, sistem izin tinggal dan izin kerja, reunifikasi keluarga, tindakan khusus penyambutan dan program penempatan atau settlement program bagi imigran yang baru tiba, pembuatan undang undang anti diskriminasi dengan penghormatan terhadap latar belakang kebangsaan, etnis, ras, dan status imigran, serta pemberian atau pembatasan hak hak partisipasi bagi warga negara asing (Sainsbury 2012: 16 17). Mengenai kebijakan yang akan diteliti dalam skripsi ini akan menggunakan beberapa dimensi kebijakan yang termasuk rezim integrasi menurut Diane Sainsbury, yaitu variabel - variabel yang termasuk dalam kebijakan program penempatan dan akses terhadap kewarganegaraan. Sainsbury dalam salah satu tulisannya Immigrants Social Rights in Comparative Perspective membandingkan pola pemenuhan hak hak sosial imigran di Amerika Serikat, Jerman, dan Swedia dengan meneliti interplay dari tipe negara kesejahteraan, jenis imigrasi, dan rezim integrasi imigran yang ada di ketiga negara tersebut (Sainsbury 2006: 231). Dalam tulisan tersebut Sainsbury membandingkan inklusivitas dan ekslusivitas kebijakan imigran dengan menggunakan beberapa indikator kebijakan, Ia membedakan apakah suatu kebijakan tergolong inklusif atau ekslusif dengan melihat apakah kebijakan tersebut bersifat mempermudah atau membatasi penyertaan imigran ke dalam tatanan masyarakat. Jika mempermudah maka kebijakan tersebut tergolong inklusif dan jika membatasi maka kebijakan tersebut tergolong eksklusif. Dalam soal pemenuhan hak imigran, kebijakan yang bersifat inklusif lebih mengakomodasi hak hak imigran, karena akses imigran terhadap fasilitas fasilitas sosial yang ada di negara penerima cenderung lebih besar dibandingkan negara yang menerapkan kebijakan yang bersifat eksklusif. Dalam tulisan tersebut Sainsbury mengklasifikasikan Jerman sebagai negara yang memiliki rezim kebijakan integrasi eksklusif dan Swedia sebagai negara yang memiliki rezim kebijakan integrasi inklusif. Mengenai kebijakan integrasi imigran di Jerman Sainsbury mengatakan : Sifat eksklusif rezim integrasi di Jerman bukan hanya bersandar pada konsepsi kewarganegaraan menurut etnis, namun juga pada sistem perizinan yang rumit yang 4
menstratifikasikan hak - hak imigran serta tindakan tindakan pembatasan yang ditujukan pada para pencari asilum yang sudah diberlakukan sejak tahun 1980 (Sainsbury 2006: 234) Sementara itu mengenai kebijakan integrasi imigran di Swedia Sainsbury menyatakan bahwa : Sifat inklusif rezim imigrasi di Swedia tercermin pada kecenderungan dalam menyederhanakan sistem perizinan, dalam perlakuan yang sama bagi pengungsi menurut konvensi dan orang orang yang mencari suaka karena alasan kemanusiaan, aturan yang dermawan bagi reunifikasi keluarga, serta pengenalan hak hak politik dan kultural bagi imigran. (Sainsbury 2006: 237) Kebijakan yang digunakan dalam menjelaskan dimensi kebijakan akuisisi kewarganegaran adalah kebijakan naturalisasi dan kewarganegaraan bagi imigran generasi kedua, sedangkan untuk menjelaskan kebijakan program penempatan adalah kebijakan program pengenalan integrasi. Variabel dari kebijakan - kebijakan tersebut antara lain adalah (Sainsbury 2006: 241-242): A. Kebijakan naturalisasi : 1. Persyaratan residensi, yaitu berapa lama waktu minimal residensi imigran untuk dapat mengajukan permohonan naturalisasi. 2. Pengetahuan mengenai kewarganegaraan, yaitu adalah apakah pemohon naturalisasi harus menjalani tes kewarganegaraan. 3. Pengetahuan bahasa adalah apakah pemohon naturalisasi harus menjalani tes bahasa. 4. Sumpah kesetiaan adalah apakah perlu dilakukannya sumpah kesetiaan secara resmi sebagai bagian dari proses naturalisasi. 5. Pendapatan yang cukup adalah apakah pemohon naturalisasi harus memiliki pekerjaan dengan pendapatan minimal yang telah ditentukan untuk dapat mengajukan permohonan naturalisasi. 6. Ketiadaan hukuman pidana. Apakah pemohon naturalisasi harus bebas catatan hukum pidana untuk dapat mengajukan permohonan naturalisasi. 7. Pelepasan kewarganegaraan awal. Apakah pemohon naturalisasi harus atau tidak perlu melepaskan kewarganegaraan awalnya untuk dapat dinaturalisasi. 5
8. Tingkat naturalisasi. Berapa jumlah penduduk warga negara asing yang berhasil mendapatkan kewarganegaraan melalui proses naturalisasi pada periode tertentu. B. Kewarganegaraan Bagi Imigran generasi kedua : 1. Hak untuk mendapatkan kewarganeragaan, yaitu apakah imigran generasi kedua berhak untuk mendapatkan kewarganegaraan di negara tempat mereka tinggal. 2. Ketentuan spesifik, yaitu apakah untuk mendapatkan kewarganegaraan tersebut dapat diperoleh secara langsung atau melalui persyaratan tertentu. 3. Periode residensi adalah beberapa lama waktu yang dibutuhkan bagi imigran generasi kedua untuk bisa memperoleh kewarganegaraan di negara tempat tinggalnya. 4. Usia minimal, yaitu berapa usia minimal bagi imigran generasi kedua untuk mendapatkan kewarganegaraan negara tempat tinggalnya. 5. Persyaratan lainnya merupakan syarat syarat lainnya yang harus dipenuhi oleh imigran generasi kedua untuk mendapatkan kewarganegaraan, seperti melepaskan kewarganegaraan asal, dan lain lain. C. Program Pengenalan Integrasi : 1. Imigran yang memenuhi syarat, yaitu kelompok imigran yang merupakan target dari kebijakan program integrasi. 2. Program, yaitu pihak yang bertanggung jawab dalam melaksanakan program integrasi dan jenis jenis program yang ditawarkan untuk diikuti oleh imigran dalam kebijakan integrasi imigran tersebut. 3. Cakupan, yaitu sifat cakupan program mengenai batasan peserta dan waktu maksimal dalam mengikuti program. 1.4 Metode Penelitian Metode penelitian yang akan digunakan dalam tulisan ini adalah metode kualitatif. Penelitian dengan metode kualitatif akan dilaksanakan dengan mengumpulkan data sekunder dari berbagai sumber pustaka baik cetak maupun elektronik seperti buku, jurnal, artikel publikasi resmi pemerintah, lembaga atau organisasi, serta laporan - laporan paper, tesis, dan disertasi yang fokus terhadap isu isu hak dan pengintegrasian imigran. 6
1.5 Struktur Penulisan Setelah bab pertama yang berisi pendahuluan, bab kedua akan menjelaskan mengenai Denmark, bab selanjutnya akan membahas Swedia, bab selanjutnya merupakan analisis dan bab terakhir merupakan kesimpulan dari penelitian ini. Pada bab kedua akan dijelaskan secara umum dan singkat mengenai sejarah imigran di Denmark, profil imigran di Denmark pada saat ini, lalu pendeskripsian kebijakan integrasi imigran yang dilaksanakan di negara tersebut sesuai dengan variabel variabel yang dijelaskan sebelumnya. Bab ketiga akan menjelaskan hal yang sama dengan apa yang dijelaskan pada bab kedua, namun mengenai Swedia. Bab selanjutnya merupakan analisis mengenai bagaimana pemenuhan hak imigran di kedua negara melalui kebijakan kebijakan integrasi imigran yang telah dijelaskan di bab sebelumnya dengan menggunakan variabel variabel dalam rezim integrasi menurut Diane Sainsbury, setelah membandingkan kebijakan kebijakan rezim integrasi di kedua negara pada bab ini juga akan diisi oleh analisis tambahan mengenai faktor faktor yang sekiranya mempengaruhi pengambilan kebijakan kebijakan integrasi imigran di kedua negara. Bab terakhir merupakan kesimpulan yang akan berisi rangkuman mengenai garis besar kebijakan integrasi imigran di kedua negara dan akan menyatakan hasil dari perbandingan pada penelitian ini. 7